You are on page 1of 21

Alergi Susu Sapi, Permasalahan dan Penanganannya

Posted on Maret 8, 2012 by Indonesia Resources

ABSTRAK Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak yang paling sering dan paling awal dijumpai dalam kehidupannya. Alergi susu sapi adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap susu sapi. Penelitian terakhir juga mengungkapkan bahwa alergi makanan dapat mengganggu perilaku anak seperti gangguan hiperkinetik, gangguan konsentrasi, gangguan tidur atau memperberat Autis. Diagnosis alergi susu sapi adalah suatu diagnosis klinis berupa anamnesis yang cermat, mengamati tanda atopi pada pemeriksaan fisis, pemeriksaan imunoglobulin E total dan spesifik susu sapi. Untuk memastikan alergi susu sapi harus menggunakan provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC yang menjadi gold standard atau baku emas. Namun cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana. Deteksi dan pencegahan alergi susu sapi harus dilakukan dengan cermat sejak dini. Pitfall diagnosis alergi susu sapi sering dialami karena gejalanya mirip gejala reaksi simpang komponen susu sapi formula dan pengaruh diet ibu saat pemberian ASI. PENDAHULUAN

Hippocrates pertama kali melaporkan adanya reaksi susu sapi sekitar tahun 370 masehi. Dalam beberapa dekade

belakangan ini prevalensi dan perhatian terhadap alergi susu sapi semakin meningkat. Susu sapi sering dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak yang paling sering Beberapa penelitian di beberapa negara di dunia prevalensi alergi susu sapi pada anak dalam tahun pertama kehidupan sekitar 2%. Sekitar 1-7% bayi pada umumnya menderita alergi terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi. Sedangkan sekitar 80% susu formula bayi yang beredar di pasaran ternyata menggunakan bahan dasar susu sapi. Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan keterlibatan mekanisme sistem imun. Mekanisme reaksi terhadap susu yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV. Reaksi simpang makanan yang tidak melibatkan mekanisme sistem imun dikenal sebagai intoleransi susu. Alergi terhadap protein susu sapi atau alergi terhadap susu formula yang mengandung protein susu sapi merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki sistem reaksi kekebalan tubuh yang abnormal terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi. Sistem kekebalan tubuh bayi akan melawan protein yang terdapat dalam susu sapi sehingga gejala-gejala reaksi alergi pun akan muncul. Alergi susu sapi akan 85% akan menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3 tahun. Penanganan alergi susu sapi adalah penghindaran susu sapi dan makanan yang mengandung susu sapi, dengan memberikan susu kedele sampai terjadi toleransi terhadap susu sapi. Perbedaan yang mencolok antara penyakit alergi susu sapi dan alergi terhadap makanan lain pada bayi adalah bahwa toleransi dapat terjadi secara spontan semasa usia dini. Penghindaran susu sapi harus dikerjakan sampai terjadi toleransi sekitar usia 2-3 tahun sehingga harus diberikan susu pengganti formula soya atau susu sapi hidrolisat sempurna dan makanan padat bebas susu sapi dan produk susu sapi. Pencegahan alergi harus dikerjakan sedini mungkin pada anak berisiko atopik, Penelitian menunjukkan bahwa 85% ASS akan ditoleransi sebelum anak berumur 3 tahun. Walaupun akan terjadi toleransi pada usia tersebut, tindakan pencegahan maupun tata laksana yang tepat perlu untuk mencegah terjadinya alergi yang lebih parah serta alergi terhadap makanan alergen lain di kemudian hari. Alergi merupakan masalah penting yang tidak harus diremehkan. Reaksi yang ditimbulkan dapat mengganggu semua organ tubuh dan perilaku anak. Sehingga dapat mengganggu tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Pada usia tahun

pertama kehidupan, sistim imun seorang anak relatif masih imatur dan sangat rentan. Bila ia mempunyai bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan berkembang menjadi penyakit alergi terhadap alergen tertentu misalnya makanan dan inhalan. Alergi termasuk gangguan yang menjadi permasalahan kesehatan penting pada usia anak. Gangguan ini ternyata dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala penderita Autis dan ADHD. Gejala alergi pada bayi sering dicetuskan dan disebabkan karena banyak faktor. Tetapi yang paling sering terjadi justru dipicu atau diperberat karena infeksi virus ringan yang tidak terdeteksi. Sedangkan faktor lainnya dengan manifestasi lebih ringan disebabkan karena diet ibu bila minum ASI dan makanan yang dikonsumsi termasuk susu sapi. Seringkali dokter atau orangtua sulit membedakan faktor mana yang menjadi penyebab, bahkan seringkali setiap kali timbul gejala alergi langsung divonis alergi susu sapi dan harus ganti susu khusus padahal belum tentu alergi susu sapi. PATOGENESIS Alergi susu sapi terjadi karena mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna bayi belum sempurna. Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada seorang bayi, Harus dibedakan antara alergi susu sapi suatu reaksi imunologis dan reaksi intoleransi yang bukan berdasarkan kelainan imunologis seperti efek toksik dari bakteri stafilokok, defek metabolik akibat kekurangan enzim laktase, reaksi idiosinkrasi atau reaksi simpang dari bahan-bahan lain yang terkandung dalam susu formula. Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 40 komponen protein yang dapat mengganggu respon imun yang menyimpang pada seseorang. Protein susu sapi terbagi menjadi kasein and whey. Kasein yang berupa bagian susu berbentuk kental biasanya didapatkan pada terdiri dari 76-86% dari protein susu sapi. Kasein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6. Whey terdiri dari 20% total protein susu, yang terdiri dari -lactoglobulin (9% total protein susu), -lactalbumin (4%), bovine immunoglobulin (2%), bovine serum albumin (1%), dan sebagian kecil

beberapa proteins seperti lactoferrin, transferrin, lipases (4%). Dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk menghilangkan protein ini tetapi sebaliknya meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu seperti b-laktoglobulin. Karakteristik komponen protein susu sapi.
STABILITAS KOMPONEN PROTEIN BERAT MOLEKUL (kD) PERSENTASE PROTEIN TOTAL ALERGINISITAS PADA SUHU 100 C

-lactoglobulin

18.3

10

+++

++

Casein

20-30

82

++

+++

-lactalbumin

14.2

++

Serum albumin

67

Immunoglobulins

160

Banyak penelitian mengenai alergenitas protein susu sapi. Terdapat lebih dari 40 jenis protein yang berbeda dalam susu sapi yang berpotensi untuk menyebabkan sensitivitas. Kandungan pada susu sapi yang paling sering menimbulkan alergi adalah lactoglobulin, selanjutnya casein, lactalbumin bovine serum albumin (BSA). Analisa Immunoelectrophoretic menunjukkan bahwa casein berkurang alergenisitasnya setelah pemanasan sekitar 120 C selama 15 menit, sedangkan lactoglobulin, lactalbumin berkurang terhadap pemanasan lebih dari 100C. BSA and gammaglobulin kehilangan antigenisitasnya pada suhu antara 70C 80C. Pemanasan penuh akan terjadi denaturasi dari beberapa protein whey. lactoglobulin merupakan penyebab alergen paling kuat. Penelitian lain menyebutkan antibodi IgE antibodi terhadap -lactalbumin, -lactoglobulin, bovine serum albumin, and bovine gamma globulin adalah penyebab alergi paling sering pada manusia, sedangkan caseins adalah penyebab alergi terbanyak. Penelitian terakhir menyebutkan casein-specific IgE didapatkan 100% pada kelompok penderita alergi, IgE dari lactoglobulin sekitar 13%, -lactalbumin sekitar 6%. MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang terjadi pada alergi susu sapi secara umum hampir sama dengan gejala alergi makanan lainnya. Target organ utama reaksi terhadap alergi susu sapi adalah kulit, saluran cerna dan saluran napas. Reaksi akut (jangka pendek) yang sering terjadi adalah gatal dan anafilaksis. Sedangkan reaksi kronis (jangka panjang) yang terjadi adalah astma, dermatitis (eksim kulit) dan gangguan saluran cerna. Beberapa manifestasi reaksi simpang karena susu sapi melalui mekanisme IgE dan Non IgE. Target organ yang sering terkena adalah kulit berupa urticaria dan angioedema. Sistem saluran cerna yang terganggu adalah sindrom oral alergi, gastrointestinal anaphylaxis, allergic eosinophilic gastroenteritis. Saluran napas yang terjadi adalah asma, pilek, batuk kronis berulang. Target multiorgan berupa anafilaksis karena makanan atau anafilaksis dipicu karena aktifitas berkaitan dengan makanan Selain target organ yang sering terjadi tersebut di atas, manifetasi klinis lainnya berupa Manifestasi tidak biasa (Anussual Manifestation). Diantaranya adalah manifestasi kulit berupa vaskulitis, fixed Skin Eruption. Sistem saluran cerna yang terganggu adalah chronic Pulmonary disease (Heiner Syndrome), hypersensitivity pneumonitis. Saluran cerna yang terjadi adalah konstipasi, gastroesophageal refluk, saluran napas hipersekresi bronkus dan obstruksi duktus naso lakrimalis. Target multiorgan berupa irritability/Sleeplessness in infants, artropati, nefropati dan trombositopeni. Beberapa penelitian lainnya menyebutkan alergi makanan termasuk susu sapi dapat mengganggu perilaku anak seperti gangguan tidur, hiperaktif, gangguan emosi, gangguan konsentrasi, dan memperberat gejala autis. Reaksi susu sapi yang timbul karena reaksi non Ige berupa dermatitis atopik, ermatitis Herpetiformis, proktokolitis, entero colitis, alergi eosinophilic gastroenteritis, sindrom enteropati, penyakit celiac dan sindrom Heiner Terdapat 3 pola klinis respon alergi protein susu pada anak : Reaksi Cepat, waktu dari setelah minum susu hingga timbulnya gejala. Reaksi sedang (pencernaa), 45 menit hingga 20 jam. Sedangkan Reaksi Lambat (kulit dan sal.cerna), Lebih dari 20 jam. Reaksi awal kulit gejala timbul dalam 45 menit setelah mengkonsumsi susu. Reaksi tersebut dapat berupa bintik merah (seperti campak) atau gatal. Gejala lain berupa gangguan system saluran napas seperti napas berbunyi ngik (wheezing), atau rhinoconjuncytivitis (bersin, hidung dan mata gatal, dan mata merah). Gejala tersebut bias terjadi meskipun hanya mengkonsumsi sedikit susu sapi. Hill dkk telah mellaporkan bahwa hamper semua (92% penderita dalam kelompok ini dalam

pemeriksaan skin prick test terhadap susu sapi hasilnya positif. Anafilaksis susu sapi adalah merupakan reaksi paling penting dalam kelompok ini. Dalam kelompok reaksi sedang gejala yang sering timbul adalah muntah, diare dimulai setelah 45 menit hingga 20 jam setelah mendapatkan paparan dengan susu. Menurut penelitian sekitar sepertiga dari kelompok ini didapatkan hasil positif hasil tes kulit (skin prick test). Gejala yang timbul dalam reaksi lambat terjadi dalam sekitar 20 jam setelah terkena paparan susus sapi. Untuk terjadinya reaksi ini dibutuhkan jumlah volume susu sapi yang cukup besar. Dalam kelompok ini hanya sekitar 20% yang didapatkan hasil uji kulit yang positif. Uji temple alergi ( Patch Test) yang dilakukan selama 48 jam sering terdapat hasil positif pada kelompok ini. Sebagian besar terjadi dalam usia lebih dari 6 bulan. Tanda dan gejala yang sering timbul adalah diare, konstipasi (sulit uang air besar) dan dermatitis (gangguan kulit). Beberapa penelitian menunjukkan alergi susu sapi sekitar 80% akan menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3 tahun. Penelitian yang dilakukan penulis terhadap 120 penderita alergi susu sapi menunjukkan bila gejalanya ringan akan bisa toleran 90% usia di atas 1 tahun. Pada gangguan berat, disertai gangguan kulit dan mengakibatkan batuk dan pilek biasanya akan toleran terhadap susu sapi di atas usia 2 5 tahun.

Manifestasi klinis yang sering dikaitkan dengan penderita alergi pada bayi.

GANGGUAN SALURAN CERNA : Sering muntah/gumoh, kembung,cegukan, sering buang angin, sering ngeden /mulet, sering REWEL / GELISAH/COLIK terutama malam hari), Sering buang air besar (> 3 kali perhari), tidak BAB tiap hari, BERAK DARAH. Feses cair, hijau, bau tajam, kadang seperti biji cabe. Hernia Umbilikalis (pusar menonjol), Scrotalis, inguinalis (benjolan di selangkangan, daerah buah zakar atau pusar atau turun berok) karena sering ngeden sehingga tekanan di dalam perut meningkat. Kulit sensitif. Sering timbul bintik atau bisul kemerahan terutama di pipi, telinga dan daerah yang tertutup popok. Kerak di daerah rambut.Timbul bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Mata, telinga dan daerah sekitar rambut sering gatal, disertai pembesaran kelenjar di kepala belakang. Kotoran telinga berlebihan kadang sedikit berbau.

Lidah. Lidah sering timbul putih (seperti jamur). Bibir tampak kering atau bibir bagian tengah berwarna lebih gelap (biru). Napas Berbunyi (Hipersekresi bronkus). Napas grok-grok, kadang disertai batuk sesekali terutama malam dan pagi hari siang hari hilang. Bayi seperti ini beresiko sering batuk atau bila batuk sering lama (>7hari) dan dahak berlebihan ) Sesak segera setelah lahir. Sesak bayi baru lahir saat usia 03 hari, biasanya akan membaik paling lama 7-10 hari. disertai kelenjar thimus membesar (TRDN (Transient respiratory ditress Syndrome) /TTNB). BILA BERAT SEPERTI PARUPARU TIDAK MENGEMBANG (LIKE RDS). Bayi usia cukup bulan (9 bulan) secara teori tidak mungkin terjadi paru2 yang belum mengembang. Paru tidak mengembang hanya terjadi pada bayi usia kehamilan < 35 minggu) Bayi seperti ini menurut penelitian beresiko asthma (sering batuk/bila batuk sering dahak berlebihan )sebelum usia prasekolah. Keluhan ini sering dianggap infeksi paru atau terminum air ketuban. Hidung Sensitif. Sering bersin, pilek, kotoran hidung banyak, kepala sering miring ke salah satu sisi (Sehingga beresiko kepala peyang) karena hidung buntu, atau minum dominan hanya satu sisi bagian payudara. Karena hidung buntu dan bernapas dengan mulut waktu minum ASI sering tersedak Mata Sensitif. Mata sering berair atau sering timbul kotoran mata (belekan) salah satu sisi atau kedua sisi. Keringat Berlebihan. Sering berkeringat berlebihan, meski menggunakan AC keringat tetap banyak terutama di dahi Berat Badan Berlebihan atau kurang. Karena minum yang berlebihan atau sering minta minum berakibat berat badan lebih dan kegemukan (umur <1tahun). Sebaliknya terjadi berat badan turun setelah usia 4-6 bulan, karena makan dan minum berkurang Saluran kencing. Kencing warna merah atau oranye (orange) denagna sedikit bentukan kristal yang menempel di papok atau diapers . Hal ini sering dianggap inmfeksi saluran kencing, saat diperiksa urine seringkali normal bukan disebabkan karena darah. Kepala, telapak tangan atau telapak kaki sering teraba sumer/hangat. Gangguan Hormonal. Mempengaruhi gangguan hormonal berupa keputihan/keluar darah dari vagina, timbul jerawat warna putih. timbul bintil merah bernanah, pembesaran payudara, rambut rontok, timbul banyak bintil kemerahan dengan cairan putih (eritema toksikum) atau papula warna putih Gangguan Sulit Makan dan Gangguan Kenaikkan Berat Badan. Pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan keluhan sering mual, BAB ngeden atau sulit, BAB > 3 kali seringkali mengakibatkan kesulitan makan atau makan hanya

sedikit yang mengakibatkan gangguan kenaikkan berat badan dan sering mengalami daya tahan tubuh menurun sejak usia 6 bulan. Pada usia sebelum 6 bulan kenaikkan pesat tetapi setelah usia 6 bulan kenaikkan relatif datar. Pada penderita hipersensitifitas non alergi (non atopi) biasa nya ghangguan berat badan dan sulit makan lebih tidak ringan dan timbul sejak usia sebelum 6 bulan tetapi setelah 6 bulan lebih buruk PERILAKU YANG SERING MENYERTAI PENDERITA ALERGI PADA BAYI GANGGUAN NEURO ANATOMIS : Mudah kaget bila ada suara yang mengganggu. Gerakan tangan, kaki dan bibir sering gemetar. Kaki sering dijulurkan lurus dan kaku.Breath Holding spell : bila menangis napas berhenti beberapa detik kadang disertai sikter bibir biru dan tangan kaku. Mata sering juling (strabismus). Kejang tanpa disertai ganggguan EEG (EEG normal) GERAKAN MOTORIK BERLEBIHAN Usia < 1 bulan sudah bisa miring atau membalikkan badan. Usia < 6 bulan: mata/kepala bayi sering melihat ke atas. Tangan dan kaki bergerak berlebihan, tidak bisa diselimuti (dibedong). Kepala sering digerakkan secara kaku ke belakang, sehingga posisi badan bayi mlengkung ke luar. Bila digendomg tidak senang dalam posisi tidur, tetapi lebih suka posisi berdiri. Usia > 6 bulan bila digendong sering minta turun atau sering bergerak/sering menggerakkan kepala dan badan atas ke belakang, memukul dan membentur benturkan kepala. Kadang timbul kepala sering bergoyang atau mengeleng-gelengkan kepala. Sering kebentur kepala atau jatuh dari tempat tidur. GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah,bolak-balik ujung ke ujung; bila tidur posisi nungging atau tengkurap; berbicara, tertawa, berteriak dalam tidur; sulit tidur atau mata sering terbuka pada malam hari tetapi siang hari tidur terus; usia lebih 9 bulan malam sering terbangun atau tbatiba duduk dan tidur lagi, AGRESIF MENINGKAT, pada usia lebih 6 bulan sering memukul muka atau menarik rambut orang yang menggendong. Sering menarik puting susu ibu dengan gusi atau gigi, menggigit, menjilat tangan atau punggung orang yang menggendong. Sering menggigit puting susu ibu bagi bayi yang minum ASI, Setelah usia 4 bulan sering secara berlebihan memasukkan sesuatu ke mulut. Tampak anak sering memasukkan ke dua tangan atau kaki ke dalam mulut. Tampak gampang seperti gemes atau menggeram GANGGUAN KONSENTRASI : cepat bosan terhadap sesuatu aktifitas bermain, memainkan mainan, bila diberi cerita bergambar sering tidak bisa

lama memperhatikan. Bila minum susu sering terhenti dan teralih

perhatiannya dengan sesuatu yang menarik tetapi hanya sebentar EMOSI MENINGKAT, sering menangis, berteriak dan bila minta minum susu sering terburu-buru tidak sabaran. Sering berteriak dibandingkan mengiceh terutama saat usia 6 bulan GANGGUAN MOTORIK KASAR, GANGGUAN KESEIMBANGAN DAN KOORDINASI : Pada POLA PERKEMBANGAN NORMAL adalah BOLAKBALIK, DUDUK, MERANGKAK, BERDIRI DAN BERJALAN sesuai usia. Pada gangguan keterlambatan motorik biasanya bolak balik pada usia lebih 5 bulan, usia 6 8 bulan tidak duduk dan merangkak, setelah usia 8 bulan langsung berdiri dan berjalan. GANGGUAN ORAL MOTOR: KETERLAMBATAN BICARA: Kemampuan bicara atau ngoceh-ngoceh hilang dari yang sebelumnya bisa. Bila tidak ada gangguan kontak mata, gangguan pendengaran, dan gangguan intelektual biasanya usia lebih 2 tahun membaik. GANGGUAN MENGUNYAH DAN MENELAN: Gangguan makan makanan padat, biasanya bayi pilih-pilih makanan hanya bisa makanan cair dan menolak makanan yang berserat. Pada usia di atas 9 bulan yang seharusnya dicoba makanan tanpa disaring tidak bisa harus di blender terus sampai usia di atas 2 tahun. IMPULSIF : banyak tersenyum dan tertawa berlebihan, lebih dominan berteriak daripada mengoceh. Memperberat ADHD dab Autis. Jangka panjang akan memperberat gangguan perilaku tertentu bila anak mengalami bakat genetik seperti ADHD (hiperaktif) dan AUTIS (hiperaktif, keterlambatan bicara, gangguan sosialisasi). Tetapi alergi bukan penyebab Autis tetapi hanya memperberat. Penderita alergi dengan otak yang normal atau tidak punya bakat Autis tidak akan pernah menjadi Autis.

Gejala alergi pada bayi selain makanan justru paling sering seringkali diperberat saat sakit atau terjadi oleh infeksi berupa infeksi virus, bakteri atau infeksi lainnya. Paling sering di antaranya adalah infeksi virus. Pada bayi tanda dan gejala infeksi virus ringan ini lebih sulit dikenali. Biasanya hanya berupa badan sumer teraba hangat hanya di kepala, telapak tangan dan badan bila diukur suhu normal. Biasanya disertai bersin, batuk sekali-sekali dan pada anak bayi tertentu nafas bunyi grok-grok. Flu pada bayi jarang sekali menimbulkan hidung meler biasanya hanya basah sedikit di sekitar hidung atau batuk sekali-sekali karena refleks batuk pada bayi basih belum sempurna. Bahkan sebagian dokter menilai gejala infeksi virus tersebut dianggap sebagai gejala alergi.Pada keadaan sakit seperti itu biasanya ada kontak yang sakit flu, demam, batuk atau infeksi virus ringan lainnya di dalam di rumah. Sayangnya orangtua juga sering tidak menyadari bahwa selama ini sering terkena infeksi virus yang gejalanya tidak khas tersebut. Gejala infeksi virus yang ringan yang dialami oleh penderita dewasa berupa badan ngilu, terasa pegal,nyeri tenggorokan atau kadang disertai sakit kepala. Gejala ringan, tidak khas dan cepat membaik ini sering dianggap gejala mau flu

tidak jadi, masuk angin, kurang tidur, panas dalam atau kecapekan DIAGNOSIS ALERGI SUSU SAPI Diagnosis alergi susu sapi adalah suatu diagnosis klinis berupa anamnesis yang cermat, mengamati tanda atopi pada pemeriksaan fisis, pemeriksaan imunoglobulin E total dan spesifik susu sapi. Untuk memastikan alergi susu sapi harus menggunakan provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC yang menjadi gold standard atau baku emas. Namun cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana. Anamnesis atau mengetahui riwayat gejala dilihat dari jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Harus diketahui riwayat pemberian makanan lainnya termasuk diet ibu saat pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping lainnya. Harus diketahui juga gejala alergi asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan, dan alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek, nenek dari orang tua), dan pasien sendiri. Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, ras. Saluran napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelah latihan asma, rinitis alergi. Gangguan saluran cerna, muntah, diare, kolik dan obstipasi. Pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan hdala ada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria, dermatitis atopik allergic shiners, Siemen grease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan wheezing (mengi). PITFALL DIAGNOSIS DAN PENANGANAN Pitfall terjadi pada awal penentuan diagnosis dilakukan hanya berdasarkan data laboratorium baik tes kulit atau IgE spesifik terhadap susu sapi. Padahal baku emas diagnosis adalah dengan melakukan menggunakan provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). Penelitian yang dilakukan penulis terungkap bahwa 25 anak dengan hasil IgE spesifik terhadap susu sapi positif, ternyata setelah dilakukan elimisasi provokasi terbuka sekitar 48% dapat toleran terhadap susu sapi nutrien dense, 40% toleran terhadap susu sapi evaporasi, 24% toleran terhadap susu formula sapi biasa.

Pitfall diagnosis juga sering terjadi hanya berdasarkan anamnesa tanpa pemeriksaan penunjang dan DBPCFC. Bila anamnesis tidak cermat sering terjadi kesalahan karena faktor yang mempengaruhi gejala yang timbul bukan hanya protein susu sapi. Reaksi simpang yang terjadi dapat juga diakibatkan oleh beberapa kandungan tambahan yang ada di dalam susu formula dan reaksi yang ditimbulkan karena diet ibu saat pemberian ASI. Faktor lain yang memicu timbulnya gejala adalah faktor terjadinya infeksi pada anak. Saat terjadi infeksi seperti batuk, pilek atau panas sering memicu timbulnya gejala alergi. Misalnya saat infeksi saluran napas akut pada penderita alergi sering disertai gejala diare, muntah dan dermatitis. Terlalu cepat memastikan suatu anak menderita alergi susu sapi biasanya didasarkan ketidakcermatan dalam menganalisa permasalahan kesehatan pada penderita. Dalam menentukan kecurigaan apakah suatu anak mengalami alergi susu sapi diperlukan ketelitian dan kecermatan. Bila anak minum PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dan ASI (Air Susu Ibu), harus cermat dalam menentukan penyebab gangguan tersebut. Dalam kasus tersebut, PASI atau ASI dapat dicurigai sebagai penyebab alergi. Pada pemberian ASI, diet yang dimakan ibunya dapat mempengaruhi bayi. Bila pemberian PASI sebelumnya sudah berlangsung lebih dari 1 2 minggu tidak terdapat gangguan, kemungkinan susu formula sapi tersebut bukan sebagai penyebab alergi. Harus diperhatikan apakah diet ibunya sebagai penyebab alergi. Kadang ada beberapa anak dengan susu formula sapi yang satu tidak cocok tetapi susu formula sapi lainnya bisa diterima. Hal inilah yang menunjukkan bahwa komposisi dan kandungan lain di dalam susu formula tersebut yang ikut berperanan. Faktor yang berpengaruh mungkin saja karena perbedaan dalam proses pembuatan bahan dasar susu sapi. Dengan pemanasan dan proses tertentu yang berbeda beberapa kandungan protein tertentu yang mengganggu akan menghilang. Sebagian besar alergi susu sapi pada bayi adalah tipe cepat yang diperan oleh IgE dan gejala utama adalah ras kulit, eritema perioral, angioedema, urtikaria dan anafilaksis. Sedangkan bila gejala lambat pada saluran cerna berupa muntah, konstipasi dan diare dan gangguan kulit dermatitis herpertiformis biasanya bukan diperani oleh IgE. Peranan Non IgE inilah biasanya disebabkan bukan oleh kandungan protein susu sapi.. Melihat berbagai jenis kandungan protein dalam susu sapi dan beberapa zat tambahan seperti AA, DHA, sumber komponen lemak (minyak safflower, minyak kelapa sawit, minyak jagung, minyak kedelai) atau aroma rasa

(coklat, madu dan strawberi). Masing masing kandungan tersebut mempunyai potensi berbeda sebagai penyebab alergi atau reaksi simpang dari susu formula.. Kandungan DHA dalam susu formula kadang dapat mengakibatkan gangguan pada anak tertentu berupa gangguan kulit. Sedangkan kandungan minyak kelapa sawit dapat mengakibatkan gangguan saluran cerna berupa konstipasi. Aroma rasa susu seperti coklat sering menimbulkan reaksi batuk atau kosntipasi. Begitu juga kandungan lemak tertentu, minyak jagung dan laktosa pada susu formula tersebut dapat mengakibatkan manifestasi yang hampir sama dengan alergi susu sapi. Bila gangguan akibat susu formula tersebut hanya ringan mungkin penggantian susu sapi formula tanpa DHA atau susu sapi formula tertentu keluhannya dapat berkurang. Jadi bila ada keluhan dalam pemakaian susu sapi formula belum tentu harus diganti dengan susu soya atau susu hidrolisat. Tapi bila keluhannya cukup berat mungkin penggantian susu sapi formula tersebut perlu dipertimbangkan untuk pemberian susu soya atau hidrolisat protein. Bayi atau anak yang sebelumnya telah mengkonsumsi salah satu jenis susu sapi dan tidak mengalami keluhan dalam waktu lebih 2 minggu. Biasanya setelah itu tidak akan mengalami alergi susu yang sama dikemudian hari. Hal ini sering disalah artikan ketika anak mengalami gejala alergi, kemudian susunya diganti. Padahal sebelumnya anak telah beberapa bulan mengkonsumsi susu yang diganti tersebut tanpa keluhan. Sering terjadi saat terjadi gangguan terdapat faktor penyebab lainnya. Riwayat pemberian makanan lainnya atau adanya infeksi yang diderta anak saat itu dapat menimbulkan gejala yang sama. Kasus yang seperti ini menunjukkan bahwa kita harus cermat dan teliti dalam mencurigai apakah seorang anak alergi susu sapi atau bukan. Pitfal penanganan yang sering terjadi adalah saat gejala alergi timbul, penderita paling sering direkomendasikan oleh para klinisi adalah pemberian susu partial hidrolisa. Padahal relkomendasi yang seharusnya diberikan adalah susu formula ekstensif hidrolisat atau susu soya, Pemberian partial hidrolisa secara klinis hanya digunakan untuk pencegahan alergi bagi penderita yang beresiko alergi yang belum timbul gejala. Meskipun demikian pada beberapa kasus gejala alergi ringan ternyata pemberian susu parsial hidrolisa bisa bermanfaat. Pemberian obat anti alergi baik peroral atau topikal bukan merupakan jalan keluar yang terbaik untuk penanganan jangka panjang. Pemberian anti alergi jangka panjang merupakan bukti kegagalan dalam mengidentifikasi penyebab alergi.

PEMILIHAN SUSU DAN MAKANAN UNTUK PENDERITA Pemberian susu adalah merupakan masalah yang tersendiri pada penderita alergi susu sapi. Untuk menentukan penderita alergi susu sapi pilihan utama adalah susu ektensif hidrolisat. Tetapi beberapa penderita juga bisa toleran terhadap susu soya. Beberapa bayi dengan gejala alergi yang ringan dapat mengkonsumsi susu hodrolisat parsial. Meskipun sebenarnya susu ini untuk pencegahan alergi bukan untuk pengobatan. Secara klinis dan laboratoris seringkali sulit untuk memastikan anak menderita alergi susu sapi. Tidak mudah untuk menentukan pemilihan susu yang terbaik untuk anak tersebut. Seringkali sulit memastikan apakah seseorang alergi susu sapi atau intoleransi atau bereaksi terhadap kandungan tertentu dari kandungan yang ada di dalam formula. Dalam menghadapi kasus seperti ini klinik Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan eliminasi provokasi terbuka sederhana. Secara awal penderita diberikan susu ekstensif hidrolisat. Bila gejala alergi membaik selanjutnya dilakukan provokasi formula berturut turut yang lebih beresiko seperti soya, parsial hidrolisat, dan susu formula yang minimal kandungan AA, DHA, minyak kelapa sawit dan sebagainya. Formula yang paling tepat adalah yang tidak menimbulkan gangguan. Bila timbul gejala pada salah satu formula tersebut kita harus pilih formula satu tingkat lebih aman di atasnya. Bila susu parsial hidrolisa dan soya timbul gangguan dilakukan provokasi terhadap susu laktosa dan lemah rantai tunggal (Monochain Trigliceride/MCT). Banyak keraguan terhadap kualitas gizi susu pengganti susu sapi. Keraguan tersebut seperti soya tidak menggemukkan, susu hipoalergenik tidak mebuat anak pintar karena tidak mengadung DHA dan sebagainya. Secara umum semua susu formula yang beredar secara resmi kandungan gizinya sama. Karena mengikuti standard RDA (Recomendation Dietery Allowence) dalam jumlah kalori, vitamin dan mineral harus sesuai dengan kebutuhan bayi dalam mencapai tumbuh kembang yang optimal. Keraguan bahwa susu formula tertentu tidak menggemukkan tidak beralasan karena kandungan kalori, vitamin dan mineral tidak berbeda. Penggunaan apapun merek susu formula yang sesuai kondisi dan usia anak selama tidak menimbulkan gangguan fungsi tubuh adalah susu yang terbaik untuk anak tersebut. Bila ketidakcocokan susu sapi terus dipaksakan pemberiannya, akan mengganggu fungsi tubuh terutama saluran cerna sehingga membuat gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak..

British Nutrition Foundation, ESPGAN (European Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition), WHO (World Health Organization) dan FAO (Food Agriculture Organization) merekomendasikan penambahan DHA dan AA hanya perlu untuk susu formula bayi prematur. Secara teoritis dan bukti klinis penambahan tersebut hanya bermanfaat untuk bayi prematur, karena belum bisa mensintesa AA dan DHA secara baik. Penambahan AA dan DHA secara langsung tidak terlalu penting karena sebenarnya tubuh bayi cukup bulan sudah bisa mensitesa atau memproduksi sendiri AA dan DHA dari asam lemak esessial lain. Beberapa alternatif pilihan untuk pengganti susu sapi sangat bervariasi tergantung kondisi setiap anak. Susu pengganti tersebut meliputi ASI, susu soya, susu kambingI, susu ektensif hidrolisa, susu parsial hidrolisat, sintesi asam amino dan sebagainya. Air Susu ibu ASI adalah pilihan terbaik bagi bayi yang mengalami alergi susu sapi. Pemberian ASI secara klinis sudah terbukti dapat mencegah kejadian alergi di kemudian hari. Meskpiun dapat mencegah alergi, tetapi diet yang dikonsumsi ibu ternyata juga bisa menimbulkan alergi pada bayinya. Sehingga sebaiknya ibu juga melakukan eliminasi diet tertentu yang dapat mengganggu bayi. Ibu harus menghindari berbagai jenis susu sapi atau bahan makanan yang mengandung susu sapi. Susu Soya Susu formula soya adalah salah satu susu formula pengganti bagi bayi dan anak yang mengalami alergi terhadap protein susu sapi. Susu formula soya juga bebas laktosa yang aman dipakai oleh bayi dan anak yang memerlukan diet bebas laktosa. Soya menggunakan isolat protein kedelai sebagai bahan dasar. Isolat protein kedelai tersebut memiliki kandungan protein tinggi yang setara dengan susu sapi. Seperti halnya pada ASI, kalsium dan fosfor pada susu formula soya memiliki perbandingan 2: 1 untuk menunjang pembentukan tulang dan gigi yang kuat. Susu formula ini juga ada yang mengandung asam lemak esensial, yaitu Omega 6 dan Omega 3 dengan rasio yang tepat sebagai bahan dasar pembentukan AA & DHA untuk tumbuh kembang otak yang optimal. Karbohidrat pada formula soya adalah maltodextrin, yaitu sejenis karbohidrat yang dapat ditoleransi oleh sistem pencernaan bayi yang terluka saat mengalami diare ataupun oleh sistem pencernaan bayi yang memang alergi terhadap susu sapi. Susu formula soya (kedelai) kurang lebih sama manfaat nutrisinya dibandingkan formula hidrolisat ekstensif, tetapi lebih murah dan rasanya lebih familiar.

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 170 bayi alergi susu sapi didapatkan susu soya bisa diterima oleh sebagian besar bayi dengan alergi susu sapi baik IgE dan Non IgE . Perkembangan IgE berkaitan dengan susu soya termasuk jarang. Susu soya direkomendasikan untuk alternatif pilihan p;ertama pada penderita alergi susu sapi pada usia di atas 6 bulan. Tetapi bukan berarti penelitian ini merubah pemberian susu formula soya di bawah usia 6 bulan. Anak yang mengalami alergi susu sapi, ternyata didapatkan sekitar 30 40% mengalami alergi susu soya. Susu Kambing Pada beberapa negara secara tradisional susu kambing sering diberikan terhadap penderita alergi susu sapi. Susu kambing bukan merupakan susu dengan nutrisi yang lengkap untuk bayi.. Kandungan vitamin tertentu sangat kecil, seperti asam folat, vitamin B6, B12, C, and D, tetapi kaya mineral. Susu kambing dan susu sapi memiliki epitop yang identik sebagai bahan allergen. Sehingga susu kambing biasanya tidak bisa ditoleransi juga oleh penderita alergi susu sapi. Susu Formula Ekstensif Hidrolisa Alternatif pengganti pada alergi susu sapi adalah susu formula yang mengandung protein susu sapi hidrolisa (melalui pemrosesan khusus). Susu formula ini rasanya memang tidak begitu enak dan relatif lebih mahal.. Protein Whey sering lebih mudah di denaturasi (dirusak) oleh panas dibandingkan protein kasein yang lebih tahan terhadap panas. Sehingga proses denaturasi whey dapat diterima oleh penderita alergi susu sapi, seperti susu sapi evaporasi. European Society of Paediatric Allergy dan Clinical Immunology (ESPACI) mendefinisikan formula ekstensif hidrolisa adalah formula dengan bahan dasar protein hidrolisa dengan fragmen yang cukup kecil untuk mencegah terjadinya alergi pada anak. Formula ekstensif hidrolisa akan memenuhi criteria klinis bila secara klinis dapat diterima 90% oleh penderita proven IgE-mediated alergi susu sapi (95% confidence interval) seperti yang direkomendasikan American Academy of Paediatrics Nutritional Committee. Sejauh ini sekitar 10% penderita alergi susu sapi dapat menimbulkan reaksi terhadap susu formula ekstensif hidrolisa. Secara pasti penderita yang alergi terhadap formula ekstensif hidrolisa belum diketahui, diperkirakan lebih dari 19%. Pengalaman penggunaan hidrolisa kasein telah dilakukan hampir 50 tahun lebih, Beberapa penelitian menunjukkan sangat efektif untuk penderita alergi susu sapi. Susu Hidrolisa kasein yang terdapat dipasaran adalah Nutramigen (Mead Johnson) dan Pregestimil (Mead Johnson). Sedangkan hidrolisa whey dalam waktu terakhir ini mulai dijadikan alternatif, dan tampaknya

toleransi secara klinik hampir sama dengan hidrolisa kasein. Beberapa contoh susu hidrolisa whey adalah Aalfa-Re (nestle) dan Pepti- Junior (Nutricia). Protein Whey lebih mudah didenaturasi dengan suhu panas tetapi kasein sangat tahan panas.. Formula Parsial hidrolisa Susu formula parsial hidrolisa masih mengandung peptida cukup besar sehingga masih berpotensi untuk menyebabkan reaksi alergi susu sapi.Susu ini tidak direkomendasikan untuk pengiobatan atau pengganti susu untuk penderita alergu susu sapi. Susu hipoalergenik atau rendah alergi ini contohnya NAN HA dan Enfa HA. Susu ini direkomendasikan untuk penderita yang beresiko tinggi alergi sebelum menunjukkan adanya gejala alergi. Penelitian menunjukkan pemberian Formula hidrolisa Parsial mengurangi onset gejala alergi yang dapat ditimbulkan. Formula sintetis asam amino Neocate adalah sintetis asam amino 100% yang merupakan bahan dasar susu formula hipoalergenik. Rasa susu formula ini relatif lebih enak dan lebih bisa rasanya lebih bisa diterima oleh bayi pada umumnya, tetapi harganya sangat mahal. Neocate digunakan untuk mengatasi gejala alergi makanan persisten dan berat. Seperti Multiple Food Protein Intolerance, alergy terhadap extensively hydrolysed formulae, alergi makanan dengan gangguan kenaikkan berat badan, alergi colitis, GER yang tidak berespon dengan terapi standar. Multiple food protein intolerance atau MFPI didefinisikan sebagai intoleransi terhadap lebih dari 5 makanan utama termasuk EHF (extensive Hydrolysa Milk) dan susu formula soya. MFPA (Multiple food protein allergy) didefinisikan sebagai alergi lebih dari 1 makanan dasar seperti susu, tepung, telur dan kedelai. Susu ini juga digunakan sebagai placebo dalam DBPCFC untuk mendiagnosis alergi susu sapi Pemberian Makanan Penderita alergi susu sapi juga harus menghindari makanan yang mengandung bahan dasar susu sapi seperti skim, dried, susu evaporasi maupun susu kondensasi. Lactaid, yaitu produk susu yang diproses secara khusus untuk mereka yang mengalami gangguanlactose intolerance. Lactaid diduga masih mengandung protein susu sapi, jadi sebaiknya jangan diberikan kepada anak-anak yang menderita alergi. Mentega atau susu mentega, Produk kedelai yang mengandung susu sapi, Produkproduk makanan yang mengandung kasein, kaseinat, sodium atau kalsium kaseinat, lactalbumin, dan wheyArtificial butter,Butter, Buttermilk, Casein,

Keju, Cream, Keju cottage, Yoghurt, Kasein hidrolisat, Susu kambing, Laktalbumin, Laktglobulin, Laktosa, Laktulosa, Sour cream, Whey. Penderita alergi susu sapi biasanya juga mengalami alergi terhadap makanan lainnya. Makanan yang harus diwaspadai adalah telor, buah-buahan tertentu, kacang dan ikan laut. Penderita alergi susu sapi sangat jarang juga mengalami alergi terhadap daging sapi. Banyak penderita alergi susu sapi dapat mengkonsumsi daging sapi tanpa mengalami gejala alergi. PENCEGAHAN ALERGI SUSU SAPI Pencegahan terjadinya alergi susu sapi harus dilakukan sejak dini. Hal ini terjadi saat sebelum timbul sensitisasi terhadap protein susu sapi, yaitu sejak intrauterin. Penghindaran harus dilakukan dengan pemberian susu sapi hipoalergenik yaitu susu sapi yang dihidrolisis parsial untuk merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari. Bila sudah terjadi sensitisasi terhadap protein susu sapi atau sudah terjadi manifestasi penyakit alergi, maka harus diberikan susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi misalnya susu kacang kedele. Alergi susu sapi yang sering timbul dapat memudahkan terjadinya alergi makanan lain di kemudian hari bila sudah terjadi kerusakan saluran cerna yang menetap. Pencegahan dan penanganan yang baik dan berkesinambungan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya alergi makanan yang lebih berta dikemudian hari..Tindakan pencegahan alergi susu sapi juga hampir sama seperti yang dilakukan pada alergi lainnya. Secara umum tindakan pencegahan alergi susu sapi dilakukan dalam 3 tahap yaitu: Pencegahan primer Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak pranatal pada janin dari keluarga yang mempunyai bakat atopik. Penghindaran susu sapi berupa pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya dapat merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masihmengandung sedikit partikel susu sapi, misalnya dengan merangsang timbulnya IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini juga dilakukan terhadap makanan penyebab alergi lain serta penghindaran asap rokok. Meskipun demikian AAAI hanya merekomendasikan penghindaran [pemberian kacang-kacangan selama kehamilan. Pencegahan sekunder Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit alergi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau darah talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0

sampai 3 tahun. Penghindaran susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi.. Pemberian ASI ekslusif terbukti dapat mengurangi resiko alergi, tetapi harus diperhatikan diet ibu saat menyusui Selain itu juga disertai tindakan lain misalnya pemberian imunomodulator, Th1-immunoajuvants, probiotik. Tindakan ini bertujuan mengurangi dominasi sel limfosit Th2, diharapkan dapat terjadi dalam waktu 6 bulan. Pencegahan tersier Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis tetapi belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi. Pemberian obat pencegahan seperti setirizin, imunoterapi, imunomodulatortidak direkomendasikan karena secara klinis belum terbukti bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Axelsson I, Jakobsson I, Lindberg T, Benediktsson B: Bovine beta-lactoglobulin in the human milk. A longitudinal study during the whole lactation period. Acta Paediatr Scand 1986 Sep; 75(5): 702-7. Blackshaw AJ, Levison DA: Eosinophilic infiltrates of the gastrointestinal tract. J Clin Pathol 1986 Jan; 39(1): 1-7. Bleumink E, Young E. Identification of the atopic allergen in cows milk. Int Arch Allergy 1968; 34:521-43. Bishop MJ, Hasting. Natural history of cows milk allergy. Clinical outcome. J Pediatr 1990; 116:862-7. Bock SA: Evaluation of IgE-mediated food hypersensitivities. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S20-7. Bock SA.Prospective appraisal of complaints of adverse reactions to foods in children during the first 3 years of life. Pediatrics 1987; 79:683-8. Carroccio A, Montalto G, Custro N, et al: Evidence of very delayed clinical reactions to cow's milk in cow's milk-intolerant patients. Allergy 2000 Jun; 55(6): 574-9. Crittenden RG, Bennett LE..Cow's milk allergy: a complex disorder. J Am Coll Nutr. 2005 Dec;24(6 Suppl):582S-91S.

Dupont C, Heyman M: Food protein-induced enterocolitis syndrome: laboratory perspectives. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S50-7. Jacobson O, Lindberg T. A prospective study of cows milk protein intolerance in Swedish infants. Acta Paediatr Scand 1979; 68:853-9. Kaczmarski M, Wasilewska J, Lasota M..Hypersensitivity to hydrolyzed cow's milk protein formula in infants and young children with atopic eczema/dermatitis syndrome with cow's milk protein allergy. Rocz Akad Med Bialymst. 2005;50:274-8.. Hill DJ, Heine RG, Cameron DJ: The natural history of intolerance to soy and extensively hydrolyzed formula in infants with multiple food protein intolerance. J Pediatr 1999 Jul; 135(1): 118-21. Host A, Halken S, Jacobsen HP, et al: Clinical course of cow's milk protein allergy/intolerance and atopic diseases in childhood. Pediatr Allergy Immunol 2002; 13 Suppl 15: 23-8. Host Halken S. A prospective study of cow milk allergy in Danish infants during the first years of life.Allergy 1990; 45:587-96. Hosking CS, Heine RG, Hill DJ. The Melbourne milk allergy study-two decades of clinical research. Allergy and Clinical Immunol International 2000;12:198-205 Iacono G, Cavataio F, Montalto G: Intolerance of cow's milk and chronic constipation in children. N Engl J Med 1998 Oct 15; 339(16): 1100-4. Judarwanto W. Using Nutrient Dense in Children with Gastroenterointestinal Allergies 24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCN MXICO AUGUST 15TH 20TH ,2004. Judarwanto W. Manifestasi Klinis Alergi Susu Sapi pada Anak Usia di bawah 2 tahun. (Belum dipublikasikan). Judarwanto W. Effects on Stool Characteristics, Gastrointestinal Manifestation and Sleep Pattern of Palm Olein in Formula-fed Term Infants 24TH INTERNATIONAL CONGRESS OF PEDIATRICS CANCN MXICO AUGUST 15TH 20TH ,2004 Kelly KJ, Lazenby AJ, Rowe PC: Eosinophilic esophagitis attributed to gastroesophageal reflux: improvement with an amino acid-based formula. Gastroenterology 1995 Nov; 109(5): 1503-12. Kokkonen J, Karttunen TJ, Niinimaki A: Lymphonodular hyperplasia as a sign of food allergy in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999 Jul; 29(1): 57-62. Kokkonen J, Haapalahti M, Laurila K, et al: Cow's milk protein-sensitive enteropathy at school age. J Pediatr 2001 Dec; 139(6): 797-803. Lake AM: Food-induced eosinophilic proctocolitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S58-60.

Lake AM, Whitington PF, Hamilton SR: Dietary protein-induced colitis in breastfed infants. J Pediatr 1982 Dec; 101(6): 906-10. Lowichik A, Weinberg AG: A quantitative evaluation of mucosal eosinophils in the pediatric gastrointestinal tract. Mod Pathol 1996 Feb; 9(2): 110-4. Novembre E, Vierucci A: Milk allergy/intolerance and atopic dermatitis in infancy and childhood. Allergy 2001; 56 Suppl 67: 105-8. Sampson HA, Anderson JA: Summary and recommendations: Classification of gastrointestinal manifestations due to immunologic reactions to foods in infants and young children. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S87-94. Sicherer SH: Food protein-induced enterocolitis syndrome: clinical perspectives. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2000; 30 Suppl: S45-9. Sampson HA.Food allergy. Part I:Immunopathogenesis and clinical disorders. J.Allergy Clin Immunol 1999; 103:717-28. Tokodi I, Maj C, Gabor S.[Cycle vomiting syndrome as a clinical appearance of eosinophilic gastroenteritis]. Orv Hetil. 2005 Oct 30;146(44):2265-9. Hungarian.. Paajanen L, Korpela R, Tuure T, Honkanen J, Jarvela I, Ilonen J, Knip M, Vaarala O, Kokkonen J..Cow milk is not responsible for most gastrointestinal immunelike syndromesevidence from a population-based study. Am J Clin Nutr. 2005 Dec;82(6):1327-35. Sampson HA. Food allergy. Part 2: diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol 1999; 103:981-9. Walker WA. Adverse reactions to food in infancy and childhood, J Pediatr 1992; 121:4-6. Rogier Schade P. Cows milk allergy in infancy and childhood. Immunological and clinical aspects. Didapat dari:http//www.library.uu.nl Savilahti E .Cows milk allergy. Allergy 1981; 36:37-88. Swaisgood HE. Chemistry of milk protein. Dalam: Fox PF,editor. Developments in dairy chemistry, London,Applied Science Publishers, 1982. h. 1-59. Sampson HA. Adverse reactions to foods. Dalam: Middleton E, Reed CE, Elliot EF, Adkinson NF, Walker WA: Cows milk protein-sensitive enteropathy at school age: a new entity or a spectrum of mucosal immune responses with age. J Pediatr 2001 Dec; 139(6): 765-6. Zeiger RS,Sampson HA, Bock SA, Burks JR, dkk. Soy allergy in infants and children with IgE associated cows allergy. J Pediatr 1999; 134:614-22. Pinnock CB, Arney WK. The milk-mucus belief: sensory analysis comparing cows milk and a soy placebo. Appetite 1993 Feb;20(1):61-70

Arney WK, Pinnock CB. The milk mucus belief: sensations associated with the belief and characteristics of believers. Appetite 1993 Feb;20(1):53-60 Pinnock CB, Graham NM, Mylvaganam A, Douglas RM. Relationship between milk intake and mucus production in adult volunteers challenged with rhinovirus-2. Am Rev Respir Dis 1990 Feb;141(2):352-6 Juntti H, Tikkanen S, Kokkonen J, Alho OP, Niinimaki A. Cows milk allergy is associated with recurrent otitis media during childhood. Acta Otolaryngol 1999;119(8):867-73 Bernaola G, Echechipia S, Urrutia I, Fernandez E, Audicana M, Fernandez de Corres L. Occupational asthma and rhinoconjunctivitis from inhalation of dried cows milk caused by sensitization to alpha-lactalbumin. Allergy 1994 Mar;49(3):189-91 Woods RK, Weiner JM, Abramson M, Thien F, Walters EH.Do dairy products induce bronchoconstriction in adults with asthma? J Allergy Clin Immunol 1998 Jan;101 (1 Pt 1):45-50 Nguyen MT. Effect of cow milk on pulmonary function in atopic asthmatic patients. Ann Allergy Asthma Immunol 1997 Jul;79(1):62-64 Scarlett Salman, Lynn Christie, Wesley Burks, Mccabe-Sellers. Dietary Intakes of Children With Food Allergies: Comparison of the Food Guide Pyramid and the Recommended Dietary Allowances 10th Ed. J Allergy Clin Immunol 2002; 109 (1: Part 2): Abstract 643

You might also like