You are on page 1of 4

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Latar belakang Gula pasir sebagai salah satu dari sembilan bahan makanan pokok merupakan komoditas yang penting artinya sebagai pemanis maupun sumber kalori. Dari berbagai produk gula yang dihasilkan di Indonesia, gula pasir memberi kontribusi lebih dari 90 % dari pemenuhan konsumsi masyarakat (Soentoro, 1991). Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Sudana, 2000). Setelah mengalami berbagai pasang-surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 1999). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Pada periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2 % per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 1.8 per tahun Penurunan produksi bersumber dari penurunan areal dan penurunan produktivitas seperti penurunan rendemen dari 10% pada tahun 1970-an menjadi rata-rata hanya 6.9% pada tahun 1990-an (Dewan Gula Indonesia, 1999).

1. Pemasaran / Tataniaga Gula pasir Kenyataannya, kelemahan dalam sistem pertanian di negara berkembang termasuk Indonesia adalah kurangnya perhatian dalam bidang pemasaran. Fungsi fungsi pemasaran/tataniaga seperti pembelian, sorting (grading), penyimpanan, pengangkutan dan pengelolaan sering tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga efesiensi tataniaga menjadi lemah. Keterampilan mempraktekkan unsur- unsur manajemen juga demikian. Belum lagi dari segi kurangnya penguasaan informasi pasar sehingga kesempatan-kesempatan ekonomi menjadi sulit untuk dicapai (Soekartawi, 2002). Tataniaga merupakan pemasaran atau distribusi, yaitu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Biaya tataniaga terbentuk sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Komponen biaya tataniaga terdiri dari semua jenis pengeluar yang dikorbankan oleh setiap middleman/lembaga tataniaga atas jasa modalnya dan jasa tenaganya dalam menjalankan aktivitas pemasaran tersebut. Setelah dikelompokkan menurut harga beli dan harga jual, biaya-biaya pemasaran menurut fungsi tataniaga dan margin keuntungan dari tiap lembaga maka disebut juga price spread. Bila angka-angka price spread dipersenkan terhadap harga beli konsumen maka diperoleh share margin. Biaya tataniaga yang tinggi akan membuat sistem tataniaga kurang/tidak efesien (Ull and Kohl, 1980). PG Pagottan merupakan satu dari 16 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XI (Persero), Surabaya. PG Pagottan sudah mulai beroperasi pada tahun 1905. Semakin tingginya konsumsi masyarakat terhadap gula merupakan peluang bisnis sekaligus tantangan bagi PG Pagottan. PG Pagottan disamping mengolah tebu sendiri juga mengolah tebu rakyat. Bagi hasil terhadap gula yang dihasilkan tebu rakyat mengacu pada kesepakatan antara PTPN XI dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) mengenai tata cara atau perhitungan bagi hasil gula, yaitu apabila rendemen tebu rakyat sampai dengan enam persen maka petani mendapatkan 66 persen hasil sedangkan PG mendapatkan 34 persen. Tetapi jika rendemen tebu rakyat di atas enam persen maka hasil awal (rendemen enam persen) ditambah selisih di atas enam persen dengan perhitungan bagi hasil 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk PG.

Setelah lepas dari monopoli BULOG pada tahun 1999, saat ini system perdagangan gula dikelola oleh masing-masing perusahaan. Sebagian besar gula milik PTR dan PG bersama-sama dijual dalam pelelangan. Dalam pelelangan gula milik PTR dan PG telah mendapatkan dana talangan yang besarnya sesuai harga dasar yang disepakati antara petani, perusahaan selaku penjamin bahwa petani yang mendapatkan dana talangan benar-benar memiliki gula dari hasil penggilingan tebu, investor dana talangan, dan pemerintah. Dana talangan ini dimaksudkan agar petani dapat melakukan kegiatan budidaya dikebun tanpa harus menunggu kapan gula akan terjual semua. Di samping itu dana talangan juga dimaksudkan untuk melindungi para produsen tebu dari kerugian. Dana talangan tersebut biasanya dibayarkan oleh investor dengan perjanjian bila harga gula di pelelangan lebih tinggi dari dana talangan maka kelebihannya tersebut akan dibagi menurut perhitungan 60 persen untuk PTR dan 40 persen untuk PG sisa dari masing-masing tersebut, yaitu 40 dan 60 persen akan diberikan kepada investor sebagai penyedia dana talangan. Selain dijual dalam pelelangan untuk gula milik PG sebagian kecil (lima persen dari total produksinya) dijual dalam bentuk ritel ke perusahaan-perusahaan seperti alfamart, indomaret, grosir, dan lain-lain dengan harga yang telah Disepakati bersama. Sedangkan untuk gula milik PTR (sepuluh persen dari total produksinya) diberikan ke petani dalam bentuk natura. Natura ini diberikan agar petani tebu mempunyai gula untuk konsumsinya sehari-hari. Untuk lebih jelasnya mengenai pemasaran gula PG Pagottan dapat dilihat pada Gambar 5.

2. Kelembagaan Tataniaga Gula pasir Lembaga tataniaga adalah orang atau badan usaha yang terlibat dalam proses tataniaga gula pasir. Aspek pemasaran/tataniaga memang disadari sebagai aspek yang sangat penting. Bila mekanisme pemasaran berjalan baik, maka semua pihak yang terlibat akan diuntungkan. Oleh karena itu peranan lembaga tataniaga yang terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, eksportir, importir, menjadi amat penting. Lembaga tataniaga ini khususnya bagi negara berkembang yang dicirikan dengan lemahnya pemasaran hasil pertanian akan menentukan mekanisme pasar (Soekartawi, 1991). Tataniaga gula pasir seluruhnya diatur oleh pemerintah. Gula sebagai sumber energi yang relatif murah serta pengadaannya yang menguasai hajat hidup sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi alasan utama pemerintah memberikan monopoli tataniaganya kepada Bulog. Di Indonesia, impor gula ditangani oleh Bulog sebagai penyalur tunggal gula dalam negari. Akan tetapi, Bulog boleh menunjuk perusahan lain untuk melaksanakan impor gula (Moerdokusmo, 1993). http://www.slideshare.net/putrinindya/tebu-16545185 http://nisashare.blogspot.com/2012/02/contoh-tugas-mk-tataniaga-produk.html

You might also like