You are on page 1of 6

NOVEL SAMAN DAN LARUNG KARYA AYU UTAMI DALAM PERFEKTIF FEMINIS RADIKAL

Oleh: Baban Banita, S.S., M.Hum.

PRODI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

NOVEL SAMAN DAN LARUNG DALAM PERSFEKTIF FEMINIS RADIKAL Oleh Baban Banita I. Pengantar Roman pertama Indonesia, yang memakai bahasa baku, yakni azab dan sengsara karangan Merari Siregar, berkisah tentang penderitaan wanita dari keluarga miskin bernama Mariamin. Beberapa roman penting seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar terkembang karya Sutan takdir Alisahbana, tenggelamnya Kapal van der wijk karya Hamka semuanya mengisahkan bagaimana wanita Indonesia pada zamannya. Wanita-wanita itu merupakan korban kondisi sosial atau konstruk sosial tempat dirinya mengalami hidup. Para wanita tersebut tidak berdaya menghadapinya. Mariamin harus berpisah dengan kekasih tercintanya karena dirinya berasal dari keluarga miskin sedangkan kekasihnya dari keluarga terpandang, karena itu untuk urusan jodoh orangtuanyalah yang menentukan. Ketiga tokoh wanita harus rela kawin dengan laki-laki yang tidak dicintainya dan pada akhirnya mereka meninggal karena penderitaan dengan meninggalkan cinta yang kandas. Cerita di atas terjadi jauh sebelum Indonesia menginjak masa kemerdekaan. Lalu perjalanan zaman membawa sedikit demi sedikit perubahan. Perempuan perlahan bangkit dari tempurung kehidupannya untuk membuka matanya menatap keluasan dunia dalam mensejajarkan dirinya dengan laki-laki. Tetapi kendala untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki itu selalu mengalami hambatan. Konstruk sosial yang mengkerangkeng langkah kakinya terlalu kokoh untuk dihancurkan. Maka sangat sedikit sampai ujung detik zaman ini perempuan Indonesia yang betul-betul sejajar dengan laki-laki. Lalu bagaimana dengan perempuan dalam sastra indonesia terkini? Sejak terbit Saman karya Ayu Utami yang berbarengan dengan gairah orde Reformasi karya sastra pun mengalami loncatan gairah kebebasan. Jika sebelumnya sastra yang menguak tentang seksual diterbitkan dan dibaca di bawah tembok ketakutan, maka sejak Reformasi hal itu menjadi lain. Sastra model itu semena-mena masuk ke ruang pembaca tanpa harus dibayangi ketakutan. Karena itu pula kita bisa melihat bagaimana radikalitas pemikiran menyeruak dan memunculkan wacana-wacana yang segar yangt mengungkap keinginan perempuan terutama dalam kehidupan sosial yang menyangkut kepentingan pribadinya. II. Feminisme Radikal Salah satu aliran dalam pemikiran feminis adalah feminis radikal. Asumsi dasar pemikirannya, mereka menganggap penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum lelaki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan (Jaggar dalam Fakih). Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein, 1979 dlm Fakih). Atas dasar asumsinya itu Feminisme Radikal mempunyai sumbangan yang besar, yaitu memberi peluang politik bagi perempuan. Hal lain, bahwa revolusi feminis radikal

adalah perjuangan untuk mengatasi laki-laki, karena itu mengubah gaya hidup merupakan ciri aliran ini. Cara pemikiran feminis radikal dalam menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, dengan pertamapertama menyadari bahwa perrempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masiong-masing. Untuk menghilangkan penguasaan oleh lakilaki, perempuan dan laki-laki harus menghapuskan gender-terutama status, peran, dan temperamen seksual- sebagaimana hal itu dibangun di bawah patriarki. (Millet dalam Tong, 2004) Perempuan harus dibebaskan dari peran gender pada tingkat biologis(reproduksi), perempuan tidak perlu lagi pasif, reseftif, dan rentan, mengirimkan tanda kepada laki-laki untuk mendominasi, memiliki dan memasuki tubuh mereka untuk menjaga agar roda prokreasi manusia terus berputar. Laki-laki dan perempuan akan memadukan feminin dan maskulin dalam keadaan yang mereka inginkan. (Firestone dalam Tong, 2004) Ferguson dalam Tong (2004) menyebutkan bahwa feminis radiakal biasanya heteroseksual atau lesbian. Merebut kendali atas seksualitas perempuan, dengan menuntut hak untuk mempraktikan apapun yang bdapat memberikan kenikmatan dan kepuasan, hubungan seksual yang setara adalah yang saling memuaskan dan bernegosiasi untuk saling memuaskan dengan cara apapun. Kunci pembebasan perempuan adalah dengan menghapuskan semua institusi patriarkal (misalnya industri pornografi, keluarga, prostitusi, dan heteroseksualitas yang diwajibkan), dan praktik-praktik seksual (sadomasokis, cruising, dan hubungan dewasa/anak serta butch/femme) yang mengandung objektivikasi seksual. III. Tokoh Shakuntala dalam Novel Saman dan Larung dalam persfektif feminisme radikal Saman merupakan salah satu novel yang paling berhasil menyuarakan gabungan isu tentang opresi(ideologis) terhadap perempuan, tubuh, seksualitas, dalam dampak kolonialisme. Shakuntala merupakan sosok tempat isu-isu tersebut dieksperimentasi dan secara dekonstruktif dimainkan menjadi metodologi strategis pengimbangan wacana falogosentris. Salah satu caranya adalah melalaui Diri dalam tubuh Tala sebagai yang menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublim. Libidinal. Labirin (Utami, 2000:115) Shakuntala adalah sosok yang merdeka, yang membebaskan dirinya sesuka yang dia mau terutama dalam hubungannya dengan laki-laki. Dia tidak terikat oleh perjanjian yang mengikat dengan laki-laki. Kita bisa melacak pilihan kebebasan itu di masa kecilnya. Dalam pengakuannya, Tala telah menghilangkan keperawanannya din usia sembilan tahun, yakni dengan sebuah garpu de sebuah malam ketika dirinya hendak menuju kota pengasingan. Baginya keperawanan harus dipertanyakan kembali, harus dikritisi mengapa keperawanan sebegitu pentingnya bagi seorang perempuan. Dia telah menemukan, ternyata tidak ada yang istimewa dalam keperawanan, hanya sekedar sarang laba-laba merah.

Langkah Tala di usia remajanya adalah sebuah perlawanan terhadap konstruk sosial yang memuliakan laki-laki untuk diberi keistimewaan oleh perempuan, sementara lelaki sendiri tidak pernah dipersoalkan keperjakaannya. Pemikiran ini berlanjut ketika Tala menginjak dewasa, dirinya diberi wejangan tentang keperawanan dan perkawinan oleh ayahnya. Di sini, di kota asing ini, malam hari ayahku mengikatku pada tempat tidur dan memberiku dua pelajaran tentang cinta. Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberiakn tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak ketika dewasa, aku menganggap persundalan yang hipokrit (120121). Tala tidak mengindahkan wejangan itu, bahkan untuk masalah keperawanan dirinya telah menghilangkannya seperti yang dipaparkan di atas. Tala telah menentukan sikap. Pertama, dia memilih menghilangkan keperawanan dan kedua, dia menolak perkawinan yang memuliakan laki-laki ini dalam pemikiran feminis radikal menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, dengan pertama-pertama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing. Bahkan lebih jauh lagi, ketika dirinya dilabeli kata sundal oleh ayah dan kakak perempuannya karena sering tidur dengan beberapa lelaki, Tala tidak acuh. Tala menikmatinya. Pemilihan untuk melakukan hubungan seksual dengan beberapa lelaki pilihannya merupakan sebuah pemberontakan terhadap kemapanan patriarki. Dia telah memilih untuk memuaskan dirinya dengan tidur dengan banyak lelaki. Dalam pemikiran feminis radikal, Tala telah merebut kendali atas seksualitas perempuan, dengan menuntut hak untuk mempraktikan apapun yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan, hubungan seksual yang setara adalah yang saling memuaskan dan bernegoisasi untuk saling memuaskan dengan cara apapun. Jika perempuan dalam konstruk sosial selalu dibayangi kekuasaan laki-laki, selain hal di atas, Tala mempunyai cara lain dalam membebaskan dirinya dari kungkungan itu, yakni dengan menari. Atas segala hal, Tala mengadukannya pada tariannya sendiri. Aku menangis karena aku ingin kembali ke kotaku yang teduh tapi mustahil melarikan diri. Mustahil. Karena itu aku menari(119-120) Tapi ia bermain sendirisendiri, seperti aku: menari sendiri. Kami penuh dalam diri masing-masing, tidak mengisi satu sama lain, apalagi melengkapi upacara n penyambutan tamu-tamu sultan atau turis keratonaku menari sebab aku sedang merayakan tubuhku (125-126) Tala telah melawan kekerasan ayahnya, sang pigur yang mewakili patriarki, membangun diskursus tertentu dengan menyebutnya sundal dan memosisikan Tala sebagai yang teropresi secara ideologis. Bahkan kakak perempuannya dalam konteks ini digambarkan sebagai representasi sosok betina yang maskulin yang juga berpihak pada patriarki. Tala dengan demikian telah melakukan perlawanan terhadap usaha patriarki ini.

Pertama, melawan bapaknya yang nyata-nyata laki-laki. Kedua, Tala juga harus berhadapan dengan kakanya yang perempuan. Dan keduanya sesungguhnya adalah figurfigur yang harus dihormati karena posisinya dalam keluarga. Dalam konteks ini, kakak perempuannya ternyata tidak sebagai yang seikatan dan sepenanggungan untuk melawan patriarki, untuk memperjuangkan kebebasan. Tala selalu melakukan resistensi, bahkan sering dirinya mendapkan tubuhnya menjadi laki-laki. Kualitas ini semakin menyempurnakan tahapan adaptasi Tala dalam ruang diskursif yang patriarki. Tala telah terkondisikan untuk menikmati apa yang disukainya. Ia suka menari, dan ia menikmatinya. Ia menyukai raksasa, dan ia menikmati sembunyisembunyi mengunjungi sang raksasa. Ia kelak ingin menyukai seseorang, dan ingin menikmati berhubungan seks dengan orang itu. Menyukai dan menikmati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan bagi Tala. Jika hanya ada satu saja yang dinikmatinya maka masih ada unsur keterpaksaan dalam proses yang dijalaninya itu. Berhubungan seks yang ada imajinatif itu penting karena itu membebaskan. Pembicaraan pascaorgasme juga penting karena itu menunjukan rangkaian tahapan senggamanya berarti. Dalam kehidupan seksualnya, Tala mempunyai keinginannya sendiri, idealnya sendiri. Misalnya dia membayangkan Sihar sebagai berikut. Dia terlalu serius, kurang imajinasi, lambat mengolah humor sehingga selalau terlambat tertawa-kadang sama sekali tak paham apa yang kami luconkan. Berhubungan seks dengannya pasti tidak imajinatif dan tak ada pembicaraan postorgasme yang menyenangkan. (132) Berbicara tentang pernikahan, Tala tampak agak masih separuh hati menerima konsep penyatuan sepasang manusia dalam institusi pernikahan. Tala keberatan dengan definisi perkawinan seperti yang diwejangkan ayahnya kepadanya. Baginya pernikahan itu harus mengandung asas saling menguntungkan. Perempuan akan memberikan tubuhnya kepada laki-lakim yang memenuhi kriterianya. Harus ada pilihan atau memilih dan bukan sekedar dipilih oleh laki-laki. Keinginan diri harus menjadi kenyataan yang padanya segala pemaksaan dan sepihak harus dihapuskan. Dengan demikian seperti dalam pemikiran feminis radikal, perempuan harus dibebaskan dari peran gender pada tingkat biologis (reproduksi), perempuan tidak perlu lagi pasif, reseftif, dan rentan, mengirimkan tanda kepada laki-laki untuk mendominasi, memiliki dan memasuki tubuh mereka, untuk menjaga agar roda prokreasi manusia terus berputar. Laki-laki dan perempuan akan memadukan feminin dan maskulin dalam keadaan yang mereka inginkan. Harus ada keselarasan dan keberduaan yang seimbang. Tentang kehidupan seksual, Tala pun ternyata tidak hanya terpaku pada lawan jenis saja. Dirinya bisa menjelma menjadi Tala yang heteroseksual. Misalnya dia bisa bermesraan dengan Laila bahkan mengajarinya cara mencapai orgasme yang sebetulnya. Tala dalam hal ini memasuki lesbianisme yaitu dengan memperlakukan Laila sebagai pasangan seksualnya. Memberinya kepuasan dan rasa nyaman. Dalam pemikiran feminis radikal menyebutkan bahwa feminis radikal biasanya heteroseksual atau lesbian. Merebut kendali atas seksualitas perempuan, dengan menuntut hak untuk mempraktikan apapun yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan, hubungan seksual yang setara adalah yang saling memuaskan dan bernegoisasi untuk saling memuaskan dengan cara apapun.

IV. Penutup Demikianlah, beberapa hal tentang Shakuntala yang saya yang saya anggap memnuhi persyaratan sebagai memenuhi pola-pola pemikiran yang ada dalam pemikiran feminis radikal. Diantaranya pemilihan Sakuntala untuk membebaskan diri dari kekangan perilaku seksual yang telah diatur dengan atas nama kepentingan laki-laki. Dirinya memilih siapapun untuk memuaskan perilaku seksualnya asalkan saling menyukai. DAFTAR PUSTAKA Fakih, Mansoer. 1998. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Putnam Tong, Rosemarie. 2004. Feminist Thought(terjemahan oleh Aquarini). Bandung: Jalasutra Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Utami, Ayu. 2004. Larung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

You might also like