You are on page 1of 2

Perkembangan Pembahasan RUU Tentang Desa

Niatan mulia pemerintah dan DPR RI untuk menjadikan desa sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat terlihat jelas dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Desa. Desa, yang dimaknai sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurusi kepentingannya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikonstruksikan mampu mendefinisikan dirinya, menemukan masalahnya, dan mampu menyelesaikan masalahnya. Makna dimaksud hanya dapat dicapai apabila desa memiliki tiga prasyarat dasar. Pertama, diakui oleh negara sebagai entitas masyarakat asli yang memiliki otonomi asli (prinsip rekognisi). Kedua, diberikan sejumlah kewenangan untuk mengurus urusan yang berhubungan dengan pelayanan dasar masyarakat. Ketiga, diberdayakan pemerintah dan masyarakatnya. Ketiga prasyarat dimaksud tergambar jelas dalam naskah RUU tentang Desa yang diserahkan pemerintah kepada DPR RI dengan Ampres (Amanat Presiden) No. R02/Pres/01/2012 tanggal 4 Januari 2012. Kewenangan desa dikonstruksikan dalam Bab III (Pasal 15-17) dalam dua bentuk, kewenangan asli dan sebagian kewenangan yang dilimpahkan. Pemberdayaan pemerintah dan masyarakat dikonstruksikan dalam Bab IV-IV (Pasal 18-83). Sementara rekognisi desa tergambar dalam Bab I (Pasal 1-3).

Pembahasan Materi RUU tentang Desa Pembahasan materi Rancangan Undang-Undang tentang Desa telah dilakukan di tingkat Panitia Kerja (PANJA) sebagai langkah lanjutan dari penyerahan jawaban Pemerintah atas DIM (daftar infentarisasi masalah) DPR RI. Rapat Panja DPR RI telah digelar pada tanggal 25-27 Januari 2013. Rapat lanjutan dilaksanakan pada tanggal 30 Januari dan 31 Januari 2013.

Materi RUU dibagi dalam cluster-cluster guna memudahkan pendalaman substansi. Terdapat delapan cluster RUU Tentang Desa. Pertama, cluster judul, konsideran, dan ketentuan umum (Bab I). Kedua, cluster penataan desa, kewenangan desa, hak dan kewajiban masyarakat dan Desa (Bab II,III dan IV). Ketiga, cluster Pemerintahan Desa, Pemilihan Kepala Desa, dan Musyawarah Desa (Bab V,VI,VII, dan VIII). Keempat, cluster keuangan desa, Badan Usaha Milik Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, dan Kerjasama Desa (Bab IX,X,XI dan XII).

Kelima, cluster lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat (Bab XIII). Keenam, cluster peraturan desa (Bab XIV). Ketujuh, cluster pembinaan dan pengawasan, ketentuan sanksi (Bab XV dan XVI). Kedelapan, cluster ketentuan peralihan dan ketentuan penutup (Bab XVII dan XVIII).

RUU tentang Desa sendiri berisi 18 Bab yang didalamnya memuat 96 Pasal. Setelah diserahkan pemerintah kepada DPR RI, lembaga rakyat dimaksud telah memberikan daftar inventarisasi masalah (DIM) sebagai catatan pendapat atas naskah RUU. Terdapat 445 daftar inventarisasi masalah atas 18 Bab dan 96 Pasal RUU. Dari total 445 DIM, ada 188 DIM yang tetap (setuju dengan materi RUU) dan ada 257 DIM yang dibahas dalam Panja. Dari 257 DIM yang dibahas dalam Panja terdapat lima klasifikasi masing-masing dihapus, perubahan redaksional, perubahan substansi, penambahan pasal dan penambahan ayat.

Arah Perubahan Baik pemerintah maupun DPR RI sepakat bahwa Undang-Undang tentang Desa selayaknya membawa perubahan bagi desa. Titik perubahan yang dituju adalah desa sebagai ruang hidup dan ruang penghidupan orang desa. Pemaknaan atas tujuan itu adalah desa yang otonom, asimetris dan berdaya. Otonom dalam arti hakhak desa dalam mengatur dirinya diakui negara termasuk hak atas kekayaan, aset serta kehidupan komunal. Asimetris dalam arti tidak ada satu model desa yang seragam untuk semua. Berdaya dalam arti mampu mengenali diri, mendefinisikan masalah dan merumuskan pemecahan masalah melalui keputusan-keputusan yang demokratis. Pemerintah memiliki definisi yang jelas tentang desa dalam menjawab DIM RUU. Desa adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu,tentang posisi desa adat, pemerintah berpendapat bahwa RUU tidak perlu mengatur desa adat secara spesifik. Desa sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum adat dimaknai sebagai totalitas. Artinya, tidak ada dualisme (desa pemerintah dan desa adat). Apabila ciri-ciri adat lebih menonjol dalam sebuah desa, maka pemerintah daerah dapat menetapkan pengaturan desa adat dalam peraturan daerah.

Terdapat 6 isu strategis yang terkadung dalam RUU tentang Desa. Pertama, kedudukan desa. Kedua, penataan desa. Ketiga, kewenangan desa. Keempat, penyelenggaraan pemerintahan desa. Kelima, keuangan desa. Keenam, pembangunan desa dan kawasan perdesaan.

You might also like