You are on page 1of 34

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang sangat strategis.

Negara kepulauan ini terletak pada garis khatulistiwa, diantara dua samudera dan dua benua.Dari letak geografis ini,Indonesia mempunyai kenampakan alam dan sumber daya yang melimpah,salah satunya adalah sumber daya tambang.Sumber daya tambang semakin beriringnya waktu kini semakin pesat perkembangannya,karena tak hanya memberikan manfaat untuk masyarakat namun juga sangat berpengaruh bagi sumber pemasukan negara.Manfaat yang sangat strategis tersebut,mendorong semakin banyak pihak yang ingin membuka usaha pertambangan,namun mengingat proses pertambangan memiliki dampak yang menyentuh lingkungan dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat,pemerintah dewasa kini melakukan mekanisme prosedural bagi usaha pertambangan melalui izin pertambangan dan menetapkan pengaturan mengenai pertambangan sebagai usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Provinsi Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam, terutama dalam pertambangan batuan. Pada bagian Yogyakarta utara, kita dapat menemukan sumber daya batuan dari adanya Gunung Merapi,pada bgaian Yogyakarta pesisir kita dapat pula menemukan potensi tambang pasir besi. Potensi tersebut menjadi angin segar bagi investor tak hanya dalam negeri namun juga luar negeri, yang tak pelak pemerintah harus tetap melakukan mekanisme tertentu demi melindungi kepentingan negara dan masyarakat, salah satunya dengan izin. Namun kini, banyak terjadi penyimpangan pelaksanaan izin dari pemerintah yang dilakukan oleh pemegang izin, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan gejolak di masyarakat sekitar wilayah usaha pertambangan dan tentu pula kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan pemerintah terhambat untuk tercapai.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah Kami kemukakan, maka rumusan masalah yang Kami buat adalah: 1. Bagaimanakah pengaturan dan pengertian pertambangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah penggolongan komoditas tambang dan usaha pertambangan? 3. Bagaimanakah mekanisme pemberian izin usaha pertambangan batuan? 4. Bagaimanakah persyaratan izin usaha pertambangan batuan?

BAB II PEMBAHASAN 2

A.

PENGATURAN DAN PENGERTIAN PERTAMBANGAN Kegiatan pertambangan diatur dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih merinci pelaksanaan dari Undang-undang ini diturunkan kembali dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satunya adalah PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut Pasal 34 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 : Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

B.

PENGGOLONGAN PERTAMBANGAN

KOMODITAS

TAMBANG

DAN

USAHA

Menurut Pasal 34 Undang-Undang No 4 Tahun 2009, usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral b. pertambangan batubara Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 mengatur di dalam Pasal 2 ayat 2 bahwa pertambangan mineral dan batubara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang: a. mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya; b. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, 3

galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin; c. mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen; d. batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan e. batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut. Menurut Pasal 35 Undang-Undang No 4 Tahun 2009, usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk: a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) , pelaksanaannya diatur dalam BAB IV Pasal 6-46 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 b. Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pelaksanaannya diatur dalam BAB III Pasal 47-48 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 c. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pelaksanaannya diatur dalam BAB IV Pasal 49-73 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010

C.

MEKANISME PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan didasarkan pada Peraturan Pemerintah No 23

Tahun 2010 tentang Mineral dan Batubara. IUP diberikan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya. IUP diberikan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: Badan usaha (dapat berupa badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD); Koperasi; Perseorangan (dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer) Menurut Pasal 7 IUP diberikan melalui tahapan: 1. Pemberian WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) 2. Pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan) Pemberian WIUP I. Pertambangan Mineral Logam

Mengenai pertambangan mineral logam, WIUP diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi mineral logam WIUP diberikan dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan paling banyak 100.000 hektare. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam, dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda, setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Sementara, untuk pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 hektare. Oleh karena pembahasan mengenai IUP untuk semua jenis pertambangan sangatlah banyak dan beragam, maka akan dijelaskan lebih detail hanya mengenai Izin Usaha Pertambangan jenis bukan logam, lebih spesifik lagi jenis batuan dikakrenakan untuk wilayah DI. Yogyakarta sendiri mayoritas jenis pertambangan yang ada adalah pertambangan batuan. 5

II.

Pertambangan Mineral Bukan Logam/Batuan

Untuk pertambangan mineral bukan logam, WIUP diberikan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin. Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 hektare dan paling banyak 25.000 hektare. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda, setelah mempertimbangkan pendapat pemegang IUP pertama. Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 hektare. Dalam Pasal 8 ayat (4) Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan logam dan batuan diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah. Untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam atau batuan, badan usaha, koperasi, atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah kepada: a. Menteri, untuk permohonan WIUP yang berada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; b. Gubernur, untuk permohonan WIUP yang berada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; dan c. Bupati/ Walikota, untuk permohonan WIUP yang berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. Sebelum memberikan WIUP mineral bukan logam atau batuan, Menteri harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari gubernur dan bupati/walikota; gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari bupati/walikota, sedangkan Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasidalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi. Permohonan WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 10 6

(sepuluh) hari kerja setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP yang diajukan. Jika Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan Keputusan menerima maka akan disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Jika Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan Keputusan menolak maka harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan Pemberian IUP Berdasarkan Pasal 22, IUP terdiri atas: a. IUP Eksplorasi, yaitu izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. b. IUP Operasi Produksi, yaitu izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. IUP Eksplorasi IUP Eksplorasi diberikan oleh: a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; b. Gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil da-lri garis pantai; dan c. Bupati/walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan. meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Menteri menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang 7 IUP Eksplorasi

diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada gubernur dan bupati/ walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan/atau batuan. Gubernur menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan/atau batuan. Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan. Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Permohonan wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan. Apabila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau milik pemerintah daerah. Dalam hal badan usaha, koperasi, atau perseorangan telah dianggap mengundurkan diri maka WIUP menjadi wilayah terbuka. Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya. IUP Operasi Produksi IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan. 8

IUP Operasi Produksi diberikan oleh: a. Bupati/walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai; b. Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 (satu) provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari bupati/walikota; atau c. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan berada di dalam wilayah yang berbeda serta kepemilikannya juga berbeda maka IUP Operasi Produksi masing-masing diberikan oleh Menteri,gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal berdasarkan hasil dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang berdampak lingkungan pada: a. Satu kabupaten/kota, IUP Operasi Produksi diberikan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi dari Menteri dan gubernur; b. Lintas kabupaten/kota, IUP Operasi Produksi diberikan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dari bupati/walikota; atau c. Lintas provinsi, IUP Operasi Produksi diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi dari bupati/walikota dan gubernur. Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya.

D. PERSYARATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: a. Administratif; b. Teknis; c. Lingkungan; dan d. Finansial. Persyaratan administratif Untuk badan usaha meliputi:

1. Surat permohonan; 2. Profil badan usaha; 3. Akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. Nomor pokok wajib pajak; 5. Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 6. Surat keterangan domisili. Untuk koperasi meliputi:

1. Surat permohonan; 2. Profil koperasi; 3. Akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. Nomor pokok wajib pajak; 5. Susunan pengurus; dan 6. Surat keterangan domisili. Untuk orang perseorangan meliputi:

1. Surat permohonan; 10

2. Kartu tanda penduduk; 3. Nomor pokok wajib pajak; dan 4. Surat keterangan domisili. Untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:

1. Surat permohonan; 2. Profil perusahaan; 3. Akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan; 4. Nomor pokok wajib pajak; 5. Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 6. Surat keterangan domisili. Persyaratan teknis a. IUP Eksplorasi, meliputi: 1. Daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun; 2. Peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional. b. IUP Operasi Produksi, meliputi: 1. nasional; 2. 3. 4. 5. 6. 7. Laporan lengkap eksplorasi; Laporan studi kelayakan; Rencana reklamasi dan pascatambang; Rencana kerja dan anggaran biaya; Rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan Tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun. 11 Peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara

Persyaratan lingkungan a. Untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. Untuk IUP Operasi Produksi meliputi: 1. Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan 2. Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan finansial a. IUP Eksplorasi, meliputi: 1. Bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; dan 2. Bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah. b. IUP Operasi Produksi, meliputi: 1. Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; 2. Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan 3. Bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengannilai penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah berakhir. Perpanjangan IUP Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum berakhirnya IUP. Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan 2 kali dan harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi dan menyampaikan keberadaan potensi dan cadangan mineral batuan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

12

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menolak permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik

E.

PELANGGARAN DALAM IZIN USAHA PERTAMBANGAN Ketentuan pidana pelanggaran ketentuan dalam UU No 4 Tahun 2009 : a) Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). b) Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) c) Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat-syarat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). d) Setiap orang yang rnengeluarkan IUP yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sanksi Administratif Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif' kepada pemegang IUP atas pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini berupa: peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, atau pencabutan IUP. Semoga pembahasan tata cara pemberian IUP serta ketentuan pidana dan sanksi administratif dalam kegiatan pertambangan batuan ini dapat memberikan gambaran dan mendorong pelaksanaan kegiatan pertambangan yang baik dan benar serta penerapan penegakan hukum sehingga dapat mengurangi dampak 13

negatif pertambangan dan meningkatkan dampak positif melalui penyerapan tenaga kerja, penyediaan bahan baku pembangunan infrastruktur, pendapatan asli daerah, serta penggerak kegiatan perekonomian di sekitar lokasi pertambangan. REALITA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DI DAERAH SLEMAN Potensi pertambangan di wilayah Provinsi DI.Yogyakarta mayoritas adalah

pertambangan dengan jenis galian batuan. Dahulu pertambangan batuan disebut juga pertambangan bahan galian golongan C, akan tetapi seiring dengan lahirnya PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, penyebutan golongan C tidak lagi tepat. Banyaknya produk hukum baru yang bermunculan di bidang pertambangan tidak serta merta diikuti dengan pembaharuan oleh pemerintah daerah. Masih banyak peraturan daerah yang belum sejalan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang baru di tingkat nasional. Contohnya di wilayah D.I. Yogyakarta sendiri; karena ada Undang-Undang baru tentang pertambangan mineral dan batuan, yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 2009, harus ada penetapan wilayah pertambangan untuk setiap daerah. Dan untuk menetapkan wilayah pertambangan, harus dengan persetujuan pemerintah pusat. Di wilayah Kabupaten Sleman, wilayah pertambangan belum disetujui oleh pemerintah pusat. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pada akhir tahun 2010 terjadi erupsi merapi yang cukup dahsyat. Hal itu mengakibatkan tersumbat-nya aliran-aliran sungai oleh material vulkanik seperti pasir dan batuan. Karena sungai tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, ancaman banjir lahar dingin ketika musim penghujan menjadi lebih besar. Pemerintah Kabupaten Sleman harus berpikir keras untuk mengatasi hal itu. Jika dilakukan pertambangan atas pasir dan batuan karena erupsi merapi tersebut, tentu itu melanggar peraturan. Karena berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 2009, bahwa sebelum dilakukan pertambangan, suatu daerah harus mempunyai Wilayah Pertambangan. Daerah Sleman sendiri belum mempunyai Wilayah Pertambangan, karena Wilayah Pertambangan harus disetujui oleh pemerintah pusat, dan sampai saat ini wilayah pertambangan yang diajukan oleh pemerintah kabupaten Sleman belum disetujui oleh 14

pemerintah pusat. Ketika dilakukan pertambangan atas batuan dan pasir yang menyumbat sungai karena erupsi merapi, tentu Pemerintah Sleman akan melanggar Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009. Namun jika hal itu tidak dilakukan, maka akan menyebabkan kerugian yang lebih besar jika banjir lahar dingin terjadi. Berdasarkan SK Bupati nomor 356/Kep.KDH/A/2010 tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Gunung Merapi, dalam rangka untuk normalisasi sungai, pertambangan atas pasir dan batuan hasil erupsi merapi diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini merupakan langkah terobosan yang diambil oleh pemerintah kabupaten Sleman dalam rangka melakukan normalisasi sungai, meskipun wilayah pertambangan di Sleman belum disetujui oleh pemerintah pusat. Normalisasi Sungai ini dilakukan mulai dari Gendol Dam (GOD) VII di Padukuhan Jambu, Desa Kepuharjo; Padukuhan Srunen, desa Glaghaharjo; Kecamatan Cangkringan Ke Arah Hilir, sampai dengan tempuram Aliran Sungai Opak di Padukuhan Krebet, Desa Binomartani, Kecamatan Ngemplak. Aliran Sungai Opak mulai dari Padukuhan petung Lor, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan kea rah Hilir hinggs kecamatan Berbah. Aliran sungai Boyong mulai dari Boyong Dam (BOD) VII di Padukuhan Ngepring, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem sampai dengan batas wilayah Kota Yogyakarta. Aliran Sungai Krasak mulai dari Padukuhan Tunggularum, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi ke arah hilir sampai dengan Desa Banyurejo, kecamatan Tempel. Aliran sungai Kuning ke arah hilir sampai dengan batas wilayah Kabupaten Bantul. Normalisasi sungai tersebut dilakukan dengan memperhatikan kondisi deposit pasir dan batu di jalur sungai masing-masing. Pengambilan material deposit dan batu dilakukan hanya dilakukan untuk material pasir dan batu hasil erupsi merapi yang mengganggu aliran sungai. Normalisasi tidak mengubah kondisi sungai dan tidak merusak lingkungan sekitar. Untuk ketentuan kapasitas muat kendaraan maksimal 4 meter kubik atau 6 ton dengan ketentuan jam kerja antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00 WIB. Kegiatan normalisasi dilakukan dengan mengutamakan warga masyarakat setempat atau kelompok warga setempat. Kepala desa pada lokasi normalisasi sungai bertanggung jawab dan bertindak selaku coordinator dalam pelaksanaan kegiatan normalisasi dan pengadministrasian Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian golongan C. Jangka 15

waktu normalisasi sungai dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi aliran sungai. Jadi meskipun Wilayah Pertambangan untuk Kabupaten Sleman belum disetujui oleh Pemerintah Pusat, pertambangan atas pasir dan batuan hasil erupsi tetap boleh dilakukan dengan tujuan normalisasi fungsi sungai agar berfungsi sepeti sediakala. Pengaturan dan tata ruang wilayah terkait pertambangan ini menjadi penting karena hal tersebut yang menjadi dasar dan landasan untuk dilakukannya pertambangan di setiap daerah. Berikut ini adalah data perbandingan peraturan daerah Daerah Istimewa Yogyakarta tentang tata ruang dan wilayah, yang karena perbedaannya kemudian sedikit banyak berimplikasi pada masyarakat.

HASIL PERBANDINGAN PERDA NO 2 TAHUN 2010 DENGAN RAPERDA DIY TENTANG RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH (RTRW) DIY PENGHILANGAN PASAL RAPERDA PERDA Pasal 1 ayat 13Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah bagian dari Wilayah Pertambangan Dihilangkan tempat dilakukan kegiatan pertambangan rakyat. Pasal 11, Pasal 37, Pasal 39, pasal 55, Pasal 102, Dihilangkan ukuran skala peta Pasal 39 (kelanjutan Dihilangkan pembagian kawasan pasal 38)Dalam hal terdapat potensi sumber daya mineral yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ditetapkan sebagai wilayah pertambangan (wilayah usaha pertambangan dan wilayah pertambangan DAMPAK BAGI MASYARAKAT

Masyarakat tidak dapat melakukan kegiatan pertambangan.

Tidak ada, pasal itu hanya bersifat informatif. Arahan untuk pengelolaan kawasan agar sesuai dengan kepentingan lingkungan dan sosial tidak ada.

16

rakyat), maka untuk mengoptimalkan pemanfaatan pada kawasan lindung bawahan , kawasan lindung setempat, kawasan rawan bencana alam, kawasan pertanian , kawasan pariwisata, kawasan permukiman, kawasan peruntukan industri serta kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menghindari perubahan fungsi kawasan tersebut di atas, diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 115Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui penetapan pengaturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Dihilangkan

Tidak ada, kata pedoman bagi pengaturan ruang diganti dengan arahan pengaturan ruang. Pada bagian ini terjadi perubahan berupa: penambahan pasal berikut bunyi kalimat dari pasal-pasalnya. Semula Bab VII hanya memuat 4 pasal, lalu berubah menjadi 29, secara substansi mengatur tata cara di tingkat Propinsi, bukan substansi kepentingan agenda pembangunan/peruntukan wilayah. DAMPAK BAGI MASYARAKAT 1. Kawasan budidaya menjadi kawasan industri, termasuk di dalamnya industri pertambangan dan kehutanan. 2. Sektor pertambangan dan kehutanan 17

PERUBAHAN BUNYI PASAL RAPERDA PERDA Semula pasal 38 ayatPasal 36 ayat 3Kawasan budidaya 3:Kawasan budidayasebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana dimaksudterdiri atas: pada ayat (2) terdiri atas: 1. Kawasan peruntukan hutan 1. Kawasan produksi pertanian 2. Kawasan pertanian 2. Kawasan 3. Kawasan Pertambangan Pariwisata 4. Kawasan peruntukan industri

3. Kawasan Permukiman 4. Kawasan peruntukan industri 5. Kawasan Pendidikan Tinggi 6. Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau kecil

5. Kawasan pariwisata 6. Kawasan peruntukan Permukiman 7. Kawasan Pendidikan Tinggi 8. Kawasan Pesisir dan Pulaupulau kecil 9. Kawasan Kepolisian Militer dan

produksi mempunyai legitimasi hukum untuk dilaksanakan. 3. Konflik berbasis tanah dengan masyarakat setempat akan bertambah.

7. Kawasan Militer dan Kepolisian Semula Pasal 42Arahan Pasal 39Arahan penetapan kawasan penetapan kawasan lindung bawahan sebagaimana lindung bawahan dimaksud di dalam Pasal 37 sebagai sebagaimana dimaksud di berikut: dalam Pasal 38 ayat (2) 1. Penetapan hutan lindung seluas huruf a sebagai berikut: 2.312,8000 ha di: 1. Penetapan hutan 1. Kabupaten Bantul lindung di: terletak di Kecamatan Dlingo dan Kecamatan Imogiri seluas 1. Kabupaten 1.041,2000 ha Sleman terdiri 2. Kabupaten Kulon Progo atas: hutan di terletak di Kecamatan Kecamatan Turi, Kokap seluas 254, 9000 Pakem, dan ha, dan Cangkringan. 3. Kabupaten 2. Kabupaten Bantul Gunungkidul terletak di terdiri atas: hutan Kecamatan di Kecamatan Karangmojo, Playen Imogiri, Kretek, dan Panggang seluas Piyungan, Pleret, 1.016,7000 ha. dan Pundong. 2. Penetapan hutan fungsi lindung 3. Kabupaten Kulon di: Progo terdiri atas: 1. Kabupaten Sleman hutan yaitu terletak di Kecamatan Kecamatan Tempel Kokap, Pengasih, 2. Kabupaten Bantul dan terletak di Kecamatan 4. Kabupaten Dlingo, Gunungkidul 3. Kecamatan Kulon terdiri atas: zone Progo terletak di Batuagung Kecamatan Girimulyo, meliputi Kalibawang, Kecamatan

1. Kawasan yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung /fungsi lindung akan diubah menjadi hutan produksi. Terutama di Kabupaten Sleman. 2. Kawasan resapan air berkurang karena untuk industri kehutanan, menambah kawasan rawan bencana, terutama longsor, banjir, dan kekurangan air (cekaman air) di DAS Code, DAS Progo, dan DAS Opak. 3. Pasal ini akan bertentangan dengan Pasal 52-54 yang mengatur peruntukan kawasan hutan produksi, dan pasal 58-60 untuk peruntukan kawasan pertambangan.

18

5.

6.

7.

8.

Karangmojo, Nglipar, Patuk, dan zone Gunungsewu meliputi Kecamatan Panggang, Playen, Paliyan. Kabupaten Sleman terdiri atas: hutan di Kecamatan Tempel Kabupaten Bantul terdiri atas: hutan di Kecamatan Dlingo. Kabupaten Kulon Progo terdiri atas: hutan yaitu di Kecamatan Girimulyo, Kalibawang, Samigaluh, dan Temon, dan. Kabupaten Gunungkidul terdiri atas: zone Baturagung meliputi Kecamatan Gedangsari, Ngawen, dan Semin, dan Zone Gunungsewu meliputi Kecamatan Ponjong, Purwosari, dan Rongkop.

Samigaluh, dan Temon. 4. Kabupaten Gunungkidul terletak di Kecamatan Gedangsari, Ngawen, dan Semin, dan zone Gunungsewu di Kecamatan Ponjong, Purwosari, dan Rongkop. 3. Penetapan kawasan resapan air di wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul.

1. Penetapan hutan fungsi lindung di: 1. Penetapan kawasan resapan 19

air di semua wilayah Kabupaten kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten gunungkidul. BAB V Penetapan danBAB V Penetapan Kawasan Pengelolaan KawasanStrategisBagian I Penetapan Kawasan StrategisBagian Strategis Pasal 97Kawasan strategis di pertamaPenetapan Daerah meliputi: Kawasan Strategis 1. Kawasan strategis pertumbuhan ekonomi 2. Kawasan strategis pelestarian Pasal 95 sosial budaya 3. Kawasan strategis Kawasan strategis di pendayagunaan sumberdaya Daerah meliputi: alam dan /atau teknologi tinggi 4. Kawasan strategis lindung dan 1. Kawasan budidaya dan strategis pertahanan dan 5. Kawasan strategisPenghilangan kawasan keamanan pengembagan pesisir danstrategis dan keamanan negara pengolahan hasil laut negara membuka peluang 2. Kawasan strategis bagi tindak kejahatan pertumbuhan internasional oleh pihak ekonomi asing, terutama di kawasan 3. Kawasan strategis perbatasan wilayah pelestarian sosial internasional (Laut Selatan). budaya 4. Kawasan strategis pendayagunaan sumber daya alam dan /atau teknologi tinggi. 5. Kawasan strategis lindung dan budidaya 6. Kawasan strategis pengembangan pesisir dan pengelolaan hasil laut. PENAMBAHAN PASAL RAPERDA PERDA

DAMPAK MASYARAKAT

BAGI

20

Semula tidak ada

Semula tidak ada

Semula tidak ada

Semula tidak ada

Semula tidak ada

Pasal 1 ayat 22Kawasan Andalan1) Arahan pemanfaatan adalah bagian dari kawasan budidaya ,ruang bertentangan dengan baik di ruang darat maupun di ruangpasal 39 RAPERDA, 2) laut yang pengembangannya diarahkanPerubahan fungsi kawasan untuk mendorong pertumbuhanbertujuan untuk pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut danekonomi, 3) Proyek-proyek kawasan sekitarnya. industri yang eksploitatif dapat diselenggarakan, misal: pertambangan, pabrik industri berat, dll. Pasal 1 ayat 27Kawasan HutanAda perubahan penetapan Produksi adalah kawasan hutan yangfungsi kawasan untuk hutan mempunyai fungsi pokokproduksi dari semula berupa memproduksi hasil hutan. hutan lindung, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat. Deforestrasi (pengurangan hutan) oleh pemerintah-swasta berpotensi terjadi. Pasal 1 ayat 41Masyarakat adalahKepentingan masyarakat orang perseorangan , kelompok orangdapat diwakili oleh korporasi termasuk masyarakat hukum adat,(perusahaan) dan LSM, jika korporasi dan/atau pemangkumasyarakat sipil tidak terlibat kepentiingan non pemerintah laindalam mengawal penataan dalam penyelenggaraan tata ruang. ruang dan wilayah. Pasal 1 ayat 42Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan tata ruangIdem ,pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bagian III, Pola Ruang KawasanKonflik sosial dengan Budidaya Paragraf 1, Pasal masyarakat desa hutan akan 52:Kawasan peruntukan hutanmeningkat dalam jumlah dan produksiPasal 52 kualitas. Kebijakan pengembangan kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (3) huruf a sebagai berikut: 1. Melestarikan kawasan hutan produksi sebagai kawasan hutan yang berkelanjutan untuk mendukung kebutuhan papan, energy, dan pangan. 21

2. Mengembangkan hutan produksi untuk diversifikasi hutan kayu dan non kayu untuk menciptakan peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 3. Mengoptimalkan produktifitas kawasan hutan produksi. 4. Mempertahankan fungsi kawasan hutan dan 5. Memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan RRTR. Pasal 53Strategi untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ditetapkan sebagai Terjadi konversi (peralihan) berikut: fungsi kawasan non hutan 1. Mempertahankan dan produksi menjadi hutan meningkatkan luasan kawasan produksi di daerah-daerah hutan produksi, dan bersumberdaya hutan. 2. Meningkatkan prasarana dan sarana pendukung. Pasal 54Arahan penetapan peruntukanFungsi resapan air di dataran hutan produksi sebagaimana dimaksudtinggi di kedua kabupaten itu di dalam pasal 52 adalah sebagaiberkurang, untuk Kabupaten berikut: Kulon Progo: berpotensi 1. Kawasan hutan produksi dimenimbulkan banjir di Kabupaten Gunungkidul seluasdaerah selatan atau longsor di 12.810, 1000 ha dan kawasan yang bersangkutan, untuk kabupaten berpotensi 2. Kawasan hutan produksiGunungkidul kabupaten Kulon Progo seluasuntuk terjadi pengurangan sumber daya air. 601,6000 ha. Bagian III, Pola Ruang KawasanIndustri pertambangan Budidaya, Paragraf 3, Pasalmempunyai legitimasi untuk 58Kawasan Peruntukandilaksanakan. pertambanganKebijakan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (3) huruf c memanfaatkan potensi sumber daya mineral, batu bara, dan panas bumi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mencegah dampak negative terhadap 22

Semula tidak ada

Semula tidak ada

Semula tidak ada

lingkungan. Pasal 59Strategi untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 sebagai berikut: 1. Mengoptimalkan kawasan peruntukan pertambangan 2. Menghindari perubahan fungsi lahan 3. Mengembangkan pengelolaan kawasan dengan potensi sumber daya mineral, batu bara, dan panas bumi secara optimal dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.

Semula tidak ada

1. Tidak ada pertambangan yang tidak mengubah bentuk dan fungsi lahan, secara redaksional sudah bertentangan dengan huruf b pasal 59. Peralihan fungsi kawasan non pertambangan menjadi pertambangan akan terjadi. 2. Beban pecemaran di daerah hilir sungai akan meningkat, terutama logam berat. Pencemaran udara karena gas-gas pemicu hujan asam akan meningkat. 3. Daya dukung (potensi ekonomi) lingkungan lebih diperhaikan daripada daya tampung (kemampuan lingkungan untuk mengolah bahan pencemar). Penangungjawab risiko lingkungan tidak jelas. 1. Peralihan fungsi kawasan lindung, pemukiman pedesaan, pertanian, pesisir, menjadi pertambangan. Konflik sosial akan bertambah. 2. Beban pencemaran meningkat, terutama 23

Semula tidak ada

Pasal 60Arahan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud di dalam pasl 58 sebagai berikut:(1) Kegiatan pemanfaatan sumberdaya mineral batu bara dan panas bumi dapat dilakukan di : 1. kawasan lindung bawahan, kawasan lindung setempat, dan kawasan rawan bencana alam,

dan 2. kawasan pertanian, kawasan pariwisata, kawasan permukiman perdesaan, kawasan industri, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Penetapan kawasan peruntukan pertambangan di: 1. Kabupaten Gunungkidul untuk pertambangan batu kapur di kecamatan Ponjong, Panggang, dan untuk pertambangan kaolin di kecamatan Semin. 2. Kabupaten Kulon Progo yaitu: 1) Perbukitan Menoreh untuk pertambangan emas di Kecamatan Kokap, mangaan di Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, Pengasih, dan 2) Kawasan pesisir pantai selatan untuk pertambangan pasir besi, di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur. di hilir Sungai Progo akibat pertambangan emas. 3. Fungsi kawasankawasan penyangga (rawan bencana dan lindung) justru dijadikan kawasan pertambangan, secara ekologis menyalahi kaidah. 1. Bertentangan dengan pasal 58, 59 b, 38 a, 41a, 50, 74, 81 (1) (2) (4), 124 (1) c (2), 125 (1) (3) Perda DIY no 2 /2010.

Semula tidak ada

1. Kabupaten Sleman untuk pertambangan pasir di Kecamatan Pakem dan Minggir. Bagian IV Kawasan andalan Pasal 79 Kawasan andalan 1. Kawasan budidaya yangmenitikberatkan pada memiliki nilai strategiskepentingan ekonomi nasional meliputi kawasandaripada kepentingan sosial Yogyakarta dan sekitarnyadan lingkungan. merupakankawasan andalan. Ketidakjelasan zonasi 2. Kawasan sebagaimanakawasan andalan akan dimaksud pada ayat (1)mengancam stabilitas meliputi sebagian wilayahbudidaya yang sudah kabupaten Sleman, Bantul,berjalan ketika eksploitasi Kulon Progo, Gunungkidul,akan ditingkatkan untuk dan Kota Yogyakarta. target-target pertumbuhan. 3. Sektor unggulan kawasan 24

andalan sebagaimana dimaksud pada huruf (1) adalah pariwisata, pertanian, industri, dan perikanan. PENAMBAHAN PASAL dengan PERUBAHAN DAMPAK BAGI REDAKSIONAL (BUNYI KALIMAT) MASYARAKAT RAPERDA PERDA BAB VII PengendalianUmumPasal 114(1) Arahan Pemanfaatan RuangPasalpengendalian pemanfaatan ruang 115Pengendalian wilayah provinsi digunakan sebagai pemanfaatan ruangacuan dalam pengendalian diselenggarakan melaluipemanfaatan ruang wilayah propinsi. penetapan pengaturan zonasi, perijinan,(2) Arahan pengendalian pemberian insentif danpemanfaatan ruang terdiri atas: Tidak ada pengaruh yang disinsentif, serta penting. pengenaan sanksi. 1. Indikasi arahan peraturan zonasi system provinsi 2. Arahan perizinan 3. Arahan pemberian insentif dan disinsentif dan 4. Arahan sanksi Pasal 116(1) (Hanya dimuat sesuai kebutuhanRAPERDA:Tidak Pengaturan zonasimasyarakat pesisir)Pasal 124 Indikasiberpengaruh yang penting sebagaimana dimaksudarahan peraturan zonasi kawasankarena hanya memuat dalam pasal 115 sebagailindung Propinsi sebagaimanapedoman zonasi.PERDA: pedoman pengendaliandimaksud Pasal 115 ayat (2) huruf fBertentangan dengan pemanfaatan ruang.(2) meliputi:(1) Peraturan sonasikepentingan untuk Pengaturan zonasikawasan lindung disusun denganpertambangan/kehutanan disusun berdasar RTRWPmemperhatikan: produksi yang akan dibuka DIY dalam bentuk 1. Pemanfaatan ruang untukdi kawasan lindung. rencana rinci tata ruang. wisata alam tanpa mengubah betang alam. 2. Ketentuan pelarangan seluruh (3) Rencana rinci kegiatan yang berpotensi sebagaimana dimaksud mengurangi luas kawasan pada ayat (2) meliputi: hutan dan tutupan vegetasi, dan 3. Pemanfaatan ruang kawasan 1. Rencana Rinci untuk kegiatan budi daya hanya Tata Ruang diizinkan bagi penduduk asli Kawasan dengan luasan tetap , tidak Perkotaan mengurangi fungsi lindung 2. Rencana Rinci kawasan, dan di bawah tata Ruang Kawasan Lindung 25

dan Kawasan pengawasan ketat. Budidaya 3. Rencana Rinci(2) Peraturan zonasi untuk kawasan Tata Ruangresapan air disusun dengan Kawasan Strategismemperhatikan: Propinsi. 1. Pemanfaatan secara terbatas (4) Pengaturan zonasi untuk kegiatan budidaya tidak sebagaimana dimaksud terbangun yang memiliki pada ayat (1) meliputi kemampuan tinggi dalam pemanfaatan yang harus menahan limpasan air hujan. ada, kegiatan 2. Penyediaan sumur resapan pemanfaatan ruang yang dan/atau waduk pada lahan diizinkan, dan kegiatan terbangun yang sudah ada, dan pemanfaatan ruang yang tidak diizinkan. 3. Penerapan prinsip zero delta Q terhadap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. Pasal 117(1) SetiapPasal 125(1) Peraturan zonasi untukRAPERDA:Perizinan orang yang akansempadan pantai disusun denganpemanfaatan ruang TIDAK memanfaatkan ruangmemperhatikan, SAMA DENGAN izin wajib memiliki izin 1. pemanfaatan ruang untuk ruanglingkungan, jadi masih pemanfaatan ruang(2) terbuka hijau berorientasi kepentingan Izin sebagaimana 2. pengembangan struktur alamiekonomi.PERDA: dimaksud pada ayat (1) dan struktur buatan untuk diajukan kepada mencegah abrasi Apabila Pertambangan Gubernur melalui Kepala 3. pendirian bangunan yangdilakukan di kawasan Dinas dibatasi hanya untuksempadan pantai maka akan menunjang kegiatan rekreasimengancam ruang terbuka pantai (3) Izin pemanfaatan hijau, berpotensi abrasi, 4. ketentuan pelarangan pendirianmenurunkan ruang terdiri atas: luas, bangunan selain yangmenurunkan nilai ekologis dimaksud pada huruf c, dan (jasa lingkungan) dan 1. Izin lokasi yang 5. ketentuan pelarangan semuakeindahan pantai. menyangkut jenis kegiatan yang dapat fungsi ruang menurunkan luas, nilaiProses panjang masyarakat 2. Amplop ruang ekologis, dan estetika pantai. menemukan mencakup pengelolaan koefisien dasar sumber daya alam dan ruang hijau,(2) Peraturan zonasi untuk sempadanlingkungan yang arif secara koefisien dasarsungai, kawasan sekitar waduk,ekologi dan mantap secara embung, telaga dan laguna disusunekonomi diabaikan. bangunan, koefisien lantaidengan memperhatikan; bangunan, dan garus sempadan 1. Pemanfaatan ruang untuk ruang bangunan, dan terbuka hijau 26

3. Kualitas ruang merupakan kondisi ruang yang harus dicapai setelah dimanfaatkan (kondisi udara, tanah, air, hidrologi, flora, dan fauna).

(4) Setiap orang yang telah memiliki izin pemanfaatan Ruang(3) Peraturan zonasi untuk sempadan dalam pelaksanaanmata air disusun dengan pemanfaatan ruang harusmemperhatikan; sesuai dengan izinnya. 1. Pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau, dan

2. Ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air. 3. Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi, dan 4. Penetapan lebar garis sempadan sesuai dengan ketenntuan peraturan perundangan.

2. Pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air. Pasal 118(1) SetiapPasal 130Peraturan zonasi untukPertimbangan ekonomi orang yang melaksanakankawasan peruntukan pertambanganmenjadi ukuran utama kegiatan memanfaatkandisusun dengan memperhatikan, daripada sosial dan ekologi. ruang sejalan dengan 1. Pengaturan kawasan tambangPertambangan di kawasan RTRWP DIY dapat dengan memperhatikanpesisir tidak dibandingkan diberikan insentif.(2) keseimbangan antara biaya dandengan manfaat ekonomi, Setiap orang yang manfaat serta keseimbangansosial, budaya dan hankam melaksanakan kegiatan antara risiko dan manfaat, dan kawasan jika tidak memanfaatkan ruang ditambang tidak sejalan dengan 2. Pengaturan bangunan lainsamasekali.Kepentingan RTRWP DIY dapat tidak mewakili disekitar instalasi dandaerah diberikan disinsentif. masyarakat peralatan kegiatankepentingan pertambangan yang berpotensiterdampak, tetapi ambisi politik jangka (3) Insentif menimbulkan bahaya denganekonomi sebagaimana dmaksud memperhatikan kepentinganpendek. dalam ayat (1) diberikan daerah. dalam bentuk: (4) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk: 27

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Oleh karena dalam pembahasan ini terdapat hal mengenai pertambangan rakyat, maka akan dijelaskan hal-hal mengenai izin pertambangan rakyat secara singkat, mencakup persyaratan dan mekanisme perolehan izin. IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT (IPR) IPR adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. IPR diberikan oleh Kepala daerah berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penduduk setempat, baik orang perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis dan persyaratan finansial. Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada perseorangan paling banyak 1 (satu) hectare, kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hectare, dan koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare. Kewenangan penerbitan IPR adalah kewenangan Kepala Daerah yang dapat dilimpahkan kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab di bidang pertambangan atau pejabat yang bertanggungjawab dalam Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pejabat yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu harus berkoordinasi dengan Dinas yang bertanggungjawab di bidang pertambangan setempat dalam penerbitan IUP dan IPR. Kegiatan penyelenggaraan perizinan dilakukan secara terpadu oleh KP2T yang proses pengelolaannya mulai tahap permohonan sampai tahap terbitnya dokumen izin dalam satu pintu dan satu tempat. KP2T menyelenggarakan proses administrasi dan Dinas yang 28

menangani Bidang Pertambangan menyelenggarakan proses penilaian/evaluasi teknis melalui Tim Teknis. Apabila persyaratan administrasi dan teknis telah diterpenuhi, maka Kepala KP2T berdasarkan kewenangannya menerbitkan IPR. Persyaratan 1. Persyaratan Administratif (Perorangan, Kelompok Masyarakat dan Koperasi) 1. Surat Permohonan IPR yang ditujukan kepada Bupati Pinrang cq. Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dengan materai secukupnya ; 2. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik, penanggungjawab atau pengurus; 3. Rekomendasi dari Kepala Desa/Lurah diketahu Camat setempat ; 4. Surat Pernyataan tidak keberatan tetangga ; 5. Akta pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang ; 6. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ; 7. Foto berwarna 3x4 cm 3(tiga) lembar. 2. Persyaratan Teknis 1. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter; 2. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 (duapuluh lima)horse power untuk 1 (satu) IPR; dan 3. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak. 3. Persyaratan Finansial Laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat.

29

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Pengertian dan Pengaturan Pengertian Pertambangan menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 (UU Minerba): Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang Izin Usaha Pertambangan diatur dalam UU Minerba, mengenai tekhnis pemberian Izin Usaha Pertambangan selanjutnya diatur lebih spesifik dalam PP No 23 Tahun 2010. Izin Usaha Pertambangan dilakukan dengan cara permohonan wilayah. Permohonan wilayah maksudnya adalah setiap pihak badan usaha, koperasi atau perseorangan yang ingin memiliki IUP harus menyampaikan permohonan kepada Menteri, gubernur atau bupati walikota sesuai kewenangannya. Penggolongan Jenis Usaha Pertambangan Usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral b. pertambangan batubara Pertambangan mineral dan batubara dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang: a. b. c. d. e. mineral radioaktif mineral logam mineral bukan logam batuan batubara 30

Usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk: a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) , pelaksanaannya diatur dalam BAB IV Pasal 6-46 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 d. Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pelaksanaannya diatur dalam BAB III Pasal 47-48 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 e. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pelaksanaannya diatur dalam BAB IV Pasal 49-73 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Mekanisme Izin Usaha Pertambangan (Jenis Batuan) IUP diberikan melalui 2 tahapan yaitu: Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) I. Mengenai Pemberian WIUP batuan 1. Badan usaha, koperasi atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah untuk mendapatkan WIUP batuan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya 2. Sebelum memberikan WIUP, Menteri harus mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota dan oleh gubernur harus mendapat rekomendasi dari bupati/walikota 3. Permohonan WIUP yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP 4. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam paling lama 10 hari kerja setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP 5. Keputusan menerima disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. Keputusan menolak harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan.

31

Persyaratan IUP Batuan 1. IUP terdiri atas : IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi 2.Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: administratif, teknis, lingkungan dan finansial II.a Pemberian IUP Eksplorasi batuan 1. IUP Eksplorasi diberikan oleh : a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai b. gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 provinsi atau wilayah laut 4 - 12 mil dari garis pantai c. bupati/walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai 2. IUP Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan 3. Menteri atau guberrnur menyampaikan penerbitan peta WIUP batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada gubernur atau bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi. Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi paling lama 5 hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral batuan 4. Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat dalam waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan wajib memenuhi persyaratan 5. Bila badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam waktu 5 hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau pemerintah daerah dan WIUP menjadi wilayah terbuka II.b Pemberian IUP Operasi Produksi batuan 1. IUP Operasi Produksi diberikan oleh : a. bupati/walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 mil dari garis pantai b. gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 provinsi atau 32

wilayah laut sampai dengan 12 mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari bupati/walikota c. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat 2. IUP Operasi Produksi diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi yang memenuhi persyaratan dimana pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi 3. Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota untuk menunjang usaha pertambangannya 4. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah pada WIUP 5. Bila pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP Operasi Produksi memperoleh keutamaan mengusahakannya dengan membentuk badan usaha baru.

B.

SARAN Dalam rangka mewujudkan pertambangan yang mensejahterakan rakyat, peraturan

terkait di bidang pertambangan perlu untuk disinkronisasikan satu sama lain. Kemunculan produk hukum di bidang pertambangan yang baru perlu segera disosialisasikan ke daerahdaerah dan diatur bagaimana proses pengubahan dari proses perolehan perizinan pertambangan yang sebelumnya berupa kontrak karya (untuk jenis-jenis pertambangan tertentu) menjadi izin usaha pertambangan. Kurang memadainya ilmu pengetahuan aparat pemerintah di daerah disebabkan karena kurangnya bimbingan pemerintah pusat dalam memperhatikan perkembangan daerahnya. Apabila pengurusan izin pertambangan tidak dengan baik disosialisasikan dan berdampak pada kesalahan dalam realisasi atau bahkan tidak terealisasinya tujuan dari izin usaha pertambangan tersebut tentu saja akan mengakibatkan kerugian pada masyarakat dan pelaku usaha pertambangan di daerah.

33

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang No 4 Tahun 2009 (UU Minerba) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 Tahun 1982 Tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C

Website: www.hukumpertambangan.com

34

You might also like