You are on page 1of 33

SUNNI dan SYIAH

Disusun Oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Aris Hidayat . . . . . . (11650014) (116500xx) (116500xx) (116500xx) (116500xx) (116500xx) (116500xx)

TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2013
PENDAHULUAN
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syiah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negaranegara seperti Irak dan Lebanon. Syiah, syiah ini berbeda pendapatnya dengan aliran lain di antaranya dalam pendirian, bahwa penunjukan imam sesudah wafat Nabi di tentukan oleh Nabi sendiri dengan nash. Nabi tidak boleh melupakan nash itu terhadap pengangkatan khalifahnya, sehingga menyerahkan pekerjaan pengangkatan itu secara bebas kepada umatnya dan halayak ramai. Selanjutnya syi'ah berpendirian bahwa seseorang imam yang di angkat itu harus ma'sum atau terpelihara dari pada dosa besar atau dosa kecil, dan bahwa Nabi Muhammad dengan nash meninggalkan wasiatnya untuk mengangkat Ali bin Abi thalib menjadi khalifahnya, bukan orang lain, dan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabatnya yang pertama dan utama. Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syiah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syiah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syiah. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syiah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.

PEMBAHASAN I. SYIAH
A. Pengertian Syiah Syiah secara etimologi (kebahasaan) berarti pengikut, pendukung, pembela, pencinta, yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan kepada ide atau individu dan kelompok tertentu. 1 Sedangkan menurut Ahmad Al-Waili dan Abd al-Qadir Syaib al-Hamdi Guru Besar pada Universitas Islam Madinah, sebagaimana dikutip oleh Fadil, Syiah menurut bahasa adalah pengikut atau pembantu.2 Muhammad Husayn Thabathabai dalam bukunya Islam Syiah, menyebutkan bahwa Syiah adalah kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi saw. merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti mazhab Ahl al-Bayt.3 Muhammad Jawad Maghniyah, seorang ulama beraliran Syiah, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, memberikan definisi tentang kelompok Syiah, bahwa mereka adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah (pengganti) Beliau dengan menunjuk Imam Ali. Definisi ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413), seorang Sunni penganut aliran Asyariyah, yang menulis dalam bukunya at-Tarifat (defenisi-defenisi) bahwa: Syiah adalah mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra. dan percaya bahwa beliau adalah imam sesudah

M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 60. 2 Fadil SJ, Syiah Dalam Perspektif Sejarah: Dari Hadits al-Indzar Sampai Imamah , Jurnal STAIN Malang, No. 5 Tahun 1998, hlm. 80. 3 Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathabai, Islam Syiah: Asal-Usul dan Perkembangannya, diterjemahkan dari, Shiite Islam, penerjemah, Djohan Effendi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 32.

Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.4 Sedangkan dalam pandangan Abu Zahrah,5 bahwa Syiah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab mereka tampil pada akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Mereka mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Sehingga mereka mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Ketika keturunan Ali, yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa Bani Umayyah, rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang Ahl al-Bayt sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan demikian semakin meluaslah daerah mazhab Syiah dan pendukungnya semakin banyak. Dari berbagai pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Syiah adalah golongan yang lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari sahabat lainnya, yang percaya bahwa Ahl al-Bayt lebih berhak untuk memegang tampuk kekhalifahan sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw atas dasar wasiat dari Rasul dan kehendak dari Allah. Kemudian perlu diketahui bahwa di zaman Rasulullah syiah-syiah atau kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah, sehingga saat itu tidak ada lagi kelompok-kelompok atau syiah. Hal mana karena Rasulullah diutus untuk mempersatukan umat dan tidak diutus untuk membuat kelompok-kelompok. Allah berfirman : Ali Imran 103

M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah, hlm. 61. Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, penerj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Lpgos, 1996), hlm. 34.
5

Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. B. Sejarah Mazhab Syiah Sebagaimana dipahami dari pengertian Syiah di atas, bahwa kelompok Syiah adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib dan mereka percaya bahwa kepemimpinan setelah Nabi wafat adalah hak Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Dari sinilah bermulanya persoalan yang pada akhirnya menimbulkan suatu polemik yang panjang diantara umat. Ketika Nabi wafat, persoalan penggantian dipahami sebagai penggabungan kepemimpinan politik dan religius, suatu prinsip yang dikenal baik oleh orang Arab, meskipun tentu saja, dengan tingkat penekanan yang berbeda pada salah satu dari dua aspek ini. Bagi sebagian orang politik lebih diperhatikan dari pada religius, sedang bagi yang lain religius lebih diperhatikan ketimbang politik.6 Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syatu Al (pengikut Ali).

Sayyid H. Muhammad. Jafri, Origin And Early Development of Shia Islam (New York: Longman,1979). Terjemahan Indonesia oleh Meth Kieraha, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syiah dari Saqifah Sampai Imamah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 42.

Sebagaimana dijelaskan oleh Thabathabai dalam bukunya Islam Syiah, setelah Nabi wafat, para pengikut dan sahabat Ali percaya bahwa kekhalifahan dan kekuasaan agama berada di tangan Ali. Kepercayaan ini berpangkal pada pandangan tentang kedudukan dan tempat Ali dalam hubungannya dengan Nabi, para sahabat dan kaum muslimin umumnya. Namun sebelum jasad Nabi dimakamkan, para sahabat yang lain telah berkumpul di suatu tempat dan bertindak lebih jauh dan tergesa-gesa menetapkan seorang khalifah pengganti Nabi tanpa berunding dengan Ahl alBayt, keluarga-keluarganya ataupun beberapa sahabatnya, yang sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi. Setelah selesai pemakaman Nabi, Ali dan para sahabatnya seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar mengetahui tentang pelaksanaan pemilihan khalifah. Mereka mengajukan protes terhadap cara musyawarah dan pemilihan dalam pengangkatan khalifah tersebut, dan juga terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilihan itu. Akibat protes yang mereka lakukan ini menjadikan mereka dikenal sebagai kaum partisan atau syiah Ali.7 Mereka berpendapat bahwa penunjukan Ali sebagai pengganti Nabi telah terjadi ketika Nabi Muhammad saw. dalam perjalanan pulang dari ibadah haji pada waktu haji wada pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 11 H bertepatan dengan tahun 632 M. Di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum yang terletak antara Mekkah dan Madinah, dikisahkan bahwa Nabi telah membuat sebuah proklamasi yang amat menentukan, yang telah diriwayatkan orang dengan berbagai macam versi. Yang paling populer diantara berbagai riwayat itu adalah perkataan Nabi yang berbunyi: Barang siapa yang menganggap saya sebagai pemimpinnya, maka harus pula menganggap Ali adalah pemimpinnya.8
Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathabai, Islam Syiah, hlm. 39-40. A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (Ed.), Syiah dan Politik di Indonesia : Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 40.
8
7

Hasyimi dalam bukunya Syiah dan Ahlusunnah9 menjelaskan bahwa bibit partai Syiah yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Ali lah yang berhak menjadi Khalifah dan untuk selanjutnya adalah para pendukung Ali. Partai Syiah ini pada mulanya adalah partai politik yang bertujuan merebut kekuasaan. Paham politik mereka yaitu bahwa khalifah haruslah turunmenurun dari turunan Ali bin Abi Thalib. Asas ajaran mereka, bahwa khalifah yang dalam istilah Syiah disebut imam, adalah Saiyidina Ali , setelah wafat Muhammad, kemudian berturutturut imam itu telah ditetapkan oleh Allah dari keturunan Ali. Menurut mereka, bahwa mengakui imam dan mentaatinya adalah sebagian dari iman. Muhammad Abu Zahrah mengatakan, Syiah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam. Mazhab ini tampil pada akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali berhubungann dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu para propagandis Syiah mengekploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Di antara pemikiran itu ada yang menyimpang dan ada pula yang lurus. Ketika keturunan Ali, yang sekaligus keturunan Rasulullah mendapat perlakuan zalim yang semakin hebat dan banyak mengalami penyiksaan pada masa Bani Umayyah, rasa cinta mereka terhadap keturunan Ali semakin mendalam. Mereka memandang Ahl al-Bayt ini sebagai syuhada dan korban kezaliman. Dengan demikian, semakin meluaslah daerah mazhab Syiah dan pendukungnya semakin banyak.10 Partai Syiah ini kemudian pecah menjadi berpuluh-puluh sekte, yang satu sama lain sangat berbeda. Ada sekte yang sangat ekstrim, yang mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan dan ada sekte yang tidak perlu ibadat, hanya ibadat batin saja. Diantara sekte-sekte yang banyak itu yang paling
A. Hasyimi, Syiah dan Ahlusunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara ( Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 39-40. 10 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 34.
9

masyhur adalah sekte Zaidiyah, Kisaniyah, Imamiyah yang juga mempunyai cabang seperti Ithna Ashariyah, Ismailiyah, dan sebagainya. Partai Syiah yang mulanya hanya bergerak dalam bidang politik, kemudian lama kelamaan mereka juga mempunyai mazhab dalam fiqih, pendapat dalam filsafat, ajaran dalam tasawuf, dan keyakinan dalam aqidah. Namun dari sekte-sekte partai Syiah yang ekstrimlah yang kemudian banyak sekali menjelma paham-paham sesat menyesatkan, terutama dalam bidang aqidah, filsafat dan tasawuf. Pengaruhnya meliputi seluruh dunia Islam, sampai ke Indonesia, dan juga dalam kalangan mereka banyak lahir ahli-ahli pikir, ulama-ulama, fuqaha-fuqaha, filosuf-filosuf, ahli-ahli tasawuf dan penyair.11 C. Ajaran-ajaran Mazhab Syiah Kaum Syiah memiliki lima prinsip utama yang wajib dipercayai oleh penganutnya. Kelima prinsip itu adalah al-tauhid, al-adl, al-nubuwwah, alimamah, dan al-maad. 1. Al-Tauhid Kaum syiah mengimani bahwa Allah itu ada, Maha Esa, tunggal, tempat bergantung segala makhluk, tidak beranak, dan tidak diperanakkan, dan tidak seorang pun serupa dengan-Nya.12 Keyakinan seperti ini tidak berbeda dengan akidah kaum muslimin pada umumnya 2. Al-Adl Kaum syiah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak menyukai perbuatan zalim dan perbuatan buruk seperti berdusta dan memberikan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia. Allah juga bersih dari aib, cacat, dan celah.

A. Hasyimy, Syiah dan Ahlusunnah, hlm. 40 Al-Sayyid Amir Muhammad al-Kazhimi al-Quzwini, Al-Syiah fi Aqaidihim wa Ahkamihim, Dar al-Zahra, Beirut, 1977, hlm. 26
12

11

3. Al-Nubuwwah Kepercayaan syiah terhadap keberadaan Nabi-Nabi juga tidak berbeda dengan kaum muslimin lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah Nabi dan Rasul ke muka bumi untuk membimbing umat manusia. Rasul-Rasul itu memberikan kabar gembira bagi orang yang mentauhidkan Allah dan melakukan amal sholeh dan kabar siksa/ancaman bagi orang yang mengingkari Allah dan durhaka. 4. Al-Imamah Imamah merupakan masalah yang penting bagi kaum syiah. Bagi mereka, imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus. Ia pengganti Rasul dalam memelihara syariat, melaksanakan hudud (hak/hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.13 5. Al-Maad Secara harfiah Al-Maad berarti tempat kembali. Yang dimaksud di sini adalah hari akhirat. Kaum syiah percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti akan terjadi. D. Sekte-sekte dalam Mazhab Syiah Dari 22 sekte yang ada dalam tubuh Syiah, yang nampaknya masih ada sampai sekarang ini hanya tiga: Imamiah, Ismailiah, dan Zaidiah. 1. Imamiah Syiah ini dinamakan imamah karena kepercayaan mereka yang kuat tentang imam bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah imam. Yang berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin hanyalah Ali bin Abi Thalib. Hak Ali atas kepemimpinannya itu bukan dilihat dari

Sayyid Mahbuddin al-Khatib, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syiah al-Imamah dan Perbedaannya Dengan Ahlussunnah, Ahli bahasa Munawwar Putera, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 25.

13

sudut kecakapan, sifat, atau lainnya, tapi yang terpenting adalah bahwa hal itu sudah diwasiatkan oleh Nabi.14 2. Ismailiah Syiah Islamailiah adalah sekte Syiah yang berpendapat bahwa imam itu hanya tujuh. Penganut aliran Ismailiah sampai sekarang masih ada, terutama di India. Pemimpinnya adalah Prince Karim Khan, cucu Agha Khan, yang kini menetap di Jenewa.15 3. Zaidiah Sekte Syiah pengikut Zaid bin Ali Husain bin Ali bin Abi Thalib ini berkembang di daerah Yaman. Syiah ini lebih moderat disbanding syiah lainnya. Kalau sekte syiah yang lain, khususnya Imamiah dan Ismailiah secara tegas menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. Menunjuk Ali dan memberi berpendapat demikian. Menurut kelompok Zaidiah, Nabi tidak menunjuk Ali secara tegas dengan menyebutkan namanya, tapi hanya memberikan deskripsi atau isyarat yang bersifat umum. Karena itu, kelompok ini tidak menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman sebagai orang yang zalm yang merampas atau merebut hak kekhalifahan Ali. Meskipun demikian, mereka tetap beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama.16 E. Tokoh-Tokoh Mazhab Syiah Dalam pertimbangan Syiah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syiah, yaitu Zaid bin Ali bin Husain Zainal Abidin dan Jafar al-Shadiq. wasiat kepadanya untuk menggantikan beliau menjadi pemimpin umat Islam setelah beliau wafat, Zaidiah tidak

14 15

Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 138 Ibid, hlm 140 16 Ibid, hlm 142

10

Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Jafar al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnahpen.). Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Jafari Itsna Asyariyah.17 Adapun Zaid bin Ali bin Husain Zainal Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majm (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.18 Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syiah, di antaranya: 1. Nashr bin Muhazim 2. Ahmad bin Muhammad bin Isa al-Asyari 3. Ahmad bin Abi Abdillah al-Barqi 4. Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi 5. Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar 6. Muhammad bin Masud al-Ayasyi al-Samarqandi 7. Ali bin Babawaeh al-Qomi 8. Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini 9. Ibn Aqil al-Ummani 10. Muhammad bin Hamam al-Iskafi 11. Muhammad bin Umar al-Kasyi 12. Ibn Qawlawaeh al-Qomi 13. Ayatullah Ruhullah Khomeini 14. Al-Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathabai 15. Sayyid Husseyn Fadhlullah 16. Murtadha Muthahhari 17. Ali Syariati

17 18

Ibid , hlm. 13-15. Ibid , hlm. 15.

11

18. Jalaluddin Rakhmat19

19. Hasan Abu Ammar20

Beliau adalah salah seorang tokoh Ahlulbait/Syiah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renunganrenungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait/Syiah Indonesia. 20 Beliau adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. Pada 2 Oktober lalu beliau berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab Rasionalisme Islam Perspektif Syiah dan Sunni di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau hadir sebagai representasi Syiah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni.

19

12

II. SUNNI

A. PENGERTIAN SUNNI

Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah Dalam kitab Al-Mausuah al-Arabiyah al-Muyassarah sebuah Ensiklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut: Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammas SAW. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu). Sebagai bandingan Syiah. Diantara mereka ada yang disebut Salaf, yaitu generasi awal mulai dari para Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin. Dan ada juga yang disebut Kholaf, yakni generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujadiddun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam. (Ghorbal et.al., 1965:278).

Dari definisi ini, jelas bahwa Ahlussunnah wal Jamaah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tetapi ada beberapa sub-aliran. Karena itu, Dr. Jalal M. Musa yang dikutip oleh M. Tholhah Hasan mengatakan bahwa istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini menjadi rebutan banyak kelompok, masing-masing membuat klaim bahwa dialah Ahlussunnah wal Jamaah. Dan dimasukkannya kata al-Jamaah dalam istilah ini karena mereka menggunakan Ijma dan Qiyas sebagai dalil-

13

dalil syariah yang fundamental, disamping al-Quran dan Sunnah Rasul. (Hasan, 2005: 3-4).

21

Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dan Mutazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafii dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asyari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H. Sebagai tambahan dari penjelasan diatas, penggunaan istilah Ahlussunnah wal Jamaah juga didasarkan pada beberapa hadis yang menyatakan bahwa umat Islam setelah masa Nabi akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Satu golongan yang selamat, menurut sabda Nabi tersebut, terdiri atas mereka yang melaksanakan Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Pada uraian diatas tentang definisi Ahlussunnah, mereka terbagi menjadi dua generasi, yaitu Salaf dan Kholaf. Diantara generasi tersebut memang terdapat banyak persamaan, tetapi juga ada pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan tersebut antara lain dalam menyikapi ayatayat mutasyabihat, utamanya yang berkaitan dengan sifat Allah, seperti kata yad (tangan), ain (mata),istawa (bersemayam). Generasi Salaf, mempercayai kebenaran kata-kata tersebut dan membenarkannya tanpa mau banyak mendiskusikan dan memperdebatkan arti sebenarnya. Diriwayatkan bahwa Walid bin Muslim pernah bertanya
21

Dengan merujuk kepada al-Syatibi, Saleh menjelaskan bahwa para penulis Muslim merumuskan lima definisi tentang jamaah sebagai berikut: (1) Mayoritas umat Islam; (2) para Ulama terkemuka dari umat Islam; (3) para Sahabat Nabi; (4) semua umat Islam selama mereka sepakat dalam satu masalah; dan (5) semua umat Islam ketika mereka sepakat untuk mengikuti seorang Imam atau pemimpin. (Saleh, 2004: 100).

14

kepada Imam Malik bin Anas, Imam Sofyan al-Tsuri, dan Imam Laits bin Saad, tentang ayat-ayat yang berisi sifat-sifat Allah. Mereka menjawab: Artikan seperti apa adanya, dan jangan tanya bagaimana!. Imam Malik pernah ditanya tentang arti kata istawa bagi Allah. Dan Beliau menjawab: Duduk itu sudah jelas, tetapi bagaimana duduknya itu tidak diketahui; mengimaninya adalah wajib, sedangkan mempertanyakan hal itu adalah bidah. (Hasan, 2005: 10). Generasi Kholaf, yang muncul pada abad ke-3 H, ditengah-tengah maraknya pergolakan kehidupan intelektual umat Islam, yaitu pada masa pemerintahan Bani Abasiyyah. Umat Islam pada waktu itu mendapatkan fasilitas yang memadai sehingga lahir ilmu-ilmu baru dalam studi keislaman yang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, seperti Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan lain sebagainya. Dan lahir pula tokoh-tokoh ahli dalam bidang Ilmu Kalam seperti Abu Abdillah bin Said Al-Kullab (w. 240 H) yang dikenal sebagai Ibnu Kullab dan Abu al-Abbas Al-Qolanisi (w. 255 H), mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang muncul sebelum alAsyari dan al-Maturidi. Berbeda dengan generasi Salaf, generasi Kholaf menerima penggunaan dalil-dalil aqli sebagai penyeimbang dalil naqli. Dan itu yang menjadi kajian sentral Ilmu Kalam. (Hasan, 2005: 11). Generasi Kholaf dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat

menggunakan penafsiran yang dipandang lebih sesuai dengan ke-Maha Sucian dan ke-Maha Agungan Allah. Penafsiran itu disebut Tawil, seperti kata Yadullah diartikan dengan kekuasaan Allah, Ainullah diartikan pengawasan Allah, kata Istawa diartikan mengatur. B. Sejarah Perkembangan Kalam Sunni

Matoritas umat Islam dewasa ini menganut Islam Sunni. Penganut doktrin ini dikenal sebagai kaum ortodoks atau Muslim Sunni. Meskipun demikian, secara historis, oposisi ini mencuat akibat dari ketegangan politik
15

pada masa awal Islam. Ketegangan- ketegangan ini diekspresikan dalam istilah teologis dan terutama sekali berkaitan dengan persoalan imamah atau kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak saat itulah sebagian umat Islam mulai mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut Sunni sebagai lawan dari pendukung Syiah. (Saleh, 2004: 97). Meskipun Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi Asyari, terdapat buku yang cukup jelas bahwa istilah Sunni ini telah dipergunakan jauh sebelum masa al- Asyari.22 Istilah ini telah dipergunakan berkaitan dengan orang-orang yang ingin mendapatkan rujukan langsung dari al-Quran dan Sunnah dalam soal-soal agama. Orangorang tersebut, pada masanya lebih dikenal dengan Ahli Hadits dan terutama terdiri atas para Sahabat Nabi dan Tabiin. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dalam pertumbuhannya, Kalam Sunni sudah ada sejak masa para Sahabat Nabi, tetapi baru berkembang pada abad ke-3 H. Pada awal mula perkembangannya banyak memiliki aliran, ada beberapa Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in yang dikenal memiliki aliran masing-masing, sampai kemudian terdapat empat mazhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. di dalam keyakinanSunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat fundamental. Dalam masalah aqidah (teologi), mayoritas Kaum Sunni mengikuti Imam Asyari (yang kemudian disebut Asyariyah) dan al- Maturidi (disebut Mauridiyah). Berikut sedikit ulasan tentang kedua tokoh tersebut, pemikiran mereka, dan siapa saja tokoh yang ikut berperan dalam mengembangkan ajaran-ajaran kedua tokoh tersebut: Abu al-Hasan Ali al-Asyari Lahir di kota Basrah pada tahun 260 H / 873 M dan wafat pada
Ibn Taimiyah, misalnya, menegaskan bahwa mazhab Ahl al-Sunnah adalah mazhab lama dan telah dikenal sejak sebelum munculnya empat mazhab Fiqh. Ia merupakan mazhab para Sahabat Nabi yang mengambil ajaran agama mereka langsung dari Nabi. (Taimiyah, 1903: 256).
22

16

tahun 324 H / 935 M di kota Baghdad. Beliau mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi SAW., yaitu Abu Musa al-Asyari. Imam Asyari semula menjadi pengikut dan murid dari Abu Ali al-Jubbai (seorang tokoh besar Mutazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mutazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mutazilah. Menurut Tolhah Hasan (Hasan, 2005: 14-17), faktor-faktor yang mejadikan Imam Asyari memisahkan diri dari paham Mutazilah antara lain: Pertama, ketidakpuasan Imam Asyari pola pikir dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa dukungan wahyu atau nash. Kedua, terjadinya tragedi Mihnah yang dilakukan para pejabat pemerintahan atas dukungan elite Mutazilah, yang melakukan pemaksaan faham Mutazilah kepada umat Islam terutama tokoh-tokoh dan ulama yang berpengaruh. Ketiga, dalam pengasingan Imam Asyari selama lima belas hari (ada yang mengatakan selama empat puluh hari) melakukan perenungan dan istikharah. Konon beliau mendapatkan isyarat mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. dan memerintahkannya untuk meninggalkan faham Mutazilah dan membela as-Sunnah. Pemikiran-pemikiran Imam Asyari antara lain: beliau menolak ajaran Mutazilah yang tidak mengakui adanya sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Dzat-Nya. Imam Asyari juga menentang faham Keadilan yang wajib bagi Allah seperti kata Mutazilah (al-wadu wa alwaid). Menurutnya Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatupun yang wajib bagi-Nya (Hasan, 2005: 17-18). Aliran Asyariyah ini memperoleh pengikut terbanyak dilingkungan umat Islam, antara lain karena diikuti oleh para pengikut dua mazhab terbesar dalam fiqh, yaitu mazhab Syafii dan Maliki. Mengingat Imam Asyari sendiri dalam hal fiqh menjadi pengikut mazhab Syafii, sedangkan dukungan dari mazhab Maliki karena diantara sebagian tokohtokoh besar Asyariyah menganut mazhab Maliki, diantaranya al- Baqillani

17

dan Ibnu Taumart (Hasan, 2005: 23). Ilmu Kalam Imam Asyari yang sering juga disebut sebagai paham Asyariyah, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar Kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa jalan keselamatan hanya terdapat pada seseorang yang dalam masalah Kalam menganut paham Asyariyah. Mengenai hal ini, terdapat pendapat yang sangat ilustratif dari Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani (tokoh ulama dari semarang yang terkenal dengan sebutan Kyai Saleh Darat) yang menafsirkan Sabda Nabi yang sangat populer tentang perpecahan umat. Beliau mengatakan: Wus dadi prenca2 umat ingkang dihin2 ingatas pitung puluh loro pontho, lan bsuk bakal pada prenca2 sira kabh dadi pitung puluh telu pontho, setengah sangking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabh ing dalem neraka. Ana dn ingkang sewiji ingkang selamet iku iyaiku kelakuan ingkang wus dn lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iyaiku aqid Ahl al-Sunnah wa alJamah Asyariyyah lan Mturdiyyah (Samarani, tt: 27-28). Imam Asyari mendapatkan kehormatan besar karena solusi yang ditawarkannya mengenai permasalahan klasik dibidang Ketuhanan antara kaum liberal dari golongan Mutazilah dan kaum konservatif dari golongan Ahl al-Hadits (yang dipelopori empat Imam Mazhab Fiqh). Salah satu solusi itu adalah tentang masalah manusia dan perbuatannya, Imam Asyari tidak bebas seperti paham Qadariyyah dan juga tidak terpaksa layaknya paham Jabariyyah, tetapi diantara keduanya. Imam Asyari mengajukan teori Kasb (al-Kasb, acquisition, perolehan). Menurutnya perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keadaan terpaksa. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan oleh Allah, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggungjawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan Kasb, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, meskipun ia tidak menguasai dan tidak

18

bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan yang diinginkan, dipilih dan diputuskan sendiri. (Madjid, 2000:210). Ajaran-ajaran Imam Asyari dapat diketahui dari kitab-kitab yang ditulisnya setelah keluar dari Mutazilah, terutama dari kitab Al-luma fi arRaddi ala Ahli az- Zaighi wa al-Bida dan kitab al-Ibanah an Ushul adDiyanah, serta kitab Maqalat al- Islamiyin. Al-Baqillani Dia adalah salah satu tokoh yang mempunyai andil penting dalam penyebaran Asyariyah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H / 1013 M). Ia mempelajari ajaran-ajaran Asyariyah melalui Ibnu Mujahhid dan Abu Hasan al-bahili, keduanya adalah murid langsung Imam Asyari. Tetapi dalam beberapa hal, terdapat perbedaan antara Imam Asyari dan al- Baqillani, diantaranya masalah perbuatan Manusia. Menurut Imam Asyari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Manusia diberi daya untuk mewujudkan perbuatan, namun daya tersebut tidak efektif jika tanpa kehendak Allah. Imam Asyari menyebutnya sebagai Kasab. Sedangkan menurut al-Baqillani manusia diberi oleh Allah daya dalam dirinya dan manusia dengan daya tersebut mempunyai peran yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. (Hasan, 2005: 19). Al-Juwaini Tokoh penting selanjutnya adalah al-Juwaini, yang dikenal dengan Imam al- Haramain. Nama lengkapnya adalah Abdul Maali alJuwaini (w. 478 H / 1085 M). Walaupun al-Juwaini dikenal sebagai pendukung dan pembela Asyariyah, namun dalam pandangan-pandangan Kalamnya tidak semua sama dengan Imam Asyari, antara lain: masalah antropomorfisme (hal yang bersifat jasmaniyah), ia berpendapat bahwa semua gambaran tentang Tuhan yang bersifat jasmaniyah harus ditawilkan. Adapun soal perbuatan manusia, al-Juwaini sedikit berbeda dengan

19

al-Baqillani, menurutnya

manusia

diberi

daya

oleh

Allah

untuk

mewujudkan perbuatannya dan daya itu mempunyai efek yang serupa dengan yang terdapat dalam proses kausalitas. Dengan kata lain, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannnya setelah mendapat daya dari Allah (Hasan, 2005: 20). Al-Ghazali Pada awal abad ke-6 Hijriah, Kaum Sunni khususnya kalangan Asyariyah mendapat tokoh besar, yakni Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi23 (451-505 H / 1059-1111 M). Lahir di Thus Khurasan, persia utara, propinsi yang telah banyak melahirkan orang-orang Islam yang jenius dalam berbagai macam disiplin ilmu (Jahja, 1996: 64). Al-Ghazali pertama kali belajar logika dari seorang ahli Kalam Asyariyah terbesar pada masanya, yaitu al-Juwaini. Tak heran jika dikemudian hari dia menjadi pengikut aliran Asyariyah. Dengan modal logika yang diperolehnya, al-Ghazali merangkak menjadi seorang dialektikus di bidang agama, sampai dia menjadi seorang tokoh besar dan berpengaruh. Meskipun al-Ghazali selalu memberikan kritik kepada pihak yang berlebihan dalam menggunakan peranan akal, yang berkaitan dengan ajaran aqidah Syariah maupun Tasawwuf24, tapi al-Ghazali dengan cerdas membela ajaran Asyariyah yang dinilainya moderat (tawassuth) dalam menempatkan dalil-dalil aqliyah berdampingan dengan dalil-dalil naqliyah
Disebut al-Ghazali karena pekerjaan ayahnya adalah al-Ghazali, pemintal wol. Mayoritas para ahli menganggap bahwa al-Ghazali adalah pengikut Asyariyah. Tetapi Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh al-Madzahib al-islamiyyah, memberikan kesimpulan yang kontradiktif dengan mengatakan: Sebenarnya, al-Ghazali bukan seorang pengikut Abu al-Hasan al-Asyari atau Abu Manshur al-Maturidi, tetapi dia seorang pemikir bebas, yang pemikirannya tak terikat dengan aliran apapun; karena dia banyak berbeda pendapat dengan kedua tokoh teolog tersebut, walaupun tetap sependapat dalam hal- hal yang dianggapnya sebagai agama yang harus diikuti. Sayangnya, Zahrah pun tidak memberikan penjelasan bagaimana metode pemikiran yang digunakan al-Ghazali sebagai seorang pemikir bebas tersebut. (Zahrah, tt: 202).
24
23

20

dan secara proporsional. Al-Ghazali kurang setuju tentang debat teologi melalui mujadalah kalamiyah dilingkungan masyarakat awam, karena keuntungan dan kerugiannya tidak sebanding. Salah satu alasannya masalah sosiologis, karena kondisi obyektif masyarakat Islam tidak memerlukan lagi debatdebat itu karena hanya menambah pertentangan dan konflik yang sia-sia (Jahja, 1996: 163). Sikap al-Ghazali ini didukung oleh Ibnu Khaldun pada abad ke-9 Hijriyah (Hasan, 2005: 21). Jasa al-Ghazali yang sangat besar adalah keberhasilannya (Fuqaha, mempertemukan tiga dimensi kajian Islam, yakni Fiqih, Kalam dan Tasawwuf, dan mendamaikan para tokoh dan ahlinya Mutakallimun dan Mutashawifun) yang selama berabad-abad saling berbenturan. Secara teoritis visi al-Ghazali diabadikan dalam karya agungnya Ihya Ulumiddin, dan secara praktis figur al-Ghazali merupakan teladan dan panutan. Dikalangan Kaum Sunni, karya-karya al-Ghazali dalam masalah Ilmu Kalam yang banyak dipakai adalah al-Iqtishad fi al-Itiqad dan sebagai induknya adalah Ihya Ulumiddin. Tetapi umumnya, Kaum Sunni lebih menempatkan al-Ghazali sebagai Imam Tasawwuf daripada sebagai Imam Fiqih maupun Kalam. Mungkin karena dalam dua disiplin ilmu tersebut (fiqh dan Kalam) lebih banyak bersifat analisa-analisa kritis daripada berupa paparan-paparan diskriptif yang lebih gampang dicerna (Jahja. 1996:260-261). As-Sanusi Pada abad ke-9 H lahir tokoh Asyariyah yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi, yang kemudian dikenal dengan Imam Sanusi (833-895 H / 1427-1490 M) (Hasan, 2005: 22). Penyebaran konsep kalamnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya sangat populer di Indonesia. Ia membaginya kedalam tiga macam, yaitu: Sifat Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh itu

21

dikelompokkan menjadi: Sifat Nafsiyah: Wujud Sifat Salbiyah: Qidam, Baqa, Mukhalafah lil Hawadits, Qiyamuhu Binafsihi, dan Wahdaniyat. Sifat Maani: Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama, Bashor dan Kalam. Sifat Manawiyah: Kaunuhu Qodiran, Muridan, Aliman, Hayyan, Samian, Bashiran dan Mutakalliman. Karya-karyanya yang terkenal dalam sistematika tauhid antara lain: Syarah Tijan ad-Darari, Kifayatu al-Awam, Aqidah al-Awam, Ummi alBarahim dan lain-lain.

Al-Maturidi Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muhammad Abu Manshur al- Maturidi25. Dialah pendiri aliran yang dikenal oleh kaum Sunni dengan Maturidiyah. Ia adalah seorang ahli fiqih mazhab Hanafi yang belajar pada dua ulama mazhab Hanafi, yakni Muhammad bin Muqatil arRazi (w. 248 H) dan Nushair bin Yahya al-Balkhi (w.228 H). Al-Maturidi mempunyai hubungan nasab dengan Sahabat Nabi, yaitu Abu Ayub alAnshori (Hasan, 2005: 24). Sebagaimana Imam Asyari, sebagai Kaum Sunni al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah). Namun apabila dibandingkan antara al-Maturidi dan Imam Asyari dalam penggunaan akal sebagai dasar untuk menemukan kebenaran, maka alMaturidi lebih luas penggunaan akalnya. Hal itu dipengaruhi oleh visi dan wacana al-Maturidi yang bermazhab Hanafi yang dikenal sebagai Mazhab Ahlu ar-Rayi. Para pengikut al-Maturidi lazim disebut aliran Maturidiyah. Para pendukung Maturidiyah ini sebagian besar dari pengikut
Lahir di Maturid Samarkand, tanggal kelahirannya sulit dilacak, diperkirakan pada pertengahan abad ke-3 H. Namun sebagian referensi menyebut pada tahun 333 Hijriyah.
25

22

mazhab Hanafi (dalam masalah fiqh).Al-Maturidi memberikan dua argumen mengapa kita perlu menggunakan dalil- dalil aqli, yaitu: Pertama, al-Quran banyak sekali menganjurkan manusia menggunakan akal dan nalarnya secara kritis untuk memahami fenomena yang ada di alam ini atau pada diri mereka sendiri, untuk menuju marifatullah. dan 15 diakhiri dengan kalimat: Sebagai contoh, pada surat an- Nahl yang berturut-turut disebut dalam ayat 11, 12, 13, 14

23

Menurut al-Maturidi, yang dikutip oleh Tolhah Hasan, ia berkata bahwa sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan ayat-ayat dalam tersebut dengan berbagai macam tingkatan, yakni mulai berfikir sampai mendapat petunjuk adalah karena dengan berfikir, orang dapat belajar dan memahami, dengan pemahaman tersebut orang dapat memperluas wawasan dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang harus disyukuri. Sebagai hamba Allah yang mau bersyukur, memberikannya jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah SWT (Hasan, 2005: 27). Kedua, kondisi lingkungan yang dihadapi al-Maturidi, merupakan tempat dan waktu dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan yang sentral. Al-Maturidi mengatakan melengkapi membela dalil keyakinan / hujjah agama bahwa peranan akal untuk agama, dari membuat analisa kemudian mengingkari atau

menkonstruksikan dalil-dalil tersebut untuk membuktikan kebenaran dan orang-orang menyalahfahami keyakinan-keyakinan tersebut (Hasan, 2005: 28).

Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi Salah seorang pengikut al-Maturidi yang berpengaruh besar adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Neneknya adalah murid al-Maturidi dan ia mengenal ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Walaupun al-Bazdawi adalah pengikut al-Maturidi, namun ia tidak selalu sepaham dengan al-Maturidi, sehingga boleh dikatakan aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yakni Golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi sendiri) dan Golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Jika

Golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih dekat dengan Mutazilah, maka Golongan Bukhara mempunyai pendapat yang lebih dekat dengan Asyariyah (Hasan, 2005: 29). Dalam hal keterbukaan terhadap peranan akal antara Golongan Samarkand dan Golongan Bukhara, jika digambarkan dalam diagram maka perbedaan itu akan seperti berikut: Keterbukaan Terhadap Peranan Akal

Samarkand

Bukhara

C. Pemikiran Kalam Sunni

Sepanjang perjalanan aliran Asyariyah maupun Maturidiyah, mereka selalu meletakkan sikap rasional, tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran), karena menyadari bahwa yang memegang kebenaran absolut hanyalah Allah saja, sedangkan kebenaran yang diklaim manusia hanya kebenaran relatif sebatas kemampuan akalnya dalam memahami dan menafsirkan kebenaran absolut tersebut, manusia harus tetap menyadari keterbatasan dirinya, temasuk keterbatasannya dalam menagkap dan memahami suatu kebenaran. Dalam membahas tentang pemikiran Kalam Sunni, penulis hanya memproritaskan pada masalah-masalah yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samarsamar dikalangan masyarkat awam, antara lain (Hasan, 2005: 33-57., alBaghdadi, 1987: 300-303):

Tentang ke-Maha Esaan Allah Dalam kajian teologi Islam, ke-Maha Esaan Allah diakui oleh semua golongan dan hampir tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Yang kemudian ada perbedaan justruhubungan ke-maha Esaan Allah itu dengan persoalan lain seperti hubungannya dengan manusia dan lain-lain. Dalam istilah Ilmu Kalam, ke-Maha Esaan Allah mencakup tiga macam, yaitu: Wahdaniyat adz-Dzat, Wahdaniyat as-Shifat, Wahdaniyat al-Afal.

Nama dan Sifat Allah Dalam Asyariyah maupun Maturidiyah, bahwa Allah itu

mempunyai sifat-sifat. Dan sifat-sifat Allah bukan Dzat-Nya, tetapi berada pada Dzat-Nya. Hanya saja menurut Asyariyah sifat-sifat Allah itu dibagi menjadi Sifat Dzatiyah yang Qadim, Sifat Filiyah yang tidak Qadim atau tidak Azali. Sedangkan Maturidiyah menganggap semua sifat Allah itu Qadim atau Azali.

Al-Quran Firman Allah Dalam dalam abstrak tidak pemahaman berbentuk) Ahlussunnah, Firman Allah dibedakan

dua pengertian, yaitu: Kalam Nafsiy (Firman Allah yang dan Kalam Lafdhiy (Firman Allah yang

diturunkan kepada para Rasul, sudah dalam bentuk huruf atau kata-kata).

Melihat Allah di Akhirat

Baik Asyariyah maupun Maturidiyah, sepakat bahwa oarang-orang Mukmin mendapat kesempatan melihat Allah di Akhirat. Dasar Naqlinya adalah Surat al- Qiyamah ayat 22-23:

Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri, karena melihat kepada Tuhannya.

Tentang Perbuatan Manusia Asyariyah maupun Maturidiyah berpendapat, bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan Allah dan dilimpahkan pada manusia sebagai tempat perbuatan tersebut. Teori Asyariyah dikenal dengan al-Kasb, sedangkan menurut konsep Maturidiyah, perbuatan manusia terdiri dari dua macam, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia (kholqu al-istithoati) dan perbuatan menusia dalam bentuk pemakaian daya tersebut (istimalu al-istithoati). Tentang Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar Kaum Sunni berpendapat bahwa orang Mulmin yang melakukan dosa besar kemudian meninggal sebelum melakukan tobat, maka hukumnya terserah kepada Allah. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq, tapi tidak kekal didalam neraka karena masih memiliki iman. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 48 dan 116 :

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...

Tentang Kenabian dan Kewalian Dikalangan Kaum Sunni, meyakini bahwa setelah Nabi

Muhammad tidak ada Nabi lagi, karena Beliau adalah Nabi Terakhir. Seperti Firman Allah dalam Surat al- Ahzab ayat 40 :

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lakilaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi".

Termasuk sifat para Nabi adalah Ishmat al-Anbiya (keterjagaan para Nabi dari dosa). Dalam teologi Ahlussunnah wa al-Jamaah, yang memperoleh hak ishmah atau mashum itu hanya para Nabi atau Rasul saja, dan manusia lain tidak ada yang mashum, termasuk para wali, paa Imam dan ulama maupun para Sahabat. Tetapi ada perbedaan pendat antara Asyariyah dan Maturidiyah, yaitu tentang kemungkinan seorang Nabi atau Rasul pernah berbuat dosa kecil (maksiat ringan). Asyariyah memndang hal tersebut bisa saja terjadi, tetapi Maturidiyah menolak pendapat tersebut, andai ada seorang Nabi yang pernah melakukan dosa kecil, maka itu terjadi sebelum menjadi Nabi atau Rasul. Selain para Nabi, menurut Kaum Sunni ada sekelompok orang yang mendapat perlindungan dari Allah dari berbuat maksiat meskipun tidak seperti para Nabi, mereka adalah Auliya. Para Wali itu tidak mashum seperti para Nabi atau Rasul, tetapi mereka itu dijaga (mahfudh) dari

perbuatan maksiat secara sengaja dan terus-menerus (tanpa melakukan tobat dengan segera), meskipun mereka itu dapat saja melakukan kekeliruan atau kesalahan ringan.

Tentang Mukjizat dan Karomah Ahlussunnah wa al-Jamaah meyakini bahwa semua peristiwa dan kejadian yang ada di dunia ini karena Kehendak dan Kekuasaan Allah. Tetapi secara prosedural tidak selalu sama, ada yang biasa berjalan sesuai dengan Sunnatullah, berlaku kapan dan dimana saja. Dan ada yang tidak biasa atau luar biasa, menyimpang dari jalur kebiasaan aadah), berdasarkan Dekrit Allah atau degan Amrullah. Singkat kata, menurut penulis, mukjizat Nabi dan karomah Wali, yang dianggap sebagian merupakan Amrullah, orang sebagai khariqul aadah, adalah bukan Sunnatullah. Peristiwa itu tentu tidak (khariqul kata lain

berlaku umum, tetapi sangat khusus sesuai dengan Kehendak Allah sendiri, karena ada tujuan-tujuan khusus pula. Fungsi mukjizat bagi para Nabi adalah untuk membuktikan kebenaran dawahnya. Oleh karena itu, harus ditampilkan dihadapan publik (masyarakat luas). Sedangkan fungsi karomah bagi para Wali yaitu untuk menunjukkan kebenaran sikap dan peilaku mereka. Namun para Wali tidak harus menampilakn karomahnya kepada publik, selain itu karomah bukan untuk menantang pihak lain yang tidak mempercayainya, malah banyak para Wali yang berusaha menutupi karomahnya, karena khawatir menimbulkan fitnah. Tentang Kepemimpinan Umat Secara terang-terangan Kaum Sunni mengakui dan membenarkan kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar asShiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,dan Ali bin Abi Thalib r.

anhum. Meskipun model dan proses pengangkatannya berbeda-beda, tetapi masih dalam bingkai konsep ikhtiar atau ijtihad. Tentang Metafisika dan Keakhiratan Dalam teologi Ahlussunnah, banyak masalah ghoib (metafisika) ini yang wajib diimani dan diyakini kebeadaannya, seperti masalah : Ruh yang mempunyai sifat keabadian, dalam arti tidak ikut mati bersama jasadnya, Alam Barzakh (alam transisi). Pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, Siksa Kubur, Nikmat Kubur, Hari Kiamat, Hari Baats, Hari Mahsyar, adanya Hisab, Suhuf atau Kitab (catatan amal), Mizan (neraca), Shirat, Syafaat, Surga dan Neraka. Dan masih ada hal-hal lain, seperti Malaikat, Bidadari dan Haudl (telaga kehidupan surga) dan lain sebagainya yang wajib bagi kita mengimani dan meyakini adanya itu semua.

PENUTUP
KESIMPULAN Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syiah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syiah secara garis besar ada 5 macam, yaitu al-tauhid, al-adl, al-nubuwwah, al-imamah, dan al-maad. Dalam

Syiah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran. Kaum Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah atau Ahl alSunnah wa al-Jamaah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam yang pandangan- pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah disepakati oleh mayoritas Islam. Relevansinya ialah bahwa sebagian besar Kaum Sunni, dalan masalah teologi (aqidah) menganut paham Asyariyah dan Maturidiyah. Perkembangan Kalam Sunni sebenarnya sudah ada sejak masa para Sahabat, namun pada waktu itu Ilmu Kalam belum berdiri sendiri. Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jamaah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat sampai generasi-generasi berikutnya. Istilah ini biasanya digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dan Mutazilah. Dan para Imam Mazhab Fiqh; seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam as-Syafii dan Imam Ibnu Hambal dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Asyari dan Imam al-Maturidi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H. Adalah Imam Asyari, seorang pengikut dan murid dari Abu Ali alJubbai (seorang tokoh besar Mutazilah). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mutazilah, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mutazilah, yaitu Kalam Sunni. Beberapa tokoh Mutakallimun dari Kaum Sunni lainnya yang berpengaruh antara lain: al-Maturidi, alBaqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, as-Sanusi dan al-Bazdawi. Beberapa pemikiran Kalam Sunni yang banyak menjadi pembicaraan dikalangan Ahli Kalam tetapi hanya dipahami secara samar-samar dikalangan masyarkat awam antara lain: Tentang Ke-Maha Esaan Allah Nama dan Sifat Allah Al-Quran Firman Allah Melihat Allah di Akhirat Tentang perbuatan Manusia

Orang Mukmin yang Berbuat Dosa Besar Tentang Kenabian dan Kewalian Tentang Mukjizat dan Karomah Tentang Kepemimpinan Umat Tentang Metafisika dan Keakhiratan

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim. Fadil SJ, Syiah Dalam Perspektif Sejarah: Dari Hadits al-Indzar Sampai Imamah, Jurnal STAIN Malang, No. 5 Tahun 1998
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, penerj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Lpgos, 1996).

A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (Ed.), Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan, 2000), Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: pergeseran Wacana Islam Sunni

di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. www.wikipedia.com, Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas.

You might also like