You are on page 1of 3

Ada dua megatrend yang terjadi dalam perekonomian Indonesia yang membuat saya berbungabunga.

Kebetulan kedua megatrend tersebut tonggaknya terjadi di tahun 2010. Pertama adalah Revolusi Kelas Menengah yang dimulai sejak tahun 2010 seiring terlampauinya pendapatan perkapita kita USD3000 pertahun. Kedua adalah adanya fenomena bonus demografi (demographic bonus) yang terjadi karena membengkaknya jumlah penduduk produktif yang berpotensi menjadi engine of growth bagi perekonomian kita. Dua megatrend ini menuntut kita untuk mengambil langkah-langkah strategis dan cerdas untuk memanfaatkan momentum langka (kejadian seabad sekali) ini. Karena kalau tidak, kita akan kehilangan peluang yang luar biasa. Kalau meminjam lagunya Elvis Presley, maka pilihannya adalah: ambil peluang itu sekarang, atau tidak sama sekali untuk selamanya, now or never. Di blog ini, saya telah mengulas revolusi kelas menengah ( Consumer 3000) hampir tiap minggu, maka kini giliran saya mengulas megatrend yang kedua, yaitu bonus demografi. Bonus Bonus demografi adalah bonus atau peluang (window of opportunity) yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Di Indonesia fenomena ini terjadi karena proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu dipercepat oleh keberhasilan kita menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan kualitas kesehatan dan suksesnya program-program pembangunan sejak era Orde Baru hingga sekarang. Keberhasilan program seperti KB selama berpuluh tahun sebelumnya telah mampu menggeser penduduk berusia di bawah 15 tahun (anak-anak dan remaja) yang awalnya besar di bagian bawah piramida penduduk Indonesia ke penduduk berusia lebih tua (produktif 15-64 tahun). Struktur piramida yang menggembung di tengah semacam ini menguntungkan, karena dengan demikian beban ketergantungan atau dukungan ekonomi yang harus diberikan oleh penduduk usia produktif kepada penduduk usia anak-anak ( di bawah 15 tahun) dan tua (di atas 64 tahun) menjadi lebih ringan. Maka kemudian muncul parameter yang disebut rasio ketergantungan ( dependency ratio), yaitu rasio yang menunjukkan perbandingan antara kelompok usia produktif dan non produktif. Rasio ini sekaligus menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif yang hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif. Semakin rendah angka rasio ketergantungan suatu negara, maka negara tersebut makin berpeluang mendapatkan bonus demografi. Engine of Growth Bonus demografi menjadi pilar peningkatan produktivitas suatu negara dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM produktif. Ketika angka fertilitas menurun, pertumbuhan pendapatan perkapita untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia anak-anak dapat dialihkan untuk peningkatan mutu manusia. Pada saat yang sama, jumlah anak yang sedikit membuka peluang perempuan untuk masuk ke pasar kerja yang sekali lagi akan mendongkrak produktivitas.

Menurut guru besar demografi Universitas Indonesia Prof. Dr Sri Moertiningsih Adioetomo, Indonesia sudah mendapat bonus demografi mulai 2010 dan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2020 hingga tahun 2030. Berdasarkan data BPS hasil sensus penduduk tahun 2010 angka rasio ketergantungan kita adalah 51,3% (lihat grafik). Bonus demografi tertinggi biasanya didapatkan angka ketergantungan berada di rentang antara 40-50%, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif menanggung 40-50 orang usia tidak produktif.

Kalau dipilah ke dalam kelompok desa dan kota, maka angka ketergantungan di perkotaan sudah mencapai angka 46,6%, artinya sudah masuk dalam rentang masa keemasan bonus demografi. Sementara untuk pedesaan masih bertengger di angka 56,3%. Yang juga menarik dari data tersebut adalah bahwa sekitar 34% dari masyarakat kita berada di rentang usia muda (15-35 tahun) yang sangat produktif. Kaum muda harapan bangsa inilah yang akan menjadi engine of growth yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kencang lagi. Kalau kita melihat di negara lain, maka negara-negara maju seperti Eropa sudah melewati masa keemasan bonus demografi, sementara beberapa negara Asia seperti Cina kini sudah mulai menikmatinya. Bonus demografi di negara-negara Eropa terjadi bervariasi antara tahun 19502000. Cina mulai menikmati bonanza bonus demografi sejak tahun 1990 dan akan berlangsung sampai 2015. India, hampir sama dengan kita, mendapatkan bonus demografi sejak tahun 2010. Sementara di negara-negara Afrika, bonus demografi bakal didapatkan hingga tahun 2045. Now or Never Pertanyaannya, apakah bonus demografi by default menjadi hak setiap negara tanpa harus ngapa-ngapain? Of course tidak! Kalau penduduk produktif yang berjumlah besar itu kerjanya cuma malas-malasan, maka tentu saja mereka bukannya menjadi aset bangsa tapi justru menjadi benalu yang menggerogoti daya saing. Kalau penduduk produktif dalam jumlah besar itu kualitasnya payah karena cuma lulusan SD-SMP, maka mereka bukannya menjadi engine of growth tapi sebaliknya menjadi beban karena gaji dan BBM-nya harus disubsidi pemerintah. Karena itu kesempatan seabad sekali ini harus kita manfaatkan sebaik mungkin dengan meningkatkan kualitas SDM, terutama kita-kita yang saat ini berada di rentang usia produktif 15-

64 tahun. Yang wirausahawan harus makin canggih mengintip peluang dan mengelola sumber daya. Yang profesional harus membangun kompetensi yang makin kompetitif secara global. Yang buruh pabrik haruslah makin terampil dan memiliki kualitas kerja excellent. Itu dari sisi hard aspect (kompetensi dan kapabilitas). Dari sisi soft aspect, kelas produktif kita haruslah bermental positif, optimis, kreatif. Bukannya mental negatif: memfitnah, menjatuhkan lawan, mencari-cari kesalahan orang, atau menggali kejelekkan-kejelekkan rekan. Seperti kata Dahlan Iskan, kini saatnya kita: kerja, kerja, dan kerja. Tak ada ruang untuk omong doang, debat kusir ngga keruan, tanpa action. Kini saatnya kita melakukan value-creation. Kenapa semua hal itu itu mendesak kita lakukan? Balik lagi, persis seperti dibilang Elvis: Kalau kita tak melakukannya sekarang, kita akan kehilangan kesempatan sekali dalam seabad. Ingat Elvis: now or never! Dapat sekarang atau tidak untuk selamanya.

You might also like