You are on page 1of 28

Pentingnya Pendidikan Karakter Pada Anak Sejak Usia Dini

Makalah Pendidikan Karakter- Dalam makalah ini akan dijelaskan apa saja dan seberapa penting peran guru dalam pendidikan karakter juga bentuk-bentuk Pembelajaran Terpadu Yang Berkarakter. langsung saja simak selengkapanya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Salah satu misi mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia Terlihat dengan jelas GBHN mengamanatkan arah kebijakan di bidang pendidikan yaitu: meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai. Sementara itu, UU 20 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan Nasional Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui pendidikan karakter bangsa. Dalam pemberian pendidikan karakter bangsa di sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa pendidikan karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, pendidikan karakter bangsa diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn, pendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat ketiga, pendidikan karakter bangsa terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. 1.2 TUJUAN Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah : 1. 2. 3. 4. Mengetahui pengertian pendidikan karakter Mengetahui bentuk-bentuk Pembelajaran Terpadu Yang Berkarakter Mengetahui seberapa penting pendidikan karakter pada usia dini Mengetahui peran guru dalam pendidikan karakter

1.3 RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah makalah ini adalah : 1. 2. 3. 4. Apa pengertian dari pendidikan karakter ? Apa saja bentuk-bentuk pembelajaran terpadu yang berkarakter ? seberapa penting pendidikan karakter pada usia dini ? Apa saja peran guru dalam pendidikan karakter ?

1.4 RUANG LINGKUP Ruang lingkup dalam makalah ini adalah mengurai bentuk-bentuk pembelajaran terpadu yang berkarakter serta mengkritisi seberapa penting adanya pendidikan karakter pada anak usia dini. BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling

mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolongmenolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu

berubah menjadi kebiasaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram. 2.2 BENTUK-BENTUK PEMBELAJARAN TERPADU YANG BERKARAKTER Menurut Cohen dalam Degeng (1989), terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (integrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementara itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interst). Lebih lanjut, model-model pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin dapat diadaptasi, seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik adalah sebagai berikut : 1. Fragmentasi Dalam model ini, suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran 2. Koneksi Dalam model ini, dalam setiap topik ke topik, tema ke tema, atau konsep ke konsep isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas 3. Sarang Dalam model ini, guru mentargetkan variasi keterampilan (sosial, berpikir, dan keterampilan khusus) dari setiap mata pelajaran. 4. Rangkaian/Urutan Dalam model ini, topik atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain. Ide yang sama diberikan dalam kegiatan yang sama sambil mengingatkan konsep-konsep yang berbeda. 5. Patungan Dalam model ini, perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang konsep/gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem.

6. Jala-jala Dalam model ini, tema/topik yang bercabang ditautkan ke dalam kurikulum. Dengan menggunakan tema itu, pembelajaran mencari konsep/gagasan yang tepat. 7. Untaian Simpul Dalam model ini, pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, sosial, intelegensi, teknik, dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin. 8. Integrasi Dalam model ini, pendekatan interdisipliner memasangkan antar mata pelajaran untuk saling mengisi dalam topik dan konsep dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil. 9. Peleburan Dalam model ini, suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya, para pebelajar menjaring semua isi melalui keahlian dan meramu ke dalam pengalamannya. 10. Jaringan Dalam model ini, pebelajar menjaring semua pembelajaran melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan. 2.3 PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER PADA USIA DINI Pendidikan karakter pada anak usia dini , dewasa ini sangat di perlukan di karenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang , bepikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif. Berbagai permasalahan yang melanda bangsa belakangan ini ditengarai karena jauhnya kita dari karakter. Jati diri bangsa seolah tercabut dari akar yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan karakter menjadi topik yang hangat di bicarakan belakangan ini. Menurut Prof Suyanto Ph.D karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak usia dini karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya. Sejatinya pendidikan karakter ini memang sangat penting dimulai sejak dini. Sebab falsafah menanam sekarang menuai hari esok adalah sebuah proses yang harus dilakukan dalam rangka membentuk karakter anak bangsa. Pada usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Setelah keluarga, di dunia pendidikan karakter ini sudah harus menjadi ajaran wajib sejak sekolah dasar. Anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa. 2.4 PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang kemudian diimplementasikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan praktik-praktik pendidikan dalam rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri (ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan personal (personal skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta didik yang berhubungan dengan karakter dirinya.

Dalam pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. Ada beberapa strategi yang dapat memberikan peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai berikut : 1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya. 2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran. Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya. Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat diintergrasikan dalam proses pembelajaran. 3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual, kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik. 4. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat berperan penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik lingkungan fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta didik. 5. Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan adalah menempatkan orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai fasilitator dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah. 6. Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit tidak akan bergantung kepada penerimaan pribadi peserta didik tersevut terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai karakter

dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya Dalam uraian di atas menggambarkan peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru merupakan faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya. Dengan demikian berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu sebagai pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan, juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang dilakukannya di kelas dan luar kelas. Guru hendaknya diberikan hak penuh (hak mutlak) dalam melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak yang paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya. Guru hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif, dengan menggunakan alat dan bentuk penilaian essay dan wawancara langsung dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian seperti itu, lebih dapat mengukur karakteristik setiap peserta didik, serta mampu mengukur sikap kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini akan terlaksana dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah selaku penentu kebijakan BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 1. Pengertian pendidikan karakter Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development. Dalam pendidikan

karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter. 2. Bentuk-Bentuk pembelajaran inovatif dan terpadu yang mungkin dapat diadaptasi, seperti yang ditulis oleh Trianto, 2009, dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik adalah sebagai berikut : 1. - Fragmentasi 2. - Koneksi 3. - Sarang 4. - Rangkaian/Urutan 5. - Patungan 6. - Jala-jala 7. - Untaian Simpul 8. - Integrasi 9. - Peleburan 10. - Jaringan 3. Pendidikan karakter pada anak usia dini di nilai sangat penting karena anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Pada usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Pada usia inilah proses pendidikan karakter di mulai proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya.

4. Peran guru dalam pendidikan karakter untuk peserta didik di sekolah ialah , guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. 3.2 SARAN Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , oleh karena itu Prnulis sangat mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca dan dosen pembimbing , agar dalam pembuatan makalah ke depannya dapat lebih baik. judul asli Pentingnya Pendidikan Karakter pada anak sejak usia dini , dan Peran Guru dalam pendidikan karakter
sumber: http://makalahpendidikan.blogdetik.com/pentingnya-pendidikan-karakter-pada-anak-sejakusia-dini/

PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI BERMAIN PADA ANAK USIA DINI

PENGEMBANGAN KARAKTER MELALUI BERMAIN PADA ANAK USIA DINI


Penyusun : Nurhasanah, M.Pd A. Pendahuluan Perkembangan pendidikan di Indonesia membawa dampak bagi perkembangna sumber daya manusia di masa depan. Pemerintah berupaya meningkatkat kualitas sumber daya manusia melalui bidang pendidikan dengan mengangkat selogan Pendidikan Berkarakter, dengan harapan sumber daya manusia masa depan merupakan sumber daya manusia yang memiliki kualitas karakter yang mampu menghadapi tantangan dan tuntutan zaman. Pendidikan karakter merupakan modal utama bagi anak dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih besar dari lingkungan keluarga. Dengan memiliki karakter yang baik dan dapat diterima lingkungan anak dapat mengambil peranan dalam lingkungan masyarakatanya. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral karena dalam pendidikan karakter tidak hanya pengenalan moral yang dikembangkankan, seperti pengenalan akan konsep benar salah, baik buruk, tetapi dalam pendidikan karakter lebih pada cara menanamkan pembiasaan akan aplikasi dari moral dalam kehidupan seharihari. Perkembangan dan pergeseran nilai-nilai budaya yang terjadi sekarang juga berdampak pada pergeseran akan nilai dan kepribadian masyarakat. Pendidikan karkater merupakan dasar dalam membentuk kepribadian yang ajek menyatu dalam diri dan jiwa anak. Hal itu tentu saja dapat terealisasi apabila pola dan bentuk pengembangan pendidikan karakter tidak keluar dari fitrah anak. Pengembangan dan penanaman karakter dapat dimulai sejak usia dini melalui pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan dengan cara bermain. Bermain merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam diri setiap anak, oleh karena itu bermain dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam menanamkan karakter sejak dini. Melalui bermain anak tidak akan merasakan suatu paksaan dalam melakukan sesuatu, karena cirri utama bermain adalah menyenangkan bagi anak dan dilakukan tanpa paksaan. Membangun karakter pada anak melalui kegiatan bermain diharapkan akan dapat memberikan pengalaman mental bagi anak dalam membentuk kepribadiannya di masa depan. melalui bermain memiliki kesempatan untuk menjadi seperti yang diinginkannya tanpa terikat pada batasan ruang dan

waktu bagi anak, maksudnya pada saat bermain anak dapat memerankan peran dewasa yang dibayangkannya walaupun pada saat itu dalam konsep ruang dan waktu anak belum pada masa dewasa.

B. Hakikat Karakter Dan Bermain Pada Anak Usia Dini Karakter dan kepribadian seperti dua kata yang tidak dapat dipisahkan, dalam karakter akan membentuk watak atau sifat manusia. Thomas Lickona mengatakan seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat diciptakanya, karena itulah mempersiapkan anak merupakan investasi masa depan yang memerlukan stategi yang tepat. Ki Hajar Dewantara

mengatakan Karakter sebagai watak dengan makna pertama bahwa dalam diri manusia memiliki keterpaduan antara tabiat/watak yang bersifat tetap sehingga dapat membedakan manusia yang satu dengan lainnya. Kedua watak tersebut terbentuk dari bakat atau potensi yang dimiliki manusia sehingga dapat menetap karena pengaruh pengajaran dan sifat pendidikan yang dilaluinya. Ketiga dalam karakter memiliki hubungan antara keturunan dengan lingkungan yang mempengaruhinya. Kelima dalam karakter memiliki keseimbangan antara kondisi psikologis (kebatinan) dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga melahirkan perangai atau tabiat yang membedakannya dengan orang lain. Keenam dalam karakter keseimbangan antara kondisi psikologis dengan perbuatan melahirkan perangai atau tabiat lebih dipengaruhi oleh kualitas psikologis. Ketujuh kondisi psikologis tercipta dari gabungan antara cipta, rasa, dan karsa, sehingga menumbuhkan kekuatan karekter dalam diri. (Ki Hajar Dewantara,407-410) Lickona (1992) dalam Nindya Laksana, dkk menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moraldan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.Moral action atau perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit) Dalam mencapai tiga komponen karakter tersebut perlu diketahui peran orang dewasa yang terlibat langsung dengan pendidikan anak, selain guru dan apa saja yang mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak. Conny Semiawan (2007) mengungkapkan bahwa ada pengaruh kebudayaan asing terhadap kepribadian anak. Adanya interaksi antara lingkungan dan faktor heriditas akan berlanjut

dalam tumbuh kembang anak dan fungsi keluarga adalah terutama membangun komunikasi dua arah dalam keterlibatan mental, social, emosional dan mengatasi masalah anak-anaknya. Sehingga, dalam pengembangan kepribadian anak perlu mengoptimalkan peran orang tua sebagai ujung tombak pendidikan anak. Pengaruh terbesar yang menjadi dampak langsung pembentukan kepribadian anak dalam percampuran budaya adalah televise. Televisi sebagai media elektronik yang dimiliki hampir semua keluarga member kontribusi terbesar dalam hal pengaruh kebudayaan asing terhadap keprbadaian anak. Pada program-program televise memuat berbagai dampak posifik dan negative yang diserap anak secara utuh. Dampak positif dan negative tersebut memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan kepribadian anak. Guna menangkal dan mengembangkan pendidikan berkarakter dalam membangun kepribadian anak makan perlu diketahui ciri utama yang menjadi dasar dalam pendidikan karakter. Foester dalam Nyoman Suarta mengungkapkan bahwa ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu : pertama keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai, nilailah yang menjadi pedoman normative setiap tindakan. Kedua kohernsi yang memberikan keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko. Dengan adanya koherensi akan menumbuhkan kepercayaan antara satu individu dengan individu lain, sehingga koherensi bukan untuk meruntuhkan kridibilitas orang lain. Ketiga otonomi dimana individu menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini akan terlihat dari keputusan yang diambil seseorang tanpa pengaruh orang lain. Keempat keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai-nilai dan etika. Kesetiaan merupakan kesetiaan pada yang baik. Keempat cirri dasar tersebut yang seharusnya terbangun melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter pada anak usia dini melalui pendidikan anak usia dini dapat terbangun menggunakan beberapa metode yang terbungkus dalam kegiatan bermain. Bermain menurut Schwartzman (1978) seperti dikutip oleh Patmonodewo dalam Pendidikan Anak Prasekolah mengemukakan bahwa bermain bukan bekerja; bermain adalah berpura-pura; bermain bukan sesuatu yang sungguh-sungguh; bermain bukan suatu kegiatan yang produktif dan sebagainya. Bekerja pun dapat diartikan bermain, sementara bermain dapat dialami sebagai bekerja; demikian pula anak yang sedang bermain dapat membentuk dunianya, sehingga seringkali dianggap nyata, sungguh-sungguh, produktif dan menyerupai kehidupan yang sesungguhnya.Senada dengan Schwartzman Vygotsky dalam Sue Dockett and Marilyn Flerr mengemukakan bermain sebagai perkembangan yang saling

berhubungan antara perkembangan bermain dan kognitif. Menurutnya bermain memiliki peranan langsung terhadap perkembangan kognitif, dimana saat bermain simbolik memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan berpikir abstrak. Merujuk pada hakikat pendidikan karakter dan pengertian bermain maka perlu dikembangkan pendidikan karakter pada anak usia dini berbasis bermain. Melalui bermain anak dapat berpura-pura menjadi seperti yang diinginkan atau dicita-citakan, melalui bermain pengenalan dan menanaman kepribadian yang menjadi bibit awal pembentukan karakter dapat dilakukan.Saat bermain anak tidak akan merasakan paksaan dalam menentukan suatu sikap yang mungkin akan menjadi watak dari kepribadaiannya dimasa depan. Permainan seperti apa yang dapat dikembangkan dan dirancang dalam rangka member kontribusi terhadap pengembangan karakter pada anak usia dini? Permainan yang dapat dikembangkan dapat berupa bermain peran, bercerita atau bermain pembangunan. Pada permainan tersebut mengandung filosifis pengembangan karakter anak selanjutnya. Hasil penelitian (Lulu Ilhamdi,2010) mengungkapkan bahwa permainan matematika meningkatkan kecakapan hidup pada anak SD kelas awal. Kecakapan hidup yang dapat ditingkatkan adalah kecakapan akademik dan kecakapan social, terkait dengan kecakapan social yang dikembangkan adalah sikap berinteraksi, disiplin dan berkomunikasi. Dari penelitian ini apabila dihubungan dengan pengembangan karakter maka permainan matematika dapat meningkatkan kemampuan disiplin anak yang harapan kedepan anak akan memiliki karakter disiplin dalam hidupnya. Hasil studi kajian (Warni Djuwita, 2010) tentang pendidikan karakter berbasis kearifan local mengungkapkan bahwa perilaku yang ditampilkan dalam permainan tradisional merupakan segala bentuk reaksi atau tanggapan seseorang terhadap suatu objek yang terwujud dalam tindakan atau gerakan. Perilaku ini terjadi karena adanya kecendrungan atau dorongan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, mencari kesenangan dan atau menghindari kesusahan. Maka dengan perilaku yang nampak dalam setiap permainan tradisional yang terjadi ber ulang-ulang, saat permainan berlangsung adalah dapat dikatakan menjadi sarana bagi pembangunan Karakter (character Building). C. Pengembangan Karakter Melalui Bermain Pada Anak Usia Dini

Penjabara sebelumnya mengungkapkan bahwa pengembangan pendidikan karakter dapat dikembangkan melalui kegiatan bermain. Berikut ini akan dijabarkan kegiatan bermain yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan karakter anak usia diini. a. Bermain Peran Bermain peran yang lebih dikenal dengan istilah bermain pura-pura, khayalan, fantasi, make-believe, atau simbolik merupakan salah satu bentuk permainan yang biasa dilakukan pada pendidikan anak usia dini (PAUD), baik dilakukan secara terstruktur maupun non terstruktur. Piaget (1962) menjelaskan bahwa anaknya bermain peran ketika ia tiduran di lantai dengan selimutnya dan pura-pura tidur. Piaget menguraikan bahwa awal main peran dapat menjadi bukti perilaku anak yang telah berumur satu tahun. Ia menyatakan bahwa main peran ditandai oleh penerapan cerita pada obyek dimana cerita itu sebenarnya tidak dapat diterapkan (seperti pada saat anak bermain pura-pura suguhan makan malam, maka anak berpura-pura menata meja, menyiapkan meja makan dan hidangan kecil, pura-pura mengaduk teh dalam gelas) dan mengulang ingatan yang menyenangkan (anak usia dini melihat mini perlengkapan makan dan berpura-pura makan bersama dengan boneka). Piaget merujuk pada keterlibatan anak dalam main peran tahap yang lebih tinggi dengan anak lainnya sebagai collective symbolism. Ia juga menerangkan percakapan lisan yang anak lakukan dengan diri sendiri sebagai idiosyncratic soliloquies. Bermain peran yang bersifat makro dilakukan secara terstruktur dengan umumnya mengangkat tema besar telah ditentukan guru, misalnya bermain peran dengan tema pasarpasaran. Guru telah mendisplay atau mensetting tempat bermain seperti pasar, dengan dilengkapi berbagai atribut pasar, seperti kios-kios sederhana, barang-barang untuk jualan dan alat tukar (uanguangan). Anak hanya dijelaskan aturan permainan dan tema besar permainan, selanjutnya anak dapat memilih peran-peran yang terkait dengan tema dan setting tempat yang telah disediakan. Melalui permainan ini diharapakan akan terbangun karakter anak yang berani mengambil resiko dari pilihannya, bertanggungjawab terhadap pilihan akan peran yang dimainkan dan kepatuhan serta kesetiaan dalam bermain. Bermain peran juga mengembangkan sikap disiplin, kejujuran dan empati terhadap peran yang dimainkan. Kegiatan bermain peran yang non terstruktur dapat kita amati dari kegiatan anak bermain peran sendiri diluar kegiatan pembelajaran. Seperti pada saat bermain bebas anak bersama kelompok sosialnya mencoba bermain derngan memerankan peran-peran tertentu, misalnya bermain polisi-polisian. Dengan sendirinya anak mencoba membagi diri dalam peran-peran yang terkait dengan tugas kepolisian dan mencoba mendalami karakter sebagai seorang polisi. Kegiatan bermain peran baik secara

terstruktur maupun tidak memberikan kontribusi kesempatan bagi anak untuk memerankan berbagai peran yang dimainkannya dan dalam bermain peran anak akan mencoba mendalam karakter dari peran yang dilakoninya. Bermain peran merupakan suatu pengalaman penting yang mendukung perolehan pengetahuan dan keterampilan kognisi, sosial, emosi, dan bahasa; semuanya merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan di sekolah nanti. Bermain peran lebih tidak hanya sekedar sebuah sudut dapur dan kerumahtanngga namun semua aspek yang dapat di ciptakan untuk berrmain peran dapat di display dalam setting bermain peran. Bermaain peran merupakan sarana praktek bagi anak dalam kegiatan yang menyerupai kehidupan nyata, membolehkan anak untuk membayangkan dirinya ke dalam masa depan dan menciptakan kembali kondisi masa lalu. bermain peran mendukung perkembangan anak secara keseluruhan, kognitif, sosial, emosi, fisik sekaligus membangun karakter sejak dini. Pada saat bermain peran hal yang perlu mendapat perhatian, khususnya dalam mengembangkan karakter anak adalah pada saat pijakan sebelum pengalaman bermain peran. Pada saat pijakan sebelum pengalaman bermain peran disini merupakan pengenalan akan karakter yang akan diperankan, pengenalan karaktek peran tersebut yang akan mengantarkan anak untuk belajar mengaplikasikan karakter peran yang dimainkan dalam bentuk bermain peran selama bermain peran, dan penguatan karakter yang diperlukan dalam menetapkan karakter menjadi kepribadian adalah pada saat pijakan setelah pengalaman bermain peran. b. Bercerita Bercerita merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan dalam mengembangkan pendidikan karakter pada anak usia dini. Bercerita merupakan suatu proses kreatif bagi guru dalam menceritakan isi cerita kepada siswa. Pada saat bercerita guru mencoba mengajak anak masuk dan terlibat secara emosional dalam alur cerita. Kegiatan bercerita yang sering disebut dengan berdongeng merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan guru dalam mengenalkan, menanamkan dan melatih keterampilan mental anak akan pemahaman terhadap karakter yang bersifat abstrak. Dongeng atau bercerita merupakan bentuk komunikasi yang menarik perhatian anak, apabila dikemas dalam bentuk cerita yang menggugah emosi dan perhatian pendengarnya. Melalui bercerita anak dilatih berkonsentrasi tentang alur cerita sekaligus membayangkan setiap alur cerita yang diceritakan. Melalui bercerita pengenalan akan konsep-konsep abstrak seperti konsep benar salah, baik buruk, berbohong, kejujuran, kesetiaan, tersosialisasi secara menarik dan menyenangkan. Melalui bercerita anak

dikenalkan akan bentuk-bentuk karakter yang dapat dicontoh anak dari isi cerita yang disampaikan. Bercerita dengan menggunakan bantuan media yang menarik dan perubahan intonasi suara juga akan melatih anak dalam berasosiasi. Bercerita berfungsi menyampaikan ajaran moral dan juga menghibur,

bentuk cerita ada termasuk cerita tradisional. Cerita tradisional adalah cerita yang disampaikan secara turun temurun. Suatu cerita tradisional dapat disebarkan secara luas ke berbagai tempat. Kemudian, cerita itu disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Dalam cerita tradisioanal memiliki cirri-ciri antara lain : alur cerita sederhana, jalan cerita relative singkat, tokoh tidak diraikan secara rinci, dalam dongeng penceritaan dilakukan secara lisan, dan pesan atau tema tertulis dalam cerita serta diawali dengan pendahuluan singkat seperti dengan kalimat dahulu kala., kemudian langsung pada cerita. Dongeng atau bercerita cocok dalam mengembangkan karakter karena tema yang diangkat terkait dengan moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali. Tugas yang tak mungkin dilaksanakan. Mantra ajaib, misalnya mantra untuk mengubah orang menjadi binatang. Daya tarik yang timbul melalui kebaikan dan cinta. Pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh makhluk dengan kekuatan ajaib. keberhasilan anak ketiga atau anak bungsu ketika sang kakak gagal. Kecantikan dan keluhuran anak ketiga atau anak bungsu. Kecemburuan saudara kandung yang lebih tua. Kejahatan ibu tiri dan lain sebagainya. Cerita dalam dongeng umumnya terkelompokkan dalam beberapa kelompok, seperti ; cerita binatang, cerita biasa yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, cerita lucu atau lelucon dan Cerita legenda. Setiap cerita yang disampaikan mengandung unsur nilai-nilai moral sebagai bibit awal dalam penanaman karakter anak. c. Bermain Pembangunan Bermain Pembangunan merupakan salah satu jenis permainan yang identik dengan menggunakan media balok, lego atau kelengkapan pembangunan lainnya. Dalam permainan pembangunan pada anak usia dini memberi kesempatan pada anak untuk mengembangan daya imajinasi, koordinasi sensorimotor, kemampuan kognitif dan kecerdasan sparsial. Bermain pembangunan member kesempatan pada anak dalam berbagai hal, seperti ; kesempatan untuk mengembangkan keterampilan berhubungan dengan teman sebaya, karena dalam bermain pembangunan bersama melatih anak berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman bermain, saat ini juga melatih anak mengikuti aturan social

yang berlaku. Permainan pembangunan melatih koordinasi motorik halus dan motorik kasar. Permainan pembangunan melatih dan mengenalkan konsep matematika dan geometri, melatih berpikir simbolik, melatih pengetahuan pemetaan dan d. Bermain Permainan Tradisional D. Saran Dan Penutup

Daftar Pustaka .., 2011, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Karakter Sejak Usia Dini, Seminar Kerjasama antara Universitas Negeri Padang dengan Universitas Mataram, Mataram. I Nyoman Suarta, 2011, Menghadapi Problematika Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan Pendidikan Karakter, Mataram. Lulu Ilhamdi, 2010, Peningkatan Kecakapan Hidup Anak Sd Melalui Permainan Dalam Pembelajaran Matematika Penelitian Tindakan Di Sekolah Dasar Islam Terpadu AlHusnayain Harapan Baru, Bekasi Barat, Tesis, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta. Patmonodewo, S. 2003, Pendidikan Anak Prasekolah, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Papalia Ols F, 2009, Human Development, edisi 10, Terjemahan Brian Marswendy, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta. Warni Djuwiita, 2011, Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal (Suatu Kajian Tentang Permainan Tradisional dan Nilai KeIslama sebagai Lokal Identity Etnis Sasak), Mataram. Sumber : http://noerhasanahpaud.blogspot.com/2011/08/pengembangan-karakter-melaluibermain.html

STRATEGI PEMBELAJARAN UNTUK ANAK USIA DINI 27/07/2010


Posted by ebekunt in Pendidikan. trackback

Oleh : KUNTJOJO

A. Hakikat Anak Usia Dini Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 14). Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Yuliani Nurani Sujiono, 2009: 7). Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi yang seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Ada berbagai kajian tentang hakikat anak usia dini, khususnya anak TK diantaranya oleh Bredecam dan Copple, Brener, serta Kellough (dalam Masitoh dkk., 2005: 1.12 1.13) sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. Anak bersifat unik. Anak mengekspresikan perilakunya secara relative spontan. Anak bersifat aktif dan enerjik. Anak itu egosentris. Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang. Anak umumnya kaya dengan fantasi. Anak masih mudah frustrasi. Anak masih kurang pertimbangan dalam bertindak. Anak memiliki daya perhatian yang pendek. Masa anak merupakan masa belajar yang paling potensial. Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman. B. Karakteristik Cara Belajar Anak Usia Dini Anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan demikian dalam hal belajar anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa. Karakteristik cara belajar anak merupakan fenomena yang harus dipahami dan dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran untuk anak usia dini. Adapun karakterisktik cara belajar anak menurut Masitoh dkk. (2009: 6.9 6.12) adalah : 1. 2. 3. 4. Anak belajar melalui bermain. Anak belajar dengan cara membangun pengetahuannya. Anak belajar secara alamiah. Anak belajar paling baik jika apa yang dipelajarinya mempertimbangkan keseluruhan aspek pengembangan, bermakna, menarik, dan fungsional.

C. Karakteristik Pembelajaran untuk Anak Usia Dini

Kegiatan pembelajaran pada anak usia dini, menurut Sujiono dan Sujiono (Yuliani Nurani Sujiono, 2009: 138), pada dasarnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain yang diberikan pada anak usia dini berdasarkan potensi dan tugas perkembangan yang harus dikuasainya dalam rangka pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh anak. Atas dasar pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran untuk anak usia dini memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Belajar, bermain, dan bernyanyi Pembelajaran untuk anak usia dini menggunakan prinsip belajar, bermain, dan bernyanyi (Slamet Suyanto, 2005: 133). Pembelajaran untuk anak usia dini diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat membuat anak aktif, senang, bebas memilih. Anak-anak belajar melalui interaksi dengan alat-alat permainan dan perlengkapan serta manusia. Anak belajar dengan bermain dalam suasana yang menyenangkan. Hasil belajar anak menjadi lebih baik jika kegiatan belajar dilakukan dengan teman sebayanya. Dalam belajar, anak menggunakan seluruh alat inderanya. 2. Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan

Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan mengacu pada tiga hal penting, yaitu : 1) berorientasi pada usia yang tepat, 2) berorientasi pada individu yang tepat, dan 3) berorientasi pada konteks social budaya (Masitoh dkk., 2005: 3.12). Pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan harus sesuai dengan tingkat usia anak, artinya pembelajaran harus diminati, kemampuan yang diharapkan dapat dicapai, serta kegiatan belajar tersebut menantang untuk dilakukan anak di usia tersebut. Manusia merupakan makhluk individu. Perbedaan individual juga harus manjadi pertimbangan guru dalam merancang, menerapkan, mengevaluasi kegiatan, berinteraksi, dan memenuhi harapan anak. Selain berorientasi pada usia dan individu yang tepat, pembelajaran berorientasi perkembangan harus mempertimbangkan konteks sosial budaya anak. Untuk dapat mengembangkan program pembelajaran yang bermakna, guru hendaknya melihat anak dalam konteks keluarga, masyarakat, faktor budaya yang melingkupinya.
D. Kriteria Pemilihan Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran sebagai segala usaha guru dalam menerapkan berbagai metode pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Masitoh dkk., 20056.3). Ada bermacam-macam strategi pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru Taman Kanak-kanak. Pemilihan strategi pembelajaran hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor penting, yaitu: a. karakteristik tujuan pembelajaran, b. karakteristik anak dan cara belajarnya, c. tempat berlangsungnya kegiatan belajar, d. tema pembelajaran, serta e. pola kegiatan (Masitoh dkk., 2005: 6.3). E. Jenis-jenis Strategi Pembelajaran di Taman Kanak-kanak 1. Strategi Pembelajaran yang Berpusat pada Anak a. Pendekatan yang melandasi pembelajaran yang berpusat pada anak Anak merupakan individu yang sedang tumbuh dan berkembang. Anak juga merupakan makhluk yang aktif. Atas dasar fakta tersebut maka dikembangkan strategi pembelajaran berdasarkan: 1) pendekatan perkembangan dan 2) pendekatan belajar aktif. b. Karakteristik pembelajaran yang berpusat pada anak Pembelajaran yang berpusat pada anak memiliki karakteristik sebagai berikut (Masitoh dkk., 2005: 8.5 8.6).

Prakarsa kegiatan tumbuh dari anak. Anak memilih bahan-bahan dan memutuskan apa yang akan dikerjakan. Anak mengekspresikan bahan-bahan secara aktif dengan seluruh inderanya. Anak menemukan sebab akibat melalui pengalaman langsung dengan objek. Anak mentransformasi dan menggabungkan bahan-bahan. Anak menggunakan otot kasarnya.

c. Sintaks pembelajaran yang berpusat pada anak Pembelajaran yang berpusat pada anak terdiri dari 3 tahap utama, yaitu : tahap merencanakan, tahap bekerja, dan tahap review. 1) Tahap merencanakan (planning time) Pada tahap ini guru member kesempatan kepada anak-anak untuk merencanakan kegiatan yang akan dilakukannya. Guru, misalnya, menyediakan alat-alat bermain yang terdiri dari : a) balok-balok kayu, b) model buah-buahan, c) alat-alat transportasi, d) buku-buku cerita, e) peralatan menggambar, dan f) macam-macam boneka. 2) Tahap bekerja (work time) Setelah memilih kegiatan yang akan dilakukannya, anak kemudian dikelompokkan berdasarkan kegiatan yang dipilih. Pada tahap ini anak mulai bekerja, bermain, atau memecahkan masalah sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Guru mendampingi siswa, memberikan dkungan dan siap memberikan bimbingan jika anak membutuhkan. 3) Review / recall Setelah anak-anak selesai melakukan aktivitasnya, mereka kemudian diberi kesempatan untuk mengungkapkan pengalamannya secara langsung. Pada tahap ini guru berusaha agar ana-anak mengungkapkan perasaannya dengan tepat. 2. Strategi Pembelajaran Melalui Bermain a. Rasional strategi pembelajaran melalui bermain Bermain merupakan kebutuhan anak. Bermain merupakan aktivitas yang menyatu dengan dunia anak, yang di dalamnya terkandung bermacam-macam fungsi seperti pengembangan kemampuan fisik motorik, kognitif, afektif, social, dst. Dengan bermain akan mengalami suatu proses yang menarahkan pada perkembangan kemampuan manusiawinya. b. Sintaks pembelajaran melalui bermain Strategi pembelajaran melalui bermain terdiri dari 3 langkah utama, yaitu: tahap prabermain, tahap bermain, dan tahap penutup. 1) Tahap prabermain Tahap prabermain terdiri dari dua macam kegiatan persiapan : kegiatan penyiapan siswa dalam melaksanakan kegiatan bermain dan kegiatan penyiapan bahan dan peralatan yang siap untuk dipergunakan. a) Kegiatan penyiapan siswa terdiri dari : (1) guru menyampaikan tujuan kegiatan bermain kepada para siswa, (2) guru menyampaikan aturanaturan yang harus diikuti dalam kegiatan bermain, (3) guru menawarkan

tugas kepada masing-masing anak, misalnya membuat istana, membuat, menara, dst., dan (4) guru memperjelas apa yang harus dilakukan oleh setiap anak dalam melakukan tugasnya. b) Kegiatan penyiapan bahan dan peralatan yang diperlukan, misalnya menyiapkan bak pasir, ember, bendera kecil, dsb. 2) Tahap bermain Tahap bermain terdiri dari rangkaian kegiatan berikut : a) semua anak menuju tempat yang sudah disediakan untuk bermain, b) dengan bimbingan guru, peserta permainan mulai melakukan tugasnya masing-masing, c) setelah kegiatan selesai setiap anak menata kembali bahan dan peralatan permainannya, dan d) anak-anak mencuci tangan. 3) Tahap penutup Tahap penutup dari strategi pembelajaran melalui bermain terdiri dari kegiatan-kegiatan : a) menarik perhatian dan membangkitkan minat anak tentang aspek-aspek penting dalam membangun sesuatu, seperti mengulas bentuk-bentuk geometris yang dibentuk anak, dsb., b) menghubungkan pengalaman anak dalam bermain yang baru saja dilakukan dengan pengalaman lain, misalnya di rumah, c) menunjukkan aspek-aspek penting dalam bekerja secara kelompok, d) menekankan petingnya kerja sama. 3. Strategi Pembelajaran Melalui bercerita a. Rasional strategi pembelajaran melalui bercerita Pencapaian tujuan pendidikan Taman Kanak-kanak dapat ditempuh dengan strategi pembelajaran melalui bercerita. Masitoh dkk. (2005: 10.6) mengidentifikasi manfaat cerita bagi anak TK, yaitu sebagai berikut.

Bagi anak TK mendengarkan cerita yang menarik dan dekat dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Guru dapat memanfaatkan kegiatan bercerita untuk menanamkan nilai-nilai positif pada anak. Kegiatan bercerita juga memberikan sejumlah pengetahuan social, nilai-nilai moral dan keagamaan. Pembelajaran dengan bercerita memberikan memberikan pengalaman belajar untuk mendengarkan. Dengan dengan mendengarkan cerita anak dimungkinkan untk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Membantu anak untuk membangun bermacam-macam peran yang mungkin dipilih anak, dan bermacam layanan jasa yang ingin disumbangkan anak kepada masyarakat.

b. Sintaks pembelajaran melalui bercerita

Strategi pembelajaran melalui bercerita terdiri dari 5 langkah. Langkahlangkah dimaksud adalah sebagai berikut. 1) Menetapkan tujuan dan tema cerita. 2) Menetapkan bentuk bercerita yang dipilih, misalnya bercerita dengan membaca langsung dari buku cerita, menggunakan gambar-gambar, menggunakan papan flannel, dst. 3) Menetapkan bahan dan alat yang diperlukan dalam kegiatan bercerita sesuai dengan bentuk bercerita yang dipilih. 4) Menetapkan rancangan langkah-langkah kegiatan bercerita, yang terdiri dari:

menyampaikan tujuan dan tema cerita, mengatur tempat duduk, melaksanaan kegiatan pembukaan, mengembangkan cerita, menetapkan teknik bertutur, mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan isi cerita.

5) Menetapkan rancangan penilaian kegiatan bercerita Untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran dilaksanakan penilaian dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan isi cerita untuk mengembangkan pemahaman anak aka isi cerita yang telah didengarkan.
4. Strategi Pembelajaran Melalui Bernyanyi a. Rasional strategi pembelajaran melalui bernyanyi Honig, dalam Masitoh dkk. (2005: 11.3) menyatakan bahwa bernyanyi memiliki banyak manfaat untuk praktik pendidikan anak dan pengembangan pribadinya secara luas karena : 1) bernyanyi bersifat menyenangkan, 2) bernyanyi dapat dipakai untuk mengatasi kecemasan, 3) bernyanyi merupakan media untuk mengekspresikan perasaan, 4) bernyanyi dapat membantu membangun rasa percaya diri anak, 5) bernyanyi dapat membantu daya ingat anak, 6) bernyanyi dapat mengembangkan rasa humor, 7) bernyanyi dapat membantu pengembangan keterampilan berpikir dan kemampuan motorik anak, dan 8) bernyanyi dapat meningkatkan keeratan dalam sebuah kelompok. b. Sintaks pembelajaran melalui bernyanyi Strategi pembelajaran dengan bernyanyi terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.

1) Tahap perencanaan, terdiri dari: (a) penetapkan tujuan pembelajaran, (b) penetapan materi pembelajaran, (c) menetapkan metode dan teknik pembelajaran, dan (d) menetapkan evaluasi pembelajaran. 2) Tahap pelaksanaan, berupa pelaksanaan apa saja yang telah direncanakan, yang terdiri dari: (a) kegiatan awal : guru memperkenalkan lagu yang akan dinyanyikan bersama dan memberi contoh bagaimana seharusnya lagu itu dinyanyikan serta memberikan arahan bagaimana bunyi tepuk tangan yang mengiringinya. (b) Kegiatan tambahan : anak diajak mendramatisasikan lagu, misalnya lagu Dua Mata Saya, yaitu dengan melakukan gerakan menunjuk organ-organ tubuh yang ada dalam lirik lagu. (c) Kegiatan pengembangan : guru membantu anak untuk mengenal nada tinggi dan rendah dengan alat musik, misalnya pianika. 3) Tahap penilaian, dilakukan dengan memakai pedoman observasi untuk mengetahui sejauh mana perkembangan yang telah dicapai anak secara individual maupun kelompok. 5. Strategi Pembelajaran Terpadu a. Rasional strategi pembelajaran terpadu Anak adalah makhluk seutuhnya, yang memiliki berbagai aspek kemampuan, yang semuanya perlu dikembangkan. Berbagai kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat berkembang jika ada stimulasi untuk hal tersebut. Dengan pembelajaran terpadu, pembelajaran yang mengintegrasikan ke dalam semua bidang kurikulum atau bidangbidang pengembangan, berbagai kemampuan anak yang ada pada anak diharapkan dapat berkembangan secara optimal. b. Karakteristik strategi pembelajaran terpadu Pembelajaran terpadu memiliki karakteristik : 1) dilakukan melalui kegiatan pengalaman langsung, 2) sesuai dengan kebutuhan dan minat anak, 3) memberikan kesempatan kepada anak untuk menggunakan semua pemikirannya, 4) menggunakan bermain sebagai wahana belajar, 5) menghargai perbedaan individu, dan 6) melibatkan orag tua atau keluarga untuk mengoptimalkan pembelajaran (Masitoh dkk., 2005: 12.10). c. Prinsip-prinsip strategi pembelajaran terpadu Strategi pembelajaran terpadu direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip: 1) berorientasi pada perkembangan anak, 2) berkaitan dengan pengalaman nyata anak, 3) mengintegrasikan isi dan proses belajar, 4) melibatkan penemuan aktif, 5) memadukan berbagai bidang pengembangan, 6) kegiatan belajar bervariasi, 7) memiliki potensi untuk dilaksanakan melalui proyek oleh anak, 8) waktu pelaksanaan

fleksibel, 9) melibatkan anggota keluarga anak, 10) tema dapat diperluas, dan 11) direvisi sesuai dengan minat dan pemahaman yang ditunjukkan anak (Masitoh dkk., 2005: 12.10). d. Manfaat strategi pembelajaran terpadu Ada beberapa manfaat dari strategi pembelajaran terpadu, yaitu: 1) meningkatkan perkembangan konsep anak, 2) memungkinkan anak untuk mengeksplorasi pengetahuan melalui berbagai kegiatan, 3) membantu guru dan praktisi lainnya untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya, dan 4) dapat dilaksanakan pada jenjang program yang berbeda, utnuk semua tingkat usia, dan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. e. Sintaks pembelajaran terpadu Prosedur pelaksanaan pembelajaran terpadu terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (Masitoh dkk., 2005: 12.19 12.20). 1) Memilih tema Pemilihan tema untuk pembelajaran terpadu dapat bersumber dari: (a) minat anak, (b) peristiwa khusus, (c) kejadian yang tidak diduga, (d) materi yang dimandatkan oleh lembaga, dan (e) orang tua dan guru. Ada beberapa kriteria untuk pemilihan tema, yaitu: (a) relevansi topik dengan karakteristik anak, (b) pengalaman langsung, (c) keragaman dan keseimbangan dalam area kurikulum, (d) ketersediaan alat-alat, dan (e) potensi proyek. 2) Penjabaran tema Tema yang sudah diplih harus dijabarkan ke dalam sub tema-sub tema dakan konsep-konsep yang didalamnya terkandung istilah (term), fakta (fact), dan prinsip (principle), kemudian dijabarkan ke dalam bidang-bidang pengembangan dan kegiatan belajar yang lebih operasional. 3) Perencanaan Perencanaan harus dibuat secara tertulis sehingga memudahkan guru untuk mengetahui langkah-langkah apa yang harus ditempuh. Tentukan tujuan pembelajaran, kegiatan belajar, waktu, pengorganisasian anak, sumber rujukan, alat-permainan yang diperlukan, dan penilaian yang akan dilakukan. 4) Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan dilakukan dan dikembangkan kegiatan belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Pada saat proses berlangsung dilakukan pengamatan terhadap proses belajar yang dilakukan oleh anak. 5) Penilaian

Penilaian dilakukan pada saat pelaksanaan dan pada akhir kegiatan pembelajaran dengan tujuan untuk mengamati proses dan kemajuan yang dicapai anak melalui kegiatan pembelajaran terpadu. Sumber : http://ebekunt.wordpress.com/2010/07/27/strategi-pembelajaran-untuk-anak-usia-dini/

You might also like