You are on page 1of 13

RANITIDIN

Ranitidin merupakan salah satu obat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat umum, yang disebabkan pemanfaatan obat ini yang cukup tinggi. Dokter umum dan spesialis penyakit dalam umumnya akan sering meresepkan obat ini. Secara umum, masyarakat mengenal ranitidin untuk indikasi ulkus duodenum, ulkus lambung, dan kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologikal. Penyakit-penyakit yang mengindikasi penggunaan ranitidin ini prevalensinya cukup tinggi dimasyarakat, sehingga wajar jika penggunaan ranitidin juga cukup tinggi jumlahnya. Dalam peresepannya, dokter dapat meresepkan ranitidin ini baik sebagai terapi utama maupun terapi pendukung. Tulisan ini akan sedikit mengulas semua hal yang berhubungan dengan ranitidin. Semoga bermanfaat. NAMA, STRUKTUR KIMIA DAN DESKRIPSI Ranitidin memiliki rumus molekul C13H22N4O3S dengan bobot molekul 314,4 g/mol. Ranitidin adalah salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor histamin H2 yang menghambat sekresi asam lambung. Selain digunakan dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks, ranitidin juga dapat digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada kulit.

Rumus Struktur Ranitidin

Struktur 3 Dimensi Ranitidin Ranitidin memiliki nama ilmiah NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine. Ranitidin yang tersedia umumnya adalah ranitidin hidroklorida. Ranitidin merupakan serbuk kristalin berwarna putih hingga kuning pucat, praktis tidak berbau, mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% ranitidin dalam air mempunyai pH 4,5-6,0. Setiap 168 mg ranitidin hidroklorida setara dengan 150 mg ranitidin base. KEGUNAAN Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus lambung yang aktif, gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif dengan endoskopi, dan

sebagai terapi pemeliharaan pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam manajemen kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan untuk mencegah kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara parenteral pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada saluran GI, atau sebagai terapi jangka pendek jika terapi oral belum memberikan respon yang optimum. Ulkus Duodenum Terapi Ulkus Duodenum Akut Ranitidin oral digunakan dalam terapi jangka pendek pada ulkus duodenum aktif yang dikonfirmasi dengan endoskopi atau radiografi. Ranitidin parenteral digunakan pada pasien dewasa dengan diagnosa ulkus duodenum parah yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit atau pada terapi jangka pendek jika terapi oral tidak memadai. Ranitidin intravena juga digunakan pada pasien anak-anak (lebih dari bulan) dengan diagnosa ulkus duodenum. Antasida dapat digunakan bersamaan dengan terapi ini untuk menghilangkan rasa nyeri ulkus duodenum. Kombinasi antasida dan ranitidin ini terbukti mampu mengurangi kesakitan pada pasien. Khasiat dan keamanan ranitidin untuk terapi jangka panjang ulkus duodenum belum diketahui. Keamanan dan khasiat ranitidin ini baru diketahui untuk penggunaan selama 8 minggu. Dan masalahnya bahwa pengobatan jangka pendek ulkus duodenum aktif (hingga 8 minggu) ini tidak mencegah kekambuhannya. Terapi Pemeliharaan Ulkus Duodenum Ranitidin digunakan dalam dosis rendah untuk terapi pemeliharaan setelah proses penyembuhan ulkus duodenum untuk mencegah kekambuhan. Dalam studi terkontrol angka kekambuhan ulkus duodenum setelah 4, 8 dan 12 bulan masing-masing adalah 21-24, 28-35, dan 59-68% untuk kelompok plasebo, dan angka kekambuhan pada kelompok yang diterapi dengan ranitidin 1 kali sehari 150 mg sebelum tidur masing-masing adalah 12-20, 21-24 dan 28-35%. Dalam studi tersebut juga diketahui bahwa efektivitas ranitidin dalam mencegah kekambuhan ulkus duodenum menurun pada kelompok pasien dengan kebiasaan merokok. Kondisi Hipersekresi GI Patologis Ranitidin oral maupun intravena juga digunakan pada kondisi hipersekresi GI patologis (misal pada pasienZolinger Ellison Syndrome (ZES), mastositosis sistemik, hipersekresi pasca reseksi usus. Ranitidin mengurangi sekresi asam lambung yang berkaitan dengan gejala diare, anoreksia dan nyeri dan mempercepat penyembuhan ulkus. Infus intravena ranitidin kontinue hingga 15 hari pada pasien ZES menghasilkan efek pengendalian asam lambung hingga 10 mEq/jam atau lebih rendah. Antasida dapat digunakan bersama untuk mengatassi rasa nyeri. Antimuskarinik seperti propanthelin bromida dan iodida isopropamide juga dapat digunakan bersama guna memperpanjang masa kerja ranitidin. Pada pasien hipersekresi GI patologis, ranitidin terbukti mampu menyembuhkan ulkus pada 42% pasien yang tidak merespon terapi simetidin. Pasien dengan ZES yang gagal dengan terapi simetidin berhasil diobati dengan ranitidin 600-900 mg perhari selama 1-12 bulan.

Ranitidin IV juga berhasil mengobati hipersekresi pasca operasi pada pasien yang tampaknya resisten terhadap simetidin. Ulkus Lambung Terapi Ulkus Lambung Akut Ranitidin oral digunakan dalam terapi ulkus lambung jinak. Antasida dapat digunakan bersama untuk menghilangkan nyeri. Efektivitas ranitidin dalam hal ini hampir sama dengan simetidin. Ranitidin menyembuhkan ulkus lambung pada 60-70% pasien setelah terapi selama 4 minggu, 70-80% setelah 6 minggu terapi. Kini epidemiologi dan bukti klinis mendukung bahwa infeksi lambung oleh bakteri Helicobacter pylori (HP) berhubungan dengan patogenesis ulkus lambung. Sehingga dalam kondisi ini direkomendasikan penggunaan antibakteri untuk eradikasi bakterinya. Terapi Pemeliharaan Ranitidin dosis rendah digunakan dalam terapi pemeliharaan dan mencegah kekambuhan ulkus lambung. Terapi pemeliharaan ranitidin 150 mg sebelum tidur terbukti efektif mencegah kekambuhan ulkus lambung. Gastroeshophageal Reflux Desease (GERD) Dalam terapi GERD dosis yang umum pada dewasa adalah 2x150 mg perhari. Sedangkan dosis terapi GERD pada anak-anak (1 bulan sampai 16 tahun) adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Gejala GERD sering muncul dalam waktu 24 jam setelah dumulainya terapi dengan ranitidin ini. Durasi optimum pengobatan GERD dengan ranitidin belum diketahui. Esofagitis Erosif Dosis lazim untuk terapi esofagitis erosif yang terdiagnosa dengan endoskopi pada pasien dewasa adalah 4x150 mg perhari. Sedangkan pada pasien anak 1 bulan sampai 16 tahun dosis yang direkomendasikan adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Sedangkan dalam fase pemeliharaan dosis ranitidin adalah 2x150 mg perhari. Swamedikasi Dalam swamedikasi ranitidin digunakan untuk mengatasi atau mencegah gejala mulas, perih akibat gangguan keseimbangan asam lambung pada orang dewasa atau anak diatas 12 tahun, dosis yang dianjurkan adalah 75-150 mg 1-2 kali sehari. Untuk pencegahan mulas akibat konsumsi makanan yang dapat menyebabkan mulas maka ranitidin sebaiknya diminum 30-60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat menyebabkan mulas. Untuk keperluan swamedikasi, ranitidin sebaiknya digunakan tidak lebih dari 2 dosis perhari dan tidak lebih dari 2 minggu. Penggunaan ranitidin harus segera dihentikan jika gejala tidak membaik atau bahkan semakin parah. DOSIS PARENTERAL Dosis Dewasa Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8 jam. Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg perhari. Jika ranitidin diberikan dengan infus intravena lambat maka

kecepatannya 6,25 mg/jam selama 24 jam. Sedangkan infus kontinue lambat bagi pasien ZES atau hipersekresi GI patologis umumnya infus dimulai dengan kecepatan 1 mg/Kg BB perjam, dan jika setelah 4 jam infus, pasien masih menunjukan gejala hipersekresi GI, maka dosis harus dititrasi ke atas dengan penambahan sebesar 0,5 mg/Kg BB perjam, dengan konsentrasi asam lambung harus terus dipantau. Dosis maksimum hingga 2,5 mg/Kg BB perjam dan tingkat infus 220 mg/jam. Dosis Pediatrik Dosis pada anak usia 1 bulan hingga 16 tahun, untuk pengobatan ulkus duodenum aktif adalah 24 mg/Kg perhari dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam. Sedangkan penggunaannya pada pasien neonatus (kurang dari 1 bulan) dosis 2 mg/Kg BB intravena setiap 12-24 jam sebagai infus intravena kontinue. DOSIS PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN FUNGSI GINJAL Pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 50 mL/menit maka dosis ranitidin yang direkomendasikan adalah 150 mg setiap 24 jam peroral, 50 mg setiap 18-24 jam untuk pemberian parenteral. PERHATIAN Ranitidin dapat menimbulkan efek-efek yang kurang menyenangkan diantaranya: 1. Efek pada sistem syaraf pusat dapat berupa: sakit kepala, rasa tidak enak badan (malaise), pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, kebingungan mental, agitasi, depresi mental dan halusinasi terutama pada pasien geriatri lemah. Penggunaan ranitidin dosis tinggi dan dalam jangka panjang pada anak-anak (8 mg/Kg BB perhari selama 10 bulan) dapat menyebabkan perubahan pada pola kesadaran, disartria, hiporefleksia, mengantuk, gejala Babinski, diaforesis, dan bradikardia yang mana gejala-gejala tersebut akan menghilang dengan sendirinya setelah penggunaan ranitidin dihentikan dalam 24 jam. 2. Efek pada GI: konstipasi, mual, muntah, nyeri dan ketidaknyamanan pada perut, dan pada sebagian kecil pasien dapat mengalami pankreatitis. 3. Reaksi sensitivitas dan dermatologi: ruam, urtikaria, pruritus, dan urtikaria ditempat penyuntikan. Reaksi hipersensitivitas seperti bronkospasme, demam, ruam, eosinofilia jarang terjadi. Anafilaksis yang ditandai dengan urtikaria berat dan penurunan tekanan darah dalam satu kali pemberian dosis tunggal dapat terjadi namun jarang. Eksaserbasi astma dan angiodema juga dapat terjadi. 4. Efek pada Hematologi: dapat terjadi leukopenia, agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik dan pansitopenia yang disertai hipoplasia sumsum tulang belakang namun jarang. 5. Efek pada ginjal dan saluran kemih: peningkatan kreatinin serum tanpa disertai peningkatan BUN dapat terjadi namun jarang. Penurunan libido juga pernah terjadi pada pria yang diterapi dengan ranitidin. 6. Efek pada hati: dapat terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase serum (AST, SGOT, SGPT, ALT), alkalin fosfatase serum, LDH, bilirubin total, gamaglutamiltranspeptidase. Beberapa kasus juga diketahui bahwa terapi ranitidin dapat menyebabkan hepatitis baik hepatoseluler atau pun hepatokanalikuler dan kolestasis yang umumnya bersifat reversibel.

7. Efek pada penglihatan: dapat terjadi kekaburan penglihatan yang bersifat reversibel, eksaserbasi nyeri mata dan kaburnya penglihatan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler dan glaukoma kronis, dan buta warna. 8. Efek pada endokrin: belum ada efek yang diketahui secara pasti sehubungan penggunaan ranitidin pada sistem endokrin. Namun telah diketahui adanya pasien pria yang mengalami impotensi seksual akibat penggunaan ranitidin yang segera sembuh seiring penghentian penggunaan obat, dan impotensi berulang saat penggunaan obat diulang. Nyeri ginekomastia juga dapat terjadi pada pria. 9. Efek pada sistem kardiovaskuler: aritmia jantung jarang terjadi, bradikardia yang berhubungan dengan dispnea dapat terjadi. 10. Efek pada sistem pernafasan: ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya berpotensi meningkatkan resiko infeksi pneumonia pada komunitas pneumonia. 11. Efek lain: dapat terjadi arthralgia, myalgia dan porphyria akut. Penggunaan ranitidin harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria.
PERINGATAN DAN KONTRAINDIKASI Ranitidin yang digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal harus digunakan dengan hati-hati dan disertai dengan pengurangan dosis, karena sebagian besar ranitidin diekskresikan melalui ginjal. Demikian pun pada pasien dengan penurunan fungsi hati, karena ranitidin dimetabolisme melalui hati. Penggunaan ranitidin juga harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria. Ranitidin tidak boleh digunakan untuk swamedikasi jika pasien mengalami kesulitan menelan dan tidak boleh digunakan dalam kombinasi dengan obat penekan sekresi asam lambung lainnya. Pasien dengan gejala mulas yang menetap lebih dari 3 bulan tidak boleh menggunakan ranitidin untuk swamedikasi. Ranitidin juga tidak boleh digunakan untuk swamedikasi pada pasien dengan keluhan nyeri dada dan atau bahu, sesak nafas, dan rasa nyeri yang menyebar. Kondisi-kondisi berikut dalam penggunaan ranitidin harus disertai dengan peringatan dan kewaspadaan: 1. Pada pasien pediatrik; penggunaan ranitidin oral maupun parenteral pada pediatrik ( 1 bulan sampai 16 tahun) untuk indikasi ulkus duodenum dan lambung aktif, GERD dan esofagitis erosif telah diketahui khasiat dan keamanannya. Namun penggunaan ranitidin oral ataupun parenteral untuk kondisi hipersekresi GI patologis dan untuk terapi pemeliharaan dan pencegahan kekambuhan esofagitis erosif pada anak-anak belum diketahui, demikian juga penggunaannya pada neonatus, sehingga penggunaan pada kondisi tersebut harus dengan kewaspadaan penuh. 2. Pada pasien geriatrik; pada pasien geriatrik (berusia lebih dari 65 tahun keatas) kemungkinan resiko hipersensitivitasnya akan meningkat, disamping itu kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatrik akan berpotensi meningkatkan resiko toksisitas. 3. Mutagenisitas dan karsinogenisitas; tidak ada bukti pengaruh ranitidin terhadap efek mutagenisitas dan karsinogenisitas pada manusia 4. Pada kehamilan; hingga dosis 160 kali dosis oral biasa, ranitidin belum menunjukan adanya bahaya pada fetus 5. Pada kesuburan/fertilitas; tidak ada bukti yang menunjukan pengaruh ranitidin pada fertilitas 6. Pada laktasi (wanita menyusui); ranitidin terdistribusi ke dalam susu, sehingga penggunaan ranitidin pada wanita menyusui harus sangat berhati-hati.

7. Ranitidin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap ranitidin atau komponen lain dalam formula sediaan obat. INTERAKSI OBAT Ranitidin dapat berinteraksi dengan makanan, obat lain maupun parameter klinis. 1. Makanan dan Antasida. Konsumsi bersama makanan atau antasida dengan ranitidin dapat menyebabkan penurunan absorpsi ranitidin hingga 33% dan konsentrasi puncak dalam serum menurun hingga 613-432 ng/mL. 2. Propantelin bromida. Propantelin bromida menghambat penyerapan dan meningkatkan konsentrasi puncak serum ranitidin, melalui mekanisme penghambatan pengosongan lambung dan perpanjangan waktu transit. Bioavalabilitas ranitidin meningkat 23% jika digunakan bersama propantelin bromida. 3. Merokok. Kebiasaan merokok menghambat penyembuhan ulkus duodenum dan mengurangi khasiat ranitidin. Perbandingan kesembuhan ulkus duodenum pada perokok dan bukan perokok dengan terapi ranitidin adalah 62 dan 100%. 4. Efek ranitidin pada hati. Ranitidin berinteraksi dengan sistem enzim sitokrom P450 dihati. Ranitidin hanya sedikit menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti kumarin, antikoagulan, teofilin, diazepam dan propranolol. Ranitidin membentuk ligand-kompleks dengan enzim sitokrom P450 sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut. Penggunaan bersama ranitidin dan warfarin dapat menurunkan atau meningkatkan waktu protrombin (PT). Pada dosis ranitidin hingga 400 mg perhari, penggunaan bersamanya dengan warfarin relatif tidak berpengaruh terhadap bersihan warfarin dan atau PT. Namun penggunaan ranitidin lebih dari 400 mg perhari bersama dengan warfarin belum diketahui pengaruhnya. Sedangkan penggunaan bersama ranitidin 2x200 mg dan warfarin 2,5-4,5 mg telah terbukti memperpanjang PT secara signifikan. Pengunaan bersama ranitidin dan teofilin menyebabkan penurunan bersihan plasma teofilin. Pengunaan bersama ranitidin dan diazepam maupun lorazepam relatif tidak saling berinteraksi. Penggunaan bersama 100 mg metoprolol dan ranitin menyebabkan AUC metoprolol meingkat hingga 80% dan rata-rata konsentrasi serum puncak meningkat hingga 50%, dan waktu paruh eliminasi metoprolol meningkat hingga 4,4-6,5 jam. 5. Alkohol. Penggunaan bersama alkohol dan ranitidin menyebabkan peningkatan konsentrasi alkohol serum. 6. Nifedipin. Penggunaan ranitidin bersama nifedipin dapat menyebabkan peningkatan AUC nifedipin hingga 30%. 7. Vitamin B12. Penggunaan ranitidin dapat mengakibatkan defisiensi vitamin B12 karena malabsorpsi vitamin B12. TOKSISITAS AKUT Overdosis ranitidin dapat terjadi pada konsumsi ranitidin hingga 18 gram peroral yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan cara jalan dan hipotensi. Pengobatan overdosis ranitidin dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan ranitidin tak terserap dalam saluran cerna, pemantauan klinis, dan terapi suportif. Hemodialisis dapat dilakukan bila perlu. FARMAKOLOGI Efek farmakologi ranitidin dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. 1. Efek pada GI. Ranitidin menghambat kompetitif reseptor histamin H2 pada sel parietal menurunkan sekresi asam lambung pada kondisi basal maupun terstimulasi makanan, insulin, asam amino, histamin maupun pentagastrin.

2. Efek pada gonad dan endokrin. Ranitidin memberikan sedikit pengaruh pada konsenrasi prolaktin serum. Peningkatan kadar prolaktin serum akan terjadi pada pemberian ranitidin 200 atau 300 mg IV. 3. Efek lain. Ranitidin dan simetidin dapat menurunkan aliran darah hati. Ranitidin tidak menghambat metabolisme antipirin dihati. Ranitidin meningkatkan reduksi nitrat oleh flora normal GI. FARMAKOKINETIK 1. Absorpsi. Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada pemberian secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian secara oral adalah sekitar 50%, demikian pula pada anak-anak. Sedangkan pada geriatrik bioavailabilitasnya rata-rata 48%. 2. Distribusi. Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 10-19% berikatan dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7 L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9 L/Kg. Sedangkan volume distribusi pada anak sekitar 2,3-2,5 L/Kg dengan kisaran 1,1-3,7 L/Kg. Pada pemberian secara oral ranitidin juga terdistribusi ke CSF. Ranitidin juga terdistribusi ke susu. 3. Eliminasi. Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam, dan dapat berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien lanjut usia waktu paruh eliminasi umumnya meningkat seiring berkurangnya fungsi ginjal. Ranitidin sebagian besar diekskresikan dalam urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. 4. Metabolisme. Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida, desmetil ranitidin, dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga mengalami metabolisme lintas pertama dihati. Pada pasien dengan sirosis hati, konsentrasi serum akan meningkat akibat rendahnya metabolisme lintas pertama dihati dan bioavailabilitasnya rata-rata 70%. SEDIAAN Tersedia dalam produk generiknya berupa sediaan: Kapsul 75, 150 dan 300 mg Tablet 150 dan 300 mg Sirup 15 mg/mL Injeksi 25 mg/mL

Cefotaxime

Sediaan dan Komposisi: - Cefotaxime 500 mg Tiap vial mengandung: Cefotaxime sodium setara dengan cefotaxime 500 mg - Cefotaxime 1 g Tiap vial mengandung: Cefotaxime sodium setara dengan cefotaxime 1.000 mg

Cara Kerja Obat: Cefotaxime adalah kelompok obat yang disebut cephalosporin antibiotics. Cefotaxime bekerja dengan cara memperlemah dan memecah dinding sel, membunuh bakteri. Cefotaxime digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi bakteri, termasuk keadaan parah atau yang mengancam nyawa.

Indikasi: Infeksi saluran pernafasan bagian bawah, infeksi saluran kemih dan kelamin, infeksi kulit & jaringan lunak, infeksi dalam perut, infeksi tulang dan sendi, infeksi susunan saraf pusat, infeksi kandungan, infeksi sebelum atau sesudah operasi, bakteremia (beredarnya bakteri dalam darah) atau septikemia (keracunan darah oleh bakteri patogenik dan atau zat-zat yang dihasilkan oleh bakteri tersebut).

Kontraindikasi - Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap antibiotik cephalosporin. - Penderita gagal ginjal yang berat.

Dosis:

- Dewasa dan anak > 12 tahun : 1 gram setiap 12 jam. Pada infeksi berat : 2 kali 2 gram/hari biasanya cukup. Jika diperlukan dosis yang lebih besar, interval pemberian obat dapat diperpendek menjadi setiap 6 - 8 jam. - Bayi dan anak-anak : 50 - 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 - 4 dosis yang setara. Pada infeksi yang mengancam jiwa dapat digunakan dosis sampai 200 mg/kg BB/hari. Karena pada bayi prematur, klirens renal belum berkembang sempurna, dosis perhari tidak boleh melampaui 50 mg/kg BB. - Untuk profilaksis perioperatif, dosis awal diberikan 30 - 60 menit sebelum pembedahan dimulai. Tergantung dari resiko infeksi, dosis serupa dapat diulang. - Untuk terapi gonore non-komplikata pada orang dewasa, dosis tunggal Cefotaxime 1 gram diberikan intramuskular. Pada bakteri yang kurang sensitif mungkin diperlukan peningkatan dosis. Pasien harus diperiksa terhadap kemungkinan infeksi sifilis sebelum terapi dimulai. - Dosis pada gangguan fungsi ginjal. Bila klirens kreatinin < 5 mL/menit, dosis pemeliharaan perlu dikurangi sampai separuh dosis normal. Dosis awal tergantung dari sensitivitas patogen dan kegawatan infeksi. Rekomendasi dosis adalah berdasarkan pengalaman pada orang dewasa.

Cara pemakaian: Cara pemberian obat sebaiknya melalui intravena (langsung pada vena atau bagian dari katup selang infus), walaupun pemberian dapat pula dilakukan secara intramuskular. Pada pemberian intramuskular injeksi harus disuntikkan dalam-dalam pada otot gluteal. Disarankan injeksi intramuskular pada satu sisi yang sama tidak melebihi 4 mL (sekitar 1gram Cefotaxime).

Peringatan dan Perhatian: - Pada pasien yang hipersensitif terhadap penicillin ada kemungkinan terjadi sensitivitas silang. Hati-hati pemberian pada wanita hamil. - Hati-hati bila diberikan pada penderita dengan riwayat penyakit gastrointestinal terutama kolitis. - Cefotaxime diekskresikan dalam air susu ibu sehingga penggunaannya sebaiknya hati-hati pada ibu menyusui. - Agar dilakukan pemeriksaan hitung darah pada penderita yang mendapatkan pengobatan lebih dari 10 hari dan pengobatan dihentikan jika timbul neutropenia. - Interaksi obat : penggunaan bersamaan dengan diuretik kuat, probenesid, obat yang berpotensi nefrotoksik (misal Aminoglikosid). - Efek pada parameter laboratorium.

- Walaupun jarang, hasil tes Coombs positif palsu dapat dihasilkan pada pasien yang diberi Cefotaxime. - Hasil positif palsu mungkin diperoleh dari glukosa urin, bila itu ditentukan dengan metode reduksi. Hal ini dapat dihindari dengan menggunakan metode enzimatik.

Efek Samping: Gangguan saluran pencernaan; reaksi hipersensitivitas; superinfeksi, rasa sakit/nyeri pada tempat penyuntikan, flebitis (radang pembuluh balik), leukopenia yang bersifat sementara, eosinofilia, neutropenia.

Farmakodinamik: Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. Farmakokinetik: Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (ratarata 6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien. Indikasi: Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus. Kontra Indikasi: Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada kemungkinan sensitivitas silang.

Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif. Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti. Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme. Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain. Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain. Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L). Riwayat asma. Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.5005.000 unit setiap 12 jam). Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium. Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi. Anak < 16 tahun. Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikulobulosa. Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal). Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan. Efek Samping: Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea. Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat. Interaksi Obat: Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati karena beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin dilaporkan mengurangi bersihan Methotrexate, sehingga memungkinkan peningkatan toksisitas Methotrexate. Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan perdarahan berat yang kadangkadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui, namun mungkin meliputi peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID, atau efek tambahan

antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan fungsi trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara kombinasi hanya jika benarbenar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara ketat. ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama pada pasien yang telah mengalami deplesi volume. Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira 20% pada orang sehat normovolemik. Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang memakai Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida. Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan Ketorolac bersama dengan obatobat anti-epilepsi. Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada pasien yang sedang menggunakan obat psikoaktif.

You might also like