You are on page 1of 14

Filsafat dan Sastra KAMIS, APRIL 01, 2010

MEN OF IDEAS

Dalam buku dengan judul diatas, Bryan Magee, berdialog dengan lima belas filsuf kontemporer dari berbagai negara. Antara lain dari Inggris, AS, dan Perancis. Dialog ini mula-mula ditayangkan melalui salah satu saluran televisi Inggris beberapa tahun silam. Setelah diadakan sedikit perubahan di sana-sini, terutama penyesuaian dari bahasa lisan ke bahasa tulisan agar dapat lebih mudah dicerna oleh orang awam, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan anak judul 'Some Creators of Contemporary Philosophy'.

Melalui prakata, Magee menegaskan bahwa penerbitan dalam bentuk buku ini terdorong oleh keinginan untuk memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas beberapa wilayah yang menarik dalam aneka bidang filsafat. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapa tokoh filsafat yang menyandang nama besar, apa yang mereka lakukan dan kenapa mereka dianggap besar, apa yang dimaksudkan dengan filsafat eksistensialisme, filsafat moral, filsafat politik, filsafat sains, dan filsafat kesusastraan adalah beberapa dari seruntun pertanyaan yang dijawab oleh buku itu. Berbagai bidang filsafat ini dikupas dalam bentuk diskusi, dan menjadi bacaan yang kian menarik karena Bryan Magee memberi penjelasan tambahan, mengambil kesimpulan serta menyuguhkan latar belakang sejarah lapangan filsafat tertentu terutama filsafat Marxis, dan filsafat logika positif.

Bagi yang ingin berkenalan dengan filsafat, pertanyaan paling pertama muncul dalam pikiran mungkin adalah: apakah filsafat? Dan justru memang pertanyaan

filsafat yang paling mendasar inilah yang diajukan oleh Magee untuk membuka bagian pertama dari lima belas diskusi yang dihimpunnya ke dalam bentuk buku yang diberinya judul 'Men of Ideas'. Pertanyaan ini diserahkanya kepada filsuf Inggris, Sir Isaiah Berlin dari Oxford, dan penulis biografi Marx. Diskusi dengan Sir Isaiah Berlin yang diberi judul 'Pengantar ke Dalam Filsafat' ini berkisar pada berbagai permasalahan yang mendasar dalam filsafat. Landasan titik tolak yang diambil oleh filsafat sebagaimana secara berlebar panjang dibentangkan oleh Isaiah Berlin, kurang lebih dapat kita simpulkan dengan mengatakan bahwa di tengah perjuangan mencari pengetahuan tentang manusia, mereka pada umumnya mengajukan dua jenis pernyaan.

Pertama, berbagai pertanyaan mengenai dunia semesta. Manusia sepanjang masa mencoba menemukan serta menguasai lingkungannya, atau menaklukkan lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut alam semesta ini, menurut Berlin, hanya bisa terjawab pada akhirnya dengan meninjau pertanyaan-pertanyaan itu sendiri, menyelidiki, mengamati, menguji, melakukan percobaan terhadap semesta dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu bersifat faktual, atau sebagaimana yang dikatakan oleh para filsuf: bersifat empiris. Atau jelasnya, pertanyaan pertanyaan yang berpaut dengan pengalaman.

Pertanyaan yang kedua bersifat lebih abstrak dan formal. Misalnya pertanyaan pertanyaan dalam bidang matematika atau logika. Pertanyaan jenis ini berkaitan dengan hubungan timbal-balik antara berbagai kesatuan dengan sistem formal, dan oleh karena itu tidak dapat dijawab hanya dengan meninjau alam semesta. Dengan mengatakan hal ini, menurut Berlin lagi, tidaklah dimaksudkan bahwa pertanyaan itu berada pada jarak yang jauh dari perhatian kita sehari-hari. Satu sistem formal yang sudah sangat biasa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari adalah

aritmatik.

Sistem itu kita pergunakan setiap hari untuk menghitung sesuatu, menentukan waktu, membilang uang dan sebagainya. Suatu sistem niskala memang bisa sangat berguna dan penting dalam kehidupan praktis kita sehari-hari. Dengan demikian, terdapat dua golongan besar pertanyaan: berbagai pertanyaan empiris yang melibatkan ikhtiar meninjau berbagai fakta dan pertanyaan-petanyaan formal yang melibatkan upaya menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir seluruh pertanyaan, dan karena itu seluruh pengetahuan, termasuk ke dalam salah satu dari golongan pertanyaan tadi. Namun tidaklah demikian halnya dengan pertanyaan pertanyaan yang bersifat filosofis. Hampir seluruh pertanyaan yang menunjukkan tanda-tanda pertanyaan filosofis tidak termasuk ke dalam dua golongan pertanyaan tadi.

Pertanyaan seperti apakah yang dimaksudkan dengan hak, keindahan, dan keadilan, tidak dapat sekadar dijawab hanya dengan meneliti ikatan suatu sistem formal atau meninjau fakta-fakta. Oleh sebab itu kita tidak mengetahui apa yang harus diperbuat untuk menemukan jawabannya. Timbulnya pertanyaan yang menuntut jawaban tanpa suatu pengertian yang jelas tentang bagaimana menemukan jawabannya adalah awal dari langkah filsafat. Anggapan keliru yang terlanjur meluas di tengah masyarakat adalah perkiraan bahwa filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk moral tentang bagaimana semestinya kehidupan ini harus dijalani, atau berharap bahwa filsafat dapat menyodorkan penjelasan tantang manusia dan alam semesta, tentang rahasia kehidupan. Atau, dengan lain perkataan, orang mencoba menghampiri filsafat untuk menemukan jawaban-jawaban yang serba pasti.

Seorang filsuf memang bisa bicara tentang moral, tapi dalam hal ini kedudukannya hanya sebagai penasehat filosofis. Bukanlah tugasnya untuk berkhotbah, mengutuk atau memuji, atau memberi berbagai petunjuk tentang bagaimana orang harus hidup. Tugas seorang filsuf, menurut Berlin, hanyalah menempatkan arah dari satu tindakan dalam hubungan moralnya. Menentukan posisinya berdasarkan suatu peta moral, menguhubungakan sifat, motif, tujuannya pada kaitan seluk-beluk nilai ke dalam mana tindakan itu tergolong. Menarik garis dari berbagai akibatnya yang mungkin terjadi serta berbagai implikasinya yang berpautan atau relevan, memberikan berbagai argumen yang pro atau menentangnya dengan seluruh pengetahuan, pengertian, kecakapan logika dan kedalaman moral yang dimiliki oleh sang filsuf.

Dengan demikian, maka ia telah menjalankan tugasnya bukan sebagai seorang pengkhotbah atau juru mudi kehidupan, melainkan sekadar sebagai seorang penasehat filosofis. Seorang filsuf tidak dapat berbuat lebih jauh dari itu atau melampaui batas tugasnya sebagai seorang penasehat filosofis.

Berpijak pada pandangan tadi, Berlin menyuarakan keberatannya pada sebagian besar filsuf moral dan politik, mulai dari Plato dan Aristoteles sampai pada Immanuel Kant, Stuart Mill, Moore, serta kebanyakan para pemikir kontemporer. Menurut Berlin, para filsuf itu justru berbuat sebaliknya. Mereka berusaha mengajarkan bagaimana membedakan antara yang buruk dengan yang baik, menganjurkan penerapan pola-pola yang benar ke dalam tingkah laku manusia. Kendati demikian, diakui pula oleh Berlin bahwa filsafat mengemban tugas ganda: menyelidiki, khususnya mengecam pra-anggapan atas ketentuan-ketentuan nilai yang ditetapkan atau dirumuskan oleh manusia dengan pikiran maupun tindakanya.

Sedangkan tugas lain adalah menampung atau melayani berbagai pertanyaan yang tidak termasuk baik ke dalam golongan formal maupun ke dalam golongan empiris yang telah disinggung dipermulaan tadi.

Buku yang diawali dengan memperkenalkan filsafat melalui dialog dengan Sir Isaiah Berlin itu, kemudian beranjak menelusuri berbagai pokok pikiran dalam banyak lapangan filsafat lainya. Filsafat Marxis misalnya, dibicarakan melalui dialog dengan Charles Taylor dari All Souls College, Oxford. Filsafat eksistensialisme moderen yang dikatakan lahir sebagai akibat pecahnya perang dunia II, yang diduga bermula di Perancis. Tetapi sebenarnya berawal di Jerman. Tokohnya bukan Jean Paul Sartre melainkan Heiderger. Ini dibicarakan melalui diskusi dengan William Barret, seorang guru besar filsafat pada New York University, pengarang buku terkenal 'Irrational Man'. Filsafat moral dibahas dalam tanya jawab dengan Prof. R.M. Hare.

Namun yang ingin dibicarakan di sini secara lebih panjang lebar adalah bagian terakhir itu: dialog Magee dengan Iris Murdoch, seorang filsuf dan novelis berdarah Irlandia terkenal yang telah memperkaya khasanah kesusastraan Inggris kontemprorer dengan sejumlah novelnya, dan seperti Salman Rushdie, ia pernah pula meraih hadiah sastra prestisius: 'Booker's Prize'. Beberapa filsuf besar memang sekaligus pula pengarang besar atau pujangga besar. Mereka juga banyak menetaskan buku-buku kesusastraan. Contoh yang paling jelas adalah Plato, St Augustine, dan Schopenhaeur. Sejumlah nama-nama besar lain juga dapat dikatambahkan dalam kaitan ini seperti Nietzsche, Descartes, Berkeley dan Hume. Dan yang muncul abad ini: Bertrand Russel, serta Jean Paul Sartre. Kedua filsuf yang disebut terakhir ini bahkan berhasil memenangkan hadiah Nobel dalam kesusastraan. Begitupun, Magee berpendapat bahwa kesusastraan tidaklah begitu

saja dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat. Kalau seorang filsuf berhasil menciptakan karya sastra yang baik, ini merupakan satu kelebihan baginya. Ia menjadi tumpuan perhatian yang lebih menarik untuk dikaji.

Namun keberhasilannya mencipta karya sastra yang baik tidaklah dengan sendirinya membuatnya menjadi seorang filsuf yang baik. Karena kwalitas serta arti penting filsafat bukan diperhitungkan berdasarkan nilai-nilai sastra atau estetika. Hal ini agaknya memang perlu ditekankan karena dalam beberapa segi antara filsafat dengan kesusastraan, dua bidang yang sama sekali berbeda, ternyata memang seringkali mengalami tumpang tindih. Orang mencampur-baurkannya sehingga tidak terlihat lagi perbedaan antara keduanya. Dan masalah inilah yang menguasai diskusi Bryan Magee dengan Iris Murdoch, seorang yang seperti sudah dikemukakan tadi, menyandang predikat filsuf yang sekaligus juga novelis internasional yang produktif. Sayang ia telah berpulang belum lama berselang.

Pada bagian diskusi pertama dibicarakan perbedaan antara filsafat dengan kesusastraan. Di bagian kedua didiskusikan ide-ide filosofis mengenai kesusastraan, dan di bagian terakhir kedua tokoh tadi membahas filsafat dalam kesusastraan.

Menurut Iris Murdoch, filsafat bertujuan memperjelas dan menerangkan, filsafat mencoba memecahkan persoalan-persoalan yang sulit dan sangat teknis sifatnya. Penulisan filsafat harus dengan patuh berangkat menuju tujuan itu. Sedangkan kesusastraan adalah satu seni. Satu segi dari suatu bentuk seni. Kesusastraan mengemban tujuan-tujuan kesenian. Kesusastraan merupakan satu bentuk pengungkapan diri, sementara filsafat tidak demikian halnya. Filsafat tidak menuju pada satu bentuk penyempurnaan formal demi kepentingan filsafat itu

sendiri, padahal kesusastraan bergelut dalam permasalahan kompleks dalam bentuk estetika. Kesusastraan mencoba menghasilkan suatu macam penyelesaian. Karya sastra berusaha menciptakan ilusi, sementara filsafat justru berjuang melenyapkan ilusi. Karya sastra adalah karya seni, sementara karya filsafat adalah sesuatu yang lain.

Memang ada, tutur Murdoch, tetapi sangat jarang, karya filsafat yang dapat sekaligus dinilai sebagai karya sastra atau seni seperti 'Symposium' karya Plato. Ditegaskan pula olehnya bahwa adalah dalam kaitannya dengan bagian karya filsafat Plato yang lain, 'Symposium' dapat dinilai sebagai satu pernyataan filsafat. Banyak pemikir besar yang sekaligus juga pengarang besar, namun mereka tidak bisa disebut filsuf. Contoh yang dikemukakan Iris Murdoch adalah Soren Kierkergard dan Nietzsche, dua tokoh yang oleh Dr Fuad Hassan dalam buku 'Berkenalan dengan Existensialisme' terbitan Universitas Indonesia dibicarakan sebagai filsuf Existensialist.

Kendati Murdoch berpendapat bahwa kesusastraan dan filsafat merupakan dua lapangan yang berlainan, namun ia sendiri ternyata tidak mampu mendefinisikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesusastraan. Walaupun demikian, ia mengatakan orang secara kasar memahami apa yang diartikan dengan istilah kesusastraan. Kesusastaran adalah bentuk seni yang menggunakan medium kata-kata. Karya jurnalistik karena itu juga dapat dinilai sebagai karya kesusastraan. Tulisan ilmiah juga bisa dianggap sebagai karyaa sastra. Kesusastraan, menurut Murdoch, beragam bentuknya dan amat luas. Filsafat dinilainya sempit dan sulit. Begitupun, Murdoch menandaskan bahwa filsafat bukan suatu jenis pencapaian sainstifik. Filsafat menggoncangkan konsep-konsep semi-estetis terhadap mana kita umumnya bergantung. Dan katanya pula, siapa saja yang mengandalkan sains,

akan tersingkir ke luar wilayah filsafat. Filsafat adalah upaya untuk mengamati berbagai konsep yang paling umum dan mendalam. Bukanlah ikhtiar yang gampang mengajak orang untuk dapat melihat tahap di mana filsafat melakukan operasinya.

Meskipun Iris Murdoch bisa menerima filsafat dan kesusastraan sebagai dua bidang yang berlainan, namun ia juga mengakui bahwa terdapat pula persamaan di antara keduanya. Filsafat dan kesusastraan, kata Murdoch, adalah pencari kebenaran dan berupaya mengungkapkan kebenaran. Keduanya merupakan kegiatan yang disadari serta dilandaskan pada pengertian, atau bersifat kognitif. Kesusastraan adalah aktivitas imajinatif, begitu juga halnya dengan filsafat. Tetapi pertanyaan pertanyaan yang dikejar oleh filsafat secara keseluruhan tidak serupa dengan pertanyaan-pertanyaan kongkrit yang ingin digapai oleh kesusastraan.

Berbagai metoda yang diterapkan, serta suasana yang melingkupi filsafat, sebagaimana pada sains, berusaha menangkis berbagai godaan fantasi pribadi, sementara imajinasi kreatif serta fantasi amat erat dan merupakan kekuatan yang tidak dapat dielakkan oleh seorang pencipta karya sastra. Filsuf wanita itu menilai bahwa hasrat untuk mengungkapkan diri, untuk memperjelas dan menentukan nilai diri, merupakan motivasi yang kuat untuk berkarya. Dalam hal ini yang dimaksudkan Murdoch adalah karya sastra. Karena itu ia berpendapat bahwa lebih menyenangkan untuk menjadi seorang seniman daripada berusaha menjadi seorang filsuf.

Sastra bisa dianggap satu tehnik disiplin untuk membangkitkan emosi-emosi tertentu, termasuk emosi-emosi yang merangsang sensasi khayalan dan sensasi fisik. Sebagian besar wujud kesenian, kata Murdoch, dikaitkan dengan sex, sengan berbagai fantasi yang tidak baik. Yang ia maksudkan dengan fantasi tidak baik

itu adalah fantasi yang mengundang imaji pornografis, menimbulkan bentuk-bentuk pemanjaan diri sendiri dan yang biasanya menghasilkan berbagai nilai yang salah seperti pemujaan pada kekuasaan, status dan kekayaan. Dengan alasan ini pulalah sementara filsuf berbalik memusuhi seni. Bahkan melalui salah satu bukunya yang berjudul 'The Fire and The Sun', Iris Murdoch secara khusus berbicara tentang sikap permusuhan Plato terhadap seni, padahal Plato sendiri dalam karya-karyanya justru sering menggunakan bentuk-bentuk seni. Atau seperti dikatakan Bryan Magee, jelas terlihat banyak bentuk seni dalam karya-karya Plato. Lantas kenapa Plato, sebagaimana yang dinilai oleh Murdoch, bukan hanya bapak filsafat, melainkan juga seorang filsuf terbaik, justru mengambil sikap bermusuhan terhadap seni?

Dari titik tolak pertanyaan itulah Murdoch kemudian berangkat menguraikan teorinya mengenai pandangan filsafat terhadap kesusastraan. Sebagai seorang pakar teori politik, kata Murdoch, Plato takut terhadap kekuatan emosional yang irrasional dalam seni. Kekuatan untuk menyebarkan berbagai kebohongan yang menarik atau kebenaran-kebenaran subversif. Plato menyepakati sensor yang keras serta pembasmian para pengarang lakon sandiwara. Plato taat pada agama, dan ia merasa bahwa seni memusuhi agama dan filsafat. Seni menurut Plato merupakan suatu pengganti yang egoistis bagi disiplin agama. Kenyataan bahwa karya Plato sendiri merupakan karya seni yang besar adalah dalam pengertian bahwa ia sendiri secara teoritis tidak mengakuinya. Dikatakannya, terdapat pertenggkaran yang sudah berlangsung lama antara filsafat dengan puisi. Dan kita harus ingat, tutur Murdoch, pada masa Plato filsafat baru saja muncul atau lahir dari berbagai bentuk puisi dan spekulasi teologis. Filsafat memang mengalami kemajuan dengan membatasi dirinya sebagai sesuatu yang tersendiri. Pada masa Plato, filsafat memisahkan diri dari kesusastraan. Pada abad ketujuh belas memisahkan diri ilmu

alam. Pada abad kedua puluh memisahka diri dari psychologi. Plato berpendapat seni adalah usaha meniru, tetapi peniruan yang buruk. Murdoch berpendapat, memang benar bahwa lebih banyak seni yang buruk daripada seni yang bagus di sekitar kita. Dan Ironisnya orang justru lebih menyukai seni yang buruk itu daripada yang baik. Plato berkeyakinan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi pribadi, suatu bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk penyelewengan dari hal-hal yang baik.

Selanjutnya Murdoch mengatakan bahwa Plato menilai seni sebagai usaha penjiplakan yang remeh terhadap obyek tertentu tanpa mengandung arti penting umum. Pendapat Plato ini menurut Murdoch tidaklah secara keseluruhan berbeda dengan pandangan Bapak psikologi, Sigmund Freud. Freud menilai seni sebagai fantasi seorang seniman yang berbicara langsung kepada fantasi penikmat karya seninya. Seni dalam pandangan Freud adalah satu bentuk hiburan pribadi, satu jembatan untuk memperoleh kepuasan yang tidak sempat didapat dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, kata Murdoch, kita bisa menyaksikan bagaimana sebuah cerita menegangkan atau filem yang sentimental dengan mudah bisa merangsang fantasi pribadi para pembaca atau penonton. Pornografi adalah contoh yang ekstrim dari seni tersebut.

Namun dipertanyakan oleh Bryan Maggee apakah kritik semacam itu hanya berlaku untuk seni yang buruk. Bagaimana halnya dengan seni yang baik? Menjawab pertanyaan ini, Iris Murdoch mengatakan bahwa seorang penikmat seni bisa saja menggunakan hasil seni untuk melayani tujuannya sendiri, dan hanya seni yang bagus sanggup menolak tujuan-tujuan yang tidak baik dengan lebih berhasil. Maksudnya seseorang mungkin saja mengunjungi satu galeri hanya untuk menyaksikan citra (image) yang pornografis, padahal karya seni yang dipamerkan di sana

barangkali tidak semuanya bisa menimbulkan citra pornografis. Dan karena itu, kemungkinan suatu karya seni ditafsirkan secara tidak baik bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Murdoch secara tegas menolak pornografi. Ditandaskannya bahwa pornografi mendatangkan akibat yang benar-benar merusak dan memerosotkan nilai seni. Dan disayangkannya pula bahwa lebih banyak orang justru menyukai, seperti yang dikatakannya sendiri, karya seni picisan itu.

Lalu karya seni bagaimana yang dinilai baik oleh Murdoch? Saya kira, katanya menerangkan, karya seni yang baik adalah karya seni yang mengandung imajinasi, bukan fantasi. Karya itu hendaknya mampu mematahkan kebiasaaan kita untuk berfantasi, dan sekaligus mendorong kita berusaha untuk mendapatkan pandangan yang benar tentang hidup dan kehidupan. Kita seringkali tidak berhasil melihat kenyataan dunia yang luas ini, karena pandangan kita dibutakan oleh obsesi, kekhawatiran, rasa iri, kejengkelan dan ketakutan. Kita membangun dunia kecil kita untuk diri kita sendiri, dan kita terkungkung di dalamnya. Seni yang bagus, karya seni yang besar, kata filsuf wanita itu pula, adalah karya seni yang bersifat membebaskan, yang memungkinkan kita untuk melihat dan mendapatkan kesenangan dari sesuatu yang bukan melulu kupuasan kita akan diri kita sendiri. Karya sastra yang baik, tambah Murdoch, adalah karya sastra yang sanggup mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu kita, yang mampu membuat kita menaruh perhatian kepada orang lain serta masalah-masalah lain, yang sanggup membuat kita bertenggang rasa dan lapang dada. Dikatakannya pula, bahwa dengan berpandangan demikian, bukan berarti dirinya hanya menilai seni semata-mata dari sudut pendidikan serta faedahnya saja. Seni lebih luas dari gagasan-gagasan sempit seperti itu, tegas Murdoch. Plato setidaknya juga berpendapat betapa pentingnya seni itu dalam kehidupan manusia. Dan Plato sekaligus mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang itu.

Iris Murdoch menilai para filsuf secara keseluruhan tidak sungguh-sungguh berusaha menulis dengan baik tentang seni karena mereka menganggap seni sebagai masalah kecil. Dalam pada itu Magee berpandapat bahwa tidak seperti hampir semua filsuf lainnya, filsuf Perancis Shopenhauer menilai seni sebagai titik pusat kehidupan manusia, dan sang filsuf berbicara secara mendalam mengenai hal itu. Memang benar, kata Murdoch, Schopenhaeur memang bertikai pendapat dengan Plato. Ia bahkan memutar balik pandangan Plato tentang seni. Schopenhaeur mengatakan bahwa seni menguakkan cadar atau kabut subyektivitas, menangkap arus pancaroba kehidupan, dan membuat kita bisa melihat dunia nyata serta menghayati keindahan. Ia menilai seni sebagai kegiatan kecendekiaan, aktivitas moral yang tinggi, satu usaha untuk mengatasi diri dan melihat dunia. Sekalipun demikian, ditegaskan oleh Murdoch bahwa Schopenhauer hanyalah satu perkecualian di kalangan para filsuf yang benar-benar mencintai dan menghargai seni.

Dan untungnya, ujar Murdoch, seniman tidak terlalu banyak memperhatikan para filsuf. Filsafat terkadang bisa merusak seni. Filsafat bisa membuat orang buta terhadap beberapa jenis seni, atau hanya mampu menghasilkan jenis-jenis seni tertentu. Pendapat Murdoch ini dikuatkan oleh Bryan Magee dengan mengemukakan contoh justru di dunia moderen. Di antara filsafat yang merusak seni, kata Magee, adalah Marxisme. Menurut teori Marxis, seni memiliki satu peranan khusus, yakni menjadi alat atau instrumen dari revolusi sosial. Semua hasil seni Marxis itu, seperti dalam bentuk novel, sandiwara, lukisan, seni rupa dan sebagainya, dinilai Magee sebagai sampah. Alasannya, penciptaan seni Marxis itu sama sekali tidak digerakkan oleh dorongan seni yang murni.

Dalam pada itu Murdoch menolak anggapan bahwa tugas seorang seniman adalah

melayani atau mengabdi kepada masyarakat. Marxis, kata Murdoch, beranggapan demikian: tugas seorang seniman mengabdi kepada masyarakat, meskipun dikatakannya pula sudah lama timbul pertikaian pendapat mengenai hal itu. Segera setelah seorang pengarang berkata kepada dirinya sendiri, kata Murdoch, bahwa saya harus mengubah masyarakat melalui tulisan-tulisan saya, maka besar kemungkinan pengarang itu akan merusak karya-karyanya. Tapi apakah pernyataan Murdoch yang terakhir ini bisa berlaku untuk Charles Dickens misalnya? Charles Dickens salah seorang pengarang besar Inggris dengan tujuan-tujuan sosial yang murni. Ia tidak diragukan lagi telah berhasil mendatangkan, melalui karya karyanya, pengaruh sosial yang luas. Dickens, kata Murdoch, memang berhasil berbuat banyak hal. Ia misalnya berhasil sebagai pengarang besar yang imajinatif dan seorang kritikus sosial yang kukuh dan lantang. Namun hal ini disebabkan oleh karena adanya berbagai skandal dalam masyarakat. Dickens sangat berhubungan erat dengan kegaduhan serta perubahan sosial yang secara amat mendalam menjerat imajinasinya. Dickens menjadi pengarang besar berkat kemampuannya menciptakan perwatakan para pelakunya, di samping karena kedahsyatan imajinasinya yang sedikit saja berkaitan dengan pembaharuan atau perubahan sosial.

Dengan mengatakan itu, Murdoch tetap berkeras untuk tidak beranggapan bahwa seniman, atau sentengah seniman, mengemban satu tugas besar terhadap masyarakat. Seorang warga negara memang memikul tugas kemasyarakatan, dan seorang pengarang memang mungkin kadang-kadang merasa punya keharusan menulis sebuah artikel di surat kabar untuk membujuk atau meyakinkan masyarakat, namun itu merupakan satu kegiatan yang lain sifatnya. Kewajiban seorang seniman adalah kepada seni, mengungkapkan kebenaran melalui media seni yang dipilihnya. Tugas utama seorang pengarang adalah menciptakan karya-karya sastra sebaik yang dapat dilakukannya, dan ia harus berusaha untuk dapat melaksanakanya. Sebuah karya teater yang penuh

propaganda dan bersikap acuh tak acuh terhadap seni, mengandung kemungkinan menjadi sebuah pernyataan yang menyesatkan, walaupun karya teater itu diilhami oleh sekian prinsip yang baik. Apabila seni yang betul-betul seni dijadikan sebagai tujuan, kata Murdoch lebih lanjut, maka keadilanlah yang harus dijadikan tujuan utama.

Sebuah tema sosial yang ditampilkan melalui satu bentuk karya seni, besar kemungkinan akan menjadi lebih jelas ditangkap maksudnya walaupun tema itu barangkali kurang mengandung daya untuk meyakinkan masyarakat. Dan seniman, sembarang seniman, boleh saja secara sambil lalu melayani masyarakat dengan mengungkapkan hal-hal yang tidak diperhatikan atau difahami oleh masyarakat tersebut. Dalam setiap masyarakat, kata Murdoch, terdapat propaganda, memiliki kemungkinan-kemungkinan propaganda, sehingga kemampuan untuk membedakan propaganda ini, termasuk usaha melestarikan kesucian serta kemandirian penerapan praktek-praktek seni adalah penting sekali. Satu masyarakat yang baik, demikian Murdoch, adalah masyarakat di mana para senimannya bisa melakukan berbagai hal yang berlainan. Masyarakat yang buruk, adalah masyarakat yang menindas kebebasan seniman karena masyarakat itu tahu bahwa seniman bisa mengungkapkan berbagai kebenaran

You might also like