You are on page 1of 41

PENDAHULUAN DAN STUDI EPIDEMIOLOGI Demam Berdarah Dengue (DBD), merupakan salah satu penyakit menular yang sering

menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian terutama pada anak. Oleh karena itu wabah penyakit ini sering menimbulkan kepanikan masyarakat. Daerah yang mempunyai resiko untuk menjadi wabah demam berdarah dengue umumnya ialah kota atau desa dipantai yang penduduknya padat dan mobilitasnya tinggi.Kejadian luar biasa atau wabah penyakit ini dapat terjadi di daerah endemis maupun daerah yang seluruhnya tidak pernah ada kasus. Biasanya wabah demam berdarah dengue terjadi pada musim hujan, sesuai dengan musim penularan penyakit ini. Pengamatan selama dua puluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa di daerah endemis, wabah DBD terjadi secara periodik, setiap lima tahun. Namun demikian pada umumnya kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah sulit diramalkan sebelumnya. Di Indonesia, penyakit demam berdarah dengue cenderung semakin meningkat jumlah penderitanya dan semakin menyebar luas. Pada tahun 1968 terjadi wabah demam berdarah dengue di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dan kematian 24 orang (41,3 % ). Selanjutnya penyakit DBD ini kemudian menyebar keseluruhan tanah air Indonesia dan mencapai punjak klimaksnya pada tahun 1988, yaitu 20 tahun sejak keberadaannya di Indonesia penyakit ini mengukir puncak tertinggi serangannya. Angka insiden pada waktu itu mencapai 27,09 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 3,2 %. Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan sejumlah rumah sakit menjadi kewalahan dalam menerima pasien DBD. Untuk mengatasinya pihak rumah sakit menambah tempat tidur di lorong-lorong rumah sakit serta merekrut tenaga medis dan paramedis. Merebaknya kembali kasus DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini. Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%). Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali TimorTimur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999, IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun. Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. SEJARAH PERKEMBANGAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA.

Di Indonesia penyakit demam berdarah dengue mulai dikenal pada tahun 1968. Sejak awal masuknya penyakit ini di Indonesia hingga tahun 1974 upaya pemberantasan belum diprogramkan dan upaya pemberantasannya dimasukkan dalam program pemberantasan penyakit lain-lain. Kegiatan pokok pemberantasannya meliputi penemuan kasus, pengobatan penderita serta penyemprotan dilokasi kasus DBD. Mulai tahun 1974 s/d 1980 dibentuk subdit Arbovirosis pada Direktorat Jenderal PPM-PLP dan kegiatan pemberantasannya mulai diprogramkan yang meliputi: pengamatan, pengobatan penderita. Demikian pula dengan yang menangani pemberantasan penyakit DBD dati-I dan dati-II. Pada tahun 1980 s/d 1985 program kegiatan DBD dikembangkan dengan melaksanakan abatisasi massal bagi kota-kota dengan endemisitas DBD tinggi yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Abatisasi massal telah dipertajam sasarannya sejak tahun1985 s/d 1989, melalui stratifikasi desa endemis dan non endemis. Di desa abatisasi terhadap tempat-tempat penampungan air yang ditemukan jentik nyamuk Aides Aegypti. Tahun 1992 s/d sekarang, stratifikasi desa disempurnakan manjadi 3 strata yaitu: Endemis, Sporadis dan Potensial/bebas. Tugas dan fungsi subdit Arbovirosis semakin jelas dengan terbitnya SK Menkes No. 581 tahun 1992 yang menetapkan bahwa upaya pemberantasan DBD dilakukan melalui kegiatan pencegahan, penemuan, pelaporan penderita, pengamatan penyakit dan penyelidikan epidemiologi, penanggulangan seperlunya dan penyuluhan kepada masyarakat. PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE ( DBD ) Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi virus, terutama menyerang pada anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan shock yang menyebabkan kematian. Penyebab penyakit ini adalah virus dengue, virus ini termasuk kelompok arthopode borne virus, famili Togaviridae dan termasuk genus Flavivirus dengue terbagi empat macam yaitu: 1. 2. 3. 4. Dengue 1, diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944. Dengue 2, diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944. Dengue 3, diisolasi oleh Sather. Dengue 4, diisolasi oleh Sather. Akibat infeksi virus dengue dapat menimbulkan bermacam- macam gejala seperti dibawah ini:

1. 2. 3. 4. 5.

Asymtomatis. Mild Undifferentiated Febrile Illnes. Dengue Fever ( demam dengue ). Dengue haemorrhagic Fever ( DHF-DBD ). Dengue Shock Syndrome ( DSS ) Untuk mendignosa penyakit DBD ini dipakai patokan kriteria klinik Who (1975) sebagai

berikut: 1. 2. 3. 4. Demam tinggi mendadak dan terus- menerus selama 2-7 hari. Manifestasi pendarahan, termasuk setidak-tidaknya uji tourniquet positif dan salah satu bentuk lain (petekie, echimosis, epitaksis, pendarahan gusi, hematomesis). Pembesaran hati. Shock, yang ditandai nadi lemah, cepat sisertai tekanan nadi menurun (menjadi 20 mm Hg atau kurang) disertai kulit teraba dingin dan lembab terutama ujung jari dan kaki, penderita menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut. 5. Trombositopeni (100/mm3 atau kurang) biasanya ditemukan pada hari ke 3 sampai hari ke 7 sakit. Jadi paling kurang dilakukan pemeriksaan 2 kali yaitu pada hari ke 3 dan hari ke 5 sakit. 6. Hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari meningginya nilai hematokrit sebanyak hematokrit pada masa konvalesan. Diagnosa klinik penyakit DBD dapat di tegakkan apabila ditemukan 2 atau 3 gejala klinik tersebut diatas disertai trombositopeni dan Hemokonsentrasi. Dengan patokan ini 87 % penderita yang tersangka penyakit demam berdarah dengue ternyata diagnosanya tepat (dibuktikan oleh pemeriksaan serologis). Untuk pemeriksaan serologis ialah dengan inovasi virus, digunakan specimen darah/ filter paper atau serum, hasilnya dapat dilihat lebih kurang satu minggu, sedangkan untuk isolasi virus digunakan serum atau plasma atau jaringan/autopsi pasien, penyakit demam berdarah dengue, atau nyamuk aedes aegypti (hasilnya dapat dilihat setelah lebih kurang 2 minggu), sehingga untuk pengobatan kurang bermanfaat, karena lamanya menunggu hasil pemeriksaan. Berguna untuk konfirmasi diagnosa klinik dan untuk kepentingan Epidemiologi pemberantasan penyakit demam berdarah dengue.

VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE. Sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue di indonesia terutama ialah nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Aedes alboictus, kedua jenis penyakit ini terdapat hampir diseluruh pelosok Indonesia, kecuali ditempat -tempat yang mempunyai ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Aedes aegypti merupakan vektor yang paling penting dalam penyebaran penyakit demam berdarah dengue karena seseorang yang menderita penyakit DBD, dalam darahnya mengandung virus dengue. Virus dengue sudah mulai terdapat dalam darah (viremia) satu sampai dua hari sebelum penderita demam.

PERILAKU NYAMUK AEDES AEGYPTI Untuk dapat memberantas nyamuk Aedes Aegypti secara efektif diperlukan pengetahuan tentang pola perilaku nyamuk tersebut yaitu perilaku mencari darah, istirahat dan berkembang biak, sehingga diharapkan akan dicapai Pemberantasan Sarang Nyamuk dan jentik Nyamuk Aedes Aegypti yang tepat. A. PERILAKU MENCARI DARAH

- Setelah kawin, nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur - Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2 3 hari sekali - Menghisap darah pada pagi hari sampai sore hari, dan lebih suka pada jam 08.00 12.00 dan jam 15.00 17.00 - Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigigt lebih dari satu orang - Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter - Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan. B. PERILAKU ISTIRAHAT - Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu istirahat sekitar 2 3 hari untuk mematangkan telur. - Tempat istirahat yang disukai : Tempat-tempat yang lembab dan kurang terang, seperti kamar mandi, dapur, WC Di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu, tirai Di luar rumah seperti pada tanaman hias di halaman rumah. C. PERILAKU BERKEMBANG BIAK - Nyamuk Aedes Aegypti bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti : Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari : bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara (Tower air) yang tidak tertutup, sumur gali Wadah yang berisi air bersih atau air hujan : tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol, tempat pembuangan air di kulkas dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air meskipun dalam volume kecil. - Telur diletakkan menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. - Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar 100 butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 mm per butir. - Telur ini di tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan . - Telur akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 2 hari terendam air.

- Jentik nyamuk setelah 6 8 hari akan tumbuh menjadi pupa nyamuk. - Pupa nyamuk masih dapat aktif bergerak didalam air, tetapi tidak makan dan setelah 1 2 hari akan memunculkan nyamuk Aedes aegypti yang baru.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN PENYAKIT DBD Seperti diketahui bahwa penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Dewasa ini dikenal 4 type virus dengue di Indonesia, yaitu virus dengue type 1, 2, 3, dan 4. Menurut teori infeksi sekunder, seseorang yang hanya terkena infeksi satu macam virus dengue saja tidak akan jatuh sakit, kecuali hanya merasa demam ringan. Namun bila orang tersebut terinfeksi oleh 2 macam virus dengue, barulah yang bersangkutan akan menderita sakit DBD. Penyebaran berbagai tipe virus dengue ini dari suatu wilayah ke wilayah lain dibawa oleh orang-orang yang terinfeksi

virus dengue yang berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat yang lain. Di tempat yang baru melalui gigitan nyamuk penular DBD seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus menyebarkannya kepada orang lain di sekitarnya. Penyebaran virus akan mudah terjadi di daerah yang padat penduduknya. Dari data yang ada dewasa ini subdit arbovirosis Ditjen PPM-PLP, diketahui bahwa dari 301 dati II yang ada di Indonesia, 255 buah Dati II telah terjangkit DBD. Ini artinya menunjukkan bahwa 84,7 % dati II diseluruh Indonesia telah dirambah virus dengue dan cepat atau lambat , sisa Dati II yang belum terjamah virus DBD pasti akan terjamah juga karena tidak ada manusia yang kebal virus DBD. PENYAKIT DBD MASIH PERLU TERUS DIWASPADAI. Sejak awal tahun 90-an banyak pakar menulis agar kita semua bersiap-siap menghadapi kemungkinan terjadinya KLB DBD tahun1993. Perkiraan ini berdasarkan hasil pengamatan siklus peningkatan kasus DBD nasional yang 5 tahunan. Dimana kita lihat terjadi peningkatn jumlah kasus yang berulang secara teratur, yaitu pada tahun 1968, 1973, 1977/78, 1983 dan 1988. Ternyata jumlah penderita DBD tahun 1993 sebanyak 17.418 orang, meninggal 418 orang ( CFR 2,4 % ). Sedangkan jumlah penderita pada tahun 1992 sebanyak 17.620 orang, meninggal 609 orang (CFR 2,4 %). Secara angka kelihatan jumlah penderita menurun sedikit, tetapi angka yang sedikit ini sangat besar artinya, mengingat perkiraan semua pakar, yang akan terjadi ledakan jumlah penderita tahun 1993 sesuai dengan siklus 5 tahunan peningkatan jumlah penderita DBD secara nasional. Semua ini tidak terlepas dari usaha-usaha pemerintah dan semua masyarakat, khususnya dalam usaha pencegahan penyakit DBD yang semakin intensif dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, antara lain penyuluhan melalui media massa, pencanangan gerakan pembersihan sarang nyamuk Aedes aegypti. Disamping itu, penurunan persentase penderita DBD yang meninggal 2,4 % dibanding 2,9 % pada tahun 1992, juga sangat berarti. Ini semua berkat usaha para kliniksus di rumah sakit dan puskesmas. Juga berkat partisipasi masyarkat secara sadar untuk berobat sedini mungkin. Ini berdasarkan hasil laporan beberapa rumah sakit di Dati II di Jawa dan Bali, sampai dengan bulan Mei 1994, terlihat indikasi peningkatan jumlah penderita yang dirawat, seperti DKI Jakarta, Rembang, Jawa Tengah, Sidoarjo, Kediri, Nganjuk, dan Trenggelek di Jawa Timur serta RSU Denpasar, Bali.

Hasil survei pada tahun 1992 yang lalu, menunjukkan bahwa dibeberapa kota di Indonesia, nyamuk ini masih banyak terdapat dirumah-rumah maupun ditempat - tempat umum, termasuk sekolah tempat ibadah, rumah makan, dan tempat penginapan. Rata-rata rumah dan tempat umum yang ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti di 26 ibu kota propinsi, bervariasi antara 10-26 %. EPIDEMIOLOGI 1. Penyebab Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne virus (arbovirus). Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga. 2. Gejala Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan: Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38-40 derajat Celsius) Manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena. Hepatomegali (pembesaran hati). Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Trombositopeni. Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare kejang dan sakit kepala. Pendarahan pada hidung dan gusi. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.

3.

Masa Inkubasi Masa inkubasi terjadi selama 4-6 hari.

4.

Penularan Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti / Aedes albopictus betina

yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang. Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia. 5. Penyebaran Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai berikut : - Tahun 1996 : jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang. - Tahun 1998 : jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang - Tahun 1999 : jumlah kasus 21.134 orang. - Tahun 2000 : jumlah kasus 33.443 orang. - Tahun 2001 : jumlah kasus 45.904 orang - Tahun 2002 : jumlah kasus 40.377 orang. - Tahun 2003 : jumlah kasus 50.131 orang. - Tahun 2004 : sampai tanggal 5 Maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang. KEJADIAN INFEKSI VIRUS DENGUE Penyakit infeksi virus Dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial, yang pada saat ini mulai diupayakan memahami keterlibatan faktor genetik pada penyakit infeksi virus, yaitu: kerentanan yang dapat diwariskan. Konsep ini merupakan salah satu teori kejadian infeksi

berdasarkan adanya perbedaan kerentanan genetik (genetic susceptibility) antar individu terhadap infeksi yang mengakibatkan perbedaan interaksi antara faktor genetik dengan organisme penyebab serta lingkungannya. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak serta sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan demam berdarah, maka virus dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial, dengan target utama virus dengue adalah APC ( Antigen Presenting Cells) di mana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena.Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya.

Virus bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T. Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala (asomtomatik) demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Di Indonesia sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun 1991. Sewaktu terjadi wabah, berbagai serotipe virus Dengue berhasil diisolasi, diantaranya virus Dengue tipe 1, 2, 3 dan 4.

PATOFISIOLOGI DEMAM DENGUE Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.

PATOFISIOLOGI DBD Sistim vaskuler Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor: perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal.

Sistim respon imun Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat. Perubahan Patofisiologi DBD Patofisiologi DBD dan DSS seringkali mengalami perubahan, oleh karena itu muncul banyak teori respon imun seperti berikut. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut

melalui aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotip virus yang sama tersebut, tetapi apabila terjadi antibodi yang nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan penderita menjadi parah; hal ini terjadi apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospes. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda terjadilah proses berikut : Virus dengue tersebut berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan TCR ( T Cell Receptor ) sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu INF gama, Il-2 dan CSF (Colony Stimulating Factor). Dimana IFN gama akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF alpha. IL-1 sebagai mayor imunomodulator yang juga mempunyai efek pada endothelial sel termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule 1 (ICAM 1).

Sedangkan CSF (Colony Stimulating Factor) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan mudah mengadakan adhesi. Neutrophil yang beradhesi dengan endothel akan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding endothel lisis dan akibatnya endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitochondria dan siklus GMPs. Akibatnya endothel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endothel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler sehingga terjadi syok. Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan dipermukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+, limfosit T akan teraktivasi yang bersifat sitolitik, sehingga semua sel mengandung virusdihancurkan dan juga mensekresi IFN gama dan TNF alpha. PATOGENESIS Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organelorganel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protektif terhadap serotip virus yang lain. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement. Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M. Glikoprotein

E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion. Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN. Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda : a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotip spesifik yang dapat mencegah infeksi virus. b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan sebagai berikut: Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous).

Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan uraian berikut: Pada infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.

Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam betuk gambar berikut:

TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan mengakibatkan syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan.

Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi proses Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Dimana bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, Tcells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjadinya DHF dan DSS.

Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya berselang beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menjadi penyebab kematian dari infeksi virus tersebut melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi virus di dalam sel mulai dari terjadinya stres dari sel sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan local (local tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.

Sistem HLA/MHC pada umumnya berperan dalam pengawasan dan regulasi respons imun. Peran dalam regulasi respons imun berupa proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan kelas II (lokus D/DR,DQ,DP). Penelitian oleh Azaredo EL dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/SSD umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus dengue akan mensekresi monokin

yang berperan dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/SSD. Pada penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001, ternyata Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83. Anehnya DC yang terinfeksi virus dengue ini sanggup memproduksi TNF- a dan IFN-g, namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T. Jadi IL-10 sebagai sitokin proinflamasi tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit Th1, yang dikatakan berperan pada infeksi virus pada umumnya. Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap rangsangan mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase konvalesen respon proliferative kembali normal. Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF-, IL-10 dan reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/SSD. Peningkatan TNF berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada infeksi virus Dengue fase akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF berperan penting dalam severity dan patogenesis DBD/SSD, begitu juga meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit. Hipotesis tentang patogenesis DBD/SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh IFN-/TNF- dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya

trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/SSD. Menurut Lei HY dkk, 2001, infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi. Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik. Dihipotesiskan bahwa

peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD/DSS berat terjadi peningkatan level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro oleh Bosch I dkk (2002) melalui kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan karena terjadi peningkatan aktivasi dari NFkappaB. Penelitian oleh Bethell dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular adhesion molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya penyakit. FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEHIDUPAN VEKTOR Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor abiotik dan biotik. Menurut Barrera et al. (2006) faktor abiotik seperti curah hujan, temperatur, dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor dan makanan yang berinteraksi dalam kontener sebagai habitat akuatiknya pradewasa juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi imago. Keberhasilan itu juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik, komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu juga berpengaruh terhadap siklus hidup Ae. aegypti. Selain itu bentuk, ukuran dan letak kontener (ada atau tidaknya penaung dari kanopi pohon atau terbuka kena sinar mata hari langsung) juga mempengaruhi kualitas hidup nyamuk. Factor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi populasi Ae.aegypti (Irpis 1972). Suhu juga berpegaruh terhadap aktifitas makan (Wu & Chang 1993), dan laju perkembangan telur menjadi larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi imago (Rueda et al. 1990). Faktor suhu dan curah hujan berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam kontainer (Barrera et al., 2006). Di Indonesia, faktor curah hujan itu mempunyai hubungan erat dengan laju peningkatan populasi di lapang. Pada musim kemarau banyak barang bekas seperti kaleng, gelas plastic, ban bekas, keler plastic, dan sejenisnya yang dibuang atau ditaruh tidak teratur di sebarang tempat. Sasaran pembuangan atau penaruhan barang-barang bekas tersebut biasanya di tempat terbuka seperti lahan-lahan kosong atau lahan

tidur yang ada di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan. Ketika cuaca berubah dari musim kemarau ke musim hujan sebagian besar permukaan dan barang bekas itu menjadi sarana penampung air hujan. Bila di antara tempat atau barang bekas itu berisi telur hibernasi maka dalam waktu singkat akan menetas menjadi larva Aedes yang dalam waktu (9-12 hari) menjadi imago. Fenomena lahan tidur dan lahan kosong sering menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga termasuk barang kaleng yang potensial sebagai tempat pembiakan nyamuk. Pada musim hujan imago bertina memperoleh habitat air jernih yang sangat luas untuk meletakkan telurnya. Setiap benda berlekuk atau lekukan pohon atau bekas potongan pangkal pohon bambu juga potensial sebagai penampung air jernih yang dapat dijadikan tempat peletakkan telur bagi serangga vector terutama Ae. albopictus yang biasa hidup di luar rumah. Terlebih lagi cuaca dalam keadaan mendung dapat merangsang naluri bertelurnya nyamuk. Dengan demikian populasi nyamuk meningkat drastis pada awal musim hujan yang diikuti oleh meningkatnya kasus DBD di daerah tersebut. PENGENDALIAN TERPADU VEKTOR VIRUS DBD Konsep. Konsep pengendalian terpadu yang dimaksud adalah mengintegrasikan cara-cara pengendalian yang potensial secara efektif, ekonomis dan ekologis untuk menekan populasi serangga vector pada aras yang dapat ditoleransi. Konsep pengendalian tersebut dapat diterapkan pada jenis serangga vector penyakit lain selain Ae. aegyipti dan Ae. abopictus yang berhubungan dengan penyakit tular vaktor pada manusia. Konsep pengendalaian hama terpadu itu sudah lazim digunakan untuk mengendalikan serangga hama dan vector penyakit tanaman di seluruh dunia yang manyangkut implementasi pola pikir dan metode yang benar dalam penanggulangan hama dan penyakit pada waktu yang tepat. Prinsip tersebut menyangkut usaha mencari dan menyusun cara-cara alternative yang kompatibel dan efektif mengendalikan hama dan penyakit sasaran. Di Indonesia cara tersebut telah dituangkan ke dalam UU Budidaya tanaman sebagai landasan dasar penyusunan kebijakan perlindungan tanaman di Indonesia. Konsep tersebut lahir sebagai jalan keluar dari jebakan penggunaan pestisida sintetis yang semakin mahal dan beresiko tinggi terhadap ancaman kesehatan manusia dan lingkungan hidup (Oka, 1995; Supartha, 2003). Di Amerika cara pengendalian terpadu vektor tersebut dikonsepkan tidak hanya untuk vector DBD yang ditularkan oleh Ae. aegypti tetapi juga untuk pengendalian populasi vector penyakit lain

seperti tikus, jenis nyamuk lain dan juga lalat dengan pertimbangan matang melalui fisik, kimia dan hayati (Lloyd, 2003). Saat ini hanya cara pengendalian yang tepat menanggulangi penyakit DB dan DBD adalah menurunkan populasi vector untuk mengurangi kontak antara vector dengan manusia dan mengendalikan habitat larva dari beragam lokasi. Cara ini memerlukan pengetahuan yang memadai untuk mengenali jenis dan karakter, habitat dan perilaku hidup atau bioekologinya dan arti penting nyamuk vector tersebut sebagai penular penyakit yang mematikan itu. Untuk itu diperlukan pengembangan teknologi dan strategi berbasis masyarakat untuk menjamin keberlanjutan usaha pengendalian tersebut. Perkembangan Teknologi Pengendalian Vektor. Disadari bahwa penanggulangan penyakit DBD masih bertumpu pada pengelolaan vector dan pemutusan siklus hidupnya. Untuk itu banyak teknologi yang dikembangkan untuk pengendalian vektor tersebut baik yang berbasis alam, fisik-mekanik, kimia maupun masyarakat. Rui et al. (2003 dalam Kardinan, 2007) mengembangkan teknologi yang dapat menghindari nyamuk dengan lotion atau krem anti nyamuk. Lotion anti nyamuk yang telah beredar di Indonesia berbahan aktif DEET (Diethyl toluamide) dengan bahan kimia sintetis beracun dalam konsentrasi 10-15% (Gunandini, 2006). Selain itu ada juga dikhlorvos dalam semprotan ( spray) bentuk aerosol yang telah dilarang peredarannya oleh Pemerintah Indonesia karena membahayakan kesehatan manusia. Sementara propoxur masih diperbolehkan, walaupun telah menimbulkan ribuan korban jiwa di Bophal-India. Pengendalian vektor secara space spraying yaitu pengabutan (thermal fogging) dan Ultra Low Volume (cold fogging) dengan insektisida Malathion dari golongan organofosfat sudah digunakan sejak tahun 1972 di Indonesia (Sudyono, 1983 dalam Suwasono & Soekirno, 2004). Insektisida Bendiocarb dari golongan karbamat juga pernah diuji coba dengan formulasi ULV juga (Hadi, et.al., 1993). Cara itu sangat lazim dilakukan pada saat outbreak terutama pada bulan-bulan kritis serangan DBD. Walaupun bahan aktif yang digunakan itu tidak selalu efektif mengendalikan vaktor karena di beberapa tempat, Aedes sudah menunjukkan resistrensi terhadap beberapa insektisda yang digunakan. Jirakanjanakit (2007b) melaporkan bahwa hampir semua populasi Ae. aegypti menunjukkan ketahanan terhadap insektisida pyrethroid, permethrin, dan deltamethrin yang umum digunakan di Thailand. Kalaupun pengasapan masih digunakan hasilnya hanya dapat menghalau atau membunuh imago tetapi tidak termasuk larvanya. Pengasapan dengan Malathion 4 persen dengan pelarut solar, yang dinilai masih efektif hanya mampu membunuh imago pada radius

100-200 meter yang hanya efektifitas satu sampai dua hari (Judarwanto, 2007). Dalam kondisi seperti itu, penggunaan insekstisda selain kurang efektif dan mahal juga berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan. Untuk mengantisipasi peristiwa tersebut banyak juga peneliti pestisida melakukan eksplorasi bahan aktif insektisida dari tanaman dan mikroba. Kardinan (2007) mencoba ekstrak beberapa jenis tanaman selasih sebagai pengusir nyamuk. Peneliti tersebut berupaya memilih selasih yang mengandung bahan aktif eugenol, tymol, cyneol atau estragole sebagai bahan - bahan aktif repellent (pengusir) serangga. Selasih berpotensi sebagai repelen Ae. aegypti walaupun daya proteksinya masih di bawah DEET. Daya proteksinya yang tertinggi adalah sebesar 79,7% yang dicapai selama satu jam (Kardinan, 2007). Malaysia kini juga mengembangkan nyamuk rekayasa penjantan mandul yang dilepas di daerah nelayan Pulau Ketam, Malaysia. Pelepasan nyamuk Ae. egypti jantan yang telah menjalani rekayasa genetika itu kemudian diharapkan mengawini nyamuk Ae. aegypti betina di alam. Dengan demikian nyamuk betina yang ada di alam akan menetaskan telur steril yang tidak bisa menghasilkan keturunan. Cara ini masih dalam tahap uji coba yang keefektifannya belum diketahui. Selain itu, cara tersebut membutuhkan teknolgi tinggi dengan biaya mahal. Sementara menunggu hasil tersebut diperlukan intensitas penggunaan teknologi yang tersedia. Penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis israeliensis (Bti) sebagai senyawa bakteri juga dilaporkan efektif mengendalikan larva (Lutz, 2000). Bahan aktif itu telah dijual secara komersial dengan nama dagang Bactimos, Teknar, dan Vectobac dalam bentuk yang bervariasi yaitu cairan, granula, dan briket. Bahan aktif yang dimakan oleh larva, mengeluarkan toksin yang menyebabkan kematian pada larva dalam satu hari. Insektisida microba tersebut sangat selektif, tidak membahayakan ikan, atau organism yang hidup di air lainnya, tanaman, kehiduoan liar, hama atau manusia. Keefektifan larvisida tersebut bertahan sekitar 2 hari tergantung cara aplikasinya. Untuk formulasi briketnya dapat bertahan dan efektif sampai satu bulan karena pelepasan toksinya secara perlahan. Pengendalian fisik-mekanik dengan cara klasik seperti pemasangan kelambu terutama pada anak-anak sudah dilakukan. Walaupun cara tersebut efektif mencegah kontak antara vektor dengan inang namun tidak banyak yang melakukan cara tersebut karena alasan teknis pemasangan kelambunya dinilai rumit. Cara yang sudah umum dilakukan adalah pemberantasan habitat (sarang) nyamuk melalui gerakan serentak 3 M (menguras bak air. menutup tempat yang potensial menjadi sarang berkembang biak, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air). Tempat penampungan air seperti bak mandi, kolam, pot bunga berair sudah dilakukan gerakan abatisasi.

Secara konseptual gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M seminggu sekali cukup memadai untuk memotong siklus hidup nyamuk tersebut. Walaupun demikian secara factual kasus serangan penyakit masih mengikuti pola lama yaitu setiap awal musim hujan ledakan populasi vector meningkat dan kasus serangan DBD pun mencuat. Fenomena itu terjadi karena upaya PSN dengan 3M Plus itu belum dilakukan secara sistematis, serentak, berkelanjutan. Gerakan serentak mengenai PSN di seluruh negeri Kuba pernah dirintis 100 tahun yang lalu oleh Jenderal WC Gorgas untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti (Judarwanto, 2007). Upaya itu dilakukan untuk memberantas demam kuning (yellow fever disease). Gerakan yang dilakukan besar-besaran itu berhasil gemilang. Gerakan itu, kemudian ditiru oleh Malaysia dan Singapura dengan menjatuhkan sanksi denda kepada kepala keluarga yang rumahnya kedapatan jentik nyamuk. Akankah gerakan seperti ini mungkin dilakukan di Indonesia. Latahkah gerakan seperti itu dilakukan melalui system Banjar di Bali. Karena dari sekian banyak teknologi modern yang ditawarkan untuk pengendalian nyamuk demam berdarah, cara pengendalian fisik-mekanik dengan PSN masih sangat relevan, murah, dan ramah terhadap lingkungan. Upaya itu memerlukan regulasi, koordinasi, sosialisasi, dan amunisi (pendanaan) untuk mengubah pola piker membangun komitmen masyarakat dan aparat. Walaupun demikian tidak ada cara tunggal yang efektif mengendalikan vector tersebut. Oleh karena itu diperlukan integrasi cara yang kompetibel yang pelaksanaannya perlu dikoordinasikan dengan pihak terkait. Prinsip Dasar pengendalian Vektor terpadu (PVT). Prinsip dasar PVT tersebut adalah surveilen epidemiologi dan entomologis, manajemen lingkungan sehat, kajian bioekologi serangga vector, sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas instansi, partisipasi aktif masyarakat. Prinsip dasar itu dikembangkan dari tetra hedron hubungan vector dengan inang, lingkungan dan manusia sebagai factor utama yang patut menyadari posisinya dalam pengelolaan terpadu vector penyakit tersebut. Terkait dengan vector tersebut, perlu diketahui spesiesnya, sifat bioekologisnya, sifat penularan virusnya. Berkaitan dengan inang juga perlu diketahui kepadatan, karakteristik social budayanya. Faktor lingkungan seperti diuraikan sebelumnya mencakup lingkungan biotic (musuh alami, makanan, inang, demografi) dan abiotik (geografis dan meteorologist) yang erat hubungan dengan dinamika populasi vector. Pada tahun 1980 WHO (1980) telah memberikan model pengelolaan lingkungan untuk tujuan pengendalian vector virus DBD melalui modifikasi dan manipulasi lingkungan serta mengubah kebiasaan dan perilaku manusianya untuk mengurangan kontak vector inang

pathogen. Keberhasilan di dalam mengelola vector tergantung dari pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi vector sebagai penular penyakit DBD yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan inang (sehat ataupun sakit). Keberadaan manusia dalam system tetrahedron itu dimaksudkan untuk melihat tanggung jawab dan komitmennya dalam pengelolaan lingkungan untuk tujuan memotong siklus hidup vector dan penyakit sehingga inang penyakit baik manusia maupun hewan peliharaannya dapat dicegah dan dikurangi kasus sakitnya. Secara sosiologis individu manusia dan kelompok masyarakat merupakan modal manusia (human capital) dan modal social (social capital) yang perlu mendapat penekanan dalam system pengelolaan terpadu. Untuk itu partisipasi masyarakat sangat penting dalam system PVT baik secara individu maupun kelompok. Selain itu kearifan lokal yang dimiliki oleh individu atau masyarakat Bali perlu dipelajari sebagai modal budaya ( cultural capital) dalam penanggulangan DBD di Bali. Penggunaan modal social tersebut pernah sukses untuk program KB dengan system Banjarnya. Modal social dan budaya tersebut sangat memungkinkan untuk mengefektifkan gerakan serentak pengendalian jentik nyamuk di seluruh Bali baik berkaitan dengan PSN atau aplikasi program 3 M plusnya atau manajemen lingkungan untuk mewujudkan kondisi bebas jentik di masing-masing rumah sebagai mana diterapkan oleh Malaysia dan Singapura. Strategi dan Teknologi Utama. Gerakan PSN atau 3 M tersebut mesti lebih diintensifkan melalui penguatan legislasi (di tingkat provinsi, kabupaten dan desa), sosialisasi, koordinasi dan juga amunisi (pendanaan) secara berkelanjutan. Bila kegiatan itu dapat dilakukan secara intensif dan berkelanjutan, maka masalah vector dan kasus DBD yang selalu mencuat pada awal musim hujan dapat dikurangi. Dengan demikian rasa aman masyarakat semakin terjamin. Walaupun demikian sosialisasi untuk mengubah pola pikir masyarakat ke arah itu tidak mudah, untuk itu diperlukan sosialisasi dan pengembangan teknologi-teknologi alternative terkait musuh alami, insetisida botani dan mikroba, zat pengatur tumbuh dan juga regulasi melalui system karantina juga penting dirintis yang penggunaanya disesuaikan situasi dan kondisi penyakit, dan dinamika populasi dan struktur komunitas serangga vector di lapangan. Untuk penanganan kasus vector dan DBD tidak bisa lepas dari kegiatan surveilens untuk mendapatkan informasi segar dalam penyusunan program strategis selanjutnya baik berkaitan dengan penelitian, pengembangan teknologi, advokasi, edukasi masyarakat maupun pengadaan bahan teknologi sebagai antisipasi bila terjadi keadaan

luar biasa (KLB). Berdasarkan hasil surveilen tersebut, indicator angka bebas jentik (ABJ) dapat diketahui peta penyebaran, status Aedes hubungannya dengan kasus DBD. Apakah daerah tersebut endemis atau bukan. Berdasaran indicator tersebut juga, strategi dan teknologi pengendaliannya dapat dirancang dan dijadwalkan operasionalnya. Bila keadaan serangan DBD luar biasa dan vector tinggi maka straegi dan teknologinya mesti yang bekerja cepat seperti insektisida. PENCEGAHAN Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu : Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh: Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali. Menutup dengan rapat tempat penampungan air. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya. 14). Kimiawi Cara pengendalian ini antara lain dengan: Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain. Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik, dan bakteri (Bt.H-

Cara

yang

paling

efektif

dalam

mencegah

penyakit

DBD

adalah

dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat. PENGOBATAN Pengobatan penderita Demam Berdarah adalah dengan cara: Penggantian cairan tubuh. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter - 2 liter dalam 24 jam (air teh dan gula sirup atau susu). Gastroenteritis oral solution/kristal diare yaitu garam elektrolit (oralit), kalau perlu 1 sendok makan setiap 3-5 menit. rujuk segera

KEBIJAKAN PEMERINTAH Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh penyakit demam berdarah, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa kebijakan, di antaranya adalah: Memerintahkan semua rumah sakit baik swasta maupun negeri untuk tidak menolak pasien yang menderita DBD. Meminta direktur/direktur utama rumah sakit untuk memberikan pertolongan secepatnya kepada penderita DBD sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku serta membebaskan seluruh biaya pengobatan dan perawatan penderita yang tidak mampu sesuai program PKPSBBM/ program kartu sehat . (SK Menkes No. 143/Menkes/II/2004 tanggal 20 Februari 2004). Melakukan fogging secara massal di daerah yang banyak terkena DBD. Membagikan bubuk Abate secara gratis pada daerah-daerah yang banyak terkena DBD. Melakukan penggerakan masyarakat untuk melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M dan merekrut juru pemantau jentik (jumantik).

Penyebaran pamflet lewat udara tentang pentingnya melakukan gerakan 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur). Menurunkan tim bantuan teknis untuk membantu RS di daerah , yang terdiri dari unsur-unsur Ikatan Dokter Anak Indonesia, Persatuan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia, dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah

Membantu propinsi yang mengalami KLB dengan dana masing-masing Rp. 500 juta, di luar bantuan gratis ke rumah sakit. Mengundang konsultan WHO untuk memberikan pandangan, saran dan bantuan teknis. Menyediakan call center. 1. DKI Jakarta, Pusadaldukes (021) 34835188 (24 jam), 2. DEPKES, Sub Direktorat Surveilans (021) 4265974, (021) 42802669 3. DEPKES, Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) (021) 5265043

Melakukan Kajian Sero-Epidemiologis untuk mengetahui penyebaran virus dengue.

TINDAKAN BADAN LITBANG KESEHATAN Dalam rangka membantu mengatasi penyakit Demam Berdarah, Badan Litbang Kesehatan telah melakukan beberapa penelitian, di antaranya: 1. Penelitian Seroepidemiologi Infeksi Virus Dengue pada Anak-anak dan Remaja di Mataram, Tahun 1998. 2. Penelitian Evaluasi dan Pembinaan Pokja DBD Khususnya Ibu Dasa Wisma dalam Pelaksanaan Penanggulangan Penularan Penyakit DBD, Tahun 1999. 3. Penelitian Peningkatan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) Berbasis Masyarakat dengan Pendekatan Pendidikan Kesehatan Masyarakat, Tahun 2000. 4. Penelitian Pengembangan Metode Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Daerah Endemis Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Tahun 2001. 5. Penelitian Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue di DKI Jakarta 2003. 6. Penelitian Wabah Demam Berdarah Dengue pada Sepuluh Rumah Sakit di DKI Jakarta Tahun 2004. (Penelitian ini sedang berlangsung).

Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan suatu sistem surveilen dengan menggunakan teknologi informasi (Computerize) yang disebut dengan Early Warning Outbreak Recognition System ( EWORS ). EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS (Badan Litbangkes. Depkes RI.) secara cepat. Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia. KEBIJAKSANAAN PROGRAM PEMBERANTASAN DBD DI INDONESIA a. Dasar Kebijaksanaan Mengingat vaksin belum tersdia, maka pemberantasan DBD dilakukan dengan memberantas vektornya. Cara tepat untuk memberantas aedes aegypti adalah pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ) oleh masyarakat, karena itu diperlukan penyuluhan dan penggerakan PSN melalui kerja sama lintas program dan sektoral dalam kordinasi kepala wilayah. Daerah. Keberhasilan upaya PSN ini memerlukan waktu yang cukup lama karena erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. Sementara penyakit DBD cenderung menyebar luas, insiden meningkat disertai kematian , oleh karena itu digunakan insectisida untuk membatasi penyebaran penyakit dan mencegah KLB. b. Kebijaksanaan Pelaksanaan ( Kepmenkes no. 581 tahun 1992 ) 1. penyuluhan dilaksanakan melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat oleh petugas/ pejabat kesehatan dan sektor terkait, pemuka masyarakat dan orang yang mengetahui tentangpenyakit demam berdarah dengue. 2. Upaya pencegahan DBD ditingkat desa/ kelurahan dilaksanakan secara swadaya dan dikordinasikan oleh Pokja DBD/ LKMD. 3. Pembinaan pelaksanaannya dilakukan oleh Pokjanal DBD/ Tim Pembina LKMD ditiap tingkat adminitraso pemerintah.

4. Setiap kasus DBD dilaporkan kepada puskesmas untuk dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penaggulangan seperlunya. 5. Di desa endemis dilakukan penyemprotan dan abatisasi selektif untuk membatasi penularan dan pencegahan KLB. c. Tujuan dan sasaran serta pokok-pokok kegiatan Mencegah dan membatasi KLB Membatasi angka kesakitan ( Insidens < 10 per 100.000 ). Menurunkan angka kematian ( CFR < 2,5 % ). Meningkatnya peran serta masyarakat dalam PSN sehingga ABJ dikecamatan endemis > 95 %. Penemuan dan pengobatan penderita. Kewaspadaan di terhadap KLb. Pemeriksaan intensif dikecamaatn endemis. Penyemprotan massal sebelum musim penularan dan abatisasi selektif di desa / Kelurahan endemis. Penyuluhan melalui mesia massa. Pelatihan tenaga termasuk Pokjanal DBD dan kader. Bimbingan teknis, pemantauan dan penelitiaan. d. Sasaran dan tujuan program DBD pelita VI. Sasaran dan tujuan program pembernatasan penyakit DBD secara nasional pada akhir pelita VI ( pada tahun 1999 ) adalah menurun angka kesakitan DBD hingga mencapai 10 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 2 %. Khusus untuk daerah endimes DBD adalah 3 per 100.000 penduduk dengan angka kematian kurang dari 2, 5 % kondisi angka kesakitan DBD pada akhir pelita V ( tahun 1993 )yang telah berhasildicapai program pemberantasan penyakit DBD adalah sebesar 9, 17 per 100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 2, 4 %. KESIMPULAN 1. Penyebab penyakit DBD di Indonesia adalah Virus Dengue tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. 2. Sejak Bulan Januari sampai dengan 5 Maret 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang

(CFR=1,53% )10. Kasus DHF tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) dan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%) 3. Perlu kewaspadaan yang tinggi terhadap penyakit DHF terutama pada musim penghujan. 4. Cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus yang melibatkan seluruh masyarakat serta disesuaikan dengan kondisi setempat. SARAN 1. Perlunya digalakkan Gerakan 3 M plus, tidak hanya bila terjadi wabah tetapi harus dijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat. 2. Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna. PENUTUP Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan utama di Indoensia. Penyakit tersebut disebabkan oleh Flavivirus yang ditularkan oleh serangga (arbovirus). Serangga yang menjadi vector penyakit tersebut adalah Aedes aegypti (Linn.) dan kedua adalah Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). Diantara kedua vector tersebut Ae. aegypti dikenal sebagai vector utama DBD karena inang utamanya (99%) adalah manusia dan kurang dari 1% pada hewan bila inang utama tidak tersedia. Sementara Ae. albopictus mempunyai banyak inang alternative selain selain manusia. Kedua spesies nyamuk tersebut hidup di air pada fase pradewasa (telur, larva dan pupa) dan di luar air pada fase dewasa (imago). Kedua spesies itu menyukai air bersih untuk media peletakan telur dan kelangsungan hidup pradewasanya. Imago Ae. aegypti lebih memilih habitat di dalam rumah sementara Ae albopictus di luar rumah. Habitat hidup pradewasa Ae aegypti lebih banyak di lingkungan dekat rumah seperti bak mandi, pot bunga, tempat minum binatang peliharaan, dan sejenisnya sedangkan pradwasa Ae. albopictuss banyak ditemukan di habitat luar rumah seperti lekukan pohon yang berisi air bersih. Imago jantan dan betina memakan nectar dan jus tanaman untuk keperluan energinya, sedangkan imago betina memakan cairan darah manusia dan atau hewan untuk keperluan produksi dan pematangan telurnya. Keperluan makan cairan darah itu dilakukan setiap imago betina akan melakukan peneluran. Imago betina yang mengisap darah

dari inang yang terinfeksi virus DBD dapat terinfeksi virus setelah 8 10 hari dan menjadi penular virus tersebut pada inang sehat saat mengisap kembali cairan darah dari inang tersebut. Nyamuk Ae. aegypti terinfeksi mempunyai kebiasaan menggigit berulang-ulang (multiple bitters) yang dapat menggigit beberapa orang secara bergantian, sehingga sangat berpotensi menularkan virus secara cepat dalam waktu singkat. Imago terinfeksi dapat juga menularkan virus kepada keturunnya secara transovarian sehingga keturunan yang muncul dari telur terinfeksi tersebut sudah mampu menularkan virus ke inang sehat. Dinamika populasi nyamuk tersebut dipengaruhi oleh factor biotic (predator, parasit dan makanan) dan abiotik (geografi, suhu, curah hujan). Faktor lingkungan yang paling kritis terhadap pradewasa adalah ketersediaan air dan temperatur. Namun telur, larva dan pupa masih dapat hidup dalam kondisi air yang minimum. Dalam keadaan habitat hidupnya kering semua pra dewasa akan mati, kecuali telur masih dapat bertahan hidup antara 3 bulan sampai 1 tahun. Telur itu, akan menetas bila cukup air terutama pada saat musim hujan. Ledakan populasi biasanya terjadi di awal musim hujan. Untuk menanggulangi masalah tersebut diperlukan strategi pengendalian terpadu dengan cara mengintegrasikan cara-cara pengendalian yang potensial secara efektif, ekonomis dan ekologis untuk menekan populasi serangga vector pada aras yang dapat ditoleransi. Cara-cara pengendalian potensial tersebut dapat diambil dari teknologi yang sudah berkembang di anataranya cara biologis, fisik, mekanis, kimiawi, dan regulasi yang penerapannya disesuaikan dinamika populasi vector, status penyakit, situasi dan kondisi lingkungan serta masyarakat setempat. Prinsip dasar penerapan konsep pengendalian terpadu vector tersebut adalah program manajemen lingkungan sehat untuk PSN, surveilen epidemiologi dan entomologis, kajian bioekologi serangga vector, pengembangan teknologi anternatif, sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas instansi, dan partisipasi aktif masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan penguatan regulasi (di tingkat provinsi, kabupaten dan desa), sosialisasi, koordinasi dan juga amunisi (pendanaan) secara berkelanjutan. Menjadikan gerakan PSN sebagai benteng utama usaha pengendalian vector. Keintensifan dan berkelanjutan pelaksanaan uaha tersebut dapat menekan masalah vector dan kasus DBD yang selalu mencuat pada awal musim hujan. Dengan demikian rasa aman masyarakat semakin terjamin.

TINGGINYA PREVALENSI DHF DAN CFR

Nama: Soesilo Sumitro NIM: 10-2007-182

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

2010

You might also like