You are on page 1of 54

1. 1.1.

PENDAHULUAN Tinjauan Pustaka

Menurut Winarno (1993) dan Soeparno (1994), daging merupakan otot ternak yang telah disembelih untuk tujuan konsumsi dan dapat berasal dari berbagai jenis ternak, seperti ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil (domba, kambing dan babi), dan dapat juga berasal dari unggas, dan organisme yang hidup di air, serta hewan-hewan liar dan aneka ternak. Daging segar tergolong sebagai bahan pangan yang mudah rusak ( perishable food) karena dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Khotimah, 2000). Daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Anonim,2004). Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat dikelompokkan menjadi : a. b. c. d. e. f. daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku) daging masak daging asap daging olahan (Cornforth et. al., 1985).

Menurut Soeparno (1994), daging sapi memiliki kandungan protein yang cukup serta memiliki nutrisi yang tinggi karena mengandung asam-asam amino esential yang lengkap dan seimbang. Selain protein, daging mengandung air, lemak, karbohidrat, dan komponen anorganik. Pada tabel ditunjukkan komposisi kimia daging sapi.

Tabel Komposisi Kimiawi relatif Daging Sapi (Persen Berat Daging Segar) Komponen Air Protein Lipid Substansi non protein (kreatin, kreatin fosfat peptida-peptida) Karohidrat dan substansi non notrogen (glikogen, glukosa) Konstituen anorganik (Soeparno, 1994) % (persentase daging segar) 75 18.5 3 1.5 1 1

Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40 persen, tergantung pada jenis dan spesies, makanan, dan umur ternak. Daging juga mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Kadar kolesterol daging sekitar 500 miligram/100 gram lebih rendah daripada kolesterol otak (1.800-2.000 mg/100 g) atau kolesterol kuning telur (1.500 mg/100 g). Daging juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tiamin), tetapi rendah kadar vitamin C. Hati yang lebih dikenal sebagai jeroan, mengandung kadar vitamin A dan zat besi yang sangat tinggi (Anonim,2007). Tabel Komposisi Kimiawi Pada Berbagai Jenis Unggas Jenis Unggas Ayam ras Ayam buras Itik Angsa Merpati Kalkun Puyuh (Webb et al., 1972). Protein (%) 12,7 13,4 13,3 13,9 13,8 13,1 13,1 Lemak (%) 11,3 10,3 14,5 13,3 12,0 11,8 11,1 Karbohidrat (%) 0,9 0,9 0,7 1,5 0,8 1,7 1,0 Abu (%) 1,0 1,0 1,1 1,1 0,9 0,8 1,1

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot (Anonim,2004). Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu (1) ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit, (2) ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan glikogen otot maksimal, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) cara pemotongan harus higienis (Anonim,2004). Daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak akibat mikroorganisme, maka penyimpanan daging dilakukan pada suhu rendah. Ada metode penyimpanan daging. Pertama, metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang umur simpan daging adalah dengan pendinginan yang lazim disebut refrigerasi pada temperatur antara -2 oC sampai 5oC. Temperatur 5oC ini dianggap sebagai temperatur kritis selama penanganan dan penyimpanan daging. Temperatur di bawah kira-kira 5oC menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme patogen (Soeparno, 1994). Kedua, penyimpanan daging dapat dilakukan dengan pembekuan. Pembekuan yang baik bisanya dilakukan pada suhu 12 oC sampai -24oC, sedangkan untuk pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan pada suhu -24oC sampai -40oC (Winarno et al., 1984).

Daging memiliki umur simpan yang relatif singkat yaitu 1-7 hari karena berkadar air cukup tinggi. Ada beberapa cara yang umum untuk mempertahankan kesegaran (memperpanjang umur simpan) daging sapi yaitu dengan pendinginan, pembekuan, dan penambahan zat anti mikrobia. Proses pendinginan biasanya menggunakan suhu rendah yaitu kisaran 1 oC 3.5oC. Dengan suhu tersebut daging sapi hanya akan bertahan 3-5 hari. Daging yang disimpan pada suhu 1oC dapat bertahan 9-10 minggu, pada suhu 0.5 oC dapat bertahan sampai 7 minggu, sedangkan pada suhu 1.5oC dapat bertahan selama 5 minggu. Menurut Pearson & Dutson (1987), daging yang disimpan pada suhun 4.5oC dapat bertahan selama 5 hari, sedangkan daging yang disimpan pada suhu 10oC hanya akan bertahan selama 2 hari. Pembekuan daging merupakan cara pengawetan yang umum. Jika daging beku disimpan dalam kondisi yang sesuai atau cocok maka perubahan struktur yang terjadi hanya sedikit demikian juga perubahan sifat fisik yang dihasilkan sedikit. Pembekuan dapat menyebabkan denaturasi beberapa protein sel karena beberapa gugus SH hilang selama pembekuan. Juga beberapa kelompok lipoprotein patah satu dengan lainnya selama pembekuan. Pembekuan menyebabkan temperature shock pada beberapa mikroorganisme, khususnya untuk mikroorganisme mesophilik dan thermophilik dari pada psychrophilik (Perlitto, 1988). Perbedaan umum untuk setiap jenis daging ternak adalah : a. Sapi : warna merah segar, serat halus, lemak lunak, warna kuning. b. Kambing : warna merah jambu, serat halus, lemak keras warna putih, berbau khas ( prengus ). c. Babi : warna merah jambu, serat halus, lemak lunak warna putih jernih. d. Kerbau : warna merah tua, serat kasar, lemak keras warna kuning. e. Unggas : warna putih kekuningan, lembek, tulangnya jelas warna kekuningan. Bila dipotong sudah mati ( bangkai ) warna agak gelap, luka potong lurus pada bekas sembelihan, dagingnya kenyal (Jensen, 1949).

Warna daging sapi yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, bila daging tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna cokelat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. Selain warna, kesegaran daging juga dapat dinilai dari penampakannya yang mengkilap dan tidak pucat, tidak berbau asam atau busuk, daging elastis atau sedikit kaku (tidak lembek). Jika dipegang, masih terasa kebasahannya, tetapi tidak lengket di tangan (Weir, 1960). Warna merah daging merupakan refleksi dari pigmen mioglobin. Mioglobin merupakan protein kompleks yang berfungsi membawa oksigen untuk sel. Kandungan mioglobin pada jaringan bergantung pada aktifitas jaringan, efisiensi darah membawa oksigen, umur serta jenis hewan (Astawan & Astawan, 1988). Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahanperubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis. Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan) (Weir, 1960). Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (-1,50C). Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan

tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat. Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas (Anonim,2007). Kuring merupakan suatu cara perlakuan pendahuluan pada daging segar sebelum proses pengawetan selanjutnya dilakukan, seperti untuk pembuatan daging corned (corned beef), daging asap (smoked ham), dendeng (dried meat), sosis, dan lain-lain. Daging yang telah dikuring disebut sebagai green cured meat. Proses kuring bertujuan mengawetkan, mempersiapkan daging pada penggunaan berikutnya, menghambat pertumbuhan mikroba, serta untuk menimbulkan rasa dan flavor yang enak. Yang dimaksud dengan proses kuring adalah proses penambahan garam, gula, dan sendawa (salpeter). Sendawa mengandung nitrat, yaitu dalam bentuk natrium nitrat atau kalium nitrat. Jumlah sendawa yang digunakan 200 mg dalam setiap kilogram daging. Penggunaan sendawa secara berlebih dapat menyebabkan terbentuknya senyawa nitrosamin (hasil reaksi antara nitrit dengan amin dari protein) yang bersifat karsinogenik (dapat memicu timbulnya kanker) (Lawrie,1985). Menurut Lawrie (1985), dalam proses kuring, garam dapur berfungsi sebagai pengawet (ion klorida bersifat antibakteri) dan pembangkit cita rasa. Pemakaian garam sekitar 2-3 persen dari berat daging. Gula berfungsi mengurangi rasa asin yang berlebihan akibat penambahan garam, membentuk rasa yang spesifik, serta memperbaiki aroma dan tekstur daging. Selama proses kuring berlangsung, garam nitrat akan direduksi menjadi nitrit oleh bakteri. Kemudian nitrit akan bereaksi dengan pigmen daging menimbulkan warna merah yang diinginkan, sekaligus untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Kuring dapat dilakukan dengan cara basah atau cara kering. Kuring cara basah dilakukan dengan merendam daging

dalam larutan kuring (campuran bahan kuring dengan air) selama periode waktu tertentu. Kuring cara kering dilakukan dengan membaluri daging dengan campuran bahan kuring. Macam-macam produk hasil olahan daging antara lain adalah nugget, sosis, dendeng dan bakso. Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi. Potongan ini kemudian dilapisi tepung berbumbu (battered dan breaded). Salah satu produk olahan daging sapi adalah bakso sapi, selain sudah dikenal masyarakat, bakso mempunyai harga yang relative murah, sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat (Ngadiwaluyo & Suharjito, 2003). Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging tradisional yang sangat populer di Indonesia. Dendeng adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam, serta bumbu-bumbu lain. Upaya mempertahankan warna merah daging dilakukan dengan cara kuring (Anonim,2006). Sosis merupakan daging halus atau daging chopping (cincang) yang diberi bumbu-bumbu atau tidak, distuffing atau tidak, dalam casing atau tidak. Bahan dasar yang digunakan adalah daging jenis lean meat (kandungan protein tinggi tetapi kandungan lemak rendah), lemak padat atau cair, dan bumbu-bumbu, serta bahan tambahan makanan (Alan & Jane, 1995). Sosis merupakan suatu jenis makanan yang berbentuk silindris atau bulat panjang sebagai hasil pengolahan daging cincang yang telah dibumbui dan kemudian dimasukkan ke dalam casing atau wadah yang dibuat dari usus sapi, usus kambing, atau bahan lain yang dapat dimakan (Rukma, 2001). Sosis segar merupakan sosis yang dibuat dari daging cincang, diberi perlakuan curing, tetapi tidak dilakukan pemasakan. Sosis segar ini daya simpannya terbatas sehingga harus disimpan dalam lemari es sebelum disajikan. Daging yang digunakan pada umumnya adalah daging sapi, daging babi, atau campuran kedua daging tersebut. Ada beberapa jenis macam sosis yaitu sosis kering, sosis basah, sosis asap, sosis masak, sosis agak kering dan sosis segar. Biasanya sosis kering diolah dengan digoreng, sedangkan sosis basah diolah dengan direbus. Pada umumnya asam amino dalam sosis berasal dari protein daging sapi.

Untuk melengkapi asam amino sosis, maka daging sapi diganti dengan daging ayam ataupun daging ikan (Alan & Jane, 1995). Berdasarkan tingkat kehalusan penggilingan daging, sosis dapat dibedakan atas sosis daging giling dan sosis emulsi. Pada sosis emulsi, daging digiling halus sampai terbentuk emulsi dan sosis ini dibuat dengan penambahan lemak. Pada umumnya, bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah lemak hewani hewani ini, maka karena tekstur sosis akan menjadi lebih baik. Sedangkan lemak nabati jarang digunakan karena biasanya cair pada suhu kamar akan menghasilkan tekstur sosis yang lebih lunak (Hanief, 2001). Bahan-bahan pembantu yang biasanya digunakan dalam pembuatan sosis dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu binder (bahan pengikat), extender (bahan pengikat dan pengisi), filler (bahan pengisi), dan bahan tambahan makanan lainnya. Untuk meningkatkan kemampuan daging di dalam mengikat air dan lemak sebaiknya digunakan binder. Binder yang biasa digunakan adalah susu bubuk dan produk kedelai. Sedangkan bahan extender yang biasa digunakan adalah produk-produk kedelai seperti texturized, vegetable protein, susu skim, tepung kedelai, konsentrat protein kedelai, dan isolat kedelai. Dan bahan filler yang biasa digunakan meliputi pati jagung dan pati ketela. Sedangkan bahan lainnya yang ditambahkan antara lain air es, air, stabilizer, antioksidan, dan zat pewarna. Bahan yang ditambahkan ini berperan dalam memperbaiki stabilitas emulsi sosis, memperbaiki hasil akhir, memperbaiki sifat irisan yang halus merata, memperbaiki flavor, dan mengurangi biaya produksi (Perlitto, 1988). Lemak dalam pembuatan sosis merupakan suatu komponen yang penting karena dapat membentuk emulsi, memberi palatabilitas, mempengaruhi elastisitas sosis, serta menambah kelezatan. Binder berfungsi untuk mengikat air dan menyebabkan yield akhir tinggi, meningkatkan emulsifikasi, serta meningkatkan kandungan protein. Dan filler berfungsi untuk mengikat air, memperbaiki tekstur, meningkatkan citarasa, menyebabkan yield akhir

tinggi tetapi tidak meningkatkan emulsifikasi dan kandungan proteinnya rendah (Price & Schweigert, 1971). Perubahan jumlah daging pada sosis akan mempengaruhi kekenyalan sosis, makin banyak daging yang digunakan, maka makin baik kekenyalannya dan teksturnya. Makin banyak bahan tambahan, maka tekstur sosis akan terpengaruh. Pemasakan sosis bertujuan untuk menyatukan komponen-komponen adonan sosis yang merupakan emulsi minyak dan air dengan protein miosin daging sebagai penstabilnya, untuk memantapkan warna daging, serta untuk menginaktifkan mikroba. Aspek teknis pembuatan sosis dari daging adalah dengan mengandalkan sifat kekenyalan daging dan bahan pengisinya (Rukma, 2001). Tujuan dari perebusan pada pembuatan sosis adalah untuk memberikan rasa dan aroma tertentu pada sosis, memberikan warna yang lebih baik karena terbentuknya senyawa nitrosohemokrom, dan merupakan proses pasteurisasi sehingga dapat memperpanjang daya simpan. Sosis yang telah matang akan tampak terang dan berwarna merah agak muda serta akan tampak mengkerut pada bagian permukaannya yang disebabkan oleh pengurangan dan denaturasi protein dari casingnya (Hadiwiyoto, 1983). Faktor-faktor yang mempengaruhi keempukan dari daging sosis yang dihasilkan antara lain meliputi suhu, lama pemasakan, serta jenis daging. Sedangkan faktor yang secara langsung mempengaruhi keempukan sosis adalah kandungan lemak dan kadar air daging yang digunakan. Warna sosis selain berasal dari pigmen daging yang digunakan juga dapat berasal dari langkah pengasapan dalam pembuatannya maupun penambahan zat warna tertentu (Astawan & Astawan, 1988). Salah satu kriteria mutu dari sosis adalah elastisitasnya dan sifat ini dipengaruhi oleh suhu pemasakan serta proses pembuatan adonan sosis. Dalam proses pemanasan, akan menyebabkan protein daging larut dan berinteraksi dengan protein yang tidak larut sehingga membentuk suatu struktur yang kohesif. Tipe dari struktur protein atau matriks ini

akan menentukan karakteristik tekstur dan kapasitas mengikat air dari produk yang telah dimasak (Rukma, 2001). Daging yang mempunyai kandungan lemak tinggi atau jaringan ikat tinggi atau jaringan otot tinggi mempunyai daya ikat yang rendah. Kolagen yang berlebihan dalam sosis, ketika pemanasan menyebabkan kolagen akan mengkerut dan sebagian menjadi gelatin pada temperatur lebih dari 650. Kolagen memiliki daya ikat air yang baik, tetapi memiliki kemampuan emulsifikasi lemak yang rendah. Pada hasil akhir sebaiknya tidak melebihi 25% total protein (Alan & Jane, 1995). Pemasakan dengan menggunakan panas sangat bermanfaat untuk mematikan mikroba dan meningkatkan cita rasa. Proses pemasakan daging tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar protein, serta beberapa jenis vitamin seperti thiamin, riboflavin, niasin, dan asam pantotenat. Bila daging dimasak menggunakan air, banyak vitamin, mineral, dan asam amino yang akan terlarut di dalam kaldunya. Pemanasan dapat menyebabkan denaturasi pada globin, dimana akan mengendap bersama dengan protein daging yang lain. Denaturasi pada myoglobin dan protein yang lain dimulai pada suhu antara 55oC-65oC pada daging dan kebanyakan denaturasi terjadi dan ditemukan pada suhu 75 oC atau 80 et.al.,1982). Kecepatan denaturasi myoglobin melambat seiring dengan peningkatan temperatur daging, hal ini lebih dipengaruhi oleh pengingkatan pH daging pada saat pemasakan. Ketika globin terdenaturasi, metmioglobin membentuk globin hemichromogen coklat yang dikenal juga sebagai ferrihemochrome. Myoglobin yang lain terdenaturasi menjadi globin hemochromogen merah yang dikenal juga sebagai ferrohemochrome. Pemanasan daging yang cukup dapat menimbulkan perubahan warna menjadi putih, abu-abu, coklat dimana dipengaruhi oleh ferrihemochrome (Anonim, 2007). Perubahan terjadi pada daging selama pemasakan : a. protein serat otot mengalami koagulasi dan daging mengkerut
o

C (Valin

b. pengkerutannya meyebabkan keluarnya cairan dari daging c. kolagen pada jaringan ikat berubah menjadi gelatin Ini menyebabkan daging menjadi lebih empuk. Cara pemasakan dalam keadaan lembab seperti perebusan dan braising (perebusan tertutup dengan air sedikit) mengakibatkan lebih besar pemecahan jaringan ikat. d. nutrien tertentu hilang atau rusak selama pemasakan daging (Soeparno, 1994). Selama pemanasan mula mula kolagen mengkerut sehingga menyebabkan daging memendek. Setelah mengalami pengerutan awal tersebut, pemanasan lebih lanjut akan menyebabkan kolagen pecah dan rusak dan akhirnya menjadi gelatin yang larut air. Molekul kolagen membentuk serat-serat yang terdiri atas tiga rantai polipeptida yang saling melilit satu sama lain. Air panas akan memecahkan ikatan yang mengikat tiga molekul polipeptida yang membentuk untai ganda dan ketiga molekul itu akhirnya terlepas dan terdispersi di dalam air panas tersebut. Dengan panas, maka makin lemah serat-serat kolagennya dan kemudian diubah menjadi gelatin sehingga daging makin empuk. Suhu pemanasan yang semakin tinggi semakin mempercepat proses pengempukan (Kartasapoetra, 1994). Pengempukan tenunan pengikat berlangsung jika pemanasannya mencapai 60 0C (Winarno, 1993). Pada daging yang akan dimasak, penambahan daging dengan protease (bromelin atau papain) sebelum memasaknya, menghidrolisis ikatan peptida dan dengan demikian memperlunak daging (Amstrong, 1995). Selama pemanasan daging mengalami pengkerutan dan pengurangan berat. Kehilangan air dan lemak dikaitkan dengan terkoagulasinya serabut serabut protein daging serta tenunan pengikatnya. Lemak lemak menjadi cair dan terperas keluar dari sel sel cadangan lemak otot. Protein yang terkoagulasi, khususnya serabut serabut protein dalam daging akan mengubah bentuk sel koloidal menjadi bentuk gel dan menyebabkan serabut serabut tersebut mengkerut. Semakin tinggi suhu dan semakin lama daging dipanaskan, koagulasi protein semakin intensif dan daging tampak lebih sedikit (Winarno, 1993).

Terjadinya aktomiosin sebagai hasil interaksi protein aktin dan miosin menyebabkan daging kehilangan kelenturannya. Faktor-faktor yang memegang peranan penting pada tekstur daging yaitu perubahan kelarutan protein, kerusakan jaringan daging, pembebasan asam lemak. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh waktu dan suhu (Hadiwiyoto, 1983). Penyimpanan yang terlalu lama akan menurunkan daya ikat air dan terjadinya perubahan struktur protein daging. Diantara otot dan pada otot yang sama, daya ikat airnya bisa berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda. Hubungan antara lemak intramuskular dengan daya ikat air adalah kompleks. Lemak intramuskular mungkin melonggarkan mikrostruktur daging sehingga memberi lebih banyak kesempatan pada protein daging untuk mengikat air (Hamm & Deatherage, 1960).

Daya ikat air (DIA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water-binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan. Pemasakan menyebabkan perubahan DIA karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi dan menurunkan DIA. Pada temperatur antara 30-40 oC protein myofibril mulai mengalami koagulasi dan pada temperature 55oC, protein miofibril mengalami denaturasi sempurna. Pada temperatur 60oC, protein sarkoplasmik hampir mengalami denaturasi sempurna. DIA mengalami perubahan besar dengan pemanasan pada temperatur pada 60oC juga menghasilkan kenyataan jus daging yang lebih kecil daripada pemanasan pada temperatur 50oC (Soeparno, 1994). Pengaruh pemasakan terhadap kualitas daging adalah menimbulkan variasi keempukan. Pada prinsipnya pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan daging, dan kedua pengaruh pemasakan ini tergantung waktu atau temperatur. Lama waktu pemasakan

mempengaruhi pelunakan kolagen, sedangkan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibrilar. Jadi perbedaan otot dan pengaruh metode pemasakan terhadap komponen otot akan menentukan apakah suatu otot akan menjadi lebih empuk, sedangkan otot lainnya menjadi kurang empuk (Bouton et al., 1973b). Protein miofibrilar hampir mengalami koagulasi atau denaturasi sempurna pada temperatur 60oC, sehingga pemasakan pada temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan pengeringan dan kealotan protein miofibril yang mengalami koagulasi. Konversi kolagen menjadi diatas temperatur 65oC akan meningkatkan keempukan daging. Jadi prosedur pemasakan dalam waktu singkat pada temperatur internal yang rendah untuk daging yang mengandung jaringan ikat rendah, akan dapat meningkatkan keempukan daging masak (Hamm & Deatherage, 1960). Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging. Besar susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Bouton et al., 1971). Salah satu sifat fisik bahan adalah tekstur. Pengukuran tekstur bahan pangan digunakan untuk mengetahui tingkat kesegaran bahan pangan, meliputi uji mekanika (dengan alat, contohnya penetrometer) maupun dengan analisa dengan penginderaan. Pada uji penetrometer ini kita harus mengkonversikan sifat fisikokimia menjadi ukuran yang dinyatakan sebagai tekstur. Tekstur dapat dinyatakan dengan kekerasan, kekentalan, keretakan, bergetah, kerenyahan dan kelekatan yang masing-masing mempunyai skala yang berbeda-beda (deMan, 1997). Tekstur merupakan atribut suatu material atau bahan yang dihasilkan dari kombinasi sifat fisik dan kimiawi yang dapat dihayati oleh indera peraba, penglihat, dan pendengar

bersama-sama. Tekstur bahan sangat erat kaitannya dengan sifat fisikokimianya. Seseorang mempedulikan keseluruhan karakter bahan seperti ukuran dan bentuk, besarnya partikel, kandungan lemak, protein, dan karbohidrat, struktur dan sifat-sifat mekanik seperti kekuatan bahan (Lewis, 1987).

Tingkat kekenyalan atau kekerasan ditunjukkan dengan semakin kecilnya jarak penembusan jarum penetrometer pada produk. Keadaan tersebut disebabkan karena meningkatnya protein dalam adonan yang selama pemasakan mempunyai kemampuan untuk mengikat bagian bagian hancuran daging menjadi satu sehingga terbentuk suatu produk yang kompak dan kenyal. Kekenyalan dan kekompakan ini ini erat kaitannya dengan kemampuan pengikatan antar partikel - partikel daging dan pengikatan partikel tersebut tergantung pada jumlah protein miofibril yang terekstrak dimana semakin banyak ikatan aktin dan miosin yang terbentuk maka makin kenyal tekstur produk yang dihasilkan (Rukma, 2001). Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, serta daya ikat air oleh protein daging. Daya ikat air oleh protein daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Absorpsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan. Total kadar cairan daging mentah ditentukan dengan menghitung kehilangan berat setelah pemanasan (Soeparno, 1994). Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging (Anonim,2004). Keempukan daging berkaitan dengan banyaknya tenunan pengikat pada daging. Suhu yang telah cukup untuk mengkoagulasikan serabut protein, biasanya belum cukup untuk mengkoagulasikan tenunan pengikat. Daging yang liat, yang biasanya banyak

tenunan prngikatnya, perlu pemanasan yang lebih tinggi dan lebih lama, tergantung pada jumlah dan distribusi tenunan pengikat dalam daging. Pengempukan daging juga dapat dilakukan dengan cara penggilingan dan pencacahan (Winarno, 1993). Faktor keempukan, rasa, dan aroma merupakan faktor penting daging sebagai bahan pangan yang sering diteliti sifat sensorinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi factor keempukan daging antara lain : jenis/galur dan umur ternak, jenis daging, perlakuan yang diberikan (pemanasan, pemberian enzim) dan kondisi daging (prerigor, rigor mortis, dan pasca rigor). Daging yang dihasilkan dari ternak tua biasanya cenderung keras (tidak empuk). Daging bagian perut/pinggang lebih empuk dibandingkan dengan bagian leher. Pemberian enzim proteolitik atau pemanasan dapat mengempukkan daging (Astawan & Astawan, 1988). Pada prinsipnya keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan atau kealotan daging dengan metode subjektif dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan cara struktur atau non struktur, atau dengan cara yang lebih canggih atau kompleks, yaitu uji panel cita rasa yang disebut panel taste. Keempukan daging banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Bouton et al., 1971). Llyold texture analyzer merupakan seperangkat alat yang digunakan untuk mengetes tekstur makanan. Alat ini memiliki kapasitas gaya sebesar 500 N dan kecepatan sebesar 1-1000 mm/menit. Model dengan kapasitas gaya yang besar dapat diukur dengan menggunakan single screw atau double screw, tergantung dari tingkat gaya yang diinginkan (Bourne, 2002). Protein merupakan senyawa organic yang mempunyai peranan penting pada makhluk hidup. Protein merupakan polimer alam yang tersusun dari berbagai asam amino melalui ikatan peptide. Protein adalah substansi organic yang mirip dengan lemak dan karbohidrat

dalam hal kandungan unsur karbon, hydrogen, dan oksigen. Tetapi ada juga protein yang mengandung nitrogen, bahkan beberapa diantaranya mengandung belerang dan fosfor. Maka struktur protein lebih kompleks dibanding lemak dan karbohidrat (Gaman & Sherrington, 1994). Fungsi-fungsi protein antara lain adalah sebagai biokatalisator (enzim), protein cadangan, biomol pentransfor bahan, structural dan proteksif. Protein mengalami perubahan bentuk atau fisik akibat perubahan suhu dan pH pada larutan. Proses perubahan ini disebut denaturasi (Martoharsono, 1994). Ada atau tidaknya protein pada daging dapat kita uji dengan salah satu metode yaitu uji biuret. Pada reaksi biuret protein dibuat alkali dengan menambah NaOH/KOH, lalu ditambah larutan tembaga sulfat encer, sehingga akan timbul warna biru-violet atau merah violet (Hein et. al., 1993). Reaksi ini mempunyai kelemahan yaitu positif untuk senyawasenyawa yang mengandung asam amida, jadi tidak hanya untuk protein (Terentyev & Pavlov, 1954). Warna merah muda terbentuk apabila molekul protein yang diselidiki kecil, misalnya proteosa dan pepton. Sedangkan warna violet sampai kebiru-biruan terbentuk apabila molekul protein yang diselidiki besar, misainya gelatin. Protein dengan molekul kecil-kecil lebih sedikit mengandung ikatan-ikatan peptida dibandingkan dengan protein dengan molekul besar. Jadi reaksi biuret dapat dipakai untuk menunjukkan besar kecilnya molekul protein atau banyak sedikitnya ikatan-ikatan peptida, yang terdapat pada molekul protein. Reaksi ini berlaku untuk semua jenis protein. Enzim merupakan substansi yang dihasilkan oleh sel sel hidup dan berperan sebagai katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang dapat mempercepat reaksi tetapi pada akhir reaksi, substrat tersebut tidak berubah. Semua sel menghasilkan sejumlah besar enzim yang terdapat didalamnya (Gaman & Sherington, 1994 ).

Enzim merupakan protein yang khusus disintesiskan oleh sel hidup untuk mengatalisis reaksi yang berlangsung didalamnya. Oleh karena itu reaksi tersebut banyak sekali, maka biokatalisator yang dibentuk jumlah maupun jenisnya tak terhitung banyaknya. Beberapa sel melepas koenzim yang berperan diluar sel. Kata enzim berasal dari en zyme yang berarti dalam ragi ( yeast ), yang mulai pada tahun 1877 enzim meskipun hanya merupakan komponen tambahan makanan, sebagai contoh enzim bromelin yang berfungsi sebagai pengempukan daging (Winarno,1993 ). Beberapa enzim hanya terdiri atas protein tetapi kebanyakan enzim mengandung komponen non protein tambahan seperti karbohidrat, lipid, logam, fosfat, atau beberapa bagian organik yang lain. Enzim lengkap disebut haloenzim, bagian protein, apoenzim, dan bagian non protein, kofaktor. Senyawa yang diubah dalam reaksi yang dikatalis enzim disebut substrat ( Gaman & Sherrington, 1994 ). Sifat sifat enzim adalah sebagai berikut : 1. Spesifitas Aktivitas enzim sangat spesifik. Pada umumnya enzim tertentu hanya akan mengatalisis suatu reaksi. Sebagai contoh : bromelin akan hidrolisa protein tetapi tidak akan mempengaruhi golongan protein asam amino lainnya. Hanya molekul laktosa saja yang akan sesuai dalam sisi aktif molekul. 2. Pengaruh suhu Untuk enzim hewan mempunyai suhu optimal antara 35 - 40
0

C. Pada suhu diatas dan

dibawah optimalnya, aktivitas enzim akan berkurang. Di atas suhu 50 0 C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100 0 C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar benar rusak tetapi aktifitasnya berkurang. 3. Pengaruh pH Dalam pengekstrakan enzim ini mempunyai pH sekitar 7. untuk pH optimum enzim bromelin sekitar 6 7,5 4. Koenzim dan aktivator

Enzim sering kali memerlukan bantuan substansi lain , agar berfungsi selektif. Ko enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa vitamin B berfungsi sebagai ko enzim. Dan beberapa ion organik, misalnya ion kalsium dan ion klorida akan meningkatkan akivitas beberapa enzim dan dikenal sebagai aktivator ( Gaman & Sherrington, 1994 ). Enzim-enzim tanaman proteinase untuk meningkatkan keempukan daging telah banyak digunakan (papain, bromelin, dan fisin). Enzim pengempuk daging ini menjadi aktif pada suhu antara 50-70C selama proses pemasakan daging. Kolagen didegradasi pada temperatur yang lebih tinggi karena protein alami tahan terhadap proteolisis oleh papain sehingga bentuk daging menjadi kendur dan daging akan lebih empuk. Dan enzim ini yang menghasilkan perubahan keempukan awal dan residu. Cara pencelupan daging ke dalam larutan yang mengandung enzim proteolitik tanaman juga dapat digunakan tetapi enzim biasanya tidak cukup mampu memasuki daging sehingga bagian dalam daging tidak terpengaruh. Keempukan daging kering belum dapat ditingkatkan dengan cara rehidrasi di dalam larutan yang mengandung enzim proteolitik (Soeparno, 1994). Protease yang secara alami terdapat dalam daging, membongkar jaringan ikat kemudian membuat daging menjadi lebih lunak. Sebelum dimasak kadang-kadang daging diperlakukan dengan pelunak buatan, contohnya enzim pemecah protein seperti enzim papain (Gaman & Sherrington, 1994). Enzim papain adalah enzim yang terdapat dalam getah pepaya, merupakan jenis enzim proteolitik yaitu enzim yang mengkatalis ikatan peptida pada protein menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana seperti dipeptida dan asam amino. Daging apabila dikenakan enzim papain maka terjadi reaksi pemutusan ikatan peptida sehingga rantai protein terpotong-potong membentuk rantai yang lebih pendek. Pemutusan ikatan ini akan menyebabkan jaringan pengikat dan serabut daging akan terputus dan kekuatan pengikatnya menjadi lemah sehingga daging akan terasa empuk (Purnomo, 2006).

Aktivitas enzim bromelin yang diperoleh dari buah nanas pada dasarnya adalah merusak struktur jaringan otot rangka yang tersusun dari miofibril yang merupakan protein. Dapat dikatakan, enzim bromelin memiliki kemampuan proteolitik. Dengan rusaknya otot rangka maka akan menyebabkan daging menjadi lebih lunak, namun demikian kolagen tidak rusak sehingga daging masih tetap dalam kondisi utuh dengan bentuk tetap. Aktivitas enzim bromelin ini hanyalah membantu proses denaturasi miofibril oleh panas saat perebusan, dan enzim ini tidak bisa membantu menguraikan kolagen karena adanya ikatan yang kuat yang bisa diuraikan dengan panas. Aktivitas enzim bromelin bisa mencapai optimum antara 500C-700. Pada daging buahnya, terdapat enzim dalam jumlah yang tidak terlalu banyak namun lebih mudah diekstrak dan hasilnya lebih banyak karena kotoran ataupun bahan lain jumlahnya sedikit kecuali fruktosa (Lee, 1992). Bromelin tergolong dalam kelompok enzim protease sulfidril, perbedaannya enzim bromelin merupakan glukoprotein sedangkan enzim papain dan fitin merupakan protein. Enzim protease sufihidril juga disebut sebagai thiol protease dan systeine protease, dimana umumnya stabil untuk menghidrolisa ikatan peptida pada protein dan inhibitornya dengan reagen sulfihidril ( Winarno, 1995 ). Enzim protease sulfidril memperoleh namanya dari kenyataan bahwa gugus sulfidril dalam molekul sangat penting untuk aktifitasnya. Kebanyakan enzim ini berasal dari tumbuhan, golongan papain, fisin,bromelin. Batang dikempa dan enzim diendapkan dari sari aseton. Fisin dan bromelin mengandung karbohidrat dalam molekulnya, papain tidak ( deMan, 1997 ). Enzim dapat diekstraksi dari bahan bahan hayati dan dapat dimurnikan titik. Contoh penggunaan enzim didalam tehnologi pangan misalnya penambahan enzim ke dalam bahan pangan. Untuk tujuan memecahkan pati, mengempukkan daging, menjernihkan anggur, menggumpalkan protein susu atau perubahan lainnya ( Winarno,1995). 1.2. Tujuan

Tujuan

dilakukannya praktikum ini adalah agar praktikan dapat mengetahui cara

pengukuran tekstur berbagai macam bahan pangan baik secara penginderaan maupun dengan texture analyzer, mengetahui pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap kekerasan tekstur dan berat, mengetahui pengaruh perebusan terhadap tekstur dan berat daging serta mengetahui keberadaan protein dalam berbagai jenis bahan pangan secara kualitatif serta membandingkannya.

2. 2.1.

MATERI & METODE Materi

2.1.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain adalah : daging sapi mentah, daging ayam mentah, sosis sapi, sosis ayam, aquades, daun pepaya, buah nanas, KOH 10 %, dan CuSO4 0,1 %. 2.1.2. Alat Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain adalah : texture analyzer, timbangan analitik, kompor, gelas arloji, erlenmeyer, bekker glass, kertas saring, water bath, pipet volume, pipet tetes, dan tabung reaksi. 2.2. 2.2.1. Metode Pengujian Fisik (Tekstur)

Daging sapi mentah, daging ayam mentah, sosis sapi, dan sosis ayam sebanyak 15 gram diamati teksturnya secara penginderaan kemudian dibandingkan satu dengan yang lain. Dibandingkan antara daging yang direbus dan yang tidak direbus, serta daging yang dibungkus dengan daun papaya dan daging yang dilumuri dengan buah nanas. Adapun kriteria yang diamati adalah warna atau tampilan luar, tingkat kebasahan, elastisitas dan kekerasan. Pengamatan tekstur berikutnya adalah dengan menggunakan texstur analyzer. Adapun kriteria yang diukur adalah tingkat kekenyalan. Dapat diukur dengan menggunakan single screw atau double screw, sesuai dengan tingkat gaya yang diinginkan. 2.2.2. Uji Penyerapan Air

Mula-mula daging ditimbang sebanyak 15 gram dan diukur volumenya. Lalu air sebanyak 300 ml disiapkan. Sebanyak 15 gram daging direbus dalam air yang mendidih selama 15 menit. Kemudian diangkat dan diamati perubahan yang terjadi. Selain itu dihitung kembali berat daging dan volume daging setelah perebusan. Bandingkan penambahan dan pengurangan volume dan berat dari masing-masing jenis daging.

2.2.3. 2.2.3.1.

Pengujian Protein Persiapan Bahan

Mula-mula 25 gram sampel diblender. Kemudian dilarutkan dengan aquades sampai 50 ml. Selanjutnya dipanaskan dengan waterbath selama 10 menit. Lalu diambil dan ditimbang sebanyak 12,5 gram dan dilarutkan dengan aquades sampai 25 ml. Setelah itu dipanaskan lagi 10 menit dengan waterbath lalu disaring dengan kertas saring. Hasil yang diperoleh dilakukan uji biuret. 2.2.3.2. Uji Biuret

Pertama-tama, 2 ml bahan dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan KOH. Setelah itu ditambahkan pula 3 tetes CuSO 4 0,1 %, digojok dan diamati warna yang terbentuk. Sebagai kontrol digunakan 2 ml aquades.

3.

HASIL PENGAMATAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut : 3.1. Tabel Uji Fisik Kel 1 Bahan Daging sapi mentah Daging sapi + enzim Papain Daging sapi + enzim Bromelin Warna Merah Coklat kemerahan Coklat Tingkat Kebasahan + +++ Elastisitas ++++ +++ Kekerasan +++++ ++

+++++

Daging sapi rebus

Coklat muda Merah coklat Kuning kecoklatan Kuning pucat

++

++

+++

Sosis sapi

++

++++

+++

Daging ayam mentah Daging ayam + enzim papain

+ ++

++ +++

++++ +

Daging ayam + enzim Merah muda Bromelin kecoklatan 5 Daging ayam rebus Putih kecoklatan

++++

+++

++

++

+++

Sosis ayam

Krem

++

++++

+++

Keterangan : Warna (sapi) : + = tidak merah ++ = kurang merah +++ = agak merah ++++ = merah +++++ = sangat merah Warna (ayam) : + = tidak putih ++ = kurang putih +++ = agak putih ++++ = putih +++++ = sangat putih Tingkat Kebasahan : + = tidak basah ++ = kurang basah

+++ = agak basah ++++ = basah +++++ = sangat basah Elastisitas : + = tidak elastis ++ = kurang elastis +++ = agak elastis ++++ = elastis +++++ = sangat elastis Kekerasan : + = tidak keras ++ = kurang keras +++ = agak keras ++++ = keras +++++ = sangat keras

Berdasarkan tabel di atas, dapat kita ketahui pengaruh perebusan, penambahan enzim dan processing terhadap warna, tingkat kebasahan, elastisitas dan kekerasan pada daging. Dimana penambahan enzim menyebabkan tekstur daging yang lebih empuk dibandingkan daging yang tidak diberi penambahan enzim. Pelayuan dan perebusan menimbulkan perubahan warna daging. 3.2. Tabel Uji Penyerapan Air Kel Bahan Berat awal 2 Daging sapi 15 gram

Berat akhir 8 gram

Vol daging awal 13 ml

Vol daging akhir 9 ml

Sosis sapi

15 gram

16 gram

15 ml

20 ml

Daging ayam

15 gram

11,5 gram

15 ml

10 ml

Sosis ayam

15 gram

15 gram

20 ml

20 ml

Berdasarkan tabel di atas, dapat kita ketahui pengaruh perebusan terhadap berat dan volume daging. Untuk beberapa jenis daging perebusan dapat menimbulkan peningkatan terhadap berat dan volume daging, namun beberapa daging juga menunjukkan terjadinya penurunan berat dan volume daging yang kita kenal sebagai susut masak. Tetapi ada juga yang tidak menunjukkan perubahan terhadap berat dan volume daging. 3.3. Tabel Uji Biuret Kel Bahan 1 Daging sapi mentah

Gambar awal

Gambar akhir

Keterangan 1.Merah 2.Kuning keoranyean

Daging sapi rebus

1.Bening agak kemerahan 2.Bening 1.Cairan bening 2.Merah bening

Sosis sapi

Daging ayam Mentah

1.Kuning transparan 2. Kuning keruh, ada gumpalan

Daging ayam rebus

1.Cairan bening 2.Endapan ungu muda

Sosis ayam

1.Bening keruh 2.Bening terdapat sedikit endapan dan gumpalan 1.Bening

Control

Berdasarkan tabel di atas, dapat kita lihat pengaruh penambahan larutan KOH dan CuSO 4 0,1% terhadap warna cairan daging yang diperoleh dari penyaringan. Dimana kebanyakan menunjukkan terjadinya perubahan warna akibat uji biuret. Dimana seperti kita ketahui uji biuret digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan protein dalam suatu bahan pangan.

4.

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, kita melakukan percobaan dan penelitian mengenai daging. Sebelum dilakukan pembahasan tentang daging lebih jauh kita perlu mengetahui daging terlebih dahulu secara sekilas. Menurut Cornforth et. al. (1985), daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya (Anonim,2004). Daging-daging itu dapat berasal dari berbagai jenis ternak, seperti ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil (domba, kambing dan babi), dan dapat juga berasal dari unggas, dan organisme yang hidup di air, serta hewan-hewan liar dan aneka ternak. Daging segar tergolong sebagai bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Khotimah, 2000). Dilihat dari kandungan nutrisi yang terdapat pada daging, daging merupakan salah satu sumber protein hewani dimana selain memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi, daging juga mempunyai asam amino essential; yang lengkap bagi tubuh. Nutrisi yang terdapat pada daging antara lain adalah protein, lemak, kalsium, fosfor, besi dan juga kalori. Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot (Anonim,2004).

Pengujian Fisik Pada praktikum ini jenis-jenis daging yang digunakan antara lain yaitu daging sapi mentah, daging ayam mentah, sosis sapi, dan sosis ayam. Pada pengujian fisik ini dilakukan beberapa perlakuan antara lain penambahan enzim, perebusan, dan processing. Penambahan enzim ditandai dengan penggunaan daun pepaya dan buah nanas. Pada uji fisik ini, kelompok 1 melakukan percobaan terhadap daging sapi mentah, daging sapi yang ditambah dengan enzim papain, kemudian daging sapi yang ditambah enzim bromelin. Kelompok 2 melakukan percobaan terhadap daging sapi rebus. Kelompok 3 menggunakan sosis sapi dalam percobaan. Sedangkan kelompok 4 menggunakan daging ayam mentah, daging ayam yang ditambah enzim papain, dan daging ayam yang ditambah enzim bromelin. Untuk kelompok 5 menggunakan daging ayam rebus, lalu untuk kelompok 6 digunakan sosis ayam. Penggunaan berbagai jenis daging ini bertujuan agar kita dapat mengetahui karakteristik dari masing-masing jenis daging terhadap berbagai perlakuan. Ditinjau dari segi warna, pada percobaan yang dilakukan diperoleh data antara lain sebagai berikut: daging sapi mentah berwarna merah, daging sapi + enzim papain berwarna coklat kemerahan, daging sapi + enzim bromelin berwarna coklat, daging sapi rebus berwarna coklat muda, sosis sapi berwarna merah coklat, daging ayam mentah berwarna kuning kecoklatan, daging ayam + enzim papain berwarna kuning pucat, daging ayam + enzim bromelin berwarna merah muda kecoklatan, daging ayam rebus berwarna putih kecoklatan, dan sosis ayam berwarna krem. Perbedaan warna yang timbul dipengaruhi oleh kondisi dari daging tersebut. Dari segi warna kita dapat juga mengetahui kondisi dari daging tersebut apakah masih bagus atau tidak. Secara umum warna daging sapi yang sering kita lihat di pasar adalah berwarna merah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Weir (1960), dimana pada mulanya warna daging sapi yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, bila daging tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi cokelat.

Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna cokelat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. Warna merah daging merupakan refleksi dari pigmen mioglobin. Mioglobin merupakan protein kompleks yang berfungsi membawa oksigen untuk sel. Kandungan mioglobin pada jaringan bergantung pada aktifitas jaringan, efisiensi darah membawa oksigen, umur serta jenis hewan (Astawan & Astawan, 1988). Berdasarkan teori-teori di atas kita dapat mengetahui penyebab munculnya warna merah pada daging sapi dan penyebab berubahnya warna merah ini menjadi coklat yang disebabkan karena terjadinya oksidasi pada pigmen mioglobin yang berubah menjadi metmioglobin (pigmen warna coklat). Warna merah juga nampak pada sosis sapi hal ini disebabkan karena sosis merupakan merupakan hasil pengolahan dari daging cincang yang telah diberi bumbu. Jadi komponen terbesar dari sosis sapi adalah daging sapi yang berwarna merah. Jadi penyebab dari timbulnya warna merah juga dipengaruhi oleh adanya pigmen mioglobin. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1988), yang menyatakan bahwa warna sosis selain berasal dari pigmen daging yang digunakan juga dapat berasal dari langkah pengasapan dalam pembuatannya maupun penambahan zat warna tertentu. Warna kuning yang terdapat pada ayam merupakan warna yang umum ditemukan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jensen (1949) dimana warna daging yang dimiliki oleh unggas adalah warna putih kekuningan. Pigmen warna yang terdapat pada ayam adalah pigmen myoglobin dan hemoglobin. Myoglobin mempengaruhi munculnya warna merah pada daging ayam, dimana jika mengalami oksidasi bisa menimbulkan warna

coklat dari metmioglobin. Sedangkan hemoglobin memberi warna putih kekuningan pada daging ayam. Dari teori tersebut, kita dapat memahami hal-hal yang mendasari terbentuknya beberapa warna pada percobaan yang menggunakan bahan daging ayam. Seperti halnya pada sosis sapi, warna yang nampak pada sosis ayam dipengaruhi oleh komponen penyusunnya dimana memiliki komponen penyusun terbesar yaitu daging ayam. Sehingga warna yang terbentuk adalah krem (putih kecoklatan). Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Astawan & Astawan (1988) sebelumnya, dimana menyatakan bahwa warna sosis selain berasal dari pigmen daging yang digunakan juga dapat berasal dari langkah pengasapan dalam pembuatannya maupun penambahan zat warna tertentu. Jika dilihat dari pengaruh penambahan enzim pada warna yang terbentuk pada daging, dapat diambil kesimpulan bahwa penambahan enzim papain dapat menghambat terjadinya oksidasi pada daging. Sedangkan enzim bromelin mempercepat terjadinya oksidasi pada daging. Hal ini ditunjukkan melalui hasil pengamatan dimana daging yang ditambah dengan enzim bromelin menghasilkan warna kecoklatan (lebih coklat) dibandingkan dengan daging yang ditambah dengan enzim papain. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa bromelin diperoleh dari buah nanas sedangkan enzim papain berasal dari buah pepaya. Penggunaan enzim papain tidak memberi dampak kecoklatan yang terlalu besar pada daging karena enzim papain hanya bersifat mempercepat reaksi saja namun tidak ikut bereaksi. Bromelin tergolong dalam kelompok enzim protease sulfidril, perbedaannya enzim bromelin merupakan glukoprotein sedangkan enzim papain dan fitin merupakan protein ( Winarno, 1995 ). Selain itu bromelin mengandung karbohidrat dalam molekulnya, papain tidak ( de Man, 1997 ). Dari teori tersebut dapat diketahui penyebab dari munculnya warna kecoklatan pada daging. Pengaruh perebusan daging terhadap warna yang terbentuk pada daging terjadi karena terdenaturasinya myoglobin pada daging. Dimana menurut teori, kecepatan denaturasi myoglobin lebih dipengaruhi oleh adanya perubahan pH daging dibandingkan oleh pengaruh perubahan temperatur. Ketika globin terdenaturasi, metmioglobin membentuk globin hemichromogen coklat yang dikenal juga sebagai ferrihemochrome. Pemanasan

daging yang cukup dapat menimbulkan perubahan warna menjadi putih, abu-abu, coklat dimana dipengaruhi oleh ferrihemochrome (Anonim,2007). Hal ini juga didukung oleh pendapat Valin et.al (1982, yang menjelaskan bahwa pemanasan dapat menyebabkan denaturasi pada globin, dimana akan mengendap bersama dengan protein daging yang lain. Denaturasi pada myoglobin dan protein yang lain dimulai pada suhu antara 55 oC-65oC pada daging dan kebanyakan denaturasi terjadi dan ditemukan pada suhu 75oC atau 80 oC. Ditinjau dari tingkat kebasahannya, pada praktikum diperoleh hasil untuk kelompok 1 daging sapi mentah: tidak basah, daging sapi + enzim papain : agak basah, daging sapi + enzim bromelin : sangat basah, kelompok 2 daging sapi rebus : kurang basah, kelompok 3 sosis sapi : kurang basah, kelompok 4 daging ayam mentah : tidak basah, daging ayam + enzim papain : kurang basah, daging ayam + enzim bromelin : basah, kelompok 5 daging ayam rebus : kurang basah, kelompok 6 sosis ayam : kurang basah. Tingkat kebasahan daging dipengaruhi oleh daya ikat air (DIA) atau water-holding capacity atau water-binding capacity (WHC atau WBC). DIA diartikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Tingkat kebasahan sebenarnya merupakan daya ikat air (DIA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water-binding capacity (WHC atau WBC). DIA mempunyai pengertian kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Pengaruh-pengaruh dari luar misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 1994). Untuk daging sapi mentah dan daging ayam mentah memiliki tingkat kebasahan : tidak basah. Hal ini menandakan bahwa daging yang digunakan tidak dalam kondisi segar. Karena secara teori karakteristik dari daging yang segar adalah penampakannya yang mengkilap dan tidak pucat, tidak berbau asam atau busuk, daging elastis atau sedikit kaku (tidak lembek). Jika dipegang, masih terasa kebasahannya, tetapi tidak lengket di tangan (Weir, 1960). Daging yang tidak basah mungkin disebabkan karena daging sudah tidak

segar dan sudah cukup lama bereaksi dengan udara sehingga daging menjadi kering. Namun dengan permukaan yang kering ini menyebabkan kontaminasi mikrob terhadap daging dapat dicegah, karena seperti kita ketahui daging termasuk dalam perishable food selain itu kelembaban merupakan lingkungan yang disukai mikrob untuk tumbuh. Tekstur yang tidak basah ini dengan kata lain disebabkan oleh penyimpanan daging yang terlalu lama dan terjadinya perubahan struktur protein daging (Hamm & Deatherage, 1960). Pengaruh perebusan terhadap tingkat kebasahan daging jika menurut teori adalah daya ikat daging terhadap air seiring dengan peningkatan suhu dan waktu perebusan adalah akan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena pemasakan akan menyebabkan perubahan DIA karena adanya solubilitas protein daging. Temperatur tinggi meningkatkan denaturasi dan menurunkan DIA (dimana hal ini dapat terlihat dari efek pemanasan pada suhu 60oC yang menghasilkan kenyataan cairan daging yang jumlahnya lebih kecil daripada pemanasan pada temperatur 50oC (Soeparno, 1994). Penyimpangan ini mungkin terjadi karena selama daging direbus, daging terendam seluruhnya dalam air. Hal ini memungkinkan terjadinya absorbsi air air oleh daging dimana proses ini terjadi secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan.

Penambahan enzim pada daging dapat meningkatkan tingkat kebasahan pada daging. Daging yang diberi enzim bromelin memiliki tingkat kebasahan yang lebih tinggi (lebih basah) dibandingkan daging yang diberi enzim papain. Hal ini mungkin disebabkan karena cara pemberian enzim tersebut kepada daging. Dimana untuk enzim papain digunakan daun pepaya yang kemudian digunakan untuk membungkus daging, sedangkan untuk enzim bromelin digunakan buah nanas yang kemudian diblender dan diperoleh ekstraknya lalu dibalurkan pada daging. Perbedaan kebasahan ini mungkin disebabkan karena daun pepaya yang hanya digunakan sebagai pembungkus tidak dapat memberikan enzim papain dalam jumlah yang optimum karena tidak melalui pengekstrakkan sehingga cairan papain yang masuk ke dagingpun jumlahnya sedikit. Sedangkan pada enzim bromelin, buah nanas diblender (diekstrak) sehingga cairan enzim diperoleh lebih banyak, maka semakin banyak enzim yang terserap akan menghasilkan daging yang lebih basah. Karena seperti kita

ketahui bahwa daging memiliki daya adsorbsi terhadap air, dimana daging dapat menyerap air secara spontan dari lingkungannya yang berair. Jika dilhat dari tingkat elastisitasnya, pada percobaan ini diperoleh hasil sebagai berikut : kelompok 1 dengan bahan daging sapi mentah elastis, daging sapi + enzim papain agak elastis, daging sapi + enzim bromelin tidak elastis, kelompok 2 dengan bahan daging sapi rebus kurang elastis, kelompok 3 dengan bahan sosis sapi elastis, kelompok 4 dengan bahan daging ayam mentah kurang elastis, daging ayam + enzim papain agak elastis, daging ayam + enzim bromelin agak elastis, kelompok 5 dengan bahan daging ayam rebus kurang elastis, kelompok 6 dengan bahan sosis ayam elastis. Daging sapi mentah dan daging ayam mentah walaupun sama-sama dalam kondisi mentah tetapi mempunyai keelastisitasan yang berbeda. Perbedaan keelastisitasan ini menunjukkan kondisi dari daging tersebut. Kemungkinan besar yang terjadi adalah daging sedang mengalami kondisi rigor mortis. Hal ini nampak pada daging ayam. Seperti yang kita ketahui bahwa pada umumnya hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis. Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Sedangkan pada daging sapi mentah lebih elastis dari daging ayam mentah dikarenakan daging ini sudah menyelesaikan proses rigornya atau dengan kata lain telah mengalami proses pelayuan (Weir, 1960). Untuk daging yang mengalami proses perebusan, kondisi rigor mortis juga turut berpengaruh. Karena secara teori menurut Weir (1960), jika daging dalam kondisi rigor akan menghasilkan tekstur yang alot dan tidak nikmat. Penambahan enzim bisa berpengaruh terhadap elastisitas daging dimana umumnya tetap mempertahankan elastisitas daging karena enzim bisa menguraikan jaringan otot yang terdapat pada daging namun tidak merusak kolagen yang terdapat pada daging, jadi daging hanya menjadi empuk tetapi

bentuk dan keelastisitasannya tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lee (1992). Jika dilihat dari kekerasan daging, dari hasil percobaan diperoleh data sebagai berikut : kelompok 1 dengan bahan daging sapi mentah sangat keras, daging sapi + enzim papain kurang keras, daging sapi + enzim bromelin tidak keras, kelompok 2 dengan bahan daging sapi rebus agak keras, kelompok 3 dengan bahan sosis sapi agak keras, kelompok 4 dengan bahan daging ayam mentah keras, daging ayam + enzim papain tidak keras, daging ayam + enzim bromelin tidak keras, kelompok 5 dengan bahan daging ayam rebus agak keras, kelompok 6 dengan bahan sosis ayam agak keras. Pada daging yang mentah, memiliki tekstur yang umumnya keras hal ini dipengaruhi oleh kondisi rigor mortis yang dialami daging tersebut. Menurut pendapat dari Weir (1960), kondisi rigor mortis menimbulkan terjadinya perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Untuk menyikapi hal ini perlu dilakukan pelayuan daging. Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (-1,50C). Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat. Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas (Anonim,2007). Penyebab dari kekerasan yang lain adalah tipe daging, apakah berasal dari ternak yang tua atau muda. Daging yang dihasilkan dari ternak tua biasanya cenderung keras (tidak empuk). Daging bagian perut/pinggang lebih empuk dibandingkan dengan bagian leher.

Penambahan enzim pada daging dapat memberi efek keempukan pada daging. Enzimenzim yang digunakan pada praktikum adalah enzim papain dan enzim bromelin. Enzim papain dan enzim bromelin termasuk dalam golongan enzim proteolitik Enzim papain adalah enzim yang terdapat dalam getah pepaya, merupakan jenis enzim proteolitik yaitu enzim yang mengkatalis ikatan peptida pada protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti dipeptida dan asam amino. Daging apabila dikenakan enzim papain maka terjadi reaksi pemutusan ikatan peptida sehingga rantai protein terpotong-potong membentuk rantai yang lebih pendek. Pemutusan ikatan ini akan menyebabkan jaringan pengikat dan serabut daging akan terputus dan kekuatan pengikatnya menjadi lemah sehingga daging akan terasa empuk (Purnomo, 2006). Enzim bromelin merupakan enzim proteolitik yang diperoleh dari ekstraksi buah nanas. Pada penambahan enzim bromelin diperoleh daging yang lebih empuk dibandingkan daging yang ditambah dengan enzim papain. Hal ini dijelaskan melalui teori yang dikemukakan Lee (1992) yang menjelaskan secara rinci bagaimana aktivitas dari enzim bromelin sehingga diperoleh hasil yang lebih lunak. Ia menjelaskan bahwa aktivitas enzim bromelin yang diperoleh dari buah nanas pada dasarnya adalah merusak struktur jaringan otot rangka yang tersusun dari miofibril yang merupakan protein. Dapat dikatakan, enzim bromelin memiliki kemampuan proteolitik. Dengan rusaknya otot rangka maka akan menyebabkan daging menjadi lebih lunak, namun demikian kolagen tidak rusak sehingga daging masih tetap dalam kondisi utuh dengan bentuk tetap. Aktivitas enzim bromelin ini hanyalah membantu proses denaturasi miofibril oleh panas saat perebusan, dan enzim ini tidak bisa membantu menguraikan kolagen karena adanya ikatan yang kuat yang bisa diuraikan dengan panas. Aktivitas enzim bromelin bisa mencapai optimum antara 500C-700. Pada daging buahnya, terdapat enzim dalam jumlah yang tidak terlalu banyak namun lebih mudah diekstrak dan hasilnya lebih banyak karena kotoran ataupun bahan lain jumlahnya sedikit kecuali fruktosa Pengaruh perebusan terhadap daging dapat memberikan keempukan. Hal ini disebabkan karena protein miofibrilar mengalami koagulasi atau denaturasi sempurna pada temperatur

60oC. Pemasakan pada temperatur yang lebih tinggi diatas temperatur 65oC dapat menyebabkan terjadinya konversi kolagen yang kemudian meningkatkan keempukan daging. Jadi prosedur pemasakan dalam waktu singkat pada temperatur internal yang rendah untuk daging yang mengandung jaringan ikat rendah, akan dapat meningkatkan keempukan daging masak (Hamm & Deatherage, 1960). Berikut ini akan dijelaskan mekanisme terjadinya keempukan pada daging selama perebusan. Selama pemanasan mula mula kolagen mengkerut sehingga menyebabkan daging memendek. Setelah mengalami pengerutan awal tersebut, pemanasan lebih lanjut akan menyebabkan kolagen pecah dan rusak dan akhirnya menjadi gelatin yang larut air. Molekul kolagen membentuk serat-serat yang terdiri atas tiga rantai polipeptida yang saling melilit satu sama lain. Air panas akan memecahkan ikatan yang mengikat tiga molekul polipeptida yang membentuk untai ganda dan ketiga molekul itu akhirnya terlepas dan terdispersi di dalam air panas tersebut. Dengan panas, maka makin lemah serat-serat kolagennya dan kemudian diubah menjadi gelatin sehingga daging makin empuk. Suhu pemanasan yang semakin tinggi semakin mempercepat proses pengempukan (Kartasapoetra, 1994). Pengempukan tenunan pengikat berlangsung jika pemanasannya mencapai 60 0C (Winarno, 1993). Pada daging yang akan dimasak, penambahan daging dengan protease (bromelin atau papain) sebelum memasaknya, menghidrolisis ikatan peptida dan dengan demikian memperlunak daging (Amstrong, 1995). Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging (Anonim,2004). Keempukan daging berkaitan dengan banyaknya tenunan pengikat pada daging. Suhu yang telah cukup untuk mengkoagulasikan serabut protein, biasanya belum cukup untuk mengkoagulasikan tenunan pengikat. Daging yang liat, yang biasanya banyak tenunan pengikatnya, perlu pemanasan yang lebih tinggi dan lebih lama, tergantung pada jumlah dan distribusi tenunan pengikat dalam daging. Pengempukan daging juga dapat dilakukan dengan cara penggilingan dan pencacahan (Winarno, 1993). Dari hal yang

disebut sebelumnya, maka kita dapat memahami penyebab dari keempukan pada sosis sebagai produk daging cincang. Karena proses pencincangan atau penggilingan dapat memberi efek keempukan. Penyebab lainnya adalah perubahan jumlah daging pada sosis yang akan mempengaruhi kekenyalan sosis, makin banyak daging yang digunakan, maka makin baik kekenyalannya dan teksturnya. Makin banyak bahan tambahan, maka tekstur sosis akan terpengaruh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keempukan dari daging sosis yang dihasilkan antara lain meliputi suhu, lama pemasakan, serta jenis daging. (Astawan & Astawan, 1988). Menurut Bouton et al. (1971), dikemukakan bahwa pada prinsipnya keempukan daging dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan atau kealotan daging dengan metode subjektif dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan cara struktur atau non struktur, atau dengan cara yang lebih canggih atau kompleks, yaitu uji panel cita rasa yang disebut panel taste. Pada praktikum penentuan keempukan secara subjektif telah dijelaskan pada penjelasanpenjelasan sebelumnya dimana kita menggunakan indra kita untuk menentukannya. Sedangkan secara objektif kami menggunakan alat texture analyzer. Hasil yang diperoleh dari penggunaan alat ini adalah diperolehnya data mengenai kekerasan, kekentalan, keretakan, bergetah, kerenyahan dan kelekatan. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa masing-masing jenis daging memiliki skala yang berbeda untuk tiap karakter tekstur. Dari data tersebut kita dapat mengetahui sifat-sifat tekstur daging secara jelas dan lebih terperinci. Karena seperti kita ketahui untuk penilaian secara subjektif, data yang diperoleh sangat tergantung pada keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indra kita. Sensitifitas yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Jadi data yang diperoleh sangat besar kemungkinannya untuk tidak valid, karena hasil yang diperoleh dari tiap orang bisa berbeda-beda. Dengan menggunakan alat dapat diketahui tingkat kekenyalan atau kekerasan yang ditunjukkan ditunjukkan dengan semakin kecilnya jarak penembusan jarum pada produk.

Keadaan tersebut disebabkan karena meningkatnya protein dalam adonan yang selama pemasakan mempunyai kemampuan untuk mengikat bagian bagian hancuran daging menjadi satu sehingga terbentuk suatu produk yang kompak dan kenyal. Kekenyalan dan kekompakan ini ini erat kaitannya dengan kemampuan pengikatan antar partikel - partikel daging dan pengikatan partikel tersebut tergantung pada jumlah protein miofibril yang terekstrak dimana semakin banyak ikatan aktin dan miosin yang terbentuk maka makin kenyal tekstur produk yang dihasilkan (Rukma, 2001). Uji Penyerapan Air Pada percobaan ini, bertujuan agar dapat mengetahui pengaruh perebusan terhadap penyerapan air pada daging. Mula-mula kelompok 2, 3, 5, dan 6 menimbang berat dan volume daging mula-mula. Kemudian daging direbus hingga matang, lalu daging dihitung kembali berat dan volume akhirnya. Tujuan dari diketahuinya data perubahan berat dan volume daging adalah untuk menentukan total kadar cairan daging mentah yang ditentukan dengan menghitung kehilangan berat setelah pemanasan Hal ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengembangan ataupun penyusutan pada daging. (Soeparno, 1994). Dari percobaan tersebut diperoleh data sebagai berikut (dengan berat awal 15 gram): kelompok 2 dengan bahan daging sapi berat akhir = 8 gram, vol.awal = 13 ml, vol.akhir = 9 ml. Kelompok 3 dengan bahan sosis sapi berat akhir = 16 gram, vol.awal = 15 ml, vol.akhir = 20 ml. Kelompok 5 dengan bahan daging ayam berat akhir = 11,5 gram, vol.awal = 15 ml, vol.akhir = 10 ml. Kelompok 6 dengan bahan sosis ayam berat akhir = 15 gram, vol.awal = 20 ml, vol.akhir = 20 ml. Pada daging yang direbus baik daging ayam maupun daging sapi menunjukkan terjadinya penurunan berat dan volume daging akhir dibandingkan volume dan berat daging semula. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soeparno (1994) dimana pemasakan dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan terhadap daging. Perubahan-perubahan tersebut antara lain : protein serat otot mengalami koagulasi dan daging mengkerut,

pengkerutannya menyebabkan keluarnya cairan dari daging, kolagen pada jaringan ikat berubah menjadi gelatin, dan nutrien tertentu hilang atau rusak selama pemasakan daging. Teori itu juga didukung oleh pendapat Winarno (1993) yang menyatakan bahwa selama pemanasan daging mengalami pengkerutan dan pengurangan berat. Kehilangan air dan lemak dikaitkan dengan terkoagulasinya serabut serabut protein daging serta tenunan pengikatnya. Lemak lemak menjadi cair dan terperas keluar dari sel sel cadangan lemak otot. Protein yang terkoagulasi, khususnya serabut serabut protein dalam daging akan mengubah bentuk sel koloidal menjadi bentuk gel dan menyebabkan serabut serabut tersebut mengkerut. Semakin tinggi suhu dan semakin lama daging dipanaskan, koagulasi protein semakin intensif dan daging tampak lebih sedikit. Sedangkan pada sosis, pada sosis sapi hasil yang kami peroleh dari perebusan

menunjukkan terjadinya penambahan berat dan volume. Sesuai yang kita ketahui sebelumnya bahwa pemasakan sosis bertujuan untuk menyatukan komponen-komponen adonan sosis yang merupakan emulsi minyak dan air dengan protein miosin daging sebagai penstabilnya, untuk memantapkan warna daging, serta untuk menginaktifkan mikroba. (Rukma, 2001). Sebenarnya hasil yang kami peroleh dari perebusan akan membentuk sosis yang mengkerut pada selubungnya sedangkan pada bagian tengah tampak membesar. Hal ini juga sesuai dengan teori dimana ciri-ciri sosis yang telah matang akan tampak terang dan berwarna merah agak muda serta akan tampak mengkerut pada bagian permukaannya yang disebabkan oleh pengurangan dan denaturasi protein dari casingnya (Hadiwiyoto, 1983). Meskipun terjadi pengerutan pada bagian selubing sosis aspi , daya ikat daging terhadap air justru meningkat. Hasil ini didukung dengan teori Alan & Jane (1995), yang menyatakan bahwa kolagen yang berlebihan dalam sosis, ketika pemanasan menyebabkan kolagen akan mengkerut dan sebagian menjadi gelatin pada temperatur lebih dari 650. Kolagen memiliki daya ikat air yang baik, tetapi memiliki kemampuan emulsifikasi lemak yang rendah. Pada hasil akhir sebaiknya tidak melebihi 25% total protein.

5.

KESIMPULAN

6.

DAFTAR PUSTAKA

Alan, H. V. & P. S. Jane. (1995). Meat & Meat Product. Technologi Chemistry and Microbiology. Chapman & Hall. London.

Amstrong, S. B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Anonim. (2004). Dapatkan Protein dari Dendeng. http://gizinet/info-pangan/index.shtml.

Anonim. (2006). Manfaat Daging, Telur, dan Susu. http://www.pikiran-rakyat.com/

Anonim.

(2007).

Mengapa

Perlu

Makan

Daging.

http://www.gizinet/info

pangan/index.shtml.

Astawan, M. & M. W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna Akademika Pressindo. Bogor.

Bourne, M.C. (2002). Food Texture and Viscosity Concept and Measurement Second Edition. Acadenic Press. London.

Bouton, P.E., Harris, P.V., & Shorthose, W.R. (1971). J. Food Sci. 36, 435.

Bouton, P.E., Fischer, A.L., Harris, P.V., dan Baxter, T.I. (1973b). J. Fd. Technol. 8, 39.

Cornforth, D. P., Egbert, W. R. and Sisson, D. V. (1985). J. Food Sci.50, 102.

deMan, J. M. (1997). Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB. Bandung.

Gaman, P.H. & Sherrington, K.B. (1994). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi Edisi Kedua. UGM Press. Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. (1983). Hasil Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty. Yogyakarta.

Hamm, R. and Deatherage, F.E. (1960). Food Res. 25, 587.

Hanief, I. (2001). Mewaspadai Si Bulat Panjang : Sosis.http://www.mailarchive.com/balitaanda@indoglobal.com/msg25989.html.

Hein, M ; L. R. Best ; S. Pattison & S. Arena. (1993). College Chemistry an Introduction to General, Organic, and Biochemistry, 5th ed. Brooks Cole Publishing Company. California.

Jensen, L. B. (1949). Meat and Meat Foods. Ronald Press, New York. Hal. 47.

Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.

Khotimah, K. (2000). Studi Tentang Tingkat Permintaan Daging Segar dan Daging Olahan (Corned, Sosis, Dendeng) di Supermarket Kodya Malang.

Lawrie, R.A.(1985). Meat Science.4th ed. Pergamon Press.

Lee, J.M. (1992). Biochemical Engineering.Pentice Hall Inc. Englewood Ciffs. New Jersey.

Lewis, M. J. (1987). Physical Properties of Food and Food Processing System. Ellis Horwood Ltd. England.

Martoharsono, S. (1994). Biokimia Jilid 1. UGM Press. Yogyakarta.

Ngudiwaluyo, S. & Suhajito. (2003). Pengaruh Penggunaan Sodium Tripoly Phosfat Terhadap Daya Simpan Bakso Sapi Dalam Berbagai Suhu Penyimpanan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri. Jakarta.

Pearson, A.M. & T. R. Dutson., (1987). Advances in Meat Research Vol. 3 Restructured Meat and Poultry Products. An Avi Book. New York.

Perlitto, I. I. (1988). Meat Processing For Small And Medium Scale Operation. Intitute of Animal Science. UP. Los Banos.

Price, J. F. & B. S. Schweigert. (1971). The Science Of Meat and Products. W. H. Freeman and Company. San Fransisco.

Purnomo, Y. (2006). Pembuatan Virgin Coconut Oil dengan Getah Pepaya. http://blog.indosiar.com/yudiupnjatim/?op=readblog&idblog=30593

Rukma, H.R. (2001). Membuat Sosis: Daging Kelinci, Daging Ikan, Tempe Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Soeparno. (1994). Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Terentyev, A & B. Pavlov. (1954). Organic Chemistry. Foreign Languages Publishing House. Moscow.

Valin, C.O., Touraille, C., Vigneron, P. dan Ashmore, C.R. (1982). Meat Sci. 6, 257.

Weir,C.E. (1960). The Science Of Meat and Meat Products. Ed. Amer. Meat Inst. Found. Reinhold Publishing Co., New York. Hal. 212.

Winarno, F.G., S. Fardiaz, & D. fardiaz. (1984). Pengantar Teknologi Pangan. P.T. Gramedia. Jakarta.

Winarno, F.G. (1993). Pangan: Gizi, teknologi, dan Konsumen. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. ( 1995 ). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.

7. 7.1.

LAMPIRAN Lampiran Dapatkan Protein dari Dendeng

Jumat, Dapatkan perbaikan

30

April, Protein gizi

2004 dari

oleh:

gklinis Dendeng

Gizi.net - Dendeng sebagai salah satu makanan tradisional punya peran berarti dalam masyarakat. Selain mengandung protein tinggi, dalam dendeng terdapat beberapa kandungan mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi. Masa simpannya yang lebih lama dibanding daging sapi, membuat dendeng dapat dikonsumsikan ke daerah-daerah yang sangat kurang makanan. Siapa tak kenal dendeng? Tampilannya yang sangat khas, yaitu cokelat kemerahan, tipis dan alot, serta flavornya yang penuh wangi bumbu, menyebabkan setiap orang sulit melupakannya. Apalagi dendeng rusa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, sangat nikmat disantap bersama nasi panas dan sambal terasi pedas.

Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging tradisional yang sangat populer di Indonesia. Dendeng adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam, serta bumbu-bumbu lain.

Dendeng dapat dibuat dari berbagai jenis daging ternak. Namun, yang umum dijumpai di pasaran adalah dendeng sapi. Belakangan ini juga mulai dikenal dendeng ikan, udang, bekicot, dan bahkan keong emas. Jenis ikan yang biasa diolah menjadi dendeng adalah ikan air tawar (mujair, nila, dan belut) dan ikan air laut (japuh, kuning, tembang, kakap, dan layaran).

Pada proses pembuatan dendeng, umumnya ditambahkan bumbu-bumbu, seperti lengkuas,

ketumbar, bawang merah, lada, dan bawang putih. Selain itu juga ditambahkan gula dan garam. Penambahan gula kelapa dan rempah-rempah pada dendeng memberikan sifat flavor yang khas. Dengan demikian, dendeng dapat dibedakan dengan produk tradisional daging semi basah lain, seperti pemmican, biltong, dan jerky.

Dendeng merupakan hasil industri rumah tangga yang telah diterima luas oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Produk sejenis dendeng juga dihasilkan di negara-negara lain di Asia. Pada prinsipnya dendeng adalah hasil dari suatu proses kombinasi antara kuring daging Kuring Daging segar jika dipotong dan Daging mula-mula berwarna ungu, tetapi lama-kelamaan pengeringan.

permukaannya segera berubah menjadi merah terang dan akhirnya cokelat. Terbentuknya warna cokelat ini sering digunakan sebagai petunjuk menurunnya mutu daging. Daging yang dikehendaki adalah yang selalu dalam keadaan segar dan berwarna merah ceri. Jika warnanya tidak lagi merah, hilanglah pesona daging tersebut.

Upaya mempertahankan warna merah daging dilakukan dengan cara kuring. Kuring merupakan suatu cara perlakuan pendahuluan pada daging segar sebelum proses pengawetan selanjutnya dilakukan, seperti untuk pembuatan daging corned (corned beef), daging asap (smoked ham), dendeng (dried meat), sosis, dan lain-lain.

Daging yang telah dikuring disebut sebagai green cured meat. Proses kuring bertujuan mengawetkan, mempersiapkan daging pada penggunaan berikutnya, menghambat pertumbuhan mikroba, serta untuk menimbulkan rasa dan flavor yang enak. Yang dimaksud dengan proses kuring adalah proses penambahan garam, gula, dan sendawa

(salpeter). Sendawa mengandung nitrat, yaitu dalam bentuk natrium nitrat atau kalium nitrat. Jumlah sendawa yang digunakan 200 mg dalam setiap kilogram daging. Penggunaan sendawa secara berlebih dapat menyebabkan terbentuknya senyawa nitrosamin (hasil reaksi antara nitrit dengan amin dari protein) yang bersifat karsinogenik (dapat memicu timbulnya kanker). Dalam proses kuring, garam dapur berfungsi sebagai pengawet (ion klorida bersifat antibakteri) dan pembangkit cita rasa. Pemakaian garam sekitar 2-3 persen dari berat daging. Gula berfungsi mengurangi rasa asin yang berlebihan akibat penambahan garam, membentuk rasa yang spesifik, serta memperbaiki aroma dan tekstur daging. Selama proses kuring berlangsung, garam nitrat akan direduksi menjadi nitrit oleh bakteri. Kemudian nitrit akan bereaksi dengan pigmen daging menimbulkan warna merah yang diinginkan, sekaligus untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Kuring dapat dilakukan dengan cara basah atau cara kering. Kuring cara basah dilakukan dengan merendam daging yang akan dibuat dendeng dalam larutan kuring (campuran bahan kuring dengan air) selama periode waktu tertentu. Kuring cara kering dilakukan dengan membaluri daging dengan campuran bahan kuring.

Dendeng yang dibuat dengan cara kuring kering memberikan hasil yang lebih empuk, kadar garam NaCl dan nitrat yang lebih tinggi, rasa dan warna yang lebih disukai, serta jumlah bakteri yang lebih kecil dibandingkan dengan dendeng yang diolah dengan kuring basah. Proses kuring dilakukan sebagai berikut. Mula-mula daging yang akan dikuring dibersihkan dari jaringan-jaringan lain yang tidak dikehendaki, kemudian dicuci bersih dan ditiriskan selama kira-kira 30 menit. Sementara itu, garam, gula, dan sendawa dicampurkan menjadi satu dalam keadaan kering. Campuran tersebut dibalurkan secara merata ke permukaan daging.

Selanjutnya daging ditempatkan dalam baskom dan disimpan dalam lemari es selama beberapa hari. Sambil disimpan, daging dibolak-balik secara teratur agar warna merah seragam dan merata. Apabila diinginkan kuring cara basah, campuran kuring, air, dan daging Bumbu direndam dalam campuran tersebut. Dendeng

Selain kesegaran dan mutu daging, bumbu merupakan faktor kunci yang menentukan kualitas dan daya terima dendeng. Pembuatan dendeng di Indonesia umumnya menggunakan bumbu garam, gula, lengkuas, ketumbar, dan bawang merah. Kadang-kadang ada juga yang menambahkan lada dan bawang putih. Gula yang ditambahkan dapat berupa gula merah maupun gula pasir. Campuran bumbu berguna untuk menambah aroma, cita rasa, dan untuk memperpanjang daya awet. Beberapa jenis rempah telah diketahui mempunyai daya antimikroba. Ketumbar dapat menimbulkan bau sedap dan rasa pedas yang gurih, sehingga bau tidak sedap pada dendeng dapat dihilangkan. Bawang putih dapat menimbulkan rangsangan tajam dan memacu selera makan. Gula menambah rasa manis dan kelezatan, mengurangi rasa asin berlebihan akibat penambahan garam, memperbaiki aroma dan tekstur daging. Gula juga berfungsi melunakkan Pengeringan produk dengan mengurangi penguapan. Dendeng

Dendeng tergolong dalam bahan makanan semi basah (intermediate moisture food), yaitu bahan pangan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, yaitu antara 15-50 persen. Kadar air tersebut dapat dicapai melalui proses pengeringan daging yang telah dibumbui.

Pengeringan dendeng dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari atau dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial drying). Dibandingkan dengan pengeringan

secara alami, pada pengeringan buatan, hasil yang diperoleh menjadi lebih bersih karena terhindar dari kontaminasi (serangga, debu, dll) dan proses dapat dikontrol dengan baik (tidak tergantung kepada keadaan cuaca).

Pada pengeringan dendeng, terik matahari atau suhu alat pengering tidak boleh terlalu panas karena permukaan dendeng akan menjadi retak-retak. Sebaliknya, bila sinar matahari kurang panas dan tidak terus-menerus akan menyebabkan kapang mudah tumbuh. Kecepatan pengeluaran air selama pengeringan dipengaruhi oleh luas permukaan, volume, dan bentuk potongan dagingnya. Potongan daging yang tebal ataupun suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya case hardening, yaitu suatu kondisi ketika bagian luar daging sudah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah.

Hal ini memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga daya awet dendeng menjadi berkurang. (http://gizinet/info-pangan/index.shtml)

DAGING Daging adalah sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi oleh anak-anak dan orang dewasa agar cerdas, sehat, tumbuh secara normal, lebih produktif dan bergairah. Daging yang akan kita konsumsi, haruslah daging yang baik adan sehat. Tanda-tanda daging yang sehat adalah : Bersih/terang lapisan luar kering. Berasal dari rumah potong hewan Ada cap pemeriksaan dari pemerintah setempat. Daging yang sudah ditiriskan tidak berdarah. Aroma bau tidak amis dan tidak bau asam Daging masih elastis dan tidak kaku Asam-asam amino yang menyusun daging adalah lengkap dan seimbang. Disamping itu juga kaya akan vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh. Pemilihan daging untuk macam-macam daging hewan antara lain : - Daging sapi Daging sapi yang baik warnanya merah segar, seratnya halus,

lemaknya berwarna kuning, dagingnya keras (elastis) - Daging kerbau Daging kerbau yang baik warnanya merah tua, seratnya kasar, lemaknya keras dan berwarna kuning - Daging kambing Daging kambing yang baik warnanya merah jambu, seratnya halus, lemaknya keras dan berwarna putih, sedangkan dagingnya berbau lebih keras daripada daging sapi. Daging ayam broiler kandungan kolesterolnya rendah dan kaya vitamin B dan mineral sehingga sangat diperlukan untuk kesehatan sistim syaraf dan pertumbuhan. Pada daging ayam, kandungan lemaknya lebih tinggi daripada telur tetapi komposisinya sebagian besar terdiri dari asam lemak tak jenuh ganda yang penting bagi penyakit jantung koroner. Kandungan zat- zat dalam berbagai komoditi daging (%) No. Komoditi Kalori Protein Lemak 1 Daging sapi 207 18,8 14 2 Daging kerbau 85 18,7 0,5 3 Daging kambing 154 16,6 9,2 4 Daging domba 206 17,1 14,8 5 Daging ayam 302 18,2 25 6 Daging itik 326 16,0 28,6 Sumber : Karyadi dan Muhilal, Kecukupan yang dianjurkan, 1992 (http://www.pikiran-rakyat.com/)
Mengapa Kita Perlu Makan DAGING?
Oleh Kompas Cyber Media

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Manusia mengonsumsi daging sejak dimulainya sejarah peradaban manusia itu sendiri. Berbagai jenis ternak telah dikembangkan untuk diambil dagingnya, baik ternak besar (seperti sapi atau kerbau) maupun ternak kecil (seperti domba, kambing, dan babi). Selain jenis ternak tersebut, beberapa ternak lain juga dapat digunakan sebagai sumber daging untuk konsumsi manusia. Meski demikian, daging yang paling banyak diperjualbelikan adalah daging sapi. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu (1) ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit, (2) ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan glikogen otot maksimal, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) cara pemotongan harus higienis.

Tingkat Kealotan

Daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya.

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot. Jenis daging juga dapat dibedakan berdasarkan umur sapi yang disembelih. Daging sapi yang dipotong pada umur sangat muda (3-14 minggu) disebut veal, yang berwarna sangat terang. Daging yang berasal dari sapi muda umur 14-52 minggu disebut calf (pedet), sedangkan yang berumur lebih dari satu tahun disebut beef. Berdasarkan umur, jenis kelamin, dan kondisi seksual, daging sapi (beef) berasal dari: (1) steer (sapi jantan yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kelamin), (2) heifer (sapi betina yang belum pernah melahirkan), (3) cow (sapi betina dewasa/pernah melahirkan), (4) bull (sapi jantan dewasa) dan (5) stag (sapi jantan yang dikastrasi setelah dewasa). Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging. Berdasarkan keadaan fisik, daging dapat dikelompokkan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan (daging beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan. Lebih Mudah Dicerna

Komposisi daging relatif mirip satu sama lain, terutama kandungan proteinnya yang berkisar 15-20 persen dari berat bahan.

Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging. Protein yang terkandung di dalam daging, seperti halnya susu dan telur, sangat tinggi mutunya, sehingga baik untuk diberikan kepada si buah hati. Protein sangat dibutuhkan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan anak balita Anda. Kebutuhan protein pada anak balita 2-2,5 gram per kilogram berat badan, sedangkan pada orang dewasa hanya 1 gram per kilogram berat badan. Protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang bersumber dari bahan pangan nabati. Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino esensialnya yang lengkap dan seimbang. Asam amino esensial merupakan pembangun protein tubuh yang harus berasal dari makanan atau tidak dapat dibentuk di dalam tubuh. Kelengkapan komposisi asam amino esensial merupakan parameter

penting penciri kualitas protein. Selain dalam bentuk segar (empal, semur, sate, rawon, rendang, bistik), daging juga dapat dikonsumsi dalam berbagai produk olahan. Misalnya, daging corned (corned beef), daging asap (smoked ham), dendeng (dried meat), sosis (sausage), bakso (meat ball), dan lain-lain. Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan, beberapa produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga digunakan sebagai alternatif sumber protein hewani. Kandungan Gizi

Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling.

Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40 persen, tergantung pada jenis dan spesies, makanan, dan umur ternak. Daging juga mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Kadar kolesterol daging sekitar 500 miligram/100 gram lebih rendah daripada kolesterol otak (1.800-2.000 mg/100 g) atau kolesterol kuning telur (1.500 mg/100 g). Dengan alasan kesehatan, banyak orang yang antipati terhadap kolesterol. Sikap demikian diwujudkan dengan menghindari konsumsi bahan makanan berkolesterol, seperti daging, telur, dan produk-produk olahan susu. Padahal, bahan-bahan makanan tersebut merupakan sumber zat gizi yang sangat baik karena sarat protein, vitamin, dan mineral. Kolesterol memegang peranan penting dalam fungsi organ tubuh. Kolesterol berguna untuk menyusun empedu darah, jaringan otak, serat saraf, hati, ginjal, dan kelenjar adrenalin. Selain itu, kolesterol juga merupakan bahan dasar pembentukan hormon steroid, yaitu progestron, estrogen, testosteron, dan kortisol. Hormon-hormon tersebut diperlukan untuk mengatur fungsi dan aktivitas biologi tubuh. Kadar kolesterol yang sangat rendah di dalam tubuh dapat mengganggu proses menstruasi dan kesuburan, bahkan dapat menyebabkan kemandulan, baik pada pria maupun wanita. Oleh karena itu, sangat tidak bijaksana apabila para orangtua membiasakan bayi dan anak balitanya berpantang kolesterol. Pendapat yang menyatakan bahwa kegemukan pada masa bayi dan kanakkanak akan terus terbawa hingga dewasa, tidak seluruhnya benar. Jadi, jangan memantang anak untuk memakan bahan pangan sumber kolesterol hanya karena alasan takut mengalami obesitas (kegemukan). Obesitas hanya akan terjadi apabila konsumsi bahan makanan sumber energi diberikan secara berlebihan dan terus-menerus. Pemberian susu, telur, daging, dan ikan dalam batas normal, dijamin tidak akan menimbulkan kegemukan pada bayi dan anak balita. Daging juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik. Secara umum, daging merupakan sumber mineral kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tiamin), tetapi rendah kadar vitamin C. Hati yang lebih dikenal sebagai jeroan, mengandung kadar vitamin A dan zat besi yang sangat tinggi. Zat besi sangat dibutuhkan oleh si kecil Anda untuk pembentukan hemoglobin darah, yang berguna untuk mencegah timbulnya anemia. Anemia akan berdampak buruk pada anak, seperti lesu, letih, lelah,

tak bergairah, dan tidak mampu berkonsentrasi, sehingga pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajarnya di sekolah. Pemasakan dengan menggunakan panas sangat bermanfaat untuk mematikan mikroba dan meningkatkan cita rasa. Proses pemasakan daging tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar protein, serta beberapa jenis vitamin seperti thiamin, riboflavin, niasin, dan asam pantotenat. Bila daging dimasak menggunakan air, banyak vitamin, mineral, dan asam amino yang akan terlarut di dalam kaldunya. Itulah alasan kaldu memiliki nilai gizi yang cukup baik, sehingga bagus untuk diberikan kepada si kecil. Warna Daging

Warna daging sapi yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen.

Perubahan warna merah ungu menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, bila daging tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar. Mioglobin dapat mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya warna cokelat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak. Warna daging anak sapi lebih terang daripada warna daging sapi dewasa, serta tulang-tulangnya lebih berwarna merah muda. Warna daging kambing lebih gelap (merah tua) daripada warna daging sapi, sedangkan warna daging babi adalah merah mawar. Selain warna, kesegaran daging juga dapat dinilai dari penampakannya yang mengkilap dan tidak pucat, tidak berbau asam atau busuk, daging elastis atau sedikit kaku (tidak lembek). Jika dipegang, masih terasa kebasahannya, tetapi tidak lengket di tangan. Proses Pelayuan Daging

Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.

Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah daging yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging

menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat. Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba. Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas. Karkas sapi biasanya dilayukan dalam waktu sekitar 2x24 jam. Untuk memperoleh daging yang memiliki keempukan optimum dan cita rasa yang khas, pelayuan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi atau dengan waktu yang lebih lama, misalnya suhu 3-40C selama 7-8 hari atau suhu 200C selama 40 jam. Bisa juga dilakukan pada suhu 430C selama 24 jam. Untuk menghambat pertumbuhan mikroba, proses pelayuan dibantu dengan sinar ultraviolet.

(http://www.gizinet/info pangan/index.shtml.)

7.2.

Laporan Sementara

You might also like