You are on page 1of 6

Perubahan Iklim, Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Mendatang

Oleh: Muhammad Ery Wijaya

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa manusia ke era baru, tepatnya sejak mulai ditemukannya mesin uap sebagai cikal bakal dimulainya abad industrialisasi, di mana pada awal-awal era itu tenaga manusia mulai digantikan dengan tenaga mesin hingga saat ini dan masa yang akan datang. Aktivitas industri termasuk di dalamnya penggunaan (baca: pembakaran) batu bara, minyak, dan gas sebagai sumber pembangkit energi maupun pengubahan fungsi lahan hutan untuk menjadi perkebunan ataupun pengolahan hasil hutan untuk bahan baku industri. Pembakaran karbon fosil itu membawa dampak peningkatan gas rumah kaca (greenhouse gases) yang sangat drastis dalam kisaran waktu 150 tahun belakangan ini. Atmosfir bumi terisi oleh tiga gas utama yakni nitrogen (78,09%), oksigen (20,95%), dan argon (0,93%), selain tiga gas utama tadi di atmosfir juga terdapat gas-gas lain dalam jumlah kecil yakni karbon dioksida (CO2), metana (CH4), karbon monoksida (CO), nitrogen oxsides, CFC, dan Ozone (O3). Gas-gas ini secara alamiah merupakan hasil aktifitas ekologi di bumi dan produktivitasnya terjaga secara alami. Karbon dioksida, metana, nitrous oxsides, dan CFC termasuk dalam gas-gas yang mempunyai sifat dapat menjebak panas atau sering disebut sebagai greenhouse gases, gas-gas inilah yang saat ini konsentrasinya meningkat secara drastis di dalam atmosfer sebagai hasil dari aktivitas pembakaran bahan bakar fosil yang dituding menyebabkan pemanasan bumi dan mengakibatkan perubahan iklim global. Sejatinya sejak bumi terbentuk lebih dari 4 miliar tahun yang lalu keadaan iklim di dalam bumi secara periodik berubah dari dingin menjadi panas dan kembali menjadi dingin secara dramatis. Hal ini dibuktikan oleh berbagai penelitian diantaranya di Antartica terhadap lapisan inti es yang diambil dari kedalaman 2.083 meter dan pengambilan sampel koral dari samudera pasifik yang diindikasikan berumur lebih dari 10.200 tahun. Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan para ilmuwan perubahan iklim dapat dikategorikan menjadi enam periode waktu.

Pertama, pendinginan global terjadi lebih dari 1 miliar tahun yang lalu, kemudian mulai muncul organisme yang melakukan fotosintesis, dalam proses respirasi organisme tersebut menghasilkan karbon dioksida, sebagai konsekuensinya terjadilah peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfir yang menyebabkan suhu di bumi menjadi hangat, namun peningkatan karbon dioksida tersebut diserap kembali melalui proses fotosintesis. Proses pengurangan konsentrasi CO2 di udara menjaga suhu bumi tetap dingin.

Kedua, beberapa ribu juta tahun yang lalu bumi terjadi periode peningkatan aktivitas tektonik di kulit bumi, tumbukan antar lempeng benua, dan meletusnya gunung berapi. Gas CO2 secara besar-besaran keluar dari kerak bumi ke atmosfir menjadi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu bumi rata-rata 5 derajat Celcius lebih panas dari suhu bumi saat ini. Ketiga, dimulai kira-kira 100 juta tahun yang lalu dimana keadaan tektonik menjadi lebih stabil dan gas CO2 yang keluar semakin berkurang, sehingga efek gas rumah kaca yang ditimbulkannya juga berkurang, iklim di bumi pada masa ini menjadi dingin kembali. Keempat, dalam kisaran juta tahun keadaan suhu bumi antara panas dan dingin saling berganti dalam skala periode puluhan ribu tahun. Siklus fluktuatif ini terjadi secara natural karena bentuk konfigurasi orbit bumi terhadap matahari, dimana bentuk lintasan orbit bumi adalah ellips terhadap matahari. Jarak bumi terdekat dengan matahari dan jarak bumi terjauh dengan matahari terjadi setiap 100.000 tahun. Pada jarak terdekat bumi akan mendapatkan energi yang sangat besar dari matahari yang menyebabkan suhu bumi menjadi panas, ketika bumi berada pada posisi orbit terjauh dari matahari akan menyebabkan energi dari matahari yang diterima bumi berkurang sebagai akibatnya suhu bumi menjadi dingin. Kelima, siklus magnitude terkecil dalam setiap 1.000 tahun, siklus ini berkaitan dengan aktivitas matahari namun secara ilmiah belum dapat dijelaskan dengan pasti, meskipun efeknya kecil namun diduga memiliki efek terhadap aktivitas manusia, sebagai contoh terjadinya masa little ice age pada tahun 1607 hingga 1814 di daratan eropa.

Keenam, terjadi dalam kisaran 150 tahun yang lalu hingga sekarang, temperatur bumi secara global rata-rata meningkat 0,8 derajat Celcius dan pada beberapa kawasan seperti daerah yang dilintasi katulistiwa meningkat menjadi beberapa derajat celcius, peningkatan ini terjadi dalam waktu yang sangat cepat sebagai efek dari meningkatnya aktivitas manusia dari sektor industri dan transportasi.

Perubahan iklim yang sangat cepat diprediksi oleh beberapa ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) akan terus terjadi sampai masa mendatang sebagai efek dari peningkatan konsumsi bahan bakar fosil dalam transportasi dan industri sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia. Dari hasil pemodelan iklim global diperkirakan jika tidak ada upaya bersama dari warga dunia untuk menurunkan aktivitas pembakaran fosil dari tahun 1990 hingga tahun 2100 iklim global akan meningkat dengan kisaran peningkatan 1,4 hingga 5,8 derajat Celcius dan konsentrasi CO2 di atmosfir akan menjadi dua kali lipat dari keadaan pada masa preindustrialisasi yakni lebih dari 700 ppm (IPCC 2001). Meskipun demikian perubahan iklim ke depan tidak semata-mata ditimpakan oleh akibat dari aktivitas manusia, beberapa faktor terjadinya perubahan iklim juga di timbulkan oleh variasi aktivitas matahari, efek pendinginan oleh sulfate aerosol dan debu , selain juga akibat peningkatan produksi CO2.

Dampak perubahan iklim terhadap pertanian Diperkirakan produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-2o C sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Pada tahun 1991, Indonesia mengimpor sebesar 600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang diimpor lebih dari satu juta ton (KLH, 1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan menciptakan bibit unggul atau mengubah waktu tanam. Peningkatan suhu regional juga akan memberikan dampak negatif kepada penyebaran dan reproduksi ikan.

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian

Beberapa penemuan terakhir mulai memperjelas pengaruh iklim terhadap produksi pertanian. Pada pertemuan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dilaporkan berbagai model simulasi untuk menduga pengaruh perubahan iklim terhadap produksi tanaman. Pengaruh pada produksi pertanian dapat disebabkan paling tidak oleh pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman, pengaruh terhadap organisme pengganggu tanaman, dan kondisi tanah. Berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu C3, C4, dan CAM (crassulacean acid metabolism). Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering dibandingkan dengan tumbuhan C3. Namun tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian, seperti padi, gandum, kentang, kedelai, kacangkacangan, dan kapas merupakan tanaman dari kelompok C3. Tanaman pangan yang tumbuh di daerah tropis, terutama gandum, akan mengalami penurunan hasil yang nyata dengan adanya kenaikan sedikit suhu karena saat ini gandum dibudidayakan pada kondisi suhu toleransi maksimum. Negara berkembang akan berada pada posisi sulit untuk mempertahankan kecukupan pangan. Perubahan iklim akan memacu berbagai pengaruh yang berbeda terhadap jenis hama dan penyakit. Perubahan iklim akan mempengaruhi kecepatan perkembangan individu hama dan penyakit, jumlah generasi hama, dan tingkat inokulum patogen, atau kepekaan tanaman inang. Menurut Wiyono3 pengaruh iklim terhadap perkembangan hama dan

penyakit tanaman dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu (1) eskalasi, di mana hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar; (2) perubahan status; dan (3) degradasi. Patogen yang ditularkan melalui vektor perlu mendapat perhatian penting, kerusakan tanaman akan menjadi berlipat ganda akibat patogen dan serangga vektornya (Ghini 2005, Garrett et al. 2006). Peningkatan suhu udara merangsang terjadinya ledakan serangga vektor. Oleh karenanya penyebaran dan intensitas penyakit diduga akan meledak. Indonesia memiliki beberapa penyakit penting yang ditularkan oleh vektor seperti virus kerdil pada padi, CVPD pada jeruk, dan yang lainnya. Selain mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas vektor, peningkatan suhu juga mendorong aktivitas patogen tertentu. Patogen yang memiliki adaptabilitas pada suhu yang cukup luas akan mudah beradaptasi dengan peningkatan suhu udara. Menyimak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas, wajar apabila orang yang tinggal di sekitar daerah tropis merasa khawatir atas terjadinya perubahan iklim. Namun, apakah mungkin perubahan iklim ini dapat diatasi hanya dengan perbaikan lingkungan di daerah tropis? Padahal penyumbang masalah terjadinya perubahan iklim bukan hanya akibat konversi hutan atau lahan budi daya pertanian.

Referensi : 1. Hardy J.T., 2003, Cimate Change Causes, Effects, and Solutions, Washington, John Wiley & Sons. 2. Hinrichs R.A., Kleinbach M., 2002, Energy Its Use and the Environment, Orlando, Harcourt College Publishers.

You might also like