You are on page 1of 30

JAWABAN UJIAN KOMPREHENSIF/KUALIFIKASI ILMU TAFSIR AHKAM Dosen : Prof. Dr. H. Nurwajah Ahmad EQ, MA.

Pengertian Zakat.

Zakat berasal dari akar kata dasar

( ) yang bermakna

( tumbuh/

berkembang), ( kesucian), ( keberkahan), dan ( terpuji).1 Kata zakat dimaknai dengan berkembang karena zakat dapat mengembangkan harta, sebab dana zakat dapat digunakan untuk menciptakan dan menumbuhkan usaha maupun lapangan pekerjaan baru. Dimaknai dengan kesucian, karena zakat dapat mensucikan harta yang dikeluarkan zakatnya maupun orang yang berzakat (muzakki) dan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat) dari sifat-sifat tercela serta dapat membersihkan dari dosa-dosa. Di maknai dengan keberkahan, karena zakat dapat memberikan keberkahan bagi orang yang berzakat (muzakki) yang terwujud dalam bentuk keamanan bagi harta muzakki. Sedangkan dimaknai terpuji, karena orang-orang yang berzakat (muzakki) akan terpuji dihadapan Allah dan juga manusia serta orang yang menerima zakat (mustahiq al-zakat) terpuji, karena terangkat martabatnya dari perbuatan mengemis dan meminta-minta. Makna zakat ini saling berkaitan antara makna yang satu dengan makna lainnya, yaitu setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkembang, suci, berkah, dan terpuji. Makna zakat yang dinamis, dari pertumbuhan dan peningkatan hingga penyucian . Menurut Bashear,2 ada dua kata yang digunakan untuk menunjuk zakat: zaka dan zakah. Jika yang pertama digunakan, ia menunjuk pada pertumbuhan dan peningkatan, namun jika yang kedua yang digunakan, ia berarti penyucian. Dari kedua pengertian inilah kemudian makna zakat dikembangkan menjadi pertumbuhan dan penyucian. Ini terlihat, antara lain dalam

1 Majmaal-Lughah al-Arabiyah, al-Mujam al-Wasith, Juz 1 (Mesir, Daar el-Maarif, 1972), hlm.
396

2 Sulaeman Bashear, On the Origin and Development of the Meaning of Zakat in Early Islam , Arabica 40, (1993), hlm. 84-113.

defenisi al-Sarakhsi, yang menggabungkan kedua makna itu, seraya merujuk pada QS. alTaubah (9): 103. Menurutnya, disebut zakat karena Menyucikan pembayarnya dari dosadosa3 Dalam pengertian terminologis, zakat didefenisikan oleh para ulama dengan redaksi yang berbeda antara satu dengan lainnya, tetapi pada prinsipnya sama. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta tertentu , dari harta tertentu untuk orang tertentu, yang telah ditentukan oleh syari karena Allah. Ulama Malikiyyah mendefinisikan zakat dengan pengeluaran bagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai nishab untuk mustahik-nya, jika telah sempurna kepemilikan dan haul, kecuali barang tambang dan pertanian yang tidak ada haul-nya. Ulama Syafiiyah mendefenisikan zakat dengan nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan atas jalan tertentu. Dan ulama Hanabilah mendefinisikan zakat dengan hak yang wajib dalam harta tertentu bagi kelompok tertentu pada waktu tertentu.4 Merujuk pada pengertian zakat yang diungkap para ulama di atas, maka zakat sesungguhnya merupakan pengeluaran sebagian kecil harta orang tertentu yang menjadi hak orang tertentu. Pengertian yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah secara jelas menunjukkan adanya perpindahan kepemilikan harta zakat dari kelompok tertentu, yakni orang-orang kaya kepada kelompok lain, yakni mereka yang berhak menerima. Zakat dengan demikian adalah hak, bukan pemberian, ataupun hadiah dari orang-orang kaya kepada yang berhak menerima zakat itu. Kadar pengambilan dan ukuran harta yang dikeluarkan zakatnya

3Al-Sarakhsi, Kitab al-Mabsut, (Kairo, Matbaat al-Saadah, 1913), Juz 2, hlm. 149. 4Wahbah al-Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II (Damaskus, Daar al-Fikr, 1979) Cet
ke-3, hlm. 730-731.

ditetapkan oleh syari. Begitu pula halnya dengan orang-orang yang berhak menerima zakat, harta-harta apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya telah ditetapkan oleh syari. Disamping itu, dalam zakat tersirat adanya kehendak dalam ajaran Islam untuk menciptakan keharmonisan antara orang-orang yang kaya dengan orang-orang yang belum beruntung. Mengeluarkan sebagian harta kemudian diberikan kepada orang-orang yang belum beruntung adalah unsur terpenting dalam regulasi zakat itu sendiri, dimana di dalam harta orang-orang kaya ada hak-hak orang-orang miskin. Dengan zakat, distribusi kekayaan

menjadi lebih merata, dan simbolisasi hubungan horizontal antar sesama manusia tercipta dengan baik. Dengan demikian, zakat memiliki dimensi ganda: 1. Sebagai tindakan ibadah yang bertujuan untuk menyucikan pembayarnya, dan sebagai tindakan sosial untuk meningkatkan penghasilan penerimanya. Dalam ungkapan lain hukum zakat dapat disebut sebagai hibrida antara unsur ibadah dan peningkatan penghasilan. Tidak heran jika kemudian pembahasan tentang zakat sering ditemukan dalah fiqh ibadah, tetapi tidak jarang pula menjadi perhatian fiqh politik ekonomi (fiqh al-siyasah al-maliyyah ), bersandingan dengan keuangan publik atau sumber-sumber pemasukan negara lainnya.5 Para ulama sepakat, bahwa landasan yuridis kewajiban berzakat,salah satunya adalah al-Quran.. B Ayat- ayat tentang Zakat dalam Al-Quran

5 Lihat misalnya, al-Mawardi , Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Beirut, Dar al-Fikr, t.t.) hlm. 113125. Sesuai dengan judulnya, buku ini lebih dikenal sebagai buku tentang pemerintahan, tetapi dibahas juga di dalamnya masalah zakat. Cf. S. A. Siddiqi, Public Finance ini Islam ( Delhi: Adam Fubluishetr and Distributor, 1992), hlm. 2

Dalam al-Quran terdapat dua kata

yang menunjukkan makna zakat, (1) kata

2)

)kata

. Kata zakat, diungkap dalam 2 bentuk, 1). Bentuk marifat.

Dalam bentuk ini, kata zakat diungkap sejumlah 30 kali6, 27 kali7 disebut dalam satu ayat bersama kata shalat, dan satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat. 8 Ke- 30 kali kata zakat disebutkan itu, 8 kali terdapat di dalam surat-surat yang turun di Mekkah dan selebihnya terdapat di dalam suratsurat yang diturunkan di Madinah. 9 Selanjutnya kata zakat dalam ungkapan yang berbeda disebut dalam al-Quran sejumlah 82 kali. 30 ayat diungkap dengan menggunakan kalimat marifat, dan zakat dengan disandingkan pada kalimat penegakan sholat. Penyebutan kata

setelah perintah shalat, terdapat sebanyak 28 kali. Hal ini menunjukkan bahwa

perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Shalat adalah tiang agama, zakat juga tiang agama. Shalat berhubungan langsung dengan Allah ( hablum minallah), zakat juga berhubungan langsung dengan Allah (hablum minallah). Shalat ada kaitannya dengan manusia (hablum minannas), zakat lebih berkaitan lagi dengan manusia (hablum minannas), sebab zakat diberikan langsung kepada manusia. Pada hal-hal tertentu, zakat memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan shalat. Sebagai contoh, shalat dapat dilaksanakan oleh siapapun, termasuk orang miskin. Sedangkan zakat, hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang berpunya dan berkecukupan.

6QS.2: 43, 83, 110,177, 277.QS. 3: 180. QS. 4: 37, 77, 162. QS. 5: 12, 55.QS. 6: 141.QS. 9:5, 11, 18, 34, 71. QS. 21: 73. QS. 22: 41, 78. QS. 31: 4. QS. 33: 33. QS. 41: 7. QS. 58: 13. QS. 70: 24, 25. QS.73: 98. 7 QS, 2: 110, QS,98: 5, QS, 23:1-4, QS, 9: 11, 34-36, 60 ,103, QS, 51: 19, QS, 59: 7, QS, 3: 141 8 QS 23: 2 dan 4 9 Muhammad Fuad Abdul Baqi. Mujam al-Mufahras li Alfadz al-Quran, pada kata Zakat.

Kata zakat sudah digunakan dalam al-Quran pada ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah.10 Walau al-Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makkiyah, namun demikian zakat pada periode ini baru dipandang sebagai anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, kewajiban yang bersifat ilzami. Penggunaan kata zakat bukan dipandang sebagai pada ayat-ayat Makkiyah,

dimaksudkan bahwa Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam ada hak-hak orang yang berkekurangan dalam harta orang-orang kaya. Berbeda dengan ayat-ayat Al Qur'an yang turun di Mekkah, ayat-ayat tentang zakat yang turun di Madinah sudah menjelaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.11 Pada periode ini kewajiban zakat bersifat ilzami dan teknis operasional serta berbagai ketentuan tentang zakat diberikan penjelasan oleh Rasulullah SAW. Kemudian praktek ini diteruskan oleh khalifah-khalifah sesudahnya. Tentang kapan zakat mulai di wajibkan, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian beranggapan bahwa zakat fitrah mulai diwajibkan pada tahun ke-2 Hijrah di bersamaan

Madinah, sementara zakat mal (harta) diwajibkan pada tahun ke-9 Hijrah,12

dengan turunnya QS al-Taubah (9): 103 dan sebagainya, sedangkan lainnya berpandangan bahwa zakat diwajibkan sejak sebelum hijrah, mengingat ayat-ayat Makkiyyah, seperti QS alRum: 38-39 dan 1-3, Luqman:4 dan sebagainya, telah memerintahkannya. Terdapat perbedaan 10 Lihat QS, 30:38-39, QS, 27: 1-3, QS, 31:4, QS, 22:4,QS, 7:156-157,QS, 41 : 6-7 11Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sejarawan Islam tentang waktu pensyariatan
zakat. Ada yang menyatakan pada tahun kedua hijrah yang berarti satu tahun sebelum pensyariatan puasa; tetapi ada juga yang berpendirian bahwa zakat disyariatkan pada tahun ketiga hijriah yakni satu tahun setelah pensyariatan shiyam yang diwajibkan satu tahun sebelumnya (kedua hijriah). Lepas dari perbedaan pendapat itu, yang jelas Nabi Muhammad saw. menerima perintah zakat setelah beliau hijrah ke Madinah. Lihat Kuntarno Noor Alfah (editor), Zakat & Peran Negara, (Jakarta, Forum Zakat, 35), hlm.7 12Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 39

ini, al-Qardawi menilai bahwa zakat yang diwajibkan di Mekah bersifat mutlak (zakat almutallaqah), dalam arti belum ditentukan jumlah harta yang harus dizakati (nisab) dan takaran zakatnya (miqdar), serta mereka yang berhak menerimanya.13 Pelaksanaan zakat pada periode Mekkah, belumlah menjadi dan tanggung jawab negara, pelaksanaan zakat diserahkan sepenuhnya pada kesadaran pribadi-pribadi seorang muslim. Zakat pada periode ini masih bersifat umum, belum ada aturan khusus tentang nishab dan besarannya, tentang amil yang diberi tugas untuk mengambil, mengelola dan mendistribusikannya. Dapat dimengerti mengapa zakat pada periode Mekkah masih terbatas dan bersifat anjuran. Hal ini tidak lain karena umat Islam belum mempunyai otoritas politik yang cukup kuat. Ketiadaan otoritas politik yang cukup kuat, mengakibatkan umat Islam seringkali mendapat tekanan dan interogasi dari orang-orang kafir Qurais Mekkah sebagai penguasa kota Mekkah pada saat itu. Hijrah ke kota Madinah memberikan warna baru bagi perjuangan umat Islam. Di kota ini mereka dapat membentuk kekuatan politik. Nabi Muhammad di kota ini tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin agama, tetapi Ia juga berfungsi sebagai penguasa politik (kepala negara). Seiring dengan pertambahan peran yang dipegang oleh Nabi selama periode ini, maka taklif hukumpun dalam periode Madinah menemukan bentuknya yang baru seiring dan sejalan dengan perkembangan yang baru, yaitu mengambil bentuk perundang-undangan yang bersifat ilzami.14 Pelaksanaannya melibatkan sulthan (penguasa) beserta dorongan

13Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakat, I, hlm. 58-60 14 Ibid, hlm 113.

keimanan.15 Jadi pelaksanaan hukum Islam pada periode Madinah tidak semata-mata di dasarkan pada kesadaran keberagamaan umat Islam, tetapi juga didukung oleh kekuasaan politik. Demikian pula yang terjadi dengan syariat zakat, pada periode Madinah, Syari menentukan harta-harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, syarat dan ketentuan wajib harta yang

dikeluarkan zakatnya, serta menentukan pula amil yang bertugas menarik, mengelola, dan mendistribusikannya. Disamping kata zakat, terdapat istilah lain dalam al-Quran yang berkaitan dengan membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki seseorang dengan maksud zakat, yaitu kata infaq dan kata shadaqah. Zakat disebut infaq16 karena hakikatnya zakat itu adalah penyerahan harta untuk kebajikan-kebajikan yang diperintahkan Allah SWT. Disebut dengan kata

sadaqah17 terkait dengan kejujuran seseorang. Orang yang memberi sadaqah adalah orang yang jujur, yang tidak berdusta dengan keimanannya sendiri. Karena itu sadaqah adalah bukti kuatnya iman dan bakhil (pelit) sebagai bukti kedustaan. Disamping itu memang salah satu tujuan utama zakat adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.18 Zakat disebut hak, oleh karena memang zakat itu merupakan ketetapan yang bersifat pasti dari Allah yang harus diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Zakat sifatnya wajib dan diwajibkan bagi orang kaya yang sudah memiliki tingkat kekayaan tertentu,

15 Yusuf Qardhawi, Fiqh al-zakat, hlm. 78 16 Lihat QS. Al-Taubah (60): 34 17 Lihat QS. Al-Taubah (60): 60 dan 103 18 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm.
9

sedangkan shadaqah dan infaq bisa dilakukan siapa saja tergantung keikhlasan dan tingkat keimanan seseorang.19 Secara umum zakat itu diambil dari setiap harta yang dimiliki seseorang dan juga diambil dari setiap hasil usaha yang baik dan halal.20 Al-Qurthuby21 (671 H) dalam menafsirkan QS. Al-Taubah: 103 bahwa zakat itu diambil dari semua harta yang dimiliki, meskipun kemudian dalam Sunnah Nabi dijelaskan rincian-rincian harta yang wajib di keluarkan zakatnya. Sementara itu, Ahmad Musthafa al-Maraghi22 (1495 H) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 267 menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan zakat dari hasil usaha yang terkait, baik yang berupa mata uang, barang dagangan, hewan ternak, maupun yang berbentuk tanaman, buah-buahan, dan biji-bijian. Namun demikian, zakat tidak dikenakan kepada seluruh harta benda seseorang, tetapi hanya harta yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, harta tersebut dimiliki secara nyata. Kedua, kepemilikannya atas harta tersebut bersifat mutlak, dalam arti benarbenar dalam kewenangannya. Ketiga, harta tersebut harus mengalami pertumbuhan. Keempat, harta tersebut melebihi dari kebutuhan dasar seseorang. Kelima, yang wajib dizakati telah mencapai setahun (hawl) di tangan pemiliknya, kecuali tanaman dan harta temuan (rikaz), yang waktu pembayarannya harus dilakukan saat panen atau ditemukan. Keenam, harta tersebut telah mencapai jumlah minimal harta yang harus dizakati (nisab), disamping besaran zakat yang harus dikeluarkannya (miqdar) darinya.23 Lebih jauh, cara memperoleh harta pun dipertimbangkan bagi penentuan besaran zakat. 19Muhammad dan Ridwan Saud. Zakat dan Kemiskinan, UII Press, Jogyakarta, 2005, 34-35 20QS. Al-Taubah : 103 dan QS. Al-Baqarah :267. 21 Al-Qurthubi, al-Jamili Ahkam al-Quran, (Daar el-Kutubal-Ilmiyah, Beirut, 1993) hlm. 156 22Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 1 ( Maktabah Tijarisah, tt,) 1365, hlm. 39 23Wuzarat al-Awqaf wa al-Shuun al-Islamiyyah, al-Mawsuah al-Fiqhiyyah (Kuwait, Darr alSafwah, 1992) 33, hlm. 236.

1. Perintah Zakat dan Mengambilnya. 1. Q.S Al-Baqarah: 110 Dan dirikanlah olehmu shalat, dan tunaikanlah zakat; dan apapun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebaikan, niscaya akan kamu dapatkan ia di sisi Allah. Sesungguhnya Allah melihat apa yang kamu kerjakan 2. Q.S At-Taubah: 103-104
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. 104. Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima Taubat dari hambahamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang?

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda [659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

Ayat di atas, memberikan penjelasan bahwa makna dan tunaikanlah zakat artinya janganlah bakhil seorang mukmin yang kaya dalam mengeluarkan harta untuk membantu orang yang miskin. Sebab miskin itu adalah pintu kepada kufur.. Bukan saja zakat yang wajib, tetapi segala sedekah, hadiah dan hibah, demikian juga memberikan harta benda untuk pembangunan segala usaha menegakkan agama jangan ditunda-tunda. Dan apapun yang kamu dahulukan untuk dirimu kebaikan, niscaya akan kamu dapati ia di sisi Allah. Artinya, jika diberi rizki oleh Allah di masa sekarang ini, keluarkanlah terlebih dahulu sekarang juga, ini namanya telah dikirimkan terlebih dahulu untuk persiapan diri sendiri di hadapan Allah, semuanya tidak akan hilang sia-sia. Semuanya kelak akan engkau dapati kembali di sisi Allah. Lebih baik kirimkan harta itu terlebih dahulu dari sekarang,

10

sebab hartamu yang sebenarnya ialah telah engkau belanjakan. Kalau engkau bakhil, engkau tahan-tahan harta itu, kelak jika engkau mati tidaklah ada faedahnya buat kamu. 24 2. Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (103) Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Mereka yang mengakaui dosanya sewajarnya dibersihkan dari noda, dan karena sebab utama ketidak ikutan mereka ke medan perang adalah ingin bersenang-senang dengan herta yang mereka miliki, atau disebabkan oleh hartalah yang menghalang-halangi mereka berangkat. Maka ayat ini memberi tuntunan tentang cara membersihkan diri, dan untuk itu Allah memerintahkan Nabi SAW mengambil harta mereka untuk disedekahkan kepada yang berhak. Beberapa Ulama memahami ayat ini sebagai perintah wajib atas penguasa untuk memungut zakat. Tetapi mayoritas ulama memahaminya sebagai perintah sunnah. Ayat ini juga menjadi alasan bagi para ulama untuk menganjurkan para penerima zakat agar mendo'akan setiap yang memberinya zakat dan menitipkannya untuk disalurkan kepada yang berhak. Mengisyaratkan bahwa kehidupan atau hubungan timbal balik hendaknya didasarkan oleh take and give, yakni sebanyak anda menerima sebanyak itu pula hendaknya anda memberi.25 C. Macam-macam Zakat 1. Zakat hasil tumbuhan dan buah-buahan Q.S Al-an'am: 141 24. Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar 25. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 5, hal; 706-707

11

Artinya : Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Kata (" )memetik" dijadikan sebagai waktu penunaian kewajiban atau tuntutan memberi kepada orang lain, karena memetik hasil tanaman bertujuan untuk menghimpun dan menyisihkannya untuk masa datang atau untuk menjualnya. Walhasil pemetikan bukan bertujuan memenuhi kepentingan mendesak untuk dimakan oleh pemilik dan keluarganya pada hari-hari terjadinya pemetikan itu. Penyisihan tersebut adalah indikator adanya kelebihan pemilik, dan dari sini lahir kewajiban atau anjuran menyisihkan sebagian untuk orang lain. Dahulu mayoritas ulama membatasi jenis-jenis tertentu dari tumbuhan dan buahbuahan yang wajib dizakati. Imam Malik berpendapat bahwa yang wajib dizakati hanya yang dapat disimpan dan yang merupakan bahan makanan pokok. Imam Syafi'i demikian juga pendapatnya dan menambah satu syarat, yakni kering, karena itu buah zaitunmenurutnya- tidak wajib dizakati. Demikian juga sayur mayur. Sedangkan menurut Abu Hanifah, segala hasil bumi apapun jenisnya harus dizakati setelah memenuhi syaratsyaratnya. 2. Zakat binatang ternak

12

Q.S Al-An'am: 142

Artinya : Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Masih kelanjutan ayat di atas, zakat juga wajib dikeluarkan dari beberapa binatang ternak; unta, sapi, domba dan kambing yang manfaatnya sangat banyak. Antara lain sebagai alat pengangkat barang-barang berat dan ada juga yang diambil manfaat dari bulu dan rambutnya sebagai alas. Kata (" )alas" ada juga yang memahaminya dalam arti tunggangan. Dengan demikian, ayat di atas membagi binatang tersebut ke dalam dua bagian. Pertama, binatang yang besar sehingga dapat dijadikan pengangkut barang-barang berat, dan kedua yang hanya dapat dijadikan tunggangan. Ada pendapat lain untuk kata ini yaitu, unta yang kecil, atau semua yang kecil dari semua jenis binatang ternak. Menurut mereka ternak yang kecil dinamai farsy/alas dan ada yang memahami yang disembelih; kambing, domba dan sapi.26 3. Zakat Emas dan Perak Q.S At-Taubah: 34

26 . M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol.4, hal; 308-309

13

artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, "Ahbar" adalah ulama kaum Yahudi, "Ar-Ruhban" adalah ahli ibadah kaum nasrani. "Al-Qishud" adalah ulama kaum nasrani. Oleh karena itu Allah berfirman," mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batal dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah". Mereka memakan dunia dengan memanfaatkan agama, kedudukan, dan kepemimpinannya atas manusia. "Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menginfakkannya pada jalan Allah". Mereka merupakan kelompok ketiga dari kalangan pemimpin manusia, karena manusia itu dikategorikan atas kelompok ulama', ahli ibadah, dan kaum hartawan. Sehubungan dengan barang yang ditimbun, maka diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa yang dimaksud adalah harta yang tidak dikeluarkan zakatnya. Ats-Tsaury meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: "Yaitu harta yang dikeluarkan zakatnya tidaklah disebut al-kanzu (harta karun) walupun ia berada di bawah bumi lapis ke tujuh". Hal senada juga dikemukakan oleh Umar bin Khathab.27

27 . Muhammad Hasib Ar-Rifa'I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, hal; 596-597

14

Nisab pada emas dan perak apabila telah sampai haulnya (tahun pengeluarannya), dengan ijma' para Ulama ialah seharga 20 Dinar atau = 200 Dirham. (1 Dinar = 10 Dirham). Hadits yang menegaskan nisab emas adalah Ibnu Hazam dari Jarir bin Hisyam dan Sayyidina Ali r.a : "Apabila seseorang memiliki emas 20 Dinar, dan sampai setahun miliknya, keluarkan zakatnya setengah Dinar. Para Ulama sepakat bahwa 20 Dinar = 20 Miskal,28 atau = 200 Dirham. AlMuwattha' Ibnu Malik menegaskan 20 Dinar itu = 200 Dirham.29 4. Zakat Perniagaan Q/S Al-Baqarah: 267

artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Allah Ta'ala menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfaq. Yang dimaksud infaq di sini adalah sedekah. Ibnu Abbas berkata: "Sebagian dari harta kekayaan yang baik-baik yang telah mereka usahakan". Ibnu Abbas juga berkata: "Allah menyuruh mereka menginfakkan harta yang paling baik, paling bagus dan paling elok". Allah melarang mereka bersedekah dengan harta yang hina dan rendah. Itulah yang dimaksud dengan "jelek" oleh ayat ini, karena Allah itu baik, dan Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Oleh sebab itu Allah berfirman: "Dan janganlah kamu memilih yang burukburuk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya". 28 . Miskal adalah jenis timbangan 29 . Djamaluddin Ahmad Al Buny, Problematika Harta dan Zakat, hal; 108

15

Maksudnya apabila harta itu diberikan kepadamu maka kamu tidak akan mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata. Dan Allah tidak memerlukan yang seperti itu dari kamu, maka janganlah kamu memberikan kepada Allah yang tidak disukai olehmu. Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kaum anshar yang menyedekahkan kurma jelek.30 D. Golongan yang Berhak Menerima Zakat Q.S At-Taubah: 60

Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Para Ulama berikhtilaf mengenai delapan orang ini, apakah zakat itu harus dibagikan kepada semua golongan atau kepada sebagiannya saja? Menurut pendapat yang paling shahih, dan Allah Maha Mengetahui, tidaklah wajib memberikan zakat kepada semua golongan, namun cukup menyerahkan kepada salah satu dari delapan golongan tersebut, dan seluruh zakat dapat saja diberikan kepadanya, walaupun masih terdapat golongan yang lain. Inilah pendapat Imam Malik dan sekelompok Ulama salaf dan khalaf. Diantara mereka adalah Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, dan Said bin Jabir. Menurut pendapat ini, penyebutan golongan tersebut dalam ayat adalah untuk menjelaskan pihak penerima, bukan untuk menyatakan kewajiban menghabiskan semua golongan.31 30 . Muhammad Hasib Ar-Rifa'I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,jilid 1, hal; 443 31 . Ibid, jilid 2, hal; 621

16

BAB III PENUTUP Kesimpulan 1 2 3 Arti dari zakat adalah mensucikan jiwa, dapat pula diartikan mensucikan harta yang di dalamnya terdapat hak orang lain yang memerlukan atau yang berhak. Perintah zakat telah dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah: 110, yakni wajib dikeluarkan dan tidak boleh ditunda-tunda. Terdapat beberapa macam zakat, yaitu; - Zakat hasil tumbuhan dan buah-buahan - Zakat binatang ternak - Zakat emas dan perak - Zakat perniagaan 4 Orang yang berhak menerima zakat ada delapan golongan, yakni; - Orang-orang faqir - Orang-orang miskin - Amilin (orang yang mengurusi zakat) - Muallaf (orang yang baru memeluk agama Islam) - Riqab (budak belian) - Gharim (orang yang kehidupannya terikat dengan hutang) - Sabilillah - Ibnu Sabil

17

TAFSIR AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG ZAKAT


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Tafsir 2" Dosen Pengampu: Bpk. Mutashim Billah, M.Hi

Disusun oleh: Ainun Najib Elya Rahmawati Jauharotul Aliyah (932500306) (932500706) (932501006)

JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

18

KEDIRI 2008 Pendapat yang masyhur dari ayat zakat yakni terdiri dari multi terjemahan, namun seputar itu ada yang terpercaya pada bidang dan ahlinya dari pengertian ayat dibawah ini: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang di bujuk hatinya, untuk(memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang di wajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijakasan." (QS. At-Taubat:60) Dari ayat tersebut Allah telah mejelasakan delapan golongan yang berhak menerima zakat: 1 2 Fakir: orang yang hanya mampu memenuhi kurang dari separoh kebutuhanya. Miskin: orang yang mampu memenuhi lebih dari separoh kebutuhanya, namun ia belum mampu memenuhi kebutuhannya secara menyeluruh, maka ia diberi zakat untuk beberapa bulan kebutuhanya. Amil Zakat: orang yang ditugaskan oleh penguasa (pemerintah) untuk mengumpulkan zakat dari orang yang membayar zakat.mereka di beri upah yang layak sesuai dengan pekerjaan mereka. Para muallaf yang dibujuk hatinya: adalah orang orang yang baru memeluk islam, mereka diberi zakat agar hti mereka lunak menerima islam dan agar keimanan dihati mereka tetap teguh Zakat juga di berikan untuk memerdekakan budak membebaskan tawanan perang yang tertawan oleh pihak musuh. dan

5 6

Orang-orang yang berhutang: mereka adalah orang-orang yang terbebani hutang mereka di beri zakat untuk melunasi hutang mereka dengan syaratnya harus beragama islam, tidak mampu melunasi hutang, dan tidak berhutang untuk membiayai kemaksiatan. Fi sabilillah: mereka adalah para mujahid yang berperang dengan suka rela tanpa mendapat gaji dari pemerintah, mereka di beri zakat untuk diri mereka sendiri atau untuk membeli senjata. Orang yang sedang dalam pejalanan yaitu para musafir yang kehabisan bekal untuk melanjutkan perjalananya, maka ia diberi zakat sekedar kebutuhanya, sehingga ia sampai ke tujuanya.

Ibnu Qayyim membantah pendapat ini dan berkata: "Pengkhususan zakat fitrah bagi orang-orang miskin, merupakan hadiah dari Nabi saw. Nabi tidak pernah membagikan zakat fitrah sedikit-sedikit kepada golongan yang delapan, tidak pernah pula menyuruhnya, tidak dilakukan oleh seorangpun dari para sahabat dan

19

orang-orang sesudahnya.bahkn salah satu pendapat dari mazhab kami adalah tidak boleh menyerahkan zakat fitrah, kecuali hanya kepada golongan miskin saja. Pendapat ini lebih kuat dibanding pendapat yang mewajibkan pembagian zakat fitrah pada asnaf yang delapan. Menurut mazhab Maliki, sesungguhnya zakat fitrah itu hanyalah diberikan kepada golongan fakir dan miskin saja. Tidak pada petugas zakat, tidak pada orang yang muallaf, tidak dalam pembebasan perbudakan, tidak pada orang yang berutang, tidak untuk orang yang berutang, tidak untuk orang yang berperang dan tidak pula untuk ibnu sabil yang kehabisan bekal untuk pulang, bahkan tidak diberi kecuali dengan sifat fakir. Apabila di suatu negara tidak ada orang fakir, maka di pindahkan kenegara tetangga dari ongkos orang mengeluarkan zakat, bukan diambil dari zakat, supaya tidak berkurang jumlahnya. Dalam hal ini jelas ada tiga pendapat: 1. Pendapat yang mewjibkan di bagikan pada asnaf yang delapan, dengan rata ini adalah pendapat yang masyhur dari golongan Syafi'i. 2. Pendapat yang memperkenankan membagikannya pada asnaf yang delapan dan mengkhususkanya kepada golongan fakir. Ini adalah pendapat jumhur, karena zakat fitrah adalah zakat juga, sehingga masuk dalam keumuman sebagaimana pada surat at-Taubat ayat:60 3. Pendapat yang mewajibkan mengkhususkan kepada orang-orang yang fakir saja, ini adalah pendapat golongan Maliki, salah satu dari pendapat Imam Ahmad, di perkuat oleh Ibnu Qoyyim dan gurunya, yaitu Ibnu Taimiyah. Pendapat ini di pegang pula oleh Imam Hadi, Qashim dan Abu Tholib,dimana mereka mengatakan bahwa zakat fitrah itu hanyalah di berikan kepada fakir miskin saja, tidak kepada yang lainnya dari asnaf yang delapan, berdasarkan hadist: "Zakat fitrah adalah untuk memberi makan pada orang-orang miskin." Dan hadis: "Cukupkanlah mereka di hari raya ini." Hadist-hadist di atas menunjukkan bahwa maksud utama zakat fitrah adalah mencukupkan orang-orang fakir pada hari raya, jika orang orang fakir itu ada, tetapi ini tidak berarti mencegah diberikanya kepada kelompok lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, sebagaimana penjelasan Nabi tentang zakat harta, bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir. Roslullah saw. tidak melarang, zakat itu diberikan kepada asnaf lainya, sebagaimana yang terdapat dalam surat at-Taubat ayat 60. Ibnu Katsir r.a. ketika menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsirnya II: 364 mengatakan, Tatkala Allah SWT menyebutkan penentangan orang-orang munafik yang bodoh itu atas penjelasan Nabi saw. dan mereka mengecam Rasulullah mengenai pembagian zakat, maka kemudian Allah SWT menerangkan dengan gamblang bahwa Dialah yang membaginya. Dialah yang menetapkan ketentuannya, dan Dialah pula yang memproses ketentuan-ketentuan zakat itu, sendirian, tanpa campur tangan siapapun. Dia tidak pernah menyerahkan masalah

20

pembagian ini kepada siapapun selain Dia. Maka Dia membagi-bagikannya kepada orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat di atas : Pakar tafsir kenamaan Ibnu Katsir menegaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai delapan kelompok ini, apakah mereka harus mendapatkan bagian semua, ataukah boleh diberikan kepada sebagian di antara mereka ? Dalam hal ini, ada dua pendapat : Pendapat pertama, mengatakan bahwa zakat itu harus dibagikan kepada semua delapan kelompok itu. Ini adalah pendapat Imam SyafiI dan sejumlah ulama yang lain. Pendapat kedua, menyatakan bahwa tidak harus dibagikan kepada mereka semua, boleh saja, dibagikan pada satu kelompok saja diantara mereka, seluruh zakat diberikan kepada kelompok tersebut, walaupun ada kelompok-kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sejumlah ulama salaf dan khalaf, di antara mereka ialah Umar bin Khatab, Hudzifah Ibnul Yaman, Ibnu Abbas AbulAliyah, Said bin Jubair, Maimun bin Mahcar, Ibnu Jarir mengatakan, Ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Oleh karena itu, penulis, (Abdul Azhim bin Badawi) menyebutkan semua kelompok yang berhak menerima zakat di sini hanyalah untuk menjelaskan pengertian masing-masing kelompok, bukan karena keharusan memberikan zakat itu kepada semuanya. Imam Ibnu Katsir mengatakan, bahwa ia akan menyebutkan hadits hadits yang bertalian dengan masing-masing dari delapan kelompok kita: Kelompok pertama ; Orang-orang fakir Dari Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Zakat tidak halal bagi orang yang kaya dan tidak (pula) bagi orang yang sehat dan kuat, (Shahih : Shahihul Jami no: 7251, Tirmidzi II: 81 no: 647, Aunul Mabud V:42 no:1618, dan Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah I:589 no: 1839 dan Nasai V:39). Dari Ubaidillah bin Adi bin al-Khiyar r.a. bahwa ada dua orang sahabat mengabarkan kepadanya bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi saw. meminta zakat kepadanya, maka Rasulullah memperhatikan mereka berdua dengan seksama dan Rasulullah mendapatkan mereka sebagai orang-orang yang gagah. Kemudian Rasulullah bersabda, Jika kamu berdua mau, akan saya beri, tetapi (sesungguhnya) orang yang kaya dan orang yang kuat berusaha tidak mempunyai bagian untuk menerima zakat, (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1438, Aunul Mabud V: 41 serta Nasai V:99). Kelompok kedua; Orang-Orang Miskin Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap makanan dan satu biji kurma, (Kemudian) para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu? Jawab

21

Beliau,Salah mereka yang yang hidupnya tidak berkecukupan dan dia tidak punya kepandaian untuk itu, lalau diberi shadaqah, dan mereka tidak mau minta-minta kepada orang lain. (Muttafaqun alaih:Muslim II : 719 no:1039 dan lafadz baginya, Fathul Bari III : 341 no: 1479, Nasai V:85 dan Abu Daud V:39 no: 1615). Kelompok ketiga: Para Amil Zakat Mereka adalah orang-orang yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat. Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat, namun mereka tidak boleh berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram menerima zakat. Hal ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain : Dari Abdul Mutthalib bin Rabiah al Harits bahwa ia pernah berangkat di Fadhl bin al Abbas r.a. menghadap Rasulullah saw. lalu memohon kepada beliau agar mereka diangkat sebagai penarik dan pengumpul zakat. Maka (kepada mereka). Beliau bersabda, Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi keluarga Muhammad dan tidak (pula) bagi keluarga Muhammad; karena zakat itu adalah kotoran (untuk mensucikan diri) manusia. (Shahih ; Shahihul Jami no:1664, Muslim II : 752 no:1072, Aunul Mabud VIII: 205.(Imam Nawawi berkata, Mana AUSAKHUN NAAS ialah zakat itu sebagai pembersih harta benda dan jiwa mereka, sebagaimana yang ditegaskan Allah Taala, Pungutlah sebagian dari harta benda mereka sebagai zakat yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa) mereka. Jadi zakat adalah pembersih kotoran. Lihat Syarah Muslim VII:251). Kelompok keempat : Orang-orang Muallaf Kelompok muallaf ini terbagi menjadi beberapa bagian. 1.Orang yang diberi sebagian zakat agar kemudian memeluk Islam. Sebagai misal Nabi saw. pernah memberi Shafwan bin Umayyah sebagian dari hasil rampasan perang Hunain, dimana waktu itu ia ikut berperang bersama kaum Muslimin: Nabi saw. selalu memberi kepada hingga beliau menjadi orang yang paling kucintai, setelah sebelumnya beliau menjadi orang yang paling kubenci. (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 1558, Muslim II:754 no:168 dan 1072, Aunul Mabud VIII: 205-208 no: 2969, dan Nasai V:105-106). 2.Golongan orang yang diberi zakat dengan harapan agar keislamannya kian baik dan hatinya semakin mantap. Seperti pada waktu perang Hunain juga,ada sekelompok prajurit beserta pemukanya diberi seratus unta, kemudian Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya aku benar-benar memberi zakat kepada seorang lakilaki, walaupun selain dia lebih kucintai daripadanya (laki-laki tersebut) karena khawatir Allah akan mencampakkannya ke (jurang) neraka Jahanam. (Muttafaqun alaih : Fathul Bari I: 79 no:27, Muslim I:132 no:150, Aunul Mabud XII : 440 no:4659, dan Nasai VIII:103). Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Abu Said r.a. bahwa Ali r.a. pernah diutus menghadap kepada Nabi saw. dari Yaman dengan membawa

22

emas yang masih berdebu, lalu dibagi oleh beliau saw. kepada empat orang (pertama) al-Aqra bin Habis, (kedua) Uyainah bin Badr, (ketiga) Alqamah bin Alatsah, dan (keempat) Zaid al-Khair, lalu Rasulullah bersabda, Aku menarik hati mereka. (Muttafaqun alaih : Fathul Bari III: 67 no:4351, Muslim II:741 no:1064, Aunul Mabud XIII : 109 no:4738). 3.Bagian ini ialah orang-orang muallaf yang diberi zakat lantaran rekan-rekan mereka yang masih diharapkan juga memeluk Islam. 4.Mereka yang mendapat bagian zakat agar menarik zakat dari rekan-rekannya, atau agar membantu ikut mengamankan kaum Muslimin yang sedang bertugas di daerah perbatasan. Wallahu alam. Apakah muallaf sepeninggal Nabi saw. masih berhak mendapatkan bagian dari zakat ? Ibnu Katsir r.a. mengatakan bahwa dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa para muallaf tidak usah diberi bagian dari zakat setelah beliau wafat, karena Allah telah memperkuat agama Islam dan para pemeluknya serta telah memberi kedudukan yang kuat kepada mereka di bumi dan telah menjadikan hamba-hambaNya tunduk pada mereka (kaum muslimin). Kelompok yang lain berpendapat, bahwa para muallaf itu tetap harus diberi, karena Rasulullah saw. pernah memberi mereka zakat setelah penaklukan kota Mekkah dan penaklukan Hawazin, zakat ini kadang-kadang amat dibutuhkan oleh mereka, sehingga mereka harus mendapat alokasi bagian dari zakat. Kelompok kelima :Untuk memerdekakan Budak Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Jubair, an-Nakhai, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud riqab, bentuk jama dari raqabah budak belian ialah hamba mukatab (hama yang telah menyatakan perjanjian dengan tuannya bilamana sanggup menghasilkan harta dengan nilai tertentu dia akan dimerdekakan, pent). Diriwayatkan juga pendapat yang semisal dengan pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asyari, dan ini adalah pendapat Imam Syafii dan al-Lain. Ibnu Abbas dan al-Hasan berkata, Tidak mengapa memerdekakan budak belian dengan uang dari zakat. Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Ishaq. Yaitu bahwa kata riqab lebih menyeluruh mananya daripada sekedar memberi zakat kepada hamba mukatab, atau sekedar membeli budak lalu dimerdekakan. Ada banyak hadits yang menerangkan besarnya pahala memerdekakan budak, dan Allah SWT untuk setiap anggota badan budak tersebut memerdekakan satu anggota badan orang yang memerdekakannya dari api neraka, sampai untuk kemaluan sang budak Allah memerdekakan kemaluan orang yang memerdekakannya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut :

23

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, Barangsiapa yang telah memerdekakan seorang budak mukmin, niscaya Allah dengan setiap anggota badannya akan membebaskannya anggota badan (orang yang memerdekakannya) dari api neraka, hingga orang itu memerdekakan (masalah) kemaluan dengan kemaluan. (Shahih : Shahihul Jamius Shaghir no:6051, Tirmidzi III:49 no: 1581). Hal itu tidak lain, karena balasan suatu amal perbuatan sejenis dengan amal yang dilakukannya. Allah berfirman, Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan apa yang telah kamu lakukan. (QS.ash-Shaffat.39). Kelompok keenam : Orang-orang yang Berhutang Mereka terbagi menjadi beberapa bagian : Pertama, orang yang mempunyai tanggungan atau dia menjamin suatu hutang lalu menjadi wajib baginya untuk melunasinya kemudian meludeskan seluruh hartanya karena hutang tersebut; kedua, orang yang bangkrut; ketiga, orang yang berhutang untuk menutupi hutangnya; dan keempat, orang yang berlumuran maksiat, lalu bertaubat. Maka mereka semua layak menerima bagian dari zakat. Dasar yang menjadikan pijakan untuk masalah ini ialah hadits dari Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai tanggungan (untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa), kemudian aku datang kepada Rasulullah saw. menanyakan perihal beban tanggungan itu. Maka Beliau bersabda, Tegakkanlah, hingga datang zakat untuk kuberikan kepadamu! Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, Ya Qubaishah sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi tiga golongan: (Pertama) orang-orang yang memikul beban untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, maka dihalalkan baginya meminta, sampai berhasil mendapatkannya, sehingga berhenti memintanya. (Kedua), orang yang tertimpa kebingungan yang sangat, karena rusaknya harta bendanya, maka kepadanya dihalalkan meminta zakat, sehingga ia mendapatkan kekuatan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. (Ketiga), orang yang mendapatkan kesulitan hidup hingga tiga orang dari pemuka kaumnya berdiri (lalu bertutur), bahwa kesulitan hidup telah menimpa si fulan, maka baginya dihalalkan meminta hingga mempunyai kekuatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka tidak ada hak bagi selain yang tiga kelompok itu untuk meminta wahai Qubaishah! (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 568, Muslim II: 722 no:1044, Aunul Mabud V:49 no: 1624, dan Nasai V:96). Kelompok ketujuh : fi sabilillah ialah para mujahid sukarelawan yang tidak memiliki bagian atau gaji yang tetap dari kas negara. Menurut Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan Ishaq bahwa menunaikan ibadah haji termasuk fi sabilillah. Menurut hemat penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawi, tiga imam itu mendasarkan pendapatnya pada hadits berikut :

24

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bermaksud hendak menunaikan ibadah haji. Lalu ada seorang wanita berkata kepada suaminya (tolong) hajikanlah aku bersama Rasulullah saw. Maka jawabnya, Aku tidak punya biaya untuk menghajikanmu. Ia berkata (lagi) kepada suaminya, (Tolong) hajikanlah diriku dengan biaya dari menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu. Maka jawabnya, Itu diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa Jalla. Kemudian sang suami datang menghadap Rasulullah saw. lalu bertutur, (Ya Rasulullah), sesungguhnya isteriku menyampaikan salam kepadamu; dan ia meminta kepadaku agar ia bisa menunaikan ibadah haji bersamamu. Ia mengatakan, kepadaku, (Tolong) hajikanlah aku dengan biaya dari hasil menjual untamu (yang berasal dari zakat) si fulan itu, Lalu saya jawab, Itu diperuntukkan fi sabilillah, Maka Rasulullah saw. bersabda, Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau menghajikannya dengan biaya berasal dari hasil tersebut, berarti fi sabilillah juga). (Hasan Shahih : Shahih Abu Daud no : 1753, Aunul Mabud V:465 no : 1974, Mustadrak Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164). Kelompok kedelapan : Ibnu Sabil Adalah seorang yang musafir melintas di suatu negeri tanpa membawa bekal yang cukup untuk kepentingan perjalanannya, maka dia pantas mendapat alokasi dari bagian zakat yang cukup hingga kembali ke negerinya sendiri, meskipun ia seorang yang mempunyai harta. Demikian juga hukum yang diterapkan kepada orang yang mengadakan safar dari negerinya ke negeri orang dan dia ia tidak membawa bekal sedikitpun, maka ia berhak diberi bagian dari zakat yang sekiranya cukup untuk pulang dan pergi. Adapun dalilnya ialah ayat enam puluh surah at-Taubah dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah. Dari Mamar dari Yasid bin Aslam, dari Atha bin Yassar dari Abi Said r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Zakat tidak halal bagi orang yang kaya, kecuali bagi lima (kelompok): (pertama) orang kaya yang menjadi amil zakat, (kedua) orang kaya yang membeli barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga) orang yang berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di jalan Allah, (kelima) orang miskin yang mendapat bagian zakat, lalu dihadiahkannya kembali kepada orang kaya, (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 7250, Aunul Mabud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I: 590 no :1841). Rasulullah bersabda,Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga. (HR Bukhari). Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya dan Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat). (HR Muslim). Wallahu 'Alam bishowab.. Sumber:

25

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz, Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Maruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 439 448. Kitab Tafsir Ibnu Katsir Fiqih Empat Mazhab the and etc.

FAKIR DAN MISKIN Siapakah yang disebut fakir dan miskin ? Terdapat beragam definisi mengenai kata fakir dan miskin, tapi secara umum fakir dan miskin itu adalah mereka yang kebutuhan pokoknya tidak tercukupi sedangkan mereka secara fisik tidak mampu bekerja atau tidak mampu memperoleh pekerjaan. Golongan ini dapat dikatakan sebagai inti sasaran zakat (Hadits: ... zakat yang diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin). Selanjutnya kita dianjurkan pula untuk lebih memperhatikan orang-orang miskin yang menjaga diri dan memelihara kehormatan. Sesuai hadits: "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi, satu dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang" (Bukhari Muslim) Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat. Maka jelaslah bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi maksudnya ialah memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Allah sebagai khalifah di bumi, dan layak sebagai Muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia. Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya. Wah, tentunya banyak sekali harta zakat yang harus dikumpulkan, sementara ini ummat Islam, ambil contoh di Indonesia, masih sangat minim dalam menunaikan kewajiban ini.

AMIL ZAKAT Amil merupakan sasaran berikutnya setelah fakir miskin (9:60). Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, dimana Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan.

26

Dimasukkannya amil sebagai asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara). Zakat punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya. Syarat Amil (siapa tahu ada Isneter yang tertarik menjadi Amil Professional) :

1 1 1 1 1 1 1 1

Seorang Muslim Seorang Mukallaf (dewasa dan sehat pikiran) Jujur Memahami Hukum Zakat Berkemampuan untuk melaksanakan tugas Bukan keluarga Nabi (sekarang sudah nggak ada nih) Laki-laki Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang merdeka (bukan hamba)

Tugas Amil : Semua hal yang berhubungan dengan pengaturan zakat. Amil mengadakan sensus berkaitan dengan:

1 1 1 1

orang yang wajib zakat, macam-macam zakat yang diwajibkan besar harta yang wajib dizakat Mengetahui para mustahik : Jumlahnya jumlah kebutuhan mereka dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka.

Berapa besar bagian buat amil ini : Amil tetap diberi zakat walau ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan berupa pertolongan bagi yang membutuhkan. Amil itu adalah pegawai, maka hendaklah diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan. Pendapat yang terkuat yang diambil Yusuf Qardawy adalah pendapat Imam Syafi'i, yaitu maksimal sebesar 1/8 bagian. Kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, haruslah diambilkan dari harta diluar zakat, misalnya oleh pemerintah dibayarkan dari sumber pendapatan pemerintah lainnya. GHARIMIN Gharimin dapat terbagi dua : A. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dlsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. Hendaknya ia mempunyai kebutuhan untuk memiliki harta yang dapat membayar utangnya. Orang tsb berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan syariat.

Beberapa syarat gharimin ini : 1. 2.

27

3.

Hutangnya harus dibayar pada waktu itu. Apabila hutangnya diberi tenggang waktu dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah orang yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai mustahik. Kondisi hutang tsb berakibat sebagai beban yang sangat berat untuk dipikul.

4.

Berapa besar orang yang berhutang harus diberikan ? Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu untuk membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh yang memberi hutang, maka dia harus mengembalikan bagiannya itu. Karena ia sudah tidak memerlukan lagi (untuk membayar hutang). Sesungguhnya Islam dengan menutup utang orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua tujuan utama : 1. 2. Mengurangi beban orang yang berutang dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu malam dan kehinaan di waktu siang. Memerangi riba.

B. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain. Umumnya hal ini dikaitkan dengan usaha untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, namun tidak ada dalil syara' yang mengkhususkan gharimin hanya pada usaha mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang yang berhutang karena melayani kepentingan masyarakat hendaknya diberi bagian zakat untuk menutupi hutangnya, walaupun ia orang kaya. Jadi bagi kita yang mengambil kredit TV misalnya, tentunya tidak termasuk kaum gharimin yang menjadi sasaran zakat. Karena kita bukannya sengsara karena hutang, tapi justru menikmatinya. FISABILILLAH Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai definisi "Fisabilillah" yang menjadi sasaran zakat dalam ayat 9:60. Apakah harus digunakan definisi dalam arti sempit yaitu "jihad", atau definisi dalam arti luas yaitu "segala bentuk kebaikan dijalan Allah". Kesepakatan Madzhab Empat tentang Sasaran Fisabilillah. 1. 2. Jihad secara pasti termasuk dalam ruang lingkup Fisabilillah. Disyariatkan menyerahkan zakat kepada pribadi Mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan jihad dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka. Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dll. Biaya untuk urusan ini diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dlsb.

3.

Namun beberapa ulama lain telah meluaskan arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal, Mazhab Ja'fari, Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Rasyid Ridha dan Syaltut, dll.

28

Setelah mengkaji perbedaan-perbedaan pendapat ini, dan juga merujuk pengertian kata fisabilillah yang tertera dalam ayat-ayat Al Qur'an, maka sampailah Yusuf Qardhawi pada kesimpulan sbb : Pendapat yang dianggap kuat adalah, bahwa makna umum dari sabilillah itu tidak layak dimaksud dalam ayat ini, karena dengan keumumannya ini meluas pada aspek-aspek yang banyak sekali, tidak terbatas sasarannya dan apalagi terhadap orang-orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan, dan sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah tidak meridhoi hukum Nabi dan hukum lain dalam masalah sedekah, sehingga Ia menetapkan hukumnya dan membaginya pada delapan bagian". Seperti halnya sabilillah dengan arti yang umum itu akan meliputi pemberian pada orang-orang fakir, miskin dan asnaf-asnaf lain, karena itu semua termasuk kebajikan dan ketaatan kepada Allah. Kalau demikian apa sesungguhnya perbedaan antara sasaran ini dengan sasaran sesudah dan yang sebelumnya ? Sesungguhnya Kalamullah yang sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain. Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam dimuka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya. Kemudian Yusuf Al-Qaradhawy memperluas arti Jihad ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam. Contoh : "Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD. Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak kaum Muslimin dan memeliharanya dari pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan. Sebaliknya tidak semua peperangan termasuk kategori sabilillah, yaitu peperangan yang ditujukan untuk selain membela agama Allah, seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangasaan, atau membela kedudukan. Kemana dipergunakan Bagian Sabilillah di zaman sekarang ? Membebaskan Negara Islam dari hukum orang kafir Bekerja mengembalikan Hukum Islam termasuk Jihad Fisabi-lillah, diantaranya melalui pendirian pusat kegiatan Islam yang mendidik pemuda Muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dari kekufuran dan mempersiapkan diri untuk membela Islam dari musuh-musuhnya. Mendirikan percetakan surat khabar untuk menandingi berita-berita yang merusak dan menyesatkan ummat. Dll.

Demikian saja yang dapat dibahas dari 8 golongan sasaran zakat. Berikut ini adalah kesimpulan dari pembahasan mengenai persoalan distribusi zakat yang diperoleh, apakah harus dibagi sama rata ke 8 golongan tsb, atau bisa ada kebijakan lain. Setelah mendalami perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini, akhirnya Yusuf Al-Qaradhawy berkesimpulan sbb:

29

1.

Harta zakat yang terkumpul mestilah dibagikan pada semua mustahik, apabila harta itu banyak dan semua sasaran ada, kebutuhannya sama atau hampir sama. Tidak boleh ada satu sasaranpun yang boleh dihalangi untuk mendapatkan, apabila itu merupakan haknya serta benar-benar dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi Imam atau Hakim agama yang mengumpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik. Ketika diperkirakan ada dalam kenyataannya semua (delapan) mustahik itu, maka tidak wajib mempersamakan antara semua sasaran dalam pemberiannya. Itu semua hanya tergantung pada jumlah dan pada kebutuhannya. Sebab terkadang ada pada suatu daerah seribu orang fakir, sementara dari orang yang berhutang atau ibnu sabil hanya sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin pembagian untuk sepuluh orang harus sama dengan orang yang seribu ? Karenanya kita melihat, yang paling tepat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Malik dan yang sebelumnya, yaitu Ibnu Syihab, yang mendahulukan sasaran yang paling banyak jumlahnya dan kebutuhannya dengan bagian yang besar. Diperbolehkan memberikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara' - yang meminta pengkhususan itu sebagaimana halnya ketika ia memberikan zakat kepada salah satu sasaran saja, iapun tidak diwajibkan menyamaratakan pemberian itu pada individu yang diberinya. Akan tetapi boleh melebihkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan kebutuhan. Hendaknya golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama yang harus menerima zakat, karena memberi kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat, sehingga Rasulullah saw tidak menerangkan dalam hadis Muadz dan juga hadis lain selain sasaran ini: " Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan diberikan pada orang fakir". Hal ini dikarenakan sasaran ini membutuhkan perhatian yang khusus. Tidak dibenarkan misalnya seseorang hakim mengambil harta zakat kemudian dibelanjakan untuk tentara, dan membiarkan golongan yang lemah yang membutuhkan dari golongan fakir miskin. Hendaknya mengambil pendapat madzhab Syafii dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan kepada petugas yang menerima dan membagikan zakat itu, yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh lebih dari itu. Apabila harta zakat itu sedikit, seperti harta perorangan yang tidak begitu besar, maka dalam keadaan demikian itu zakat diberikan pada satu sasaran saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh an-Nakha'i dan Abu Tsaur, bahkan diberikan pada satu individu, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hanifah, agar pemberian itu dapat mencukupi kebutuhan si mustahik. Karena membagikannya harta yang sedikit, untuk sasaran yang banyak atau orang yang banyak dari satu sasaran, sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat itu sendiri. Hal ini lebih baik daripada memberi kepada orang banyak, masing-masing beberapa dirham. Pemberian itu tidak menyembuhkan dan tidak mencukupi.

2.

3.

4.

5.

6.

30

You might also like