Professional Documents
Culture Documents
1. Tinjauan Ke Belakang
1. Keharusan memenuhi persyaratan modal, sistem dan ijin bila hendak mendirikan
bank dan lembaga keuangan lainnya di kota dan di daerah, atau bila akan melakukan
merger dan menarik partisipasi modal asing.
Tabel 1
Profil M1, M2, Kredit Swasta dan Sumber Dananya
Tahun 1988 - 1991
Tabel 2
Kondisi Likuiditas Perbankan Tahu 1988 - 1991
Sebagaimana diketahui bahwa dengan Pakto 1988, rasio cadangan perbankan (reserve
requirement) diturunkan dari 15% menjadi sangat rendah yakni 2%. Demikian
rendahnya sehingga perbankan menjadi sangat leluasa memperluas kredit dan uang
beredar (M1), yang seolah olah tanpa kendali dari Bank Indonesia seperti terlihat
pada Tabel 3. Sebagaimana diketahui, Rasio Cadangan, sesuai ketentuan BI, adalah
perbandingan antara cadangan perbankan (R) dengan uang giro dan deposito
berjangka.
Tabel 3
Kondisi Cadangan, Uang Kas dan GWM Perbankan 1987 -1991
Dalam Trilyun Rupiah
Tabel 4
Kurs Rupiah, Tingkat Bunga, IHSG dan Kapitalisasi Pasar Saham
Juli 1997 - Juli 1998
Sampai saat ini perekonomian Indonesia masih belum dapat dikatakan pulih meskipun
di sana-sini sudah terlihat indikator yang mengarah pada “perbaikan” di antaranya
adalah IHSG yang mencapai level 1004,43 yang berarti mencatat kenaikan 44,93%
tahun 2004. Tingkat bunga SBI meskipun hari-hari terakhir ini mulai merangkak naik
lagi, sudah mengalami penurunan sehingga per Juni 2001 tercatat sebesar sekitar
9%-12%. Demikian pula tingkat suku bunga bank, meskipun kredit masih seret sudah
mulai moderat sekitar 15%-20% per tahun. Namun hal ini belum menandai adanya
pemulihan perekonomian seperti yang diharapkan.
Secara makro diprakirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 mencapai 4,9% dan
taun 2005 sebesar 5,5%, namun pertumbuhan tersebut diukur dari level sebelum
krisis dan belum sustainable. Surplus Neraca Perdagangan memang ada karena
didorong oleh pertumbuhan Ekspor dan melemahnya Impor namun tampaknya hal ini
banyak dipengaruhi oleh faktor ekstern seperti harga BBM yang tinggi di pasaran
dunia serta kondisi ekonomi negara maju seperti AS dan Jepang yang sedang memanas.
Keadaan seperti ini jelas tidak mungkin berlangsung terus menerus atau dengan kata
lain faktor tersebut bersifat tentative / sementara saja.
Dari sisi inflasi, beberapa pengamat mengatakan untuk sementara ini inflasi masih
dapat ditekan karena pertama, jumlah uang inti (base money) dan uang beredar (M2)
dikontrol dengan ketat dan kedua, masih rendahnya daya beli konsumen. Namun
kekhawatiran terhadap inflasi ini pada tahun 2005 tampaknya kembali terasa karena
pemerintah berencana kembali menaikkan harga BBM sebesar 30%-40 % sebelum April
2005, kenaikan tarif listrik, tarif telepon, rencana kenaikan harga dasar gabah,
cukai rokok, kenaikan tarif transportasi, bahan makanan dan lain lain. Selain itu
mulai diberlakukannya otonomi daerah tahun 2001 juga tampaknya dapat menjadi
pagkal yang memacu laju inflasi terutama jika daerah berlomba-lomba meningkatkan
pungutan, retribusi dan pajak daerah dalam upaya eningkatkan PAD.
Pada saat ini sisi aktiva neraca semua bank peserta rekapitalisasi didominasi
(sekitar 2/3) oleh obligasi pemerintah dengan tingkat bunga tetap (fixed rate)
sebesar 12,5% yang merupakan sebagian (besar) income bank. Padahal saat itu
tingkat bunga mulai merambah naik seperti ditunjukkan oleh terus merangkaknya
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yakni tercatat pada April 2000 sebesr 10,8%
maka Desember 2000 menjadi 14,5 % dan per bulan Juni 2001 mencapai 16,3%. Hal ini
terasa aneh padahal bank sentral terkemuka di dunia seperti The Fed (bank sentral
AS), Bank of England (Inggris), Bundes Bank (Jerman) sama sama menurunkan tingkat
suku bunganya.
Jika tingkat bunga simpanan mencapai lebih dari 12,5% maka dipastikan akan terjadi
pendarahan (bleeding) pada bank-bank tersebut karena menderita negative spread.
Jika hal ini tidak segera ditanggulangi bukan tidak mungkin akan terjadi krisis
perbankan babak ke dua. Karena obligasi tersebut adalah milik pemerintah, maka
berarti beban bunga obligasi adalah beban negara yang dalam hal ini dapat ditutupi
dengan, salah satunya, penjualan aset BPPN. Jika linkage ini terputus salah satu
saja dapat mengakibatkan perlambatan pemulihan ekonomi karena bank jelas tidak
akan mampu menyalurkan kreditnya kepada sektor riel untuk mendorong bergulirnya
roda perekonomian.
Di sisi lain dengan NPL yang pada saat ini mencapai sekitar 20%-30% akan lebih
memperparah keadaan. Sebagai indikasi bahwa pada kuartal ketiga 2000 NPL dari
bank-bank rekapitalisasi mencapai 34%. Padahal dengan NPL sebesar 15% saja bank
harus mencadangkan provisi sebesar 7,5% yang berarti pasti akan menggerogoti modal
bank tersebut.
Tabel 5
STRUKTUR NERACA PERBANKAN NASIONAL
Desember 2000
Kategori Bank Aset (TA) Total Obligasi LDR NPL (3-5)/ TPL Surat Ber-
CAR
(milyar Rp) Pinjaman Pemerintah (%) Gross Loan (milyar Rp) harga i/c
SBI (%)
(milyar Rp) (milyar Rp) (%) (milyar Rp)
A. Bank Rekap & BTO
Bank BCA 96,585,682 5,994,990 59,611,090 6.8 5.5 87,764,974 20,294,251
45.9
Bank Danamon 60,542,699 5,686,024 47,537,968 19.7 19.1 28,833,704
1,842,993 41.3
Bank BII 35,571,059 17,100,722 8,714,000 60.8 24.1 28,119,174 7,734,813
6.8
Bank Lippo 21,831,400 4,271,714 6,031,477 23.5 36.1 18,173,421 6,355,958
19.7
Bank Bali* 5,414,984 1,195,677 - 15.3 49.5 7,799,475 2,030,648 -240.9
Bank Niaga 17,382,044 5,480,880 9,400,000 40.3 61.2 13,597,256 1,788,154
18.0
Bank Universal 11,320,347 5,367,508 4,244,174 53.6 21.0 10,009,162
162,616 4.8
Bank Bulopin 8,222,971 5,455,608 370,409 82.1 2.4 6,644,506
1,764,053 16.2
B. Bank Swasta Lainnya
Bank Panin 15,147,730 4,405,896 - 45.7 41.7 9,634,359 9,696,715 54.4
Bank NISP 4,748,185 2,586,520 - 74.1 5.9 3,490,870 1,519,300 10.9
Bank Buana 10,416,589 1,556,457 - 16.6 4.5 9,396,234 7,936,696 38.1
Bank Mega 5,792,252 1,960,919 - 42.2 0.9 4,643,440 3,286,248 21.2
C. Bank Pemerintah
Bank Mandiri 232,035,886 41,901,569 181,188,534 27.1 50.7 154,646,854
7,893,063 25.8
Bank BNI 113,067,957 30,296,339 61,812,375 37.4 39.3 81,009,011 14,307,271
13.1
Bank BRI** 53,472,309 25,249,583 20,404,300 51.7 15.2 48,836,732 3,769,619
-25.6
TOTAL 691,552,094 158,510,406 399,314,327 39.8 25.1 512,599,172 90,382,398 -
LDR = Loan to Deposit ratio (perbandingan antara pinjaman dan dana pihak ketiga)
NPL = Non Performing Loan (Kredit Kurang Lancar)
TPL = Total Performing Loan (Total kredit lancar)
* CAR Bank Bali per 31 Oktober 25,47% dg obligasi rekapitalisasi sebesar Rp. 5,314
trilyun
** CAR BRI per 31 Oktober 4,00%, Total obligasi rekapitalisasi Rp. 29,149 trilyun
Jika pada neraca bank terdapat dana masyarakat sebesar Rp. 100, maka pada sisi
lainnya bank hanya memiliki kredit, yang merupakan sumber utama pendapatan bank,
sebesar Rp. 31. Bank harus membayarkan biaya bunga atas Rp. 100, dan menerima
pendapatan bunga atas Rp. 21 (kredit sebesar Rp. 31 dikurangi pinjaman bermasalah
yang tidak memberikan pendapatan bunga bagi bank, yakni sebesar 32 % x Rp. 31).
Dengan struktur neraca seperti itu, perbankan nasional sangat rentan terhadap
kenaikan suku bunga, karena setiap kenaikan suku bunga 1 persen, maka jumlah biaya
bunga yang harus dibayarkan bank kepada deposan akan naik sebesar 1 persen kali
Rp. 100. Untuk menutupi kenaikan biaya bunga, bank harus menaikkan suku bunga
kredit sebesar 5 persen (21:100).
Tabel 6
Prkembangan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Krisis
TAHUN INFLASI Ec.Growth
3. Konsep Fundamental
Secara umum, pembangunan merupakan usaha untuk memperbaiki kualitas manusia.
Konsep dasar pembangunan bidang ekonomi disusun sesuai dengan diagram di halaman
berikut. Di sisi lain, Pembangunan bidang ekonomi adalah suatu proses dimana
pemerintah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk
suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat pada
umumnya untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) yang berkelanjutan (sustainable) dan
berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan dan mengikutsertakan potensi-potensi
yang dimiliki.
Oleh karena itu, masalah pokok dalam pembangunan ekonomi terletak pada penekanan
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan yang
dimiliki (endogenous development) dengan meggunakan potensi sumber daya manusia
termasuk di dalamnya keragaman sosial, kelembagaan, dan sumber daya fisik..
Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari
wilayah itu sendiri dalam proses pembangunan untuk membangun masyarakat secara
utuh, menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan
ekonomi dan sosial.
Pembagunan bidang ekonomi adalah suatu proses, yang mencakup pembentukan
institusi-institusi baru, penyiapan pranata sosial masyarakat yang berakar dari
budaya lokal, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga
kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan usaha-
usaha baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi semestinya mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik lahir maupun batin, serta meningkatkan
jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat. Dalam upaya untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif
pembangunan. Oleh karena itu pemerintah beserta partisipasi masyarakat dan dengan
menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir potensi
sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian.
Hal ini terutama sangat penting pada saat ini dimana era otonomi daerah telah
bergulir menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.
Berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi, pada hakekatnya, pembangunan adalah
serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lahir dan batin melalui peningkatan peranserta
masyarakat, peningkatan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja,
meratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan ekonomi regional,
mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan
tersier. Dengan perkataan lain arah pembangunan ekonomi adalah mengusahakan agar
pendapatan masyarakat naik secara mantap, dengan tingkat pemerataan yang sebaik
mungkin.
Dari berbagai dampak globalisasi perekonomian dunia dan liberalisasi perdagangan
seperti yang terjadi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang dapat
diketahui implikasi ekonomi dan sosial budaya baik yang positif maupun negatif
yang ditimbulkannya. Oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia perlu menyadari
perlunya disusun suatu pola pembangunan nasional yang terdiri dari visi dan
arahan-arahan kebijakan yang jelas mengenai sistem perekonomian maupun tatanan
sosial budaya nasional sehingga mampu mewujudkan suatu negara sejahtera. Pola
pembangunan nasional tersebut nantinya menjadi pedoman dasar bagi tata pembangunan
oleh pemerintah.
7. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkaitan dengan perbaikan kualitas hidup masyarakat, memperluas
kemampuan mereka untuk membentuk masa depan mereka sendiri. Secara umum,
pembengunan menuntut pendapatan per kapita yang lebih tinggi, meskipun sebenarnya
sasaran pembangunan mencakup lebih banyak dari sekedar itu. Pembagunan mencakup
pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih setara, kesetaraan jender yang lebih
besar, kesehatan dan nutrisi yang lebih baik, lingkungan alam yang lebih bersih
dan lestari, sistem hukum dan pengadilan yang lebih adil, kebebasan politik dan
sipil yang lebih luas, kehidupan sosio kultural yang lebih kaya. Dengan kata lain
pertumbuhan yang dihasilkan dari suatu proses pembangunan tidak dapat hanya
diartikan secara kuantitatif, namun lebih memperhatikan segi kualitatif yang
mencakup tingkat kesejahteraan misalnya kesamaan dalam memperoleh peluang,
keamanan, pemberdayaan, dan proteksi lingkungan, sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati.
Selama ini pertumbuhan ekonomi secara positif diasosiasikan sebagai pengurangan
kemiskinan, namun kenyataan di lapangan tidak selalu dapat diartikan demikian.
Pengurangan kemiskinan yang berhubungan dengan pertumbuhan sangat variatif,
seperti halnya yang terjadi pada kemajuan sosial dan perbaikan kesejahteraan, baik
dalam pendidikan, kesehatan, suara atau partisipasi. Di mana pertumbuhan
mengalami kemandekan atau penurunan, maka dimensi sosial dan kesejahteraan juga
mengalami penurunan. Oleh karena itu untuk mewujudkan dimensi sosial dan
kesejahteraan yang mengalami perbaikan secara berkelanjutan, maka selayaknyalah
diperhatikan bagaimana cara pertumbuhan itu dihasilkan karena kualitas proses
pertumbuhan, dan bukan kecepatannya semata-mata, terbukti mempengaruhi hasil
pembangunan.
Di samping kecepatan dalam pertumbuhan, kualitas pertumbuhan menunjuk pada aspek-
aspek kunci yang membentuk prose pertumbuhan itu sendiri seperti distribusi
peluang, kelestarian lingkungan, pengelolaan risiko makro, dan pemerintahan.
Aspek-aspek ini memberikan kontribusi langsung terhadap hasil-hasil pembangunan,
sekaligus menambah dampak yang diberikan pertumbuhan terhadap hasil-hasil
pembangunan, menangani konflik-konflik sebagai akibat pertumbuhan terhadap
lingkungan alam dan sosial. Jadi, kualitas pertumbuhan merupakan campuran dari
kjebijakan dan institusi yang mebentuk proses pertumbuhan.
Seperti diungkapkan pada gambar 1 di atas dan penjelasan-penjelasan sesudahnya,
konsepsi pembangunan yang berkelnjutan bisa ditandai dengan meningkatnya investasi
baik fisik maupun manusia, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pembangunan
sosial yang setara, terjaganya sumberdaya alam, dan adanya perlindungan terhadap
lingkungan dalam jangka panjang.
Indikator dari kegiatan-kgiatan di atas adalah terwujudnya tingkat pertumbuhan
ekonomi yang memadai, tingkat kemakmuran (secara sosial dan ekonomis) yang lebih
terdistribusi secara baik, terkendalinya tingkat inflasi yang menggerogoti
pertumbuhan ekonomi, terwajudnya struktur perekonomian yang maju ditandai dengan
semakin terberdayanya masyarakat, bagusnya angka / indeks pembangunan manusia
(IPM), dan terwujudnya suatu tata pemerintahan yang baik yang bersih dari KKN.
Daftar Referensi
Arsyad, L. (1999). Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE. Yogjakarta.
Naisbitt, J. (1995). Megatrends Asia, The Eight Asian Megatrends that are Changing
the World. First Publishing. Nicholas Brealy Publishing Ltd. London.
Habir, A.D.; Sudjana, B.G. (2003). Keajaiban yang Tak Pernah Terjadi: Menjajagi
Kembali Ketidakmerataan dan Pertumbuhan di Indonesia. Makalah Kongres ISEI XV.
Tidak Dipublikaskan. Malang.
Opposunggu, HMT. (1998). Sumber Krisis Moneter Indonesia. Cetakan Kedua.
Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
Sjahrir. (1999). Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total. Edisi Kedua. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
World Bank. (2002). The Quality of Growth. Universitas Indonesia. Jakarta.
Prayogi, S. (2000). Laporan Penelitian Manajemen. Tidak dipublikasikan. Malang.