You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Sejarah dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu yang pada dasarnya mencakup seluruh ilmu yang ada. Luasnya kajian bidang kajian Sejarah mulai dari ekonomi, pendidikan, politik, budaya hingga sosial menjadikan ilmu ini kaya akan materi. Namun hal ini tidak sesuai dengan sumber Sejarah yang ada. Ilmu ini dianggap susah dikarenakan sulitnya mencari sumber primer yang ada. Selain itu, ilmu yang mempelajari masa lalu ini banyak dinilai sebagai bidang studi yang tidak begitu penting mengingat semua ilmu mengajarkan kita untuk memandang masa depan. Sejarah yang seharusnya penting dan mencakup banyak kajian selanjutnya dalam perkembangan menjadi sebuah ilmu yang hanya memusatkan kajian pada hal-hal tertentu saja. Sebagai contoh, banyak sekali buku Sejarah yang memandang peristiwa Sejarah dari segi politik saja sehingga peristiwa sejarah hanya ditinjau dari segi politik saja. Namun sedikit demi sedikit ilmu Sejarah saat ini mulai mengkaji banyak hal, sejarah perempuan, sejarah maritim, sejarah budaya dsb. Memang yang seharusnya terjadi seperti ini, bahwa sebuah peristiwa sejarah hendaknya jangan dilihat dari segi politiknya saja, namun juga dilihat dari segi lainnya, seperti dari segi kondisi lingkungannya atau kondisi geografinya. Menginjak bahasan tentang Geohistori, maka akan kita lihat sebuah kajian sejarah yang berbeda dari biasanya, ketika banyak peristiwa hanya dikaji dari segi politiknya, maka geohistori menawarkan kita kajian peristiwa dari segi geografinya, bagaimana lingkungan mempengaruhi peristiwa itu bisa terjadi. Geohistori yang tergolong unik ini hingga saat ini masih terbatas keberadaannya. Hal ini terbukti dengan terbatasnya sumber-sumber (baik dokumen, buku dsb) yang mengkaji sebuah peristiwa menggunakan sudut pandang geohistori. Menginjak pada pembahasan sejarah masa Hindu-Budha di Indonesia, banyak sumber yang bisa diakses untuk mengetahui gambaran detail tentang masa itu. Namun kembali lagi pada permasalahan yang sudah dibahas diatas, bahwa sejarah masa Hindu-Budha yang dibahas banyak pada bidang politik dan seni. Masih sangat terbatas pembahasan yang menyangkut geohistori.
1

Jika membahasa tentang kerajaan-kerajaan masa Hindu-Budha, maka bahasan pasti akan banyak berpusat pada segi politiknya saja. Bagaimana perluasan wilayah, kondisi masyarakat, perekonomian dsb namun jarang dibahas bagaimana letak ibukota kerajaan. Ratarata bahasan tentang ibu kota hanya disinggung secara singkat dan kurang mendalam. Padahal ibukota ini juga penting sebab istana maupun pusat kerajaan berpusat di ibukota ini. Pada dasarnya ibukota merupakan pusat seluruh aktivitas kerajaan. Karena terbatasnya bahasan tentang ibukota ini, maka dibuatlah makalah yang berisi tentang ibukota kerajaan-kerajaan masa Hindu-Budha di Indonesia. Namun perlu digarisbawahi bahwa disini hanya dibahas beberapa kerajaan di masa Hindu-Budha.

B. Rumusan Masalah Dari uraian diatas, maka rumusan masalah yang diangkat yakni: 1. Bagaimana gambaran umum dan letak ibukota kerajaan Sriwijaya, Tarumanegara, Erlangga, Singosari dan Majapahit?

C. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan gambaran umum dan letak ibukota kerajaan Sriwijaya, Tarumanegara, Erlangga, Singosari dan Majapahit

BAB II PEMBAHASAN

A. KERAJAAN SRIWIJAYA Gambaran Umum Kerajaan Sriwijaya

Gambar : Letak Kerajaan Sriwijaya (www.google.com) Keadaan alam turut mempengaruhi lahir dan berkembangnya sebuah kerajaan. Menjelang awal berdirinya Sriwijaya gejala-gejala geologi menunjukkan Indonesia bagian barat termasuk Sunda plat menjadi satu dengan daratan Asia. Akibat mencairnya es di daerah kutub banyak daerah ang tenggelam sampai kedalaman lebih kurang 70 sampai 80 meter, sehingga terbentuk dangkalan sunda dan beberapa tempat berbentuk pulau-pulau. Ada teori yang menyebutkan bahwa sampai pada abad X M (masa tumbuh dan berkembangya Sriwijaya) Malaya bersambung dengan dengan Bangka- Biliton. Namun juga ada geolog lain yang berpendapat bahwa Malaya hanya bersambung sampai ke kepulauan Lingga-Singkep. Angin musim berpengaruh, sehingga banyak pedagang atau musyafir tertahan lama di kota- kota yang dikuasai oleh Sriwijaya. Angin sangat menguntungkan , sebab pegunungan
3

yang memanjang di pulau Sumatra dapat menahan, dan di daerah Khatulistiwa awan yang membumbung tinggi bila menggumpal turun hujan. Tanah di pulau tersebut bertambah subur, ini dikarenakan adanya gunung berapi yang sering meletus. Jajaran pegunungan bukit barisan merupakan tulang punggung pulau Sumatera, sebagai kelanjutan dari sirkum Mediterania dan juga rangkaian pegunungan di Indonesia yaitu busur Indonesia. Gunung Dempo di Sumatera Selatan yang saat ini sudah mati dulu sering meletus, seperti halnya gunung merapi di Sumatera Barat. Lava yang di tumpahkan dibawa sungai dan banjir lumpur mengendap di tanah renah. Tanah renah banyak dijumpai pada belokan sungai- sungai Sumatera Selatan, terutama sungai : Ogan-Komering-Lematang . Tanah subur ini adalah produsen beras dan bagi pusat kerajaan merupakan hinterland, penyuplai bahan makanan penduduk kota dan istana. Sungai dan tanjung memiliki peran penting bagi pusat kerajaan. Dari pusat ini raja memerintah dan untuk menunjukkan kekuasaanya, maka diletakkan prasasti yang harus ditaati dan dikeramatkan oleh penduduk setempat. (Supratignyo,1997:13)

Lokasi Kerajaan Sriwijaya Identifikasi lokasi kerajaan Sriwijaya yang paling lengkap diceritakan melalui catatan kisah perjalanan (pelayaran) pendeta Cina yang bernama I-tsing. Selama tinggal di Sriwijaya, antara tahun 689 M sampai tahun 692 M, ia menghasilkan dua buah buku, yaitu Nan-hai Chikuei Nei-fa dan Ta-tang Hsy-yu Chiu-fa Kao-seng chuan. Dalam dua buku tersebut, I-tsing menceritakan letak dan keadaan Sriwijaya. Catatan pelayarannya dari Kanton ke Sriwijaya tahun 671 M, I-tsing menggambarkan letak kerajaan Sriwijaya. Ketika I-tsing pulang ke Kanton, ia berangkat dengan menumpang kapal yang sedang berlabuh di sungai yang terdapat di kerajaan Sriwijaya Hal ini berarti bahwa sungai di Sriwijaya yang dimaksud I-tsing itu cukup lebar sehingga dapat dilalui dan dimasukki kapal-kapal. Ditinjau dari data-data arkeologi, pendapat lokasi Sriwijaya di Palembang memperoleh bukti atau fakta yang kuat. Sebagian besar prasasti ditemukan di Palembang. Bukti tertulis mengenai keberadaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti batu yang ditemukan di Palembang. Di antara prasasti yang ditemukan di Palembang adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Talang Tuwo, dan Prasasti Boom Baru. Prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang pembangunan wanua (tempat tinggal) yang
4

bernama Sriwijaya oleh Dapunta Hyang; Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun) merupakan prasasti persumpahan yang juga menyebutkan nama-nama pejabat kerajaan mulai dari putra mahkota, pejabat tinggi kerajaan, sampai ke tukang cuci kerajaan; Prasasti Talang Tuwo bertanggal 23 Maret 684 Masehi berisi tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua mahluk; dan Prasasti Boom Baru juga merupakan prasasti persumpahan raja Sriwijaya. Dari keempat prasasti ini sudah cukup kuat untuk menempatkan pusat Sriwijaya di Palembang saat ini. Prasasti Telaga Batu merupakan bukti kuat karena prasasti persumpahan ini menyebut nama-nama pejabat yang disumpah sewajarnya ditempatkan di ibukota dan ibukota tersebut tempat tinggal para pejabat tersebut. Bukti prasasti cukup menyakinkan Palembang merupakan pusat awal kerajaan Sriwijaya. Namun bukti tersebut perlu bukti arkelogis lain yang dapat mendukung dan menguatkan teori tersebut. Sebuah kota merupakan kumpulan dan tempat tinggal penduduk kota itu. Indikator kuat dari sebuah sisa pemukiman adalah barang-barang keramik dan tembikar karena barang-barang tersebut bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Di Palembang indikator pemukiman kuno yang berupa pecahan (fragmen) keramik banyak ditemukan di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Ladangsirap, Karanganyar, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Gedingsuro. Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang tersebut, yang dilandasi buktibukti arkeologis yang ditemukan di kawasan Palembang, diduga seluruh Palembang sisi utara sungai Musi merupakan titik awal kota Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-13 Masehi. Berdasarkan telaah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya yang keberadaannya dimulai abad ke-7 Masehi, banyak ahli sejarah yang sepakat bahwa Palembang merupakan pusat ibukota Sriwijaya, dengan alasan, pertama, prasasti Sriwijaya paling banyak ditemukan di daerah Palembang. Kedua, prasasti tertua Sriwijaya (Prasasti Kedukan Bukit) ditemukan di Palembang. Ketiga, posisi Palembang berada di sebelah Selatan negeri Melayu (Jambi), sesuai catatan perjalanan pendeta I-tsing. Dan keempat, berdasarkan hasil pemotretan udara (penelitian geomorfologi), keberadaan pantai timur Sumatra pada sekitar abad ke-10 Masehi, ternyata saat itu, Palembang dan Jambi masih terletak di tepi pantai. Fakta ini kian memperkuat pendapat bahwasanya Sriwijaya adalah kerajaan maritim. Sebagian penduduk pedalaman kehidupanya ada yang nomad , berpindah ladang, membuka hutan dengan dibakar untuk bercook tanam sampai kesuburanya hilang, ini menyebabkan rusaknya hutan dan hujan yng berkepanjangan mengakibatkan banjir dan
5

melindas tanah renah. Aliran lumpur makin banyak baik dari erosi di bekas ladang maupun dari tanah renah dan akhirnya mengendap di muara sungai ,memperlebar tepi pantai. Di pantai yang lembab berawa rawa dapat menimbulkan pennyakit malaria .Endapan lumpur di muara sungai membuat dangkal sungai dan pelabuhan, sehingga Jambi maupun Palembang makin jauh dari laut. Seperti yang diketahui sekitar abad VII Masehi pelabuhan Jambi dan Palembang berada di tepi pantai (hasil penelitian Obdeyn dan Van Bammeken). Menurut kronik Dinasti Tang (619-908) pelabuhan Moloyu (Jambi) lebih ramai karena lebih dekat dengan selat Malaka. Ramainya pelabuhan berarti menambah kekayaan kerajaan Melayu dan menimbulkan iri hati Sriwijya di Palembang. Jambi (Melayu) menjadi saingan pelabuhan Palembang (Sriwijaya) sehingga Sriwijaya menakhlukkan Melayu dan selanjutnya pusat pemerintahan dipindahkan dari Palembang ke Jambi. Kejayaan Sriwijaya karena mampu menguasai pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara dan Selat Malaka menjadi sangat penting. Pelayaran interinsuler dan perdagangan, ramai dengan bagian Timur Indonesia maupun kawasan lain ( Asia Timur, Barat maupun Selatan). Hal ini membawa kemakmuran bagi Sriwijaya namun juga membawa dampak buruk bagi Sriwijaya.(Supratignyo,1991:51) Sekitar abad X M di Jawa juga muncul kerajaan maritim dan memperebutkan jalur pelayaran dan juga perdagangan dan ini menjadi salah satu sebab kemunduran kerajaan Sriwijaya. Di Semenanjung Malaya terjadi perebutan dan persaingan daerah Ligor dengan kerajaan Ayodya Muangtai, lebih-lebih munculnya kerajaan Islam di Aceh dan Sumatera Utara. Namun perdagangan tetap berjalan terus meski mengalami penurunan, ini karena daerah pedalaman Sumatera kaya akan bahan ekspor baik dari pertambangan maupun tulang binatang, disamping hasil hutan. Kota pelabuhan bernama Barus sangat terkenal sampai setelah jatuhnya Sriwijaya. Jatuhnya kerajaan Sriwijaya juga karena faktor alam, yaitu karena endapan banjir dua sungai besar dan menimbulkan rawa-rawa,tenaga endogen, keamanan yang tak terjamin (banyaknya perampok), serta serangan dari Majapahit. (Soepratignyo 1991:49-50).

B. KERAJAAN TARUMANEGARA

Menurut berita dari Cina, di daerah Jawa Barat terdapat sebuah kerajaan yang disebut Tolomo (diartikan Taruma) yang selama abad ke-6 dan ke-7 (tepatnya tahun 528, 538, 666 dan 669) pernah mengirim utusan ke Cina. Kenyataan yang sebenarnya, di Pulau jawa bagian barat sudah ada kerajaan. Hal ini terbukti dari adanya seorang musafir Cina bernama Fa Hian pada bulan Desember 414 yang dalam pelayaran pulang dari India singgah di Shepo (Jawa) karena kapalnya rusak selama 13 hari akibat amukan taufan. Sekitar bulan Desember atau Januari, angin musim yang membawa hujan dari benua Asia bertiup sehingga arus laut di laut jawa berbalik ke arah timur sehingga kapal dari utara setelah berbelok mengelilingi pulau Bangka tergiring ke arah Jawa Barat. Pada abad ke-5 itu rute pelayaran dari India ke Cina tentu melewati Selat Malaka. Lama pelayaran Fa Hian dari India sampai Jawa waktu itu 3 bulan, namun menurut Fruin-Mees dalam keadaan biasa lama pelayaran dari Kalingga (India) sampai Aceh Utara cukup 1 bulan saja. Selanjutnya Fa Hian menetapkan tinggal di Jawa Barat selama 5 bulan dikarenakan dia menanti berbaliknya arus laut Barat (Arus dari Timur disebut arus Barat) yang didorong oleh angin musim dari Australia (yakni angin musim Timur yang kering dan bertiup dari Juli sampai Desember). Perlu diketahui bahwa Gunung krakatau belum berupa pulau kecil seperti sekarang ini. Saat itu pulau-pulau besar dan kecil masih banyak berserakan di Selat Sunda. Diduga pula bahwa Jawa dan Sumatra masih bergandeng menjadi satu. Perbatasan antara Suwarnadwipa (Sumatra) dan Jawadwipa (Jawa) pada masa itu masih berupa satu teluk yang menjorok jauh ke pedalaman di daerah Jambi. Hal ini diungkapkan dalam catatan para pelaut Arab dan Cina. Geomorfologi Wilayah Wilayah induk dari kerajaan Tarumanegara mencakup eks-karisidenan Jakarta dan setengah eks-karisidenan Bogor bagian Utara. Kondisi geomorfologis dataran rendah kota Jakarta yaitu terapit oleh sungai Cisadane di Barat dan Citarum di Timur. Sedangkan daerah pedalaman Tarumanegara merupakan lereng gunung Salak, gunung Gede dan gunung Pangrango dengan ketinggian 200m diatas permukaan laut. Adapun dataran rendah di tepi utaranya menghadap ke arah Teluk Jakarta dengan sumbu tengah yang terdiri atas palung sungai Ciliwung yang saat ini hulunya terdapat di sekitar Bogor. Sungai-sungai lain yang penting disekitar Tarumanegara yakni sungai Cisadane dan Sungai Bekasi. Bogor dapat disebut kota penting bagi sejarah Tarumanegara, dimana 4 dari 6 prasasti kerajaan Tarumanegara ditemukan di kota ini. Prasasti itu adalah Ciaruteun, Muara Cianten,
7

Kebonkopi dan Pasar Koleangkok. Sedangkan prasasti lainnya ditemukan di dekat Tanjung Priok (sekarang) dan di dekat palung sungai Ciliman (Banten Selatan). Dataran rendah Jakarta menurut sejarah geomorfologisnya terbentuk oleh hasil endapan erosi lereng-lereng gunung Salak, Gede dan Pangrango. Pada musim penghujan lumpur mengendap dan selama musim kemarau ada arus laut Barat (dari arah Timur) dimana sungai tidak terlalu membawa banyak lumpur ke laut. Sehubungan dengan itu muara-muara sungai cenderung membelok ke arah Barat. Kondisi Pedologis Dataran rendah Jakarta perkembangan tanahnya dipengaruhi oleh sinar matahari, curah hujan dan pengairan. Semakin banyak penyinaran matahari di atas pertanian basah, maka penguapan meningkat sehingga zat hara bagi tanaman konsentrasinya tinggi. Curah hujan yang tinggi mengalirkan air sawah ke tempat lain sehingga mengurangi konsentrasi zatzat hara . Datangnya air irigasi itu juga berpengaruh. Jika datangnya dari batuan yang dapat memberi keuntungan dalam kesuburan sawah, maka mutu baik tanah akan terlestarikan. Menurut Mohr, dataran rendah Jakarta keadaan tanahnya serba tidak menguntungkan. Hal ini berbeda dengan dataran Cisadane ke Barat dan Citarum ke Timur, di pedalaman sebelah Selatan Jakarta yang berbatasan dengan kaki gunung Gede dan Salak dimana tidak terdapat pegunungan tersier berbatuan kapur. Awalnya erosi gunung itu mengalirkan material,namun di kaki gunung sudah tercuci sehingga kurang bermanfaat bagi kesuburan tanah. Air irigasi kebanyakan berasal dari Ciliwung yang kandungan zat haranya tipis. Peranan Iklim Daerah Pada peta iklim menurut klasifikasi Koppen, tipe iklim sekitar Jakarta yakni Am (iklim tropika dengan musim kemarau yang kering) sedangkan disekitar Bogor adalah Af (iklim tropika yang basah dimana bulan terkering curah hujannya minimal 60 mm. Peralihan antar tipe iklim ini besar pengaruhnya terhadap kemakmuran daerah. Hal yang berhubungan dengan iklim ini yakni yang terdapat dalam isi prasasti Tugu (disebutkan berhasilnya penggalian sebuah saluran sepanjang 6122 tumbak ( 11 km ) dengan sebutan Gomati dan juga disebutkan penggalian sungai Chandrabagha untuk kelancaran aliran air ke laut). Diduga, Purnawarman mungkin beristana di tepi sungai Cisadane ditempat dimana sungai tersebut mulai dapat dilayari. Di dekat itu dua anak sungainya (Ciaruteun dan Cianteun) bermuara ke induknya. Antara dua anak sungai tersebut menjulang bukit dengan
8

bekas-bekas fondasi bangunan seperti istana atau kubu pertahanan. Ini dapat dilihat pada tahun 1920-an di sebelah Barat Laut kota Bogor, di tepi jalan menuju ke Cilendek. Di dalam palung sungai Ciaruteun bersebaran bongkah-bongkah batu besar dimana salah satunya terdapat prasasti tak bertahun berbahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa. ( Daldjoeni, 1984: 15-25)

C. KERAJAAN ERLANGGA Ibu Kota Kerajaan Erlangga Pada zaman pemerintahan Raja Sindok, ibu kota kerajaan Raja Sindok pada kuartal pertama abad 10 ialah Watu Galuh,1 kira-kira letaknya di sekitar Jombang. Pada zaman pemerintahan Raja Dharmawangsa, sejak akhir abad 10. Ibu kota itu telah dipindahkan ke arah timur ke Wetan di kaki Gunung Penanggungan di sebelah selatan Sidoarjo, tempat dimakamkan Raja Dharmawangsa.2 Raja Dharmawangsa sendiri jatuh sebagai korban serangan mendadak Raja Wurawari pada tahun 1006, seperti dinyatakan dalam prasasti Pucangan, 1041. Erlangga berhasil lolos dari malapetaka yang menimpa ibu kota Watan, ia pergi ke asrama Wonogiri dikawal oleh pengikutnya yang setia bernama Narotama. Menurut prasasti Bebetin,3 989, Narotama adalah guru Sri Dharmodayana Warmadewa di Pulau Bali, ayah Erlangga. Demikianlah ketika Erlangga berangkat ke Jawa, Narotama ikut sebagai pengawalnya. Setelah Erlangga Berjaya menguasai Pulau Jawa dan menjadi raja di Jawa Timur, Narotama diangkat sebagai Rakryan Kanuruhan, dikenal dengan Rakyan Kanuruhan Mpu Dharmamurti Narotama Danasura. Nama itu tercantum hampir pada semua prasasti Raja Erlangga yang ditemukan hingga sekarang. Sampai tahun 1041, ketika Raja Erlangga mengeluarkan prasasti Pucangan yang menguraikan riwayat hidup sang prabu dan silsilahnya, Narotama masih memegang jabatan Rakryan Kanuruhan. Prasasti Gandhakuti, 1042, tentang anugerah tanah di Kembang Sri untuk dijadikan tanah perdikan Gandhakuti oleh Raja Erlangga yang menyebut dirinya Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana, tidak menyebut nama para pembesar kerajaan kecuali sang prabu. Setelah Erlangga berhasil memusnahkan Raja Wurawari dan merebut kembali kerajaan yang didudukinya, ibu kota Watan ditinggalkan karena Raja Erlangga, menurut prasasti Cane,4 1021, membangun ibu
1

Brendes-Krom, OJO XLVIII hlm. 100: kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i bhumi mataram ing Watu Galuh. 2 Teks Jawa prasasti Pucangan, 1041 3 Dr. Roelof Goris, Prasasti Bali, Inscripties voor Anak Wungcu, Band II, hlm.147. 4 Brendes-Krom, OJO LVIII hlm. 125: cri maharaja ri maniratna singhasana makadatwan ri wwatan mas.

kota baru di kaki Gunung Penanggungan, bernama Watan Mas. Prasasti Terep,5 1032, menguraikan bahwa Raja Erlangga dalam kejaran musuh lari dari Watan Mas menuju Desa Patakan. Rupanya, ibu kota Watan Mas yang telah diduduki musuh itu tetap ditinggalkan karena menurut prasasti Kamalagyan,6 1037, ibu kota kerajaannya ialah Kahuripan di sebelah timur Gunung Penanggungan. Erlangga tidak lama tinggal di situ karena pada tahun 1042 ibu kotanya ialah Daha seperti terbukti dari stempel prasasti Pamwatan dengan tulisan Dahana.7 Prasasti Panwatan adalah prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Erlangga. Tidak diketahui dengan pasti apa sebabnya ibu kota itu pindah dari Kahuripan ke Daha karena sampai sekarang belum ditemukan prasasti yang memberitakan peristiwa tersebut bahwa Daha adalah ibukota kerajaan Erlangga sampai akhir pemerintahannya, disebut berulang kali dalam Serat Calon Arang.8 Raja Erlangga turun dari tahta dan mulai hidup sebagai pendeta antara tanggal 20 dan 24 November 1042. Jadi pembelahan kerajaan Erlangga berlangsung antara tanggal 20 dan 24 November 1042 juga. Wilayah dan Batas Jenggala dan Panjalu Serat Calon Arang tidak menyinggung soal batas kerajaan Janggala dengan Panjalu, hanya mengatakan tentang adanya kerajaan di bagian barat dan kerajaan di bagian timur. 9 Berg menetapkan bahwa batas kerajaan Janggala dan Panjalu ialah sungai Widas dan Sungai Porong, yang mengalir dari barat ke timur menuju Selat Madura.10 Buchari mempunyai tafsiran lain. Karena distribusi prasasti Erlangga itu dipusatkan di bagian utara, Panjalu pada zaman Erlangga tidak sama dengan Panjalu/Daha/Kediri zaman sekarang. Ibu kota Erlangga itu letaknyaharus dibagian utara Jawa, ia yakin bahwa sungai yang menjadi batas alam antara Panjalu dan Janggala ialah Sungai Lamong yang juga mengalir dari barat ke timur menuju Selat Madura di sebelah selatan Gresik. Sungai Lamong juga mempunyai anak sungai yang bernama Lanang, artinya sama dengan Panjalu. Teori itu terbentur kepada kesulitan untuk menyesuaikan letaknya prasasti Turun Hyang, 1044, yang
5 6

L.C. Damais, Extrait du tome XLVII, BEFEO, 1955, hlm, 65-6. Brendes-Krom, OJO LXI hlm. 136: cri maharaja makadatwan i kahuripan 7 Prasasti Pamwatan mulai dengan nama Dahana; nama ini dipahat pada bagian muka atas. Buchari, Sri Maharaja Garasakan, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (MISSI) Jilid IV, no. 1,2 hlm. 7; catatan 20 membahas letak ibu kota kerajaan Erlangga. 8 Soewito Santoso, Calon Arang, Bab II-III misalnya, menyebut bahwa Erlangga adalah raja Daha. 9 Calon Arang Bab XII: satu buah tahta di buat di sebelah timur, dan satu buah lagi di sebelah barat. Yang bertempat di tahta sebelah barat disebut raja Kediri. Bab XIII menguraikan serbuan Janggala oleh raja Kediri. Sengketa antara raja Janggala dan Kediri menyebabkan penarikan batas kerajaan Janggala dan Kediri disertai kutuk oleh Mpu Bharada. 10 C.C. Berg. Herkomst, Vorm en Functie, hlm. 36-7; Slamet Muljana, Nagarakretagama, Jakarta, 1953, pupuh 68.

10

dikeluarkan oleh Sri Maharaja Garasakan dari Janggala, karena prasasti itu terdapat di Desa Truneng karenanya termasuk wilayah kerajaan Panjalu, jadi daerah musuh.11 Kerajaan Panjalu beribukota Daha, kerajaan Janggala beribukota di Kahuripan di kaki Gunung Pananggungan. (Muljana, 2007:17-18, 21-31)

D. KERAJAAN SINGHASARI (1222-1292) Sejarah Kerajaan Singhasari Kerajaan Singhasari terletak di Jawa bagian Timur di Hulu Sungai Brantas, di apit empat gunung yaitu Gunung Kawi, Gunung Kelud, Gunung Anjasmoro, Gunung Arjuno, Gunung Bromo, dan Gunung Semeru. Daerah ini disebut Dataran Tinggi Malang. Tanahnya berwarna coklat tua sampai hampir hitam. Ini menandakan bahwa daerah tersebut di masa lampaunya merupakan suatu danau purba yang kemudian mengalami proses pengeringan menjadi dataran tinggi, setelah airnya dapat dibuang ke luar melalui sungai Brantas yang palungnya mewujudkan dasar dari danau tersebut yang terdalam. Menurut Mohr danau purba tersebut mula-mula adalah suatu ledokan (terapit oleh lereng-lereng gunung Semeru di sebelah Timur, pegunungan Kidul disebelah Selatannya, Gunung Kawi dan Arjuna di sebelah Baratnya) yang terisi oleh bekuan berbagai tuf dan eflata dari ledakan-ledakan dari gunung berapi tadi. Menurut Verbeek dan Fennema, para geolog Belanda pada awal abad ini, bahan-bahan lava yang membeku tadi bertumpuk-tumpuk di pinggiran ledokan tadi, sehingga air terhenti dan dengan demikian terbentuklah rawa-rawa yang akhirnya meningkat menjadi suatu danau. Kemudian gunung-gunung api sekeliling tadi masih saja melanjutkan Erupsinya dengan membuang lava dan eflata kedalam ledokan itu sehingga dasarnya terisi dan menjadi makin mendatar untuk berproses untuk menjadi dataran tinggi Malang, setelah airnya dapat diluapkan keluar (Daldjoeni, 1982:75). Waktu dalam proses mengeringnya danau itu, muncullah hutan-hutan yang makin meluas dan menyumbangkan lapisan humus tebal kepada tanah yang ada dibawahnya. Setelah datang penduduk dan hutan dibuka untuk pertanian, lambat laun terciptalah dataran tinggi dengan pertanian padi yang maju. Sementara itu curah hujan cukup dan pembagian musim
11

Buchari, Sri Maharaja Mapanji Garasakan, hlm.. 10-11

11

cukup menguntungkan untuk melahirkan daerah pertanian yang makmur seperti Tumampel dan Singhasari dikemudian hari (Daldjoeni, 1982: 76). Sejarah Kerajaan Singhasari masih pelik dan rumit. Banyak hal yang hingga kini belum dapat dipahami sepenuhnya. Negarakretagama yang menguraikan sejarah Singasari singkat sekali, tidak memberikan gambaran lengkap tentang terjadinya berbagai peristiwa sejarah. Tentang pembentukan kerajaan Singasari oleh Raja Rajasa diuraikan dalam pupuh 40, yang teridi dari lima pada (Muljana, 2005:117). Isinya tentang tahun 1182 M, Ranggah Rajasa berkuasa di dusun agung disebelah timur Gunung Kawi yang makmur karena hasil pertaniannya, yang padat penduduknya bernama Kutaraja. Tahun 1222 M, beliau menyerang raja Kediri, dan sang Kretajaya kalah, dan lari. Tunduklah kerajaan Kediri dibawah pimpinan sang Rajasa. Pada tahun 1227, beliau pulang ke swargaloka, dan dimakamkan di Kegenengan. Dalam Pararaton, diceritakan kehidupan Ken Angrok, pendiri kerajaan Singhasari. Namun tidak dapat dipercayai sepenuhnya, karena maksudnya terutama untuk memperlihatkan kesaktian pahlawan itu (Pane,1965:74). yang inti ceritanya, menceritakan kehidupan Ken Angrok dari kecil yang berasal dari Desa Pangkur, yang bengal pada usia mudanya hingga bertemu dengan pendeta Lohgawe, dan bekerja pada akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung. Pada waktu itu Tumapel adalah wilayah bawahan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Kertajaya. Pada saat mengabdi di Tumapel, Ken Arok tertarik kepada istri Tunggul Ametung yaitu Ken Dedes. Maka dari itu Ken Arok berusaha membunuh Tunggul Ametung agar dapat menikahi Ken Dedes dan menggantikannya sebagai akuwu di Tumapel. Sebagai Akuwu Ken Angrok tidak mau tunduk di bawah kekuasaan kerajaan Kediri. Ken Arok bekerja sama dengan para pendeta yang tidak senang dengan pemerintahan Kretajaya, mereka bertempur melawan raja Kediri dan di desa Ganter, dan Ken Angrok berhasil mengalahkan Raja Kediri. Tahun 1222, Ken Angrok menjadi raja dengan abhisekanama Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi dengan kerajaan bernama Tumapel dengan ibu kota bernama Kutaraja. Di bawah pemerintahannya, Tumapel menjadi aman dan tenteram. Tahun 1227 Ken Angrok mati dibunuh Anusapati (anak Tunggul Ametung) yang membalas dendam kematian ayahnya. Sejak itu Tumapel dipimpin Anusapati selama 21 tahun (1227-1248). Anusapati dibunuh oleh Tohjaya (anak Ken Arok dari istrinya Ken Umang), yang membalas dendam kematian ayahnya. Masa pemerintahan TohJaya hanya beberapa bulan karena ia dibunuh oleh
12

Ranggawuni, anak Anusapati yang membalas dendam atas kematian ayahnya. Pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi di kalangan raja-raja Singosari karena balas dendam. Sepeninggal Tohjaya, tahun 1248 Ranggawuni naik tahta dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana yang memerintah dengan sepupunya bernama Mahesa Cempaka. Tahun 1254 Wisnuwardhana menyerahkan tahta kerajaan pada puteranya yang bernama Kertanegara. Apa sebabnya tidak diterangkan dalam Nagarakretagama. Barangkali maksundnya untuk mencegah perselisihan dan rupanya ibu Kertanegara, Jayawadhani, memperkuat hak Kertanegara atas tahta kerajaan. Ketika Kertanegara dinobatkan, nama ibu kota Kutaraja diganti menjadi Singhasari. Nama ini lalu dipakai juga sebagai nama kerajaan (Pane, 1965:79). Di bawah pemerintahan Kertanegara (1268-1292) Kerajaan Singhasari mencapai puncak kejayaannya. Kertanegara bercita-cita menjadi penguasa Singhasari dan daerah sekitarnya seluas mungkin. Salah satu penyebab jatuhnya Kerajaan Singhasari juga dari keinginan Kertanegara yang ingin memperluas kerajaannya. Tahun 1275, tentara Singhasari berangkat menuju Melayu, yang terkenal dengan istilah Pamalayu yang berarti perang melawan Melayu, dengan jumlah tentara yang amat banyak sehingga kerajaan menjadi kosong. Dengan sendirinya kekuatan menipis, sehingga menimbulkan pemberontakan seperti yang dilakukan Mahesa Rangkah tahun 1280 (Muljana, 2005:175). Kekuatan yang sudah tipis masih dikurangi. 1284, Kertanegara mengirim pasukan ke Bali. Kekosongan ini menimbulkan nafsu untuk memberontak. Bupati Sumenep Wiraraja mengirim surat ke Jayakatwang untuk bekerjasama menggulingkan Kertanegara. Jayakatwang pun menyerang Tumapel (1292). Pertempuran terjadi disebelah utara ibu kota, tepatnya di daerah Memeling. Kertanegara memerintahkan Raden Wijaya dan Ardharaja untuk melawan musuh di daerah tersebut, sehingga keadaan ibu kota semakin kosong. Menurut Pararaton ketika pertempuran terjadi di utara, datang pasukan Daha dari selatan dengan diam-diam. Pasukan itu menyerang dan menduduki kota. Kertanegara mati dibunuh dengan patihnya dan beberapa pendeta (Pane, 1965:85) Dengan meninggalnya Kertanegara, maka berakhirlah Kerajaan Singhasari. Jenazah Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi dan sebagai Budha di Sagala. Kertanegara bersama permaisurinya Bajra Dewi dilambangkan sebagai jiwa dicandikan di Singosari sebagai Bhairawa. Geografi politik Kerajaan Singhasari
13

Sejak abad ke-11 dan 12 sungai Brantas sudah berfungsi secara ekonomis maupun politis. Sejarah Jawa Timur, terhitung mulai dari pugatan (perjuangan Erlangga sejak awal abad ke-11) sampai Tarik (berdirinya Majapahit pada akhir abad ke-13) tidak dapat diuraikan lepas dari pentingnya Sungai Brantas, selain menjadi saksi utama peristiwa-peristiwa historis yang penting, sungai tersebut juga melatar belakangi berbagai fakta sejarah di Jawa Timur. Sungai Brantas sebagai urat nadi kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditelaah ciri-ciri tanahnya pada setiap lembahnya. Semua itu ditentukan oleh kehadiran gunung-gunung api yang mengapit aliran sungai tersebut dari hulu, hilir hingga muaranya (Daldjoeni, 1982:76). Latar belakang kegiatan politis, sosial ekonomis dan kultural dari kerajaan Panjalu dan Jenggala kemudian Kadiri dan akhirnya Singhasari, terletak dalam nilai kombinasinya bagianbagian dari aliran sungai Brantas yang melingkar seperti ular itu. Aliran Sungai Brantas dapat dibagi atas tiga bagian: a. Hilir Atas Ini menempati dataran tinggi Malang sekarang yang dulunya ditempati oleh wilayah induk Tumapel semenjak akuwu Tunggul Ametung berkuasa, sampai pada masa bertahtanya Kertajaya di Kediri (+ th. 1220) b. Hilir Tengah Di sinilah terletak Kota Daha (Gelang-gelang atau Kediri) yang menjadi ibu kota Kerajaan Kediri (1045-1222). Dataran rendah Kediri memanjang dari selatan ke utara (persisnya dari Tulungagung sekarang sampai Kertosono) dengan diapit oleh tiga gunung, yaitu gunung Wilis di sebelah Barat, kompleks Gunung Arjuno-Anjasmoro serta Kawi-Kelud di sebelah Timurnya. c. Hilir Bawah Dataran rendah ini membujur Barat Timur dari Kertosono sampai Delta Brantas. Sebelum sampai awal delta tersebut terletak pusat kerajaan Mojopahit tak jauh dari Trowulan sekarang di Kabupaten Mojokerto.

Kutharaja sebagai ibukota Kerajaan Singhasari terletak di daerah Dataran Tinggi Malang, Kutharaja diapit oleh dua sungai, yakni Sungai Bratas di sebelah Barat dan Sungai Bango di sebelah Timur, yang dimasa sekarang secara administratif berada di Kelurahan
14

Kotalama, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Daerah Dataran Tinggi Malang dikelilingi oleh gunung-gunung, sehingga sangat strategis dan ideal untuk tempat didirikannya suatu kerajaan, seperti kerajaan Singhasari. di daerah Kutharaja terdapat sumber daya lingkungan geografis, seperti sungai, lahan yang datar, dan jenis tanah regosol. Daerah Kutharaja termasuk daerah aliran sungai Brantas yang memiliki ketinggian dibawah 500 meter dari atas permukaan air laut (450 meter dpl), dan Kutharaja merupakan daerah celah gunung api yang mengelilingi Dataran Tinggi Malang. Jenis tanah yang terdapat di daerah Kutharaja adalah jenis tanah regosol. Tanah regosol sangat identik dengan tanah Brahmana, tanah yang ideal dan dianggap suci untuk didirikannya ibukota seperti yang tersebut dalam kitab Manasarasastra dan Silpasastra. E. KERAJAAN MAJAPAHIT Majapahit merupakan kerajaan terbesar ke dua di Nusantara setelah kerajaan Sriwijaya runtuh. Wilayah kekuasaannya hampir seluruh wilayah nusantara. Bahkan memiliki daerah kekuasaan di berbagai tempat di Asia Tenggara. Keadaan geografis pusat kerajaan Majapahit sangat strategis yaitu di lembah sungai brantas. Pada masa itu sungai brantas dijadikan lalu lintas perdagangan baik domestik maupun internasional. Berdirinya kerajaan Majapahit adalah usaha dan perjuangan Raden Wijaya yang dibantu pengikutnya. Raden Wijaya mampu memanfaatkan kedatangan tentara Cina Mongol (Kubilai Khan) yang datang ke Pulau Jawa untuk menghukum Kertanegara. Kedatangan pasukan Kubilai Khan, dimanfaatkan untuk menyerang Jayakatwang di Kadiri, sehingga kekalahan Kertanegara dapat terbalaskan karena Jayakatwang akhirnya meninggal di Ujung Galuh. Sedangkan pasukan Kubilai Khan melalui tipu muslihat Raden Wijaya dapat diusir dari pulau Jawa tahun 1293. Setelah berhasil mengusir pasukan Kubilai Khan, maka tahun 1293 Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Gambaran Awal Kerajaan Majapahit

15

Gambar: Delta Sungai Brantas (www.google.com)

Ketika kita membahas kerajaan Majapahit, maka pokok bahasan penting yang harus diungkap dari awal yakni delta sungai Brantas. Lokasi delta sungai Brantas terjepit di antara Kediri, Tumapel, Madura dan pantai terbuka di Kembang Putih Tuban. Lokasinya yang terjepit di manfaatkan oleh Raden Wijaya sebagai pusat kerajaannya, meskipun nantinya ibu kota kerajaan Majapahit berada di luar delta sungai Brantas. Delta kali Brantas diapit oleh sungai Porong yang mengalir kearah timur (bermuara di selat Madura) dan Sungai Mas (kencana) yang mengalir ke timur laut kemudian ke utara bermuara di Surabaya sekarang. Terbentuknya delta tersebut membutuhkan waktu selama berabad-abad lamanya. Awalnya kondisi tanah di delta Brantas itu kurang baik, karena penuh dengan rawa dan di kelilingi oleh hutan belukar dimana-mana. Setelah rawa mengering barulah hutan dibuka dan dijadikan tanah pertanian. Di tinjau dari Geomorfologis wilayah delta sungai Brantas dari masa ke masa mengalami pergeseran letak. Menurut penelitian Ir. Nash pada tahun 1930, tanah delta brantas itu tidak stabil, karena dibawahnya masih terus bergerak tujuh jajaran antiklinal sebagai sambungan pegunungan Kendeng yang mengarah ke selat Madura lewat bawah permukaan tanah (Daldjoeni, 1984:69).

16

Gambar : peta sungai brantas (www.google.com)

Wilayah hulu DAS Kali Brantas di mana kerajaan Majapahit berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur, sehingga tidak mengherankan apabila daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur. Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing. Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Fungsinya adalah sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini
17

menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi. Dapat disimpulkan bahwa karena adanya pendangkalan sungai brantas menyebabkan wilayah disekitarnya menjadi sangat subur dan cocok untuk daerah pertanian. Mengingat letak pusat dari Kerajaan Majapahit berada di pedalaman, maka untuk akses hubungan dengan daerah-daerah lain harus melalui sungai Brantas (wikipedia.com). Lokasi Ibukota Majapahit

Gambar: peta pusat kerajaan Majapahit (www.google.com)

Lokasi pusat kerajaan Majapahit ada didekat Trowulan yang letaknya kurang lebih 10 km disebelah barat daya kota Mojokerto. Dugaan ini dilandaskan pada banyaknya penemuan didesa-desa sekitar berupa fondasi bangunan, candi, reservoar air dan umpak-umpak rumah. Hasil penemuan barang-barang pakai, perhiasan dan patung-patung sekarang masih dapat dilihat di museum arkeologi Trowulan. Pusat kerajaan Majapahit berada pada ujung bawah suatu kipas alluvial pada ketinggian 30 meter sampai 40 meter di atas permukaan laut. Disebelah utara terhampar dataran banjir kali Brantas sedangkan disebelah selatan dan tenggara sejauh kurang lebih dari 25 km menjulang tinggi kompleks gunung Anjasmoro, Arjuna, dan Weliarang dengan ketinggian antara 2000 meter dan 3000 meter.

18

Penelitian geologis oleh pihak Institut Tekhnologi Bandung tahun 1980 menghasilkan suatu teori bahwa hancurnya Majapahit karena ledakan gunung api yang disertai dengan air besar. Kemungkinan besar adalah ledakan gunung Welirang atau Anjasmoro, kemungkinan kedua adalah aliran lahar dari prokalastik dari gunung Welirang. Namun, ada suatu kelemahan dari teori ini menurut Ir. Sampurna yaitu kapan bencana tersebut terjadi sehingga timbul kemungkinan-kemungkinan. Ir. Sampurno menganjurkan agar dilakukan penelitian lebih lanjut yang sifatanya menyeluruh dan sasaran rekontruksi perpindahan aliran sungai Brantas dan menentukan waktu terjadi banjir beasr dengan endapan pasir dan kerikil diwilayah pusat kerajaan serta perlunya rekontruksi kemajuan garis pantai delta Brantas melalui telaah fotogrametris. Dari penelitiaannya, secara khusus menunjukkan pada system teknologi dan tata air ibukota Majapahit. Berbagai saluran dan pipa-pipa yang tertinggal membuktikan adanya teknologi mengenai air yang cukup maju pada zamannya. Mengenai lokasi pelabuhan Majapahit diperkirakan kali Surabaya (kali Mas) semula merupakan alur pelayaran yang penting karena menghubungkan Majapahit dengan daerah luar. Sedangkan sungai Brantas sebagai cabang kali Brantas dapat dilayari untuk mendekati pusat kerajaan, paling tidak sampai daerah Japaran. Dari titik untuk sampai ke pusat kerajaan diperlukan jarak 8 km sampai 10 km. Penemuan jaringan saluran air secara tidak sengaja disekitar pusat kerajaan menggunakan pankhromatik pada tahun 1973 dan kemudian dilanjutkan tahun 1980 menghasilkan temuan yang menakjubkan yaitu adanya lahar jaringan air antara 20 meter sampai 30 meter dengan kedalaman sekitar 4 meter. Adanya penemuan ini maka semua tafsiran dan usaha rekontruksi mengenai kraton Majapahit berdasarkan kitab Negarakretagama harus diperbaiki yaitu anggapan semula bahwa kraton menghadap kearah utara. Berdasarkan letak dermaga dibagian barat dan asumsi bahwa tamu kerajaan, pedagang serta warga masyarakat lain datangnya lewat jalan air, maka disimpulkan bahwa kraton haruslah menghadap ke barat. Selain itu, ibukota Majapahit dikelilingi oleh jaringan air yang lebar dan dalam serta mempunyai jalan keluar kearah barat menuju kekali Brantas. Sumber airnya berasal dari sungai-sungai yang ada disebelah selatan ibukota (berdasarkan penggunaan geolistrik dan geomagnetic). Jalur-jalur lurus yang saling tegak lurus di antara reruntuhan bangunan kuno Segaran, Sumurupas, Candi Tikus, Candi Bajangratu, Wringinlawang dan sebagainya yang
19

semula dianggap jaringan jalan raya ternyata endapan lumpur basah. Sedangkan bangunan disekitarnya sekarang berupa sisa-sisa batu bata yang digali penduduk untuk bahan bangunan baru. Sehingga ibukota kerajaan Majapahit disebut suatu kota air dimana kemegahannya ditulis dalam kitab Negarakretagama (pupuh 8 sampai 12) dapat diteliti lebih lanjut selama sisa-sisanya masih dapat ditemukan. Dapat dibayangkan kota Majapahit pada abad XIV ada disebelahselatan jalan raya Jombang-Surabaya atau tepatnya dibelakang museum Trowulan sekarang. Pintu besar utama menghadap kearah barat laut (Negarakretagama meyebutnya Purwakarta), ini diperkirakan berada tepat dihutan kecil seluas 100 yang letaknya tidajk jauh dari desa Kedaton. Kecuali

pintu gerbang tadi lengkap dengan dermaga, pintu tersebut menhgadap dua tanah lapang, yaitu Watangan I dan Watangan II. Menurut Prapanca disebelah utara tepatnya timur laut terdapat sebuah gapura yang berpintu besi menghadap kearah tanah lapang Bubat, lokasi yang terkenal dengan pertempuran sengitnya antara tentara Majapahit dengan pasukan negeri Sunda ketika timbul perselisihan tentang pencalonan putri Sunda Dyah Pitaloka menjadi permaisuri raja Hayamwuruk.

Gambar: situs Trowulan (www.google.com) Selain penemuan jalan air, juga ditemukan jaringan air minum yang mengalir lewat pipa-pipa dalam tanah yang bermula dari Candi Tikus diselatan ibukota. Disebelah timur terdapat beberapa kolam air besar. Namun, arkeolog R.P Sujono meragukan kebenaran Majapahit sebagai suatu kota air, alasannya bahwa Prapanca dalam bukunya Negarakretagama tidak menyebutkan bahwa raja Hayamwuruk pernah naik kapal layar dalam perjalanannya keliling Jawa Timur, yang diceritakan hanya bahwa dalam perjalanan menuju
20

Singhasari memakai kendaraan kereta yang mengalami kerusakan roda sehingga perlu diperbaiki. Sujono cenderung menduga bahwa terusan atau saluran air yang mengiris-iris daerah pusat kerajaan Majapahit lebih berfungsi untuk tujuan penyejukan udara serta pengairan pertanian. Dijelaskannya bahwa Trowulan hawanya amat panas pada musim kemarau, sebaliknya pada musim penghujan kelebihan air itu perlu disalurkan melalui berbagai terusan serta pipa-pipa air yang terbuat dari tanah. Berbeda dengan Sujono, menurut M.M. Sukarto, tokoh arkeolog dari Universitas Gajah Mada, dalam buku Geografi Kesejarahan II (Indonesia) bahwa pusat Majapahit merupakan kota air. Hal ini disimpulkan jauh sebelum berdasarkan benda-benda temuan serta interprasi khususnya yang bertarikh 1358. Sehubungan dengan hal tersebut dijelaskannya pada zaman Majapahit yang kedua, disepanjang kali Brantas terdapat berpuluh-puluh desa yang bebas pajak, yang disebut naditira pradesa atau desa-desa di pinggir sungai. Sehingga sungai memilki arti penting bagi perniagaan dan lalu lintas pada masa Majapahit. Prof. Slametmulyono, sejarawan dan filolog, yang penelitiannya lebih kebidang literatur, menulis bahwa boleh saja garis-garis di foto udara dianggap sebagai parit. Menurutnya letak pusat Majapahit cukup jauh dari laut. Jika jelas ada parit, itu hanya ada satu yaitu parit pertahanan yang melingkari lapangan dimuka gerbang barat ibukota atau disebut purawaktra. Dasar pemikirannya berdasar dari buku Negarakretagama dan naskah Pararaton, yang tidak menyebutkan adanya parit. Sebagai penguat lain, sumber dari negeri Cina yaitu catatan perjalanan seorang ulama Ma Huan yang pernah berkunjung ke ibukota Majapahit tahun 1416. Laporan yang berjudul Ying Yai Seng Lan, isinya lebih berupa lukisan geografis kota utama Majapahit. Untuk mencapai Majapahit dari Surabaya diperlukan naik perahu sejauh 40 km sampai Canggu. Setelah berjalan ke selatan selama satu setengah hari baru sampai ke ibukota Majapahit. Ma Huan secara teliti juaga menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit tanpa menyebut adanya parit. (Daldjoeni, 1984: 97-102)

21

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Datangnya agama Hindu-Budha ke Nusantara berasal dari daerah India sehingga disadari atau tidak seluruh aspek kehidupan masyarakat masa itu juga terpengaruh dengan kebudayaan di India. Salah satu pengaruh yang tampak nyata yakni pemilihan lokasi kerajaan, dimana kebanyakan kerajaan-kerajaan masa itu sebagian besar berlokasi di pinggir Sungai. Hal ini dikarenakan tanah di sekitar pinggir sungai tergolong tanah yang subur sehingga dengan adanya kesuburan itu, maka sungai merupakan pusat kehidupan bagi manusia. Disamping sungai, pemilihan letak kerajaan juga dilihat kondisi alamnya yang meliputi dataran tinggi, dataran rendah, pegunungan maupun lembah sungainya. Pemilihan pusat kerajaan ini didasarkan pada pertimbangan aspek politik serta ekonomi. Disamping itu pemilihan ibukota ini juga didasarkan pada letak strategis wilayah tersebut sehingga mudah dijangkau dalam mengadakan kerjasama, perdagangan maupun aktivitas lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemilihan ibukota kerajaan ditentukan dengan pertimbangan yang matang.

22

DAFTAR RUJUKAN

Daldjoeni, N. 1984. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni. Hatmaji, Dhanang Tri. 2009. Kutharaja sebagai ibukota kerajaan Singhasari tahun 1144 1170 caka: tinjauan geohistori, (Online), (http://library.um.ac.id/freecontents/index.php/pub/detail/kutharaja-sebagai-ibukota-kerajaan-singhasaritahun-1144-1170-caka-tinjauan-geohistori-dhanang-tri-38368.html), diakses 19 Oktober 2011. Muljana, Slamet. 2005. Munuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS. Muljana, Slamet. 2007. Tafsir Sejarah: Nagara Kretagama. Yogyakarta: LKiS. Pane, Sanusi. 1965. SEDJARAH INDONESIA, Djilid I. Jakarta:P.N. Balai Pustaka. Soepratignyo. 1991. Geohistari. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Supratiknyo. 1997. Geohistori Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wardani, Kristanti Wisnu Aji. Tanpa Tahun. Dwarapala Dari Singosari, (Online), (http://www.arupadhatu.or.id/budaya/89-dwarapala-dari-singosari), diakses 19 Oktober 2011.

23

GEOHISTORI IBUKOTA KERAJAAN-KERAJAAN HINDU-BUDHA DI NUSANTARA (Sriwijaya, Tarumanegara, Erlangga, Singosari dan Majapahit)

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Geohistori yang dibimbing oleh Bapak Deni Yudho W, S.Pd, M. Hum.

Oleh: Eko Frasetio Idul Fitri Nikken Anggit Virgiana Lista Wahyuni Tenny Widya Kristiani Vasvahis Sofhal Sarifuddin (108831416468) (108831410779) (108831416473) (108831410778) (108831410781)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL PROGRAM PENDIDIKAN SEJARAH Oktober 2011

24

You might also like