You are on page 1of 3

Definisi Penyakit Hirschsprung adalah suatu penyakit yang diakibatkan tidak adanya / tidak terbentuknya sel-sel ganglion saraf

parasimpatis mienterikus di dinding segemn usus (tersering pada kolon distal atau anorektal) (Ranuh,2008). Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang hanya mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil. (Sudamo,2008) Epidemiologi Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Kartono,2004). Laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 4 : 1 dan ada kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai 6%. (Wylie,2000). Hal ini juga sesuai dengan catatan Swenson (1990), menyatakan bahwa 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson,1990). Etiologi Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di

usus bagian distal. Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk. menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai dengan preservasi sfingter anal (Kartono, 2004). Patofisiologi Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion meissner dan ganglion aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. 70 80 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon, dan sekitar 5% kurang dapat mengeni seluruh usus sampai pylorus. (Kartono,2008) Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas di ketahui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler, dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal. Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschsprung ataukah defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur

bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai dengan preservasi sfingter anal (Kartono, 2004). Tidak terdapatnya ganglion meissner dan aurbach mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, tidak prpulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan pasase usus dengan tiga tanda yang khas yaitu keterlambatan evakuasi mekonium, muntah hijau, dan distensi abdomen. (Kartono,2008) Manifestasi Klinis Pada neonatus akan didapatkan : a. Terlihat mekonium terlambat ke luar. Mekonium normal akan keluar pada 24 jam pertama kelahiran. b. Sembelit dengan perut yang membuncit serta muntah kehijauan, atau tanda retensi cairan lambung bila sudah terpasang pipa lambung sebelumnya. c. Pada waktu colok dubur, jri ditarik maka udara beserta feses akan keluar menyemprot dan obstruksi pada abdomen hilang. (Sudamo,2008) Sedangkan pada anak-anak akan didapatkan : a. Gangguan defekasi dan pola buang air besar tidak teratur, atau setiap kali buang air besar harus dibantu dengan pencahar dan sering harus memanipulasi anus agar feses yang keras dapat keluar. b. Perut membuncit, kurus, dan pertumbuhan yang terhambat. (Sudamo,2008)

You might also like