You are on page 1of 29

1

Praktek Berbasis Bukti: Implikasi pada Pekerja Sosial dalam Perawatan AIDS

Valeria- Gordon- Garofalo, MSW, PhD

Mandat terbaru menyaratkan praktek berbasis-bukti pada setiap pekerja sosial. Apakah makna dari hal baru ini? Bagaimana ia mampu meningkatkan pelayanan sosial bagi pasien HIV/ AIDS? Praktek Berbasis Bukti (PBB) adalah sebuah proses yang mana pekerja sosial atau pun praktisi kesehatan merancang pertanyaan-pertanyaan seputar perencanaan pengobatan, mencari info terbaru, dan memberikan intervensi sesuai dengan tatalaksana terbaru (Gibbs, 2002). Keputusan intervensi dapat dengan mudah diperoleh dari penelitian-penelitian yang tersedia.

Langkah-langkah dalam Praktek Berbasis-Bukti Proses ini melibatkan beberapa tahap, berdasarkan Gibbs (2002) yang diadaptasi untuk pekerja sosi al berdasarkan kacamata medis. (Sackett, Richardson dan Haynes, 1997). Tahapannya meliputi: 1. Menyusun Pertanyaan PBB merupakan aplikasi terbaik bagi pekerja sosial yang memiliki akses teknologi yang baik. Merumuskan apa yang dibutuhkan dalam bentuk pertanyaan spesifik akan memudahkan pencarian info di komputer. Pertanyaan yang baik mengindikasikan rencana pengobatan yang baik, yaitu terdiri dari empat komponen: Tipe klien dan masalah Apa yang seharusnya anda lakukan untuk menangani masalah Langkah-langkah alternatif Apa yang ingin anda capai Klinisi sendiri secara umum akan mengeluarkan pertanyaanpertanyaan yang mencakup lima dimensi: efektifitas pengobatan,

pencegahan,

pemeriksaan, deskripsi, atau risiko. Aspek penting yang

harus diperhatikan adalah tipe klien (seperti wanita atau pria, pendapatan rendah vs menengah ke atas, berpendidikan tinggi vs edukasi minimal), dengan beberapa jenis sasaran (seperti individum keluarga, grup, atau organisasi), dengan berbagai kondisi (di rumah, agensi, atau klinik). Contoh pertanyaan yang efektif adalah: Jika seorang wanita Afrika-Amerika yang dengan tanda-tanda depresi diberikan pilihan antara terapi psikoedukasional kelompok dengan cognitive behavioral therapy, manakah yang kemungkinan hasil terapinya mencapai normal?

2. Proses Penelusuran Best Practice Cara paling efektif untuk memperoleh literatur adalah melalui komputer yang tersambung internet. Informasi bisa diperoleh dalam bentuk artikel jurnal, web-based information, dan clinical guidelines terbaru. Ada pun untuk perawatan HIV, informasi dapat diperoleh dari perpustakaan (umum mau pun universitas), Delta ETC dan website ETC lainnya, asosiasi professional, dan mesin pencarian info di internet. Website Delta ETC menyediakan informasi tentang medikal, seperti PubMed, NKM Gateway, dan MedScape. Basis data perpustakaan universitas dan sekolah medis tersedia secara terbatas pada non-afilasi profesional. Instruktur lapangan dari praktek kerja lapangan mendapatkan hak istimewa perpustakaan secara penuh, termasuk akses internet yang memungkinkan pencarian basis data situs tertutup. Yang menarik bagi pekerja social adalah basis data Silver-Platter: abstrak pekerja social, PsychInfo (basis psikologi), SocioFile (sociology-based), dan ERIC ( basis edukasi). Membeli basis data portable untuk digunakan lembaga merupakan pilihan. Pilihan yang lebih murah mungkin berbagi basis data melalui sebuah konsorsium atau adanya kerjasama sumber daya jaringan. Kita juga harus mendukung relevan basis data informasi HIV/AIDS dimasukkan.

3. Menilai Bukti Secara Ktitis Menurut Gibbs, tahap ini mengisyaratkan penerapan bukti hirarki dimana menyediakan satu bukti. Penelitian yang menggunakan perbandingan atau kelompok kontrol, probabilitas sampel, pendekatan pengobatan yang jelas, jumlah partisipan cukup, pengukuran yang valid dan reliabel, dan analisis statistik yang baik, tentu saja dinilai lebih tinggi daripada mereka yang tidak menggunakan hal tersebut. Penilaian parallel feminis, studi kualitatif memerlukan pemeriksaan validitas interpretasi dan keterlibatan peserta dalam proses penelitian. Ketika tidak ada bukti yang cukup dalam pencarian literature professional untuk memutuskan satu pengobatan atau metode penilaian, yang pertama harus beralih ke standar pedoman perawatan atau praktek, kemudian mengandalkan supervisor dan konsultasi kelompok dan kebijaksanaan praktek sendiri.

4. Menerapkan hasil. Pada langkah ini, klinisi harus memutuskan sejauh mana bukti yang dikumpulkan berlaku untuk diputuskan. Apakah klien cukup mengerti dengan yang dijelaskan/dipelajari? Bagaimana dengan akses ke strategi? Kemampuan praktisi dalam menyampaikan praktek terbaik?

5. Mengevaluasi kinerja. Menyimpan catatan yang memadai, mendokumentasikan

pelayanan dan kepuasan klien, dan mengevaluasi hasil adalah hal yang penting dalam EBP. Keberhasilan kerja social cenderung anekdot. Dibutuhkan sebaliknya adalah dokumentasi yang jelas tentang kelayakan pelayanan; jelas diartikulasikan alasan-alasan untuk struktur dan komponen layanan, penggunaan alat penilaian yang terstruktur untuk mengidentifikasi factor-faktor resiko individu dan menugaskan klien untuk tingkat pelayanan; bukti intervensi berbasis, berasal dari uji efikasi klinis; dan dokumentasi untuk membenarkan hasil program. Sebagian besar, jika

tidak semua, komponen ini hadir di Negara kita dan regional system pelayanan HIV/AIDS. Bukti bahwa intervensi pekerjaan social yang efektif harus didokumentasikan dirumah, bersama dengan penyandang dana dan para pemangku kepentingan klien, dibahas dalam konsorium, yang disajikan dalam forum professional dan diterbitkan bagi mereka diluar lapangan. Misalnya, tugas berpusat pada perawatan, seperti halnya manajemen kasus dan perencanaan pulang dalam pengaturan rawat inap HIV, tetapi jika bukti tidak dipublikasikan, tidak dapat dipandang sebagai praktek terbaik untuk menerapkan EBP dalam perawatan HIV/AIDS.

6. Menjadi termotivasi. Gibbs menyatakan bahwa bagi mereka pekerja social, motivasi kearah EBP mungkin akan datang dari dedikasi kami untuk tidak merusak, ketetapan kami untuk membuat keputusan praktek yang lebih baik, dan komitmen kami untuk berkolaborasi dengan klien-klien kami, Mullen dan bacon (2000) menemukan bahwa pekerja sosial terbuka untuk

menggunakan petunjuk praktik dan praktik informasi empiris sepanjang ini dirasakan adalah menolong pasien. Praktik yang berbasiskan bukti ini dapat menyediakan sebuah sumber pengetahuan klinis yang memperbaiki praktik. Ini memberi kita peluang untuk mengkombinasikan yang terbaik dari ilmu pengetahuan tersedia dengan pengalaman klinis kepada pelayanan yang lebih baik sebuah variasi luas klien-klien.

7. Standar pelayanan. Standar pelayanan adalah alat referensi yang penting untuk profesi dan pelayanan sebagai bukti praktik yang terbaik. Petunjuk ini cenderung mudah dioperasikan dan lebih mudah diakses praktisi dibandingkan dengan penemuan riset yang dipublikasikan di jurnal. Petunjuk praktik klinis sering diformulasikan organisasi profesi dan agensi-agensi pemerintahan, meresepkan bagaimana klinisi menilai dan mengobati klienklien. Terkadang petunjuk berdasarkan pada temuan riset, tetapi seringkali

ini tergantung dari consensus profesional. Sebuah contoh utama adalah judul 1 Ryan White Standar Pelayanan Untuk Manajemen Kasus. Komite Pengiriman Pelayanan dari New Orleans konsil pelayanan AIDS regional mengembangkan petunjuk praktik melalui konsensus. Komite terdiri dari agensi dan wakil praktisi, sebaik anggota komunitas yang terpengaruhi, menggunakan sebuah kombinasi teori. Bukti riset yang dipublikasikan, pengalaman praktik, konsultasi ahli, dan data penggunaan pelayanan diperoleh secara lokal untuk menciptakan dokumen.

8. Konsultasi, pelatihan dan melanjutkan pendidikan. Pekerja sosial cenderung lebih bergantung pada konsultasi daripada meninjau ulang literature professional. Pekerja-pekerja sosial mencari arahan dan petunjuk dari supervisor dan konsultan-konsultan lain dan otoritas yang dihormati, kebijaksanaan praktik, dan pengalaman. Sumber-sumber penting untuk penyebaran pengetahuan praktik yang berbasiskan bukti di dalam agensi-agensi kerja sosial, kemudian, adalah kolega-kolega yang menggunakan riset praktik dan/ atau dekat dengan literatur terkini. Sedang bertugas, program pelatihan, sertifikat dan pekerja pendidikan dan sertifikat, dan konfrensi adalah jalan-jalan unggul untuk pekerja-pekerja sosial dan pelayan kesehatan lain berhubungan untuk menjadi informasi intervensi mendukung empiris. Beberapa modul pembelajaran cukup dalam waktu ada online, melalui universitasuniversitas, license tubuh, organisasi professional, atau agensi untuk profit, seperti perusahaan farmaseutik.

9. Kerjasama dengan sekolah pekerja sosial Terlepas dari konsultasi dan pendidikan/atau program-program pelatihan, sekolah-sekolah dari kerja social menyediakan akses ke referensi perpustakaan dan materi-materi jurnal dan dapat membantu agensi-agensi dalam program dan evaluasi pelayanan. Fakultas

mempunyai keahlian riset yang mana dapat menjadi nilai bagi agensi dan

klinisi otonomik, dan sering memiliki mahasiswa master dan doctor ada untuk menyimpan dan menganalisis data. Pelayanan ini tersedia sebagai evaluasi program formal atau asisten informal. Mencatat di dalam

literature adalah pusat riset bebasis universitas dalam kebijakan yang berkembang dan praktik yang berbasis bukti.

Dosis Satu Kali Sehari: Apakah Keuntungan Melebihi Kepentingan?

Paul Monier, MD

Tidak ada keraguan bahwa HAART (highly active antiretroviral teraphy) telah memberikan pengaruh yang baik dalam pengobatan pasien yang terinfeksi HIV. Pasien-pasien yang bisa mematuhi dan menoleransi obat antiretroviral jelas mendapat manfaat dalam perkembangan gejala dan penyakit. Bagaimanapun, respons yang baik ini sering dikacaukan oleh

kompleksnya jadwal pemberian obat, serta oleh toksisitas dari agen antiviral. Faktor-faktor ini menyebabkan ketidakpatuhan, reratanya sekitar 50%. Maka dari itu, tujuan utama pengobatan infeksi HIV telah disederhanakan dari jadwal pemberian obat yang rumit yang telah umum dalam pengobatan penyakit ini. Beberapa cara telah ditempuh, termasuk pengobatan kombinasi, perkembangan obat yang waktu paruhnya lebih panjang, dan pemanfaatan interaksi farmakokinetik antar obat untuk mendorong jumlah obat, dan memungkinkan pengurangan frekuensi pemberian obat, serta mempermudah pemberian obat. Dua strategi terakhir ini memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dosis satu kali sehari dari HAART, yang belakangan ini menjadi lini pertama sebagai cara lain untuk mencapai kepatuhan yang lebih besar. Kepatuhan suboptimal terhadap pengobatan adalah halangan paling utama untuk mencapai hasil yang maksimal dalam mengobati pasien HIV. Kurangnya kepatuhan, tidak hanya berujung pada tak cukupnya tekanan terhadap virus, tetapi juga dapat mengakibatkan peningkatan resiko terjadinya resisitensi obat pada

pasien tersebut, yang akhirnya malah membatasi pilihan pengobatan. Umumnya angka pemenuhan sebesar > 95% dibutuhkan untuk kemanjuran optimal dari HAART. Pada satu studi, angka dari kegagalan virologis, didefinisikan sebagai jumlah RNA virus HIV > 400 kopi/ml, 30% lebih tinggi pada pasien yang tingkat kepatuhannya 90-95% terhadap pengobatan mereka dibandingkan pasien yang tingkat kepatuhannya > 95%. Seperti yang diharapkan, persentase hasil yang sukses menurun apabila pemenuhan menurun. Pasien mengatakan banyak alasan mengapa mereka tidak bisa patuh terhadap pengobatan mereka, termasuk kelupaan, jadwal pemberian dosis obat yang merepotkan, obat dengan rasa pahit, intoleransi obat, maupun efek samping obat. Angka kejadian lebih tinggi pada penyakit mental dan penyalahgunaan obat sering terlihat pada populasi yang terinfeksi HIV hanya ditambahkan ke masalah tidak dipenuhinya. Diharapkan bahwa dosis satu kali sehari dari HAART akan memiliki dampak positif terhadap kepatuhan dengan cara langsung mempengaruhi masalah yang berhubungan dengan pengobatan seperti dosis yang merepotkan, sama juga dengan menyediakan jadwal pengobatan yang bisa dipahami oleh pasien-pasien yang tidak patuh. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dosis satu kali sehari dalam pengobatan hipertensi adalah lebih baik daripada pemberian dosis dua kali sehari tetapi lebih besar dosisnya untuk sediaan obat-obat yang harus diminum tiga kali sehari, dimana keakuratan dari waktu pemberian dosis lebih baik pada kelompok yang diberi dosis satu kali sehari daripada yang terlihat pada kelompok yang diberi dosis dua kali sehari. Hasil yang sama telah ditunjukkan dalam studi kepatuhan pasien yang diberi obat diabetes. Apakah ini bisa diramalkan pada penggunaan obat antiretrovirus, hanya tinggal dilihat saja nanti. Selain itu, pasien HIV harus mengerti bahwa ketidakpatuhan adalah suatu masalah multifaktorial dan walaupun selangkah menuju arah yang benar, pemberian dosis satu kali sehari bukanlah peluru ajaib yang menyelesaikan masalah kepatuhan ini. Angka penggunaan dosis satu kali sehari belakangan ini telah meluas dan akan terus berlanjut. Obat yang diterima FDA (food and drug administration) tersedia untuk dosis satu kali sehari untuk mengobati infeksi HIV, termasuk efavirenz, didanosin, tenofovir, dan amprenavir ketika dikombinasikan dengan

ritonavir dosis rendah (RTV). Obat yang baru-baru ini diterima FDA untuk dosis dua kali sehari tetapi masih belum dievaluasi untuk pemberian satu kali sehari adalah lamivudin, nevirapin, protease inhibitor lain yang bersifat RTV-boosted, dan abacavir. Obat yang diperiksa untuk dijadikan obat yang diberi satu kali sehari termasuk azatanavir, stavudin XR, dan emtricitabin. Beberapa studi menyebutkan keberhasilan menggunakan beberapa kombinasi dari obat-obat yang tersedia dalam mengobati infeksi HIV, dan data lainnnya sedang dikembangkan. Beberapa kombinasi yang melibatkan dua NRTI (nucleoside reverse trancriptase inhibitor) dengan salah satu dari NNRTI (non nucleoside reverse trancriptase inhibitor) atau satu RTV-boosted protease inhibitor (PI) dari Tabel 1 bisa digunakan bisa digunakan untuk membuat regimen satu kali sehari antiretrovirus. Harus diingat, bagaimanapun, tenofovir dan didanosin hanya digunakan bersamasama secara hati-hati, karena bisa terjadi interaksi yang mengakibatkan peningkatan level toksisitas didanosin. Studi paling banyak tentang kombinasi satu kali sehari melibatkan efavirenz, didanosin, dan lamivudin. Dalam satu studi kohort, 77% dari 75 pasien mencapai RNA virus HIV sebanyak 50 kopi/ml dengan kejadian bersamaan dengan peningkatan CD4 menjadi 199/ml. Hasil yang sama dilaporkan pada percobaan lain yang mengevaluasi regimen yang sama pada 40 pasien. Beberapa regimen RTV-boosted protease inhibitor telah dievaluasi menggunakan beberapa kombinasi yang berisi ritonavir dosis rendah ditambahkan ke amprenavir, ssaquinavir, indinavir, atau lopinavir. Sebagai tambahan, regimen tripel NRTI satu kali sehari ditambah abacavir berkembang sama baiknya. Manfaat dari dosis satu kali sehari HAART jelas. Pemberian dosis yang lebih jarang menyebabkan peningkatan kepatuhan dan hasil akhir yang lebih baik. Sebagai tambahan, untuk meningkatkan gejala-gejala yang berhubungan dengan penekanan virus, banyak pasien juga diharapkan memilikatan peningkatan efek psikologis yang dihasilkan dari dampak penggunaan dosis satu kali sehari terhadap gaya hidupnya, demikian juga rasa nyaman karena pengobatan menjadi lebih mudah. Keuntungan lainnya, pada beberapa kasus, penurunan biaya dan kemampuan yang lebih besar untuk menyediakan DOT (directly observed therapy), yang telah dibuktikan berguna dalam populasi tertentu seperti pada

pasien-pasien yang dipenjara dan yang menjalani program rehabilitasi obatobatan. Tidak ada strategi pengobatan baru yang dilakukan tanpa perhatian dan tidak terkecuali HAART dosis satu kali sehari ini. Yang pertama sekali, kurangnya data untuk menyokong penggunaannya sebagai pengobatan optimal untuk kemanjuran dan daya tahan penekanan virus saat dibandingkan dengan dosis standar. Sehubungan dengan ini data pendahuluan muncul beragam, namun kebanyakan didasari oleh studi observasional kohort. Randomized comparative trials dibutuhkan untuk menangani masalah ini. Sampai lebih banyak data yang tersedia, penyedia bisa jadi ingin selektif dalam memilih pasien yang diberi resep satu kali sehari, berfokus pada mereka yang berpenyakit kurang parah atau mereka yang gaya hidupnya menggunakan dosis yang lebih sering. Pertanyaan umum lainnya yang sering ditanyakan sehubungan dengan dosis yang tidak dimakan. Jika seorang pasien yang mendapat HAART satu kali sehari lupa

jadwal pengobatannya, interval 48 jam bisa berlalu antar dosis, berpotensi untuk mempermudah replikasi virus dan memungkinkan terbentuknya resistensi ketika jumlah obat dibawah level IC50 (half maximal inhibitory concentration) untuk obat tersebut. Karena hal ini, disarankan obat-obat yang memiliki waktu paruh panjang dan dimaafkan jika dosisnya terlupa harus digunakan saat membentuk tipe obat ini. Contoh obat ini berupa NNRTI evafirenz dan nevirapin, dan juga amprenavir saat ditambah dengan ritonavir. Berdasarkan model farmakokinetik, dosis yang terlupa tidak lagi menjadi masalah dengan obat ini ketika digunakan satu kali sehari daripada dosis standar yang digunakan. Namun, konsep dimaafkan ini tidak sepenuhnya dimengerti dan dampak klinis dosis yang terlupa untuk obat satu kali sehari tidak diketahui dan akan lebih rumit dikarenakan keberagaman pasien, peranan kandungan intraseluler dari obatobatan, dan interaksi obat-obatan. Hal lain yang perlu diperhatikan dari HAART satu kali sehari ini adalah beban biayanya. Khususnya masalah dengan obat PIbased, yang bisa jadi dibutuhkan sebanyak dua belas pil sekali minum. Apakah ini merupakan perbaikan terhadap dosis standar PI, yang biasanya membutuhkan lima sampai enam pil diminum dua kali sehari, tetap terlihat. Untuk obat NNRTI

10

based, masalah pil bukanlah suatu masalah, meskipun tidak ada studi yang menunjukkan apakah empat sampai lima pil sekali minum sehari merupakan perbaikan terhadap satu pil yang diminum dua kali sehari, yaitu trizivir. Banyak klinisi juga bertanya apakah minum lebih banyak pil sekali sehari akan dikaitkan dengan kejadian efek samping yang lebih besar. Sepertinya masuk akal jika kita berharap bahwa obat PI based dikaitkan dengan efek samping gastrointestinal yang lebih banyak, seperti mual dan muntah. Dalam studi yang membandingkan HAART satu kali sehari yang mengandung ritonavir-ditambahn saquinavir, dengan obat berbasis efavirenz, ada tingkat ketidaklanjutan yang meninggi secara signifikan dalam saquinavir-ritonavir dilengakapi dengan 34% pasien-pasien yang mengalami mual, muntah, atau diare. harus dicatat bahwa tingkat keracunan lebih sering terjadi pada penggunaan formula soft gel saquinavir. Hal ini mengarahkan ke pada ketertarikan baru dalam penggunaan invirase (the hard gel formula saquinavir) sebagai pengganti fortavas, dicampur dengan ritonavir, obat yang sedikit memuunculkan keluhan gastrointestinal. Perkembangan dosis HAART satu kali sehari ini adalah kemajuan positif dalam pengobatan pasien yang terinfeksi HIV. Jadwal pengobatan yang rumit dan efek samping pengobatan telah merubah keberhasilan yang luar biasa yang terlihat pada pasien yang mampu mematuhi dan menoleransi HAART. Dan meskipun perbaikan pada penekanan virus, respon imunologis, dan gejala-gejala jelas diinginkan, seringnya diperoleh pada kualitas hidup yang diperoleh dari pengeluaran kualitas hidup yang dipengaruhi oleh jadwal dosis, beban biaya, dan efek samping. Dosis satu kali sehari secara potensial berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Namun, sebagaimana strategi pengobatan yang baru, ada perhatian nyata dan HAART sekali sehari harus digunakan secara bijaksana. Seseorang tidak ingin mengorbankan kemanjuran obat dari pada kenyamanan. Selain itu, ya atau tidaknya pil yang diminum lebih banyak dalam satu hari akan mengarah ke kepatuhan yang lebih baik dari pada lebih sedikit pil yang diminum dua kali sehari tidak jelas. Seperti kebanyakan keputusan yang harus dihadapi dalam mengobati pasien terinfeksi HIV, pilihan untuk menggunakan terapi satu kali sehari perlu

11

didasarkan pada karakteristik individual pasien dan kemungkinan akan cocok untuk beberapa orang, namun kurang ideal bagi yang lain.

Risiko Komplikasi Prosedur Invasif pada Pasien HIV

Kishore Shetty, DDS

Komplikasi dapat berasal dari prosedur dental pada setiap orang yang sehat. Banyak literatur yang menyatakan tentang risiko pemanjangan pendarahan paska operasi, luka yang lambat sembuh, alveoiltis, luka oral atau infeksi jauh, sebagai akibat dari prosedur dental. Akan tetapi, publikasi ilmiah mengenai prosedur oral yang dapat meningkatkan risiko di atas pada pasien HIV, sangat terbatas. Pada tahun 2000, Healthcare Research menyimpulkan bahwa hanya beberapa studi yang melaporkan mengenai risiko prosedur oral pada pasien HIV, yaitu terapi saluran akal dan ekstraksi sederhana.

Ekstraksi Dental Pasien imunokompeten biasanya tidak mampu mencegah, mengontrol, dan memberikan respon imun yang tepat ketika terkena trauma eksternal. Hal ini menyebabkan risiko komplikasi pos-surgikal lebih besar pada pasien

imunokompeten. Begitu pula pada pasien HIV, prosedur ekstrasi dental memiliki risiko komplikasi lebih tinggi dibandingkan pada pasien umum. Pada tahun 1997, Dodson melaporkan hasil studi prospektif bahwa tidak ada perbedaan risiko komplikasi yang signifikan antara pasien positif HIV dengan pasien HIV negatif setelah ekstrasi gigi, di rumah sakit Memorial, Atlanta. Prevelensi komplikasi pos-ekstraksi bervariasi, mulai dari pendarahan persisten, nyeri persisten, alveolitis terlokalisasi, infeksi lokal, dan perlambatan

penyembuhan luka. Namun, studi retrospektif Veteran Affairs Medical Center, San Fransisco (1988-1989) oleh penulis yang sama, menemukan bahwa risiko komplikasi pada

12

pasien HIV positif lebih tinggi, dan semakin meningkat seiring meningkatknya supresi imun pada pasien tersebut. Ketika hasil ini disesuaikan dengan umur, penggunaan rokok, dan antibiotik pre-operatif, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Oleh karena itu, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa komplikasi pos-operatif cenderung minimal.

Operasi Gigi Palsu Dari sedikit penelitian yang menerangkan tentang gigi palsu pada pasien HIV, secara umum memperlihatkan bahwa operasi ini dapat berlangsung dengan sukses. Para ahli memperkirakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan untuk komplikasi pemasangan gigi palsu pada pasien HIV dan pasien umum.

Endodontik dan Bedah Apeks Endodontik dan bedah apeks pada pasien HIV positif harus

mengkondisikan dengan beberapa aspek, seperti gejala yang ada, gigi yang terkena, kondisi oral pasien, dan level supresi imun. Insisden komplikasi dari endodontik konvensional pada pasien HIV sama dengan pasien umum. Oleh karena itu, tidak ada peringatan khusus yang disyaratkan pada pasien HIV, begitu pula antibiotik profilaksis dan anti-inflamatori, tidak disyaratkan.

Terapi Periodontal Terapi untuk lesi periodontal sedikit kompleks, mulai dari tujuan untuk sekedar mengontrol nyeri, pendarahan gingival akut pada proses kronik, sampai pada eliminasi agen penyebab infeksi, pencegahan destruksi jaringan, dan promosi kesehatan gingival. Terapi standar yang biasa dilakukan adalah terapi mekanikal lokal, administrasi antibiotik, dan memelihara oral hygiene. Meskipun terapi mekanik lokal dapat menyebabkan bakterimia iatrogenic, namun ini tidak akan meningkatkan risiko sepsis.

13

Panduan perencanaan pengobatan yang digunakan oleh penyedia layanan gigi yang melayani perawatan pasien infeksi HIV Dalam riwayat medis harus dimasukkan penentuan jumlah CD4 dan viral load dan semua obat yang diambil pasien. Semua prosedur bedah harus dilakukan dengan meminimalisasi perdarahan dan menghindari perkenalan pathogen oral ke dalam wajah dan rongga oral yang lebih dalam. Antibiotic harus digunakan secara bijaksana pada pasien HIV. Keputusan klinis untuk memberikan terapi antibiotic harus dibuat berdasarkan individu masing-masing. Antibiotic profilaksis merupakan kontraindikasi. Jika jumlah neutrofil pasien <500 sel/mm3, pelayan gigi harus memberikan antibiotic sebelum dan sesudah operasi dengan konsultasi kepada penyedia layanan primer. Bagi pasien HIV dengan kelainan katup jantung atau indikasi lain yang dapat meningkatkan resiko endokarditis bacterial, dokter gigi harus menggunakan protocol standar oleh American Dental Association dan American Heart Association. Bedah oral harus ditunda jika mungkin apabila kadar hemoglobin menurun hingga 7 g/dL atau lebih rendah lagi. Pemanjangan waktu perdarahan (>9 menit) mengindikasikan dilakukannya pemeriksaan fungsi platelet secara kulitatif dan kuantitatif. Pilihan ekstraksi gigi pada pasien HIV dengan jumlah platelet <50.000/mm3 harus diundur hingga penyedia layanan primer dapat berkonsultasi dan strategi pengobatan yang tepat dapat diambil. Pengobatan lesi periapikal harus segera dan cepat pada pasien HIV, untuk menghindari kekambuhan penyakit.

14

Seringnya zat terlarang berinteraksi dengan agen antiretroviral

Tina Edmunds-Ogbuokiri, PharmD, FASCP

Laporan terakhir dalam literature telah membawa banyak perhatian dalam interaksi yang mengancam jiwa, termasuk kematian, yang dapat terjadi ketika protease-inhibitor dikombinasikan dengan obatan terlarang seperti ekstasi (MDMA) dan GHB (gamma hydroxybutarate). Meskipun protease inhibitor sangat membantu dalam prognosis pada banyak pasien infeksi HIV, mereka berhubungan dengan sejumlah efek samping termasuk meningkatkan kadar glukosa di serum, trigliserida, lipodystrophy, hepatitis, nefrolitiasis dan banyak efek samping pada gastrointestinal. Sebagai tambahan, protease inhibitor dapat menyebabkan efek samping yang serius dan interaksi ketika dikombinasikan dengan zat lain, termasuk zat terlarang, yang metabolismenya diubah sebagai hasil dari efek inhibisi PI pada system enzim cytochrom P$%). Zat terlarang umumnya disalahgunakan seperti kokain, ekstasi, mariyuana, metampetamin, heroin, metadon, ketamine, Kristal dan GHB. Sebagai hasil banyak sekali efek samping yang mengikuti penggunaan zat-zat ini, kombinasi zat ini dengan protease inhibitor terutama meningkatkan kemungkinan overdosis oleh zat ini seperti ekstasi. Kokain dilaporkan meningkatkan kecepatan replikasi HIV ketika dikombinasikan dengan protease inhibitor dan dengan mariyuana meningkatkan level tetrahydrocannabinoids dalam darah. Karena kombinasi metampetamin dengan ritonavir (Norvir) menyebabkan peningkatan potensi ritonavir, dua atau tiga kali, kemungkinan overdosis metampetamin meningkat. Seiring penggunaan ketamine dengan protease inhibitor menyebabkan hepatitis, sementara ritonavir menurunkan kadar plasma heroin sebanyak 50%.

15

Potensi methadone berkurang dalam kehadirannya bersama ritonavir, indinavir ( Crixivan) dan nevirapin (viramune), sementara methadone meningkatkan potensi ritonavir sebanyak 50%. Nevirapine menurunkan kadar plasma methadone dan mencetuskan withdrawal opiate pada pasien yang meneruskan methadone bagi kecanduan narkoba. Banyak studi dilaporkan menurunkan jumlah absorbsi stavudine (Zerit) dan didanosine (Videx) dari saluran cerna kedalam aliran darah dengan hadirnya methadone. Table 1 memberikan informasi efek samping yang paling banyak menyebabkan kekambuhan dengan penggunaan ekstasi atau MDMA, obat kuat jalanan baru-baru ini berhubungan dengan interaksi fatal ketika dikombinasikan dengan ritonavir.

Interaksi obat antara analgesic opioid dan protease inhibitor sebagai agen antiretroviral Banyak opiate merupakan substrat enzim CYP450, ketika dikombinasikan dengan enzim CYP450 inhibitor seperti protease inhibitor, eritromicin dan claritromicin, menandai peningkatan kadar serum dapat terjadi, pasien harus dimonitor apakah terjadi oversedasi dan dosis inisial harus diturunkan sebanyak 50%. Pasien penyalahgunaan obat opiate memiliki resioko toksisitas ketika dikombinasikan dengan agen ini dan harus mendapat konsul secara tepat. Table II menginformasikan jalur metabolic dari penyalahgunaan obat secara potensial mempengaruhi penggabungannya dengan protease inhibitor.

16

Tabel 1: efek samping ekstasi (MDMA) yang mungkin kambuh ketika digunakan dengan obat konvensional dengan efek samping yang mirip Bradikardia Pingsan Euforia Disforia Sakit Kepala Insomnia Mengantuk Gatal Ruam Penurunan libido Mual dan muntah Retensi urin Gangguan penglihatan Depresi pernafasan Ketergantungan fisik dan psikologis

HIV pada Kehamilan : Informasi Terbaru Mengenai Rekomendasi yang Sekarang Dipergunakan

Ronald D. Wilcox, MD

Pada tanggal 20 November 2002, CDC mengeluarkan versi terbaru dari rekomendasi penggunaan antiretrovirus pada kehamilan. Berikut ini kesimpulan dari laporan tersebut.

17

Saat memutuskan pemberian regimen penatalaksanaan pada wanita hamil, perlu diperhitungkan keuntungan dan risiko efek yang tidak diinginkan terhadap fetus, neonatus, dan wanita hamil tersebut. Pada Februari 1994, PACTU (The Pediatric AIDS Clinical Trials Unit) memperkenalkan hasil dari Protokol 076, yaitu regimen yang menggunakan AZT saja, memulai terapi dengan oral AZT setelah trimester I, kemudian intravena AZT selama proses persalinan, diikuti dengan oral AZT untuk bayi selama 6 minggu awal kehidupan. Protokol ini menunjukkan 70% penurunan transmisi ke bayi dari 22,6% ke 7,6%. Insiden AIDS pada anak telah menurun secara drastis sejak publikasi dari laporan ini. Monoterapi selama kehamilan adalah standar terapi selama beberapa tahun, tetapi dari data terbaru, standar terapi sekarang adalah terapi kombinasi. Rekomendasi terbaru tersebut dirancang utama untuk penggunaan di AS sekarang ini.

Tabel 2. Jalur Metabolisme Obat yang Sering Disalahgunakan Akibat Terpengaruh Protease Inhibitor Human Immunodeficiency Virus-1 (diadaptasi dari Harrington, 1999) Obat Yang Sering Disalahgunakan Jalur Metabolik Yang Digunakan (Isoenzim P450) Opiat Methadone, Alfentanyl, Fentanyl Meperidine Codeine, Hydrocodone, Oxycodone Heroin, Morphine, Hydromorphone Propoxyphene (Darvon) Benzodiazepine Diazepam (Valium) Alprazolam, Clorazepate, Sitokrom P450 (CYP3A4, CYP2C19) Estazolam, Sitokrom P450 (CYP3A4) Sitokrom P450 (CYP3A4) Sitokrom P450 (CYP3A4?) Sitokrom P450 (CYP2D6) Glucoronidasi? Sitokrom P450 (CYP2D6)

Flurazepam, Midazolam, Triazolam Obat Lain Yang Rentan untuk Disalahgunakan

18

Marijuana,

Dronabinol,

Zolpidem, Sitokrom P450 (CYP3A4) Sitokrom P450 (CYP3A4) Hidrolisis oleh Plasma Kolinesterase

Slidenafil (Viagra)* Kokain**

*AUC dari Slidenafil (Viagra) dapat ditingkatkan 2-11 kali oleh semua protease inhibitor; pasien sebaiknya tidak melebihi 25 mg dalam periode 48 jam. **Kokain meningkatkan kecepatan di mana HIV-1 virus bereplikasi dan memperburuk prognosis secara keseluruhan dengan menghilangkan efek positif yang dibuat oleh terapi antiretroviral. Metabolisme kokain seharusnya tidak dipengaruhi oleh protease inhibitor.

Rekomendasi berdasarkan pilihan antiretrovirus untuk terapi harus mempertimbangkan dosis yang cocok untuk perubahan fisiologis karena kehamilan, efek obat yang mungkin terjadi pada wanita hamil dan fetus. Keputusan harus dibuat setelah mendiskusikan mengenai risiko baik yang telah diketahui mungkin terjadi maupun yang belum diketahui akan terjadi dengan pasien hamil tersebut. Selama kehamilan, waktu saluran cerna melambat; lemak dan kandungan cairan tubuh meningkat yang kemudian akan meningkatkan aliran darah ke organ; kadar plasma protein menurun; dan ada perubahan pada fisiologi hati dan ginjal. Kerusakan yang mungkin terjadi kepada fetus tergantung pada tipe obat, jumlah yang dikonsumsi, jumlah yang melewati plasenta, usia gestasi terpapar dan genetik ibu dan anak. Data yang ada masih terbatas seperti efek jangka panjang dari paparan antiretrovirus ke fetus, termasuk kemungkinan sifat karsinogen. Rekomendasi sekarang untuk inisiasi antiretrovirus pada pasien wanita hamil bergantung kepada parameter yang sama dengan wanita yang tidak hamil atau dengan pasien yang viral load 1000 kopi/ml tanpa melihat status imunologik atau status klinis. Satu penelitian menunjukkan penurunan transmisi HIV dari 9,8% ke 1,0% pada wanita dengan batas viral load kurang dari 1000 kopi/ml saat terapi antiretrovirus, biasanya termasuk monoterapi AZT pada pasien yang diseleksi (kelompok studi penelitian). Transmisi melalui plasenta AZT adalah sangat baik, sementara antiretrovirus lain bervariasi, menyebabkan

19

rekomendasi bahwa semua regimen yang dulu digunakan untuk penatalaksanaan pada kehamilan harus memasukkan AZT jika memungkinkan. AZT

dimetabolisme di dalam plasenta menjadi bentuk trifosfat aktifnya, yang menjelaskan efek protektif daripada hanya menurunkan viral load ibu. Hal ini mungkin unik ke AZT; hal ini tidak ditemukan dalam penelitian ddI atau ddC. Inisiasi mungkin bisa ditunda sampai gestasi 10 minggu - 12 minggu pertama. Terapi dual nukleoside baik protease inhibitor atau non-nukleoside reverse transcriptase inhibitor sebaiknya diberikan sebagai standar terapi, dengan regimen mono atau dual terapi pada wanita dengan baseline viral load < 1000 kopi/ml. Terapi dengan efavirenz harus dihindari selama 12 minggu awal karena telah diketahui teratogenik signifikan yang terlihat pada macaques rhesus. Wanita yang sedang menggunakan terapi dengan supresi viral load yang baik (<1000 kopi/ml) saat konsepsi harus melanjutkan regimen terapi mereka, menghindari efavirenz, dengan mempertimbangkan penambahan atau penggantian AZT pada regimen. Wanita yang virusnya tidak tersupresi dengan baik dengan regimen, harus mengikuti tes resistensi mempertimbangkan dan mengubah regimen mereka untuk menurunkan viral load kurang dari 1000. Wanita yang tidak mengikuti prenatal care ataupun perawatan prenatal minimal dengan tidak ada prioritas terapi pada saat persalinan memiliki empat pilihan penatalaksanaan yang direkomendasikan: dosis tunggal nevirapine saat persalinan dengan dosis tunggal diberikan pada neonatus usia 48 jam; oral AZT dengan 3TC selama persalinan dengan 1 minggu terapi kombinasi dengan bayi; intravena AZT intrapartum dengan 6 minggu AZT untuk bayi; atau kombinasi dari pilihan terapi pertama dan ketiga yang disebutkan di atas. Ketiga regimen di awal adalah berdasarkan studi terdahulu menunjukkan pengurangan transmisi sedangkan regimen terapi keempat adalah regimen teoritis. Dengan fokus penggunaan 2 dosis nevirapine, terjadinya mutasi resitensi terhadap NNRTI pada 19% wanita yang tidak menggunakan antiretroviral dan 15% pada mereka yang telah menggunakan antiretroviral tapi menerima tambahan dosis nevirapine berhubungan dengan viral load lebih tinggi dan jumlah CD4 lebih rendah.

20

Perubahan besar pada rekomendasi terbaru ini adalah pada bagian tes resistensi. Insiden mutasi resistensi pada terapi pasien tanpa antiretrovirus bervariasi berdasarkan tipe pemeriksaan dan area geografis. Frekuensi rata-rata mutasi resisten gen RT adalah > 10% pada area survei di Belahan Barat dengan resistensi primer protease inhibitor memiliki rentang 1-16%. The International AIDS Society USA Panel and EuroGuidelines Group for HIV-1 Resistance merekomendasikan bahwa semua wanita hamil dengan viral load yang terdeteksi (biasanya > 1000 kopi/ml) dilakukan tes resistensi dengan tujuan untuk memaksimalkan efikasi dari terapi. Ada beberapa fokus dengan penggunaan antiretrovirus dalam kehamilan. Penelitian retrospektif Swiss pada 37 wanita hamil yang terinfeksi HIV menunjukkan kelahiran prematur 10 dari 30 kehamilan. Jumlah ini tidak berbeda antara wanita yang menerima terapi dengan protease inhibitor dengan yang tidak menerima. The European Collaborative Study and the Swiss Mother + Child HIV1 Cohort Study meneliti 3.920 ibu-anak; terdapat peningkatan 2,6 kali kelahiran prematur pada pasien dengan HAART yang menggunakan antiretroviral sebelum kehamilan memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar mengalami kelahiran prematur dibandingkan wanita yang memulai terapi HAART pada trimester III. Penelitian yang bertentangan di AS yang dilakukan PACTU pada 1.472 wanita dengan 78% yang menerima HAART selama kehamilan menunjukkan tidak ada hubungan dengan kelahiran prematur; jumlah yang lebih tinggi pada wanita yang tidak menerima terapi antiretroviral. Terapi HAART dengan protease inhibitor (PI) berhubungan dengan perkembangan hiperglikemia dan terjadinya eksaserbasi diabetes mellitus, seperti pada kehamilan. Belum diketahui saat ini apakah ada peningkatan insidensi komplikasi pada pasien hamil yang menggunakan regimen PI. Sebagai fokus juga adalah perkembangan toksisitas mitokondria dari analog nukleosida, dengan

insiden terjadi secara urutan menurun dengan ddC > ddI > d4T > 3TC, AZT, dan abacavir. Beberapa gangguan klinis yang berkaitan dengan toksisitas mitokondria termasuk kardiomiopati, neuropati, asidosis laktat, steatosis hati, pankreatitis, dan miopati. Asidosis laktat dan steatosis hati menunjukkan peningkatan insiden pada

21

wanita. Pada tahun 1999, peneliti asal Italia melaporkan kematian fetus pada usia gestasi 38 minggu pada wanita yang menggunakan terapi d4T-3TC dengan asidosis laktat yang berat. Telah dilaporkan tiga kematian ibu karena asidosis laktat pada terapi kombinasi dengan d4T ddI; semua wanita dengan regimen

ini saat konsepsi dan melanjutkan terapi selama kehamilan. Perhatian dengan monitoring langsung harus diberikan pada wanita yang tetap menggunakan regimen selama kehamilan. Penggunaan AZT seperti yang telah dijelaskan di awal untuk menurunkan angka transmisi. Data dari The Antiretroviral Pregnancy Registry tidak menunjukkan peningkatan risiko abnormalitas kongenital antara wanita yang

menerima AZT dengan yang tidak menerima. Ada gangguan neurologis jangka panjang, pertumbuhan, atau perbedaan pertumbuhan pada anak yang tidak terinfeksi. Insiden transmisi berdasarkan tipe persalinan juga telah diteliti. Beberapa studi yang telah dilakukan sebelum pemeriksaan viral load lanjutan dan terapi HAART menunjukkan 55-80% pengurangan transmisi saat elective cesarean section dibandingkan dengan persalinan per vaginam. Data untuk non-elective cesarean section tidak menunjukkan pengurangan transmisi yang signifikan. Rekomendasi elective cesarean section bisa ditawarkan ke semua pasien hamil yang terinfeksi HIV dengan viral load lebih > 1000 kopi/ml pada saat persalinan. Morbiditas dan mortalitas ibu lebih besar pada operasi caesar (caesar section), jadi, ketika viral load ibu < 1000 kopi/ml, keputusan untuk operasi caesar bergantung kepada kriteria lain dan bukan HIV. Sebagai kesimpulan, laporan ini merekomendasikan penggunaan

antiretrovirus pada semua pasien hamil yang terinfeksi HIV. Pemeriksaan resistensi untuk wanita hamil dengan HIV dengan viral load yang terdeteksi sangat dianjurkan. Monoterapi AZT atau terapi dual seharusnya dipertimbangkan untuk wanita dengan baseline viral load < 1000 kopi/ml; semua harus menerima HAART dengan AZT sebagai salah satu komponen dengan tujuan viral load < 1000 kopi/ml saat persalinan. Evafirenz dan hydroxyurea harus dihindari selama trimester pertama dan ddI dan d4T bersama harus dipergunakan berhati-hati.

22

Operasi caesar harus ditawarkan kepada wanita tanpa penekanan viral load yang ideal saat mendekati persalinan

Pemahaman Interaksi-Interaksi Obat-Obat Dalam Penanganan HIV

Tina Edmunds-Ogbuokiri, PharmD, FASCP

Teknologi terkini pada decade-dekade terakhir ini telah menghasilkan dalam pengertian kita sebuah badan yang besar pengetahuan dan informasi berkaitan dengan isoenzime cytochrome p-450 yang ada pada tubuh manusia, dan itu menciptakan sebuah kewaspadaan dari banyak interaksi yang membahayakan kehidupan dengan obat-obat resep umum sebagai antihistamin dan cisapride yang lebih baru. Sebuah pengetahuan dasar subtrat, inhibitor dan penginduksi system enzim ini membantu penyedia dalam memprediksi interaksi obat yang bisa menjadi lebih bermakna secara klinis. Terpisah dari proses induksi dan inhibisi, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat termasuk penyakit hepar, status nutrisi, usia, kehadiran dari beberapa senyawa kimia endogen, dan polimorfik genetik. Sejauh ini, sebanyak 30 isoenzim cytochrom manusia telah ditemukan. Salah satu yang utama bertanggung jawab untuk sebuah mayoritas metabolisme termasuk CYP3A4, CYP2D6, CYP1A2 dan subunit CYP2C. Secara farmakologi ada 2 kelas besar interaksi obat, disebut farmakokinetik dan farmakodinamik interaksi obat. Interaksi dideskripsikan sebagai farmakokinetik ketika aksi dari satu obat yang mengubah konsentrasi serum dari obat lain oleh perubahan dari proses berikut: pembebasan obat, absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik dijelaskan secara sederhana sebagai interaksi-interaksi ini dapat mengubah respon klinis secara keseluruhan diharapkan penggunaan obat-obat yang mengubah efikasi dan sering toksisitas obat-obat. Ini dapat sinergis (Umumnya positif, contohnya respon antiretrovirus positif, lihat ketika zidovudine dikombinasikan dengan lamivudine) atau ini dapat

23

negative (antagonis, contohnya; penggunaan zidovudine dan ganciclovir menyebabkan supresi sumsum tulang tambahan atau penggunaan yang bersamaan dari d4T dan ddI yang menyebabkan neuropathy tambahan).

Mendefenisikan Farmakokinetik: Hubungan pada Interaksi Obat-Obat Farmakokinetik secara sederhana didefenisikan sebagai studi dari proses aksi obat melalui proses bervariasi dari pembebasan, absorption, distribution, metabolisme dan ekskresi, sering dikatakan sebagai sistem LADME. Sebagai sebuah hasil dari defenisi luas dan keterlibatan dari beberapa proses kunci, kemungkinan besar penuh dengan interaksi obat farmakokinetik potensial. Sebagai contoh, setiap keadaan yang merubah pH lambung dapat mempengaruhi absorpsi dari banyak obat. Ini secara khusus penting bagi pasien-pasien yang menerima terapi paliatif, banyak dari mereka bisa memiliki hypochlorhydria yang biasa dalam penyakit HIV tingkat lanjut dan AIDS dan dapat memimpin pada absorpsi suboptimal pengobatan yang bergantung pH seperti ketoconazole (Nizoral), itraconazole (Sporonox), dan indinavir (Crixivan). Karena fluconazole (Diflucan) sudah siap diserap bebas pH lambung, ini sering pilihan azole ketika sebuah antijamur azole diindikasikan untuk pengobatan dari beberapa infeksi oportunistik.

Interaksi Obat- Penyakit Interaksi obat dapat meningkat karena perubahan yang diakibatkan penyakit HIV itu sendiri. Karena orang yang terkena HIV maju dalam penyakit mereka, sering absorpsi oral makanan dan obat kompromi karena perubahan pH lambung yang menemani HIV enterohepatik, sebuah sindrom yang menjelaskan efek penyakit yang mempercepat HIV di dalam sistem pencernaan. Diare cenderung menjadi biasa dalam penyakit HIV dan dapat dihasilkan dari beberapa penyebab, yang namanya gangguan pencernaan yang mengikuti efek samping beberapa agen antiretrovirus yang paling biasa dipakai, dan kehadiran organisme oportunistik yang bersamaan, infeksi bakteri, protozoa dan virus yang cenderung menjadi lebih biasa sebagai kemajuan penyakit dan sistem imun melemah.

24

Terjadinya diare, khususnya kontrol yang jarang dan sering pada pasien dengan cryptosporodiasis (kesatuan sebuah penyakit yang mana hampir mungkin tereradikasi karena tidak ada agen-agen digunakan untuk pengobatan simtomatik menunjukkan manfaat persisten di dalam studi klinis), dapat membahayakan absorpsi dari seluruh obat-obatan karena waktu transit yang berkurang dan dapat menyebabkan regimen obat kurang bermanfaat. Ini akan memimpin sesudah itu kurang dari hasil klinis optimal dan dalam beberapa hal dapat mempengaruhi pasien pada level subterapi obat yang dapat mengabarkan bahaya strain virus yang resisten pasien yang masih menggunakan agen antiretrovirus. Orang-orang yang te rinfeksi HIV pada perawatan paliatif lebih mudah terserang dari peningkatan kerentanan kejadian yang merugikan, seperti insidensi yang lebih tinggi reaksi alergi pada sulfonamid dan obat-obat lain, daripada pasien-pasien tahap awal penyakit mereka. Komponen fisiologis yang lain dari penyakit HIV/AIDS yang meningkat termasuk malabsorpsi yang adalah tanda enterohepatik dan mempengaruhi pasien untuk berubah berat badannya yang sering merefleksikan perubahan volume sebaik distribusi baik lemak dan jaringan otot. Ini pada gilirannya dapat mempengaruhi manfaat yang berhubungan dosis, contohnya, agen-agen yang digunakan dalam pengobatan tuberculosis dan penyakit kompleks avium mikobakterium. Juga sering dilaporkan di tahap penyakit ini menurun albumin serumnya, yang mana pada gilirannya dapat

mengubah manfaat obat-obatan seperti phenytoin ketika digunakan dalam pengobatan pasien toxoplasmosis atau sulfamethoxazole ketika digunakan baik sebagai pengobatan dan juga profilaksis pneumonia carinii. Perubahan lain juga terjadi dalam metabolisme obat dengan penyakit maju. Ini termasuk perubahan-perubahan yang dikarenakan hepatitis, sering sebuah ko-infeksi di populasi ini, khususnya mereka pengguna obat-obat intravena (IVDUs), sebagaimana penyakit empedu membuat ini penting untuk mengatur kedua dosis, dan sering interval dosis ini, obat-obatan, yang mana dimetabolisme paling banyak melalui hati seperti rifampin, isoniazid,

ketoconazole, dan menjadi selektif dalam pemilihan. Perubahan-perubahan dalam eliminasi obat-obat juga terjadi dengan penyakit yang maju dan dapat secara

25

khusus penting untuk antiretrovirus bersih ginjal seperti zidovudine, lamivudine, didanosine, zalcitabine dan stavudine, agen-agen antivirus seperti ganciclovir dan cidofovir, agen-agen antijamur seperti amfotericin-B, dan agen-agen antibakteri seperti aminoglikosida. Perubahan-perubahan dalam status imun dapat mempengaruhi responrespon obat dalam pengobatan mikobakterium. (seperti tuberkulostatik) atau pengobatan infeksi oportunistik (seperti kompleks mikobakteriun avium) telah sering dilaporkan pada pasien-pasien dengan p enyakit maju. Sebagai sebuah

peraturan umum, terdapat sebuah insidensi yang meningkat toksisitas obat begitu juga sensitivitas obatnya, sebagai contoh dengan penggunaan neuroleptik (chlorpromazine dan prochlorperazine), yang dapat mengharuskan sebuah pengurangan dosis yang disarankan yang biasanya agar mencegah toksisitas yang tak semestinya.

Kapan Mencurigai Interaksi Obat-Obat pada Seorang Pasien dengan Penyakit HIV

Sebagai sebuah peraturan umum, pasien-pasien yang mengalami keracunan yang berlebihan pada dosis biasa pengobatan atau manifestasi gagal pengobatan, di dalam ketiadaan faktor-faktor seperti resistensi atau kesetiaan minum obat yang buruk, mungkin menderita dari sebuah interaksi obat yang tak teridentifikasi. Dalam rangka memantau seperti interaksi obat, tinjauan yang hatihati dari profil pengobatan pasien dibutuhkan. Klinisi seharusnya akrab dengan agen-agen yang paling sering berhubungan dengan interaksi obat-obat yang signifikan dan mengukur untuk mengelakkan ini ketika perlu. Regimen dengan penginduksi enzim-enzim seperti rifampin atau penghambat enzim seperti ritonavir harus dicatat dan diperiksa melawan sebuah daftar dari agen-agen yang dimetabolisme oleh beberapa jalur enzim yang sama. Untungnya, mayoritas interaksi obat-obatan adalah minor dalam alam dan tidak membutuhkan perubahan luas pada regimen obat pasien. Namun, populasi minoritas dari interaksi obat dapat menjadi penting secara klinis dapat menutupi

26

tujuan pengobatan dan hasil pada pasien ketika ini tetap tidak diakui atau dialamatkan, mengacu pada level-level obat dari obat-obat yang bermacammacam dan juga pada kegagalan obat, sering diakibatkan karena

kegawatdaruratan dari strain resisten obat dari virus.

Interaksi Obat-Makanan dari Kepentingan Klinis Ini dapat diputuskan bahwa kehadiran atau ketidakhadiran makanan atau minuman tertentu dapat secara bermakna mempengaruhi bioavaibilitas dari sejumlah pengobatan. Sebuah variasi mekanisme-mekanisme termasuk perubahan pH, pembentukan dari kompleks kation yang tidak dapat diserap, daya larut yang meningkat dari obat, gangguan metabolisme usus, sebaik sebuah penurunan dalam motilitas usus, dapat berperan. Tabel 1 mendaftarkan beberapa interaksi obatmakanan yang lebih biasa dan strategi sederhana untuk mengelaknya. Perubahan perubahan di dalam eliminasi obat di ginjal juga sering terjadi dengan penyakit maju dan nefropaty yang berhubungan dengan HIV, yang mana dapat mempengaruhi pria Afrika Amerika dengan sebuah sejarah sebelumnya pengguna obat intravena. Perubahan-perubahan ini secara khusus penting untuk antiretrovirus yang dibersihkan di ginjal seperti zidovudine, lamivudine, didanosine, zalcitabine dan stavudine; agen antivirus seperti ganciclovir dan cidofovir; agen-agen antijamur seperti amphotericin B; dan agen-agen antibakteri sperti aminoglikosida. Sebuah pemasangan kedua dari artikel ini akan tampak di dalam masalah depan publikasi ini. Ini akan mendiskusikan interaksi-interaksi diantara agen-agen antiretroviral, agen psikotrofik dan obat-obat jalan.

Interaksi-Interaksi Obat-Obat Tabel 1: interaksi obat yang penting dan strategi untuk dihindari Ketoconazole (Nizoral), dan Itraconazole(sporonox): meningkatkan pH lambung yang diakibatkan agen seperti antacid, H2 Blocker, protont pump

27

inhibitor, dan formulasi lapis non enteric dari ddl mengganggu absorpsi ketoconazol, absorpsi adalah optimal pada pH lambung. Ambil 2 jam terpisah atau gunakan agen antijamur alternative (MMWR 1999: 48:[RR10]:47); rifampin menurunkan aktivitas kedua obat, INH menurunkan efek dari ketoconazole; terfenadine dan cisapride (sekarang dikeluarkan dari pasaran) akibat dari arrhythmia ventricular dan penggunaan yang bersamaan harus dihindari Administrasi dari minuman yang asam seperti jus jeruk 240 ml, jus tomat, bir, jus anggur dan kola dalam kehadiran aklorhidria dari penyakit HIV maju dapat meningkatkan bioavaibilitas azole khususnya ketokonazole. Ketika hipoklorhidria parah, tiap 200mg ketoconazole harus dicampur dalam 4ml 0,2N asam hidroklorat. Sedotan harus digunakan untuk mencegah terkena gigi. Flurokuinolon oral: Mencegah produk susu, mineral elemen suplemen yang nutrisi tinggi; ambil fluorokuinolon 2 jam sebelum atau 6 jam setelah item-item ini. Interaksi dengan Protease Inhibitor (PIs) dan Non Nuclease Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs): ( sebagai sebuah peraturan umum, penggunaan ketoconazole dengan agen-agen ini tidak disarankan akibat sejumlah besar interaksi-interaksi obat-obat yang signifikan, flukonazole lebih baik. Indinavir: Level meningkat 68 %- mengurangi dosis indinavir sampai 600mg q 8h; level SQV meningkat 3 kali lipat- tidak ada perubahan dosis yang diperlukan; RTV meningkatkan level ketoconazole >3 kali lipatpenggunaan <200mg ketoconazole/ hari. Level APV meningkat 31 % dan level ketoconazole meningkat 44%- implikasi dosis tidak jelas; NFV-tidak ada perubahan dosis, level NVP meningkat 15%-30% dan level ketoconazole menurun sampai 60 %, kombinasi tidak dibutuhkan. Interaksi-interaksi diantara ketoconazole dan efavirenz tidak dipelajari dan juga tidak ada rekomendasi dapat dibuat pada waktu ini.

28

Tabel 2: Penginduksi biasa dari Cytochrome P450 sistem enzim Enzyme CYP3A4 Penginduksi yang diketahui Carbamazepine (Tegretol), Rifampin (Rifadin), Phenobarbital,

phenytoin (Dilantin), Efavirenz(Sustiva), nevirapine (Viramune), prednisone, rifapentine, troglizatone CY 1A2 asap-arang CYP2C9 Carbamazepine (Tegretol), ethanol, phenytoin (Dilantin), rifabutin (Rezulin) Merokok sigaret, ritonavir (Norvir), omeprazole(prilosec), makanan

(Mycobutin), ritonavir (norvir), rifampin (rifadin) CYP2C19 Rifabutin (Mycobutin), Rifampin(rifadin) CYP2D6 CYP2E1 Kehamilan Ethanol, ritonavir (Norvir), Isoniazid (INH)

Tabel 3: Inhibitor biasa dari Cytochrome P450 sistem enzim Enzyme Inhibitor yang diketahui

CYP3A4 Ritonavir (norvir), nelfinavir (Viracept), Amprenavir (Agenerase), Indinavir(Crixivan), propoxyphene(Darvon), saquinavir (Forfovase), ketoconazole (Nizoral), itraconazole(Sporonox), erythromycin, jus anggur, (Prozac),

nefazodone(Serzone), diltiazem(Cardizem), omeprazole(Prilosec) CY1A2

fluvoxamine(Luvox), verapamil (Calan),

fluoxetin

clarithromicin(Biaxin),

Ciprofloxacin (Cipro), grepafloxacin (Raxar), fluvoxamine (Luvox),

fluoxetin (Prozac), nefazodone (Serzone), Enoxacine (Penetrex) CYP2C9 Amiodarone(Cordarone), fluvoxamine(Luvox), fluoxetin clopidrogel(plavix), (Prozac), fluvastatin(Lescol), (Diflucan),

fluconazole

miconazole(monistat), metronidazole(Flagyl), trimethoprim/ sulfamethoxazole(Ba ctrim/septra) CYP2C19 Ticlopidine(Ticlic)), fluvoxamine (Luvox), fluoxetin (Prozac) CYP2D6 Ritonavir (Norvir),*sertraline(Zoloft), fluoxetin (Prozac), paroxetine

29

(Paxil),

quinidine,

thloridazine(Mellaril),

cimetidine(Tagamet),

amiodarone(Cordarone), diphenhydramine (Benadryl), haloperidol (Haldol), ticlopidine(Ticlic) CYP2E1 Cimetedine (Tagamet), Isoniazid (INH).
*

Satu-satunya PI dengan CYP2D6 aktivitas penghambat.

You might also like