You are on page 1of 113

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE BAYI Harry Kurniawan Gondo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya
ABSTRAK Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat. Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sebagian kecil yang terjadi karena proses transfusi. Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission). Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.

PREVENTION OF MOTHER TO CHILD HIV TRANSMISSION, PMTCT Harry Kurniawan Gondo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAC Service of PMTCT progressively become attention because of epidemic of HIV/AIDS in Indonesia mount swiftly. Infection of HIV can affect to baby and mother. Infection impact of HIV to mother for example: incidence of social stigma, discrimination, and morbiditas of mortalitas maternal. Most infection of HIV at baby caused by infection of mother, only some of small that happened because transfusion process. Tendency of Infection of HIV at woman and child mount for the reason needed various effort to prevent infection of HIV at woman, and also prevent infection of HIV of pregnant mother to baby that is PMTCT (Prevention Prevention of Mother to Child HIV Transmission). With good intervention hence risk infection of HIV of mother to baby equal to 25 till 45% can be depressed to become less than 2%. The intervention cover 4 elementary concept: (1) Lessening the amount of pregnant mother with positive HIV, (2) Degrading rock bottom load viral, (3) Minimization fetus presentation/ baby to mother body dilution and blood of HIV positive, and (4) is Optimal [of] health of mother with positive HIV

I. Latar Belakang Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir triwulan II 2008 adalah 12,686 kasus). Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan orang hidup dengan HIV AIDS (Odha) semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada akhirnya akan

mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini, (2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar), (3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea), (4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan, (5) Pemantauan ketat tumbuhkembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif, dan (6) Adanya dukungan yang

tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya. Pelayanan PMTCT dapat dilakukan di berbagai sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas) dengan proporsi pelayanan yang sesuai dengan keadaan sarana tersebut. Namun yang terutama dalam pelayanan PMTCT adalah tersedianya tenaga/staf yang mengerti dan mampu/berkompeten dalam menjalankan program ini.1,2 II. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi (Preventif mother to child transmission) Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Padahal dengan intervensi yang mudah dan mampu laksana proses penularan sudah dapat ditekan sampai sekitar 50%nya. Selain itu tindakan intervensi dapat berupa pencegahan primer/ primary prevention (sebelum terjadinya infeksi), dilaksanakan kepada seluruh pasangan usia subur, dengan kegiatan konseling, perawatan dan pengobatan di tingkat keluarga. Sebagai langkah antisipasi maka dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS 2003-2007 ditegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan program prioritas.1,2 Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission) A. Tujuan Program PMTCT Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk:

1. Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut. 2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh Odha dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap Ibu dan Bayi. Epidemi HIV terutama terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu diperhatikan, dipikirkan dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari terjadinya dampak akhir tersebut.1,2 B. Sasaran Program PMTCT Guna mencapai tujuan tersebut, Program PMTCT mempunyai sasaran program, antara lain: 1. Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT 2. Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT 3. Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan nifas 4. Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan (Care, Support dan Treatment) bagi ibu dan bayi.1,2 C. Bentuk-bentuk intervensi PMTCT 1. Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 45% bisa ditekan menjadi

kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif. 2. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan intrapartum (persalinan). Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu : Infeksi primer ( HSV/ Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I). Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur. 3. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnya

Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus. 4. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu Persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). Telah dicatat adanya penularan melalui ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan HTLV-I. Sedangkan untuk virus lain, jarang dijumpai transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak . Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan

AFASS dari WHO (Acceptable= mudah diterima, Feasible= mudah dilakukan, Affordable= harga terjangkau, Sustainable= berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif hingga maksimal 3 bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi persyaratan AFASS sebelum 3 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif, bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak dianjurkan pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI lainnya. Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik. 5. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif Melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan

superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha.1,2 III. Mekanisme penularan HIV dari ibu ke bayi Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan di Eropa dan tertinggi di Afrika. Sebuah lembaga International telah mengembangkan standard metode perhitungan rerata angka penularan secara vertical berdasarkan studi prenatal, prosedur pemantauan, criteria diagnosis dan definisi kasus. Hal-hal tersebut lebih mempengaruhi terjadinya penularan disbanding area geografi yang telah dilaporkan. Angka penularan kemungkinan lebih mencerminkan faktor resiko dari ibu ke bayi pada beberapa kelompok dan dapat berubah dengan waktu.3,4,5 A. Faktor virus 1. Karakteristik virus. Penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor utama yang penting adalah jumlah virus (viral load). Adanya faktor antigen p24 secara konsisten mempunyai hubungan terhadap meningkatnya penularan (meningkat 2-3 kali dibanding wanita tidak hamil 4). Beberapa studi berdasarkan data bayi yang terinfeksi dari ibunya menunjukkan tingginya jumlah kuman (viral load) yang dihitung dengan teknik kultur kuantitatif, dan menganalisa plasma RNA dengan polymerase chain reaction (PCR) atau berdasarkan nomer kode DNA, semuanya berhubungan dengan tingginya penularan.3 Plasma jumlah virus seorang ibu dengan HIV merupakan prediktor yang kuat sebagai sumber penularan. Peningkatan jumlah penularan pada wanita dengan infeksi HIV primer

muncul ketika plasma jumlah virus yang aktif berada pada titik tertinggi (peak). Sedikitnya penularan terjadi pada plasma HIV dengan viral load < 1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu tersebut sedang atau belum mendapatkan ARV Zidovudine.3,4,12 2. Antibodi Neutralizing Tingginya kadar antibody neutralizing pada loop V3 menunjukkan hubungan menurunnya resiko penularan, tapi tidak ada studi yang membandingkan dengan kelompok control. Variabilitas ikatan antara peptide V3-loop dan antibodi V3, dimana ikatan yang kuat terhadap antibody V3-loop akan bereaksi melawan epitop secara luas sebagai proteksi melawan penularan. Studi tentang inmunisasi pasif HIV dapat menjelaskan mekanisme ini lebih lanjut.3,7 Karakteristik penularan dari Human Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV1) adalah kemahiran berpura-pura bersifat homogen. Yang terpenting adalah mengerti tentang mekanisme potensial proteksi penularan secara selektif, memberikan informasi terhadap perkembangan vaksin HIV-1 dan penggunaan mekanisme pertahanan kedepan dengan regimen antibody monoclonal. Sejak antibody dari ibu melewati plasenta hingga masuk ke aliran darah janin, penularan infeksi HIV perinatal memberikan kesempatan yang unik untuk mempelajari efek profilaksis yang potensial dari an autologous neutralizing antibody (aNAB) yang dijumpai pada kedua donor ibu dan bayinya. An autologous neutralizing antibody (aNAB) ibu memiliki sifat pertahanan dan efek selektif pada uterus terutama pada 18 minggu pertama masa kehamilan dan intrapartum, serta kedepan dapat menjadi kerangka pikiran untuk

pembuatan vaksin HIV dengan mengevaluasi antibody-mediator imun.


8,9,10,19

3. Infektivitas virus Perbedaan secara biologi dari retrovirus menghantar perbedaan pada kemungkinan terjadinya penularan. Human Immunodeficiency virus type 2 (HIV-2) jarang menyebabkan penularan dari ibu ke bayinya, lebih sering HIV-1. Pada studi kecil mengatakan wanita dengan multi patner lebih dari 3 kecenderungan untuk menularkan ke bayinya selam masa kehamilan lebih besar dibanding wanita yang dengan satu pasangan terinfeksi HIV, ini terkait dengan potensi tertular oleh karena peningkatan viral load pada vagina atau potensial jenis viral fetotropik dapatan, hal tersebut merupakan informasi yang sangat sempit.4,7 Fenotipe, perbedaan strain pada replikasi in vitro, selular tropism dan induksi sinsitium. Terdapat evidence bahwa strain sinsitium inducing meningkatkan virulensi. Macrophagespecifik tropism telah diteliti pada beberapa strain, belum diketahui secara pasti apakah lebih sering diketemukan pada sekresi cairan genital, air susu ibu atau plasenta. 4,8,9 B. Faktor Bayi 1. Prematuritas Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas terhadap infeksi HIV. Sebagai contoh status HIV maternal menjembatani prematuritas kehamilan. Ryder dan teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggaris bawahi tentang prematuritas sebsar 13% pada wanita + HIV dan 3% pada kelompok control. Pengamatan tersebut tidak konsisten pada Negara berkembang, bayi yang lahir premature lebih

beresiko terinfeksi HIV dibanding bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV.
4,5,6,19

2. Nutrisi Fetus Terlepas dari status infeksi HIV, nutrisi prenatal yang buruk dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterine growth retandation (IUGR) dengan perbandingan pertumbuhan yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Semua akan menyebabkan menurunnya imunitas selular dengan jumlah sel T yang rendah, respon proliferatif yang buruk, pertumbuhan thymus yang terganggu, meningkatkan kecenderungan terserang infeksi, dan menetap selama 5 tahun masa pertumbuhan yang akan terganggu. Direkomendasikan untuk asupan vitamin A, untuk mencegah perburukan gejala diare yang ada baik pada ibu maupun bayinya.4 3. Fungsi Pencernaan Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam penularan HIV. Sejak infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran, oleh karena terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu ibu. Pada system pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas enzyme pencernaan yang rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari immunoglobulin A (Ig A) yang merupakan system kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang masuk. Pada infeksi sekunder akan terjadi diare, pertumbuhan yang terganggu, dan menunjukkan prekembangan perjalanan penyakitnya.6 4. Respon imun neonatus Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki defisiensi

fungsional, belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami ketidak mampuan dalam mengkopi agen mayor infeksi. Merupakan perkembangan immunologi termasuk dalam menghadapi berbagai virus seperti cytomegalovirus, hepatitis B dan virus herpes simplek. Ketiga infeksi tersebut bersifat kronik, menjadi karier dalam tubuh dan dapat menyebabkan penyakit neonates yang fatal. Pada saat system kekebalan tubuh neonatus tidak matang, menyebabkan system sel T tidakberfungsi dnegan baik terutama terhadap infeksi HIV, peranan antibody dan system makrofag rendah. Sistem antibody pada janin bersifat dorman, digantikan oleh system kekebalan tubuh dari Ig G ibu melalui transplasenta dan sekresi IgA dari air susu ibu. Rendahnya kadar IgG dan IgA dari ibu dengan kehamilan cenderung melahirkan premature danjuga antibody neutralizing yang rendah. Yang paling utama adalah defek selT sehingga berpengaruh pada fungsi nya sebagai produksi sitokin, respon sel T sitotoksik, lambatnya system penolakan terhadap se lasing dan tropism terhadap replikasi virus intraselular. T-helper-1 (TH-1) berperan terhadap respon imun selular, bila terjadi defisiensi akan terjadi pula defisiensi dari interferon (IFN-y). terjadi pula defisiensi respon segala tipe sitotoksik termasuk CDS CTL. Oleh Luzuriaga pada tahun 1991 dikatakan terdapat defisiensi CDS T-sel pada bayi yang terinfeksi HIV di 1 tahun pertama kehidupan.7,19 C. Faktor ibu, kehamilan dan proses persalinan. Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk

menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu; 7 1. Antepartum: Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat, perokok, korionik villus sampling CVS), amniosintesis, berat badan ibu. 2. Intrapartum: Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah ketuban kasep, persalinan prematur, penggunaan fetal scalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, dan episiotomi. 3. Air susu ibu, mastitis. Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus penulran terjadi pada wanita yang diketahui negative

terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena terdapatnya antibody terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang, makanan formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu merupakan pilihan terbaik.4 Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu ke bayinya postnatal, dengan pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. Ternyata didapatkan pemberian air susu ibu dengan zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti pemberian susu formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari infeksi virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan intervensi pemberian ARV saat perinatal .11

Gambar 1 : Mekanisme penularan dari ibu ke bayinya merupakan proses yang komplek antara virulensi virus, faktor ibu dan faktor janin. (NSI: non-syncytium-inducing, SI: syncytium-inducing). 20 4. Kehamilan dan cara melahirkan. Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular seksual. Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan kecenderungan lahir premature, serta dapat meningkatkan viral load pada organ genital. Disamping itu pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan, kapan pecahnya ketuban, dan saat proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar darah sang ibu. Inflamasi pada daerah servik dan uretritis dapat meningkatkan deteksi sel yang 4,5,6,7 terinfeksi HIV-A. Beberapa studi telah mempelajari penularan secara vertikal dari ibu ke bayinya, penularan melalui plasenta juga telah dipublikasikan. Terdapat beberapa faktor dari sang ibu, diantaranya, viral load, antibody neutralizing, atau aktifitas sel T sitotoksik, peranan plasenta melalui ekpresi FasL atau faktor tumor nekrosis berhubungan dengan kejadian apoptosis menginduksi ligand atau ekspresi Apo2L dan faktor plasenta seperti korioamnionitis, aktifitas supresi HIV, atau faktor fetus seperti natibodi neutralizing atau HIV sel T spesifik sitotoksik. Faktor plasenta, sitokin plasenta tipe 1 dan 2 menggerakkan ekspresi reseptor kemokin. Sitokin dapat menurunkan atau meningkatkan replikasi HIV. Studi terdahulu mengatakan adanya variasi produksi plasenta tipe 1 dan 2 oleh ekspresi sitokin dan sitokin proinflamatori. Sitokin yang terdapat pada plasenta dan hubungan hormonalsitokin memegang peranan dalam pencegahan penolakan dari Allograph

fetus dan mendukung proses implantasi. Allograph dimediasi oleh sitokin tipe 1 termasuk interferon gamma, TNF-b. produksi dari tipe 2 sitokin (IL4,IL10), sebagai toleransi Allograph dan mempertahankan kehamilan. Pada kondisi terinfeksi oleh HIV, akan menigkatkan rejeksi terhadap janin jadi dapat memicu keguguran melalui jalur sitokin. Pada wanita hamil yang tidak terinfeksi sitokin milieu plasenta tipe 2, sedangkan pada wania terinfeksi lebih mengekspresikan tipe 1. Adanya perubahan dari tipe 2 ke tipe 1 belum jelan akan tetapi kondisi korioamnionitis dan vilitis mempengaruhi mekanisme penularan. reseptor kemokin CCR5 memegang peranan pada penularan HIV dari ibu ke bayinya. Janin dengan homogenus D32 atau genotype heterozigot menunjukkan pertahanan terhadap infeksi HIV. Pada ibu yang terinfeksi HIV mempunyai rasio CCR5 yang rendah dibanding CXCR4. CXCR4 mRNA oleh IL10 menghantar makrofag dan memediasi progesterone, keduanya CCR5 dan CXCR4 sebagai ekspresi dari makrofag dan limfosit akan tetapi bukan pencerminana trofoblas. Sitokin tipe 2 dan rendahnya ratio CCR5:CXCR4 mencegah replikasi dari virus HIV. Normal plasma sitokin dari plasenta memproduksi hormone b-HCG yang diketahui menghambat replikasi dari virus HIV.13,16 IL-16 merupakan ligand CD4 bersama dengan RANTES yangmerupakan ligand dari co-reseptor CCR5 HIV, keduanya menghambat replikasi HIV-1 secara invitro. Kadar IFN-g dan alfa dan sekresi IL10 didapati pada yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Akan tetapi IL10 lebih tinggi pada ibu

yang tidak terinfeksi HIV. Rendahnya kadar IL8 dan TNF a didapati pada wanita yang terinfeksi HIV. Zidovudine menurunkan kadar ekpresi mRNA TNF-a pada mikroeksplan plasenta.15,16 Aktifitas ekspresi transporter ATPBinding Cassette (ABC) pada plasenta manusia mempengaruhi masuknya obat transplasenta, buruknya transfer obatkedalam plasenta akan mempengaruhi transfer obat antiretroviral selama kehamilan.14 IV. Upaya pencegahan penularan dari ibu ke bayinya. IV.1 Intervensi untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif.1,2

1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan Intra partum. Terdapat perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama Kehamilan dan Laktasi, tergantung sifat infeksi terhadap ibu : Infeksi primer ( HSV/

Herpes Simpleks Virus, HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I).1,2 Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif tidak dianjurkan untuk hamil. Dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur 5.1,2 2. Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnya Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus.1,2 3. Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu Persalinan dengan seksio sesarea berencana (elective) sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko

penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak. Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka puting susu). Oleh karenanya diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik.1,2 4. Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif Melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha.1,2 IV.2 Strategi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi 1,2

10

Menurut WHO terdapat 4 (empat) upaya yang perlu untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, meliputi: 1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi 2. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif 3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya. Bentuk intervensi berupa: Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) Pemberian obat antiretrovirus (ARV)

Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi Persalinan yang aman. 4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi dan keluarganya. IV.3 Pemberian obat Antiretrovirus sebagai pencegahan penularan ibu ke bayinya. Perempuan dengan CD4 >250/mm3 memiliki resiko untuk terjadinya hipersensitif terhadap NVP lebih tinggi dengan toksisitas hati yang mungkin fatal. Hal tersebut berlaku pada perempuan yang hamil maupun yang sedang tidak hamil

Tabel 1 : Rekomendasi untuk memulai Terapi ARV pada perempuan hamil menurut stadium klinis dan ketersediaan penanda imunologis (menurut WHO 2006)17,18 Stadium Bila tidak tersedia tes CD4 Bila tersedia tes CD 4 klinis menurut WHO 1 Tidak diobati untuk kepentingan ibu Obati jika hitung sel CD 4 < 200 sel/mm 3 saat ini(rekomendasi tingkat A-III) (rekomendasi tingkat A-III) 2 Tidak diobati (rekomendasi tingkat AIII) 3 Obati (rekomendasi tingkat A-III) Obati jika hitung sel CD 4< 350 sel/mm3 (rekomendasi tingkat A-III) 4 Obati (rekomendasi tingkat A-III) Obati tanpa memperhatikan hitung CD 4 ((rekomendasi tingkat A-III) Tabel 2 : Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT ditujukan pada situasi klinik No. 1 Situasi Klinis Odha dengan indikasi ART dan kemungkinan hamil atau sedang hamil Rekomendasi Pengobatan (Rejimen untuk Ibu) AZT (d4T) + 3TC + NVP (hindari EFV) Hindari EFV pada trimester pertama Jika mungkin hindari ARV sesudah trimester pertama Lanjutkan rejimen (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pad atrimester I) Lanjutkan dgn ARV yg sama selama dan sesudah persalinan

Odha sedang menggunakan ART dan kemudian hamil

11

Odha hamil dan belum ada indikasi ART

Odha hamil dengan indikasi ART, tetapi belum menggunakan ARV

AZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan Alternatif Hanya AZT mulai 28 minggu AZT + 3TC mulai 36 minggu, selama persalinan, 1 minggu sesudah persalinan NVP dosis tunggal pada awal persalinan AZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan Alternatif Hanya AZT mulai 28 minggu AZT + 3TC mulai 36 minggu, selama persalinan, 1 minggu sesudah persalinan NVP dosis tunggal pada awal persalinan OAT yg sesuai tetap diberikan Rejimen untuk ibu Bila pengobatan mulai trimester III: AZT (d4T) + 3TC + EFV Bila belum akan menggunakan ARV: disesuaikan dengan skenario 3 Tawarkan konseling dan testing dalam masa persalinan; atau konseling dan testing setelah persalinan (ikuti skenario 8) Jika hasil tes positif maka dapat diberikan : NVP dosis tunggal Bila persalinan sudah terjadi maka ikuti skenario 8; atau AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan 1 minggu setelah persalinan NVP dosis tunggal ditambah AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan 1 minggu setelah persalinan Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan. Hal ini terjadi akibat : Tekanan pada plasenta meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dan darah bayi. Lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi. Bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.

Odha hamil dengan tuberkulosis aktif

Bumil dalam masa persalinan dan tidak diketahui status HIV

Odha datang pada masa persalinan dan belum mendapat ART

IV.4 Persalinan yang aman Tujuan persalinan yang aman bagi ibu dengan HIV adalah : Tidak terjadi penularan HIV : o ke janin/bayi o ke tim penolong (medis dan non medis) o ke pasien lainnya Kondisi ibu baik sesudah melahirkan Efektif dan efisien

12

Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu.

IV.5 Pilihan asupan bagi bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif. 1. Ibu dengan status HIV negatif atau status HIV tak diketahui ASI eksklusif untuk usia 6 bulan pertama Makanan padat yang aman, sesuai, dan ASI diteruskan hingga 2 tahun. Dorong ibu untuk relaktasi bila ibu belum menyusui. 2. Ibu dengan status HIV positif Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible, acceptable, sustainable, safe). Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI eksklusif yang jangka pemberiannya singkat atau alternatif ASI lainnya, yaitu: o Pasteurisasi/memanaskan ASI perah ibu. o Mencari Ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah dibuktikan HIV negatif. Pemberian ASI bagi bayi dari ibu dengan HIV positif . Ibu dengan HIV positif dapat memilih menyusui bayinya bila: Pengganti ASI tidak dapat memenuhi syarat AFASS. Kondisi sosial ekonominya tidak memungkinkan untuk mencari Ibu Susu atau memanaskan ASI perahnya sendiri. Memahami teknik menyusui yang benar untuk menghindarkan peradangan payudara (mastitis) dan

lecet pada puting yang dapat mempertinggi resiko bayi tertular HIV. Cara Menyusui yang dianggap aman : ASI eksklusif selama 6 bulan pertama atau hingga tercapainya AFASS. Jangka waktu laktasi singkat 6 bulan dengan penghentian cepat Safe sex practices selama laktasi untuk mencegah infeksi atau re-infeksi Manajemen laktasi yang baik (pelekatan dan posisi menyusui yang benar serta semau bayi/tidak dijadwal) untuk mencegah mastitis. Usahakan proses menyusui sedini mungkin begitu bayi lahir untuk mencegah teknik pelekatan yang salah sehingga puting ibu lecet. Hanya bagi ibu dengan hitung CD4 tinggi Ibu tidak boleh menyusui bila terdapat luka/lecet pada puting, karena akan menyebabkan HIV masuk ke tubuh bayi. . Teknik menyusui yang benar, ibu harus diajarkan teknik menyusui yang benar untuk menghindarkan terjadinya mastitis dan lecet pada payudara. Teknik menyusui terdiri dari posisi menyusui, dan cara pelekatan bayi pada payudara. Untuk menghindari lecet puting, dianjurkan menggunakan pelindung putting (nipple shield). Posisi Menyusuin yang benar sebagai berikut ini: 1. Kepala dan badan bayi berada dalam satu garis lurus. 2. Wajah bayi harus menghadap payudara dengan hidung berhadapan dengan puting. 3. Ibu harus memeluk badan bayi dekat dengan badannya. 4. Jika bayi baru lahir, ibu harus menyangga seluruh badan bayi bukan hanya kepala dan bahu.

13

Daftar pustaka 1. Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Bayi 2. Chris W. Green. Seri Buku Kecil, HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan. Yayasan Spiritia, Juli 2005 3. Catherine Peckham, Diana Gibb. Mother-to-child Transmission of the Human Immunodeficiency Virus. New England Journal of Medicine 1995;333(5):298-302 4. Grace C. John, Joan Kreiss. Mother-tochild Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type 1. Epidemiologic Reviews 1996;18(2):149-157 5. Joseph P. Mc.Gowan, Sanjiv S. Syah. Prevention of Perinatal HIV Transmission During Pregnancy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 2000;46:657-68 6. Richard Stiehm. Newborn Factors in Maternal-Infant Transmission of Padiatrie HIV Infection. Journal of Nutrition 1998;22:3166 7. Ruth E. Dickover, Eileen M., et al. Perinatal Transmission of Major, Minor, and Multiple Maternal Human Immunodeficiency Virus Type 1 Variants In Utero and Intrapartum. Journal of Virology, 2001;75(5):2194203 8. Rajesh Ramakrishnan, Roshni Mehta, et al. Characterization of HIV-1 envelope gp41 genetic diversity and functional domains following perinatal transmission. Journal of Retrovirology, 2006;3:42. 9. Ruth E. Dickover, Eileen M., et al. Role of Maternal Autologous Neutralizing Antibody in Selective Perinatal Transmission of Human Immunodeficiency Virus, Type 1 Escape Variants. Journal of Virologi, 2006;80(13):6525-33.

10. Xueling Wu, Adam B. Parast, et al. Nautralization Escape Variants of Human Imunodeficiency Virus Type 1 Are Transmitted from Mother to Infant. Journal of Virology, 2006;80(2):83544. 11. Ibou Thyor, Shahin Lockman, et al. Breastfeeding Plus Infant Zidovudine Prophylaxix for 6 Months vs Formula Feeding Plus Infant Zidovudine for 1 month to Reduce Mother to Child HIV Transmission in Bostwana, 2006;296(7):794-805. 12. Patricia M. Gracia, Leslie A. Kalish, Jane Pitt, et al. Maternal Levels of Plasma Human Immunodefisiency Virus Type 1 RNA and The Risk of Perinatal Transmission. N Engl J Med 1999;341:394-402. 13. Homira Behbahani, Edwina Popek, Patricia Garcia, et al. Up- regulation of CCR5 Expression in the Placenta Is Associated with Human Immunodeficiency Virus-1 Vertical Transmission. American Journal of Pathology 2000;157(6):1811-7 14. Abhishek Gulati, Philip M. Gerk. Role of Placental ATP-Binding Cassette (ABC) Transporter in Antiretroviral Therapy During Pregnancy. J Pharm Sci, 2009;98(7):2317-35. 15. Faye A., Pomprasert S., Mary J-Y. Characterization of the main placenta cytokine profiles from HIV-1 infected pregnant women treated with antiretroviral drugs in France. Journal Compilation, 2007;149:430-9. 16. Usha K. Sharma, Jorge Trujillo, Hai Feng Song. A Novel Factor Produced by Placental Cells with Activity Against HIV-1. The Journal of Immunilogy, 1998;161:6406-12. 17. Depkes RI. In: Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, dengan panduan tatalaksana klinis infeksi HIV pada orang dewasa dan remaja, 2009. ed II .

14

18. WHO. In: Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants, Rekomendations for a public health approach, 2010. 19. Vera Bongertz. Vertical Human Immunodeficiency Virus Type 1-HIV1-Transmission. A Review. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jainero, 2001;96(1):1-14. 20. Stephen A. Spector. Motherto-infant transmission of HIV-1; The placenta Fights Back. The Journal of Clinical Investigations,2001;107(3):287-94. 21. WHO. In: HIV AND INFANT FEEDING, Principles and recommendations for infant feeding in

the context of HIV and a summary of evidence,2010.

15

PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGIS FESES Akhmad Sudibya Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Ada banyak metode pada pemeriksaan mikrobiologi tinja. Metode mencakup pemeriksaan mikroskopis, kultur p ada media mikrobiologi, pemeriksaan imunologi, pemeriksaan mikrobiologi molekul, dan uji sensitivitas antibiotik. Metode yang digunakan tergantung pada mikroba yang diduga sebagai penyebab penyakit tertentu. Kata Kunci : pemeriksaan mikrobiologis feses, pemeriksaan mikroskopis, penanaman pada media, pemeriksaan imunologis, pemeriksaan mikrobiologi molekuler, uji kepekaan antibiotika

FECAL MICROBIOLOGICAL EXAMINATION Akhmad Sudibya Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract: There are many methods on the fecal microbiological examination. The methods include microscopical examination, culturing on the microbiological media, immunological examination, molecular microbiology examination, and antibiotic sensitivity test. The methods used depend on microbe that is suspected as the culprit of a certain disease Keywords: microbiological stool examination, microscopic examination, cultivation on the media,

immunological examination, examination of molecular microbiology, antibiotic sensitivity test Pendahuluan Pemeriksaan Mikrobiologis Feses berarti mencari mikroba pada feses. Yang dimaksud mikroba adalah bakteri, virus, jamur, dan parasit. Tentang deteksi parasit pada feses sudah tersedia topik tersendiri yaitu Pemeriksaan Parasitologis Feses. Spesimen Feses Selain spesimen feses yang diperoleh secara langsung (stool specimen) dapat pula dipergunakan spesimen yang diperoleh melalui usapan dubur/rektal (rectal swab). Usapan dubur sangat cocok diterapkan pada bayi dan manusia lanjut usia. Usapan dubur lebih efektif daripada feses untuk perburuan Shigella spp., Clostridium difficile, dan Neisseria gonorhoeae (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006). Feses dan usapan dubur merupakan spesimen untuk mencari penyebab infeksi pada saluran pencernaan bagian bawah. Sementera itu, untuk menemukan penyebab infeksi pada saluran pencernaan bagian atas dapat dipergunakan muntahan (vomitus material), hasil bilasan lambung (gastric washings), hasil aspirasi isi duodenum (aspiration of duodenal contents), dan hasil biopsi lmbung (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006). Tempat Menampung Feses Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, tempat menampung feses harus bersih, bermulut lebar, dan dapat ditutup rapat. Bersih tidak berarti harus steril. Kedua, tempat menampung feses harus bebas pengawet, deterjen, dan ion logam. Ketiga, tempat menampung feses tidak boleh terkontaminasi urin. Keempat, feses harus diberi bahan pengawet seandainya tidak langsung diperiksa. Contoh bahan pengawet yang digunakan adalah kombinasi natrium/kalium fosfat + gliserol (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006). Pengiriman Feses Feses harus ditempatkan di dalam wadah yang tertutup dengan baik. Pada etiket wajib dicantumkan identitas pasien, informasi yang diinginkan, dan keadaan klinis pasien (Koneman dkk., 1997 ; Winn dkk, 2006). Obat yang telah diberikan kepada pasien terutama antibiotika wajib dicantumkan.

16

Media Transpor Prinsip pemilihan media transpor adalah mikroba yang dicari harus tetap hidup atau lebih baik lagi apabila bertambah banyak dan mikroba yang tidak diburu tidak tumbuh berlebihan atau lebih bagus lagi apabila tidak tumbuh. Oleh karena itu, pilihan media transpor yang dipakai harus selalu berdasarkan mikroba yang dicurigai. Media transpor dibagi menjadi dua, yaitu media transpor umum dan media transpor khusus. Contoh media transpor umum adalah kaldu pepton, medium Stuart, buffer glycerol saline, dan Cary & Blair. Teladan untuk media transpor khusus adalah kaldu selenite cystine, Kaufmann, dan alkali pepton. Kaldu selenite cystine (SC) dipergunakan untuk deteksi Salmonella. Kaufmann lazim dipakai untuk pengejaran bakteri Shigella. Alkali pepton sangat bagus dimanfaatkan untuk pelacakan Vibrio (Atlas, 1997 ; Supardi dan Warsa, 1998). Metode Pemeriksaan Metode pemeriksaan dalam bidang mikrobiologi klinik meliputi pemeriksaan mikroskopis, penanaman pada media perbenihan, uji kepekaan, pemeriksaan imunologis, dan pemeriksaan mikrobiologi molekuler. Pemeriksaan mikroskopis dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan mikroskopis tanpa pengecatan dan pemeriksaan mikroskopis dengan pengecatan. Penanaman dalam media perbenihan bertujuan memperoleh isolat murni. Media yang dipergunakan ada dua macam, yaitu media umum dan media khusus. Prinsip pemilihan media didasarkan pada mikroba yang akan dicari. Uji kepekaan bertujuan memperoleh obat yang paling tepat untuk mikroba tertentu. Obat yang paling tepat untuk mikroba tertentu terkenal dengan istilah drug of choice. Contoh pemeriksaan imunologis dalam bidang mikrobiologi adalah Uji Widal dan Uji Wassermann. Uji Widal berdasarkan prinsip reaksi aglutinasi. Uji Wassermann berdasarkan prinsip uji fiksasi

komplemen (complement fixation test) (Winn dkk, 2006). Pemeriksaan mikrobiologi molekuler memanfaatkan prinsip-prinsip biologi molekuler. Contoh pemeriksaan mikrobiologi molekuler adalah polymerase chain reaction (PCR) (Winn dkk, 2006). Flora Komensal dan Bakteri Patogen pada Saluran Pencernaan Bagian Bawah Flora komensal pada saluran pencernaan bagian bawah meliputi Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus, Escherichia coli, Pseudomonas, berbagai bakteri anaerob, dan sebagainya (Winn dkk, 2006). Bakteri patogen pada saluran pencernaan bagian bawah mencakup Staphylococcus aureus, ETEC, EPEC, Yersinia enterocolitica, Salmonella, Shigella, Vibrio cholerae, Campylobacter, Clostridium difficile, dan sebagainya (Winn dkk, 2006). Tipe-Tipe Diare Diare dibagi menjadi tiga tipe. Tipe-tipe tersebut adalah diare noninflamatori (noninflammatory diarrhea), diare inflamatori (inflammatory diarrhea), dan diare pada penyakit sistemik. Istilah lain untuk diare noninflamatori adalah diare sekretori (secretory diarrhea) dan diare encer (watery diarrhea). Sinonim diare inflamatori adalah diare berdarah ( bloody diarrhea) dan disenteri (dysentery) (Winn dkk, 2006). Diare Noninflamatori Diare Noninflamatori melibatkan usus halus proksimal. Penyebab Diare Noninflamatori adalah Norovirus, Rotavirus, Adenovirus Enterik, Astrovirus, ETEC, EAggEC, Vibrio cholerae, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Isospora belli, Cyclospora cayetensis, dan mikrosporidia (Winn dkk, 2006).

17

Diare Inflamatori Diare Inflamatori melibatkan usus besar. Mikroba yang menyebabkan Diare Inflamatori bersifat invasif terhadap usus (enteroinvasive microorganisms). Penyebab Diare Inflamatori adalah Entamoeba histolytica, Shigella spp., EIEC, EHEC, Salmonella enteridis, Campylobacter jejuni, Vibrio parahaemolyticus, dan Clostridium difficile. Sampai saat ini, virus belum terbukti sebagai penyebab Diare Inflamatori (Winn dkk, 2006). Diare Pada Penyakit Sistemik Salah satu contoh Diare Pada Penyakit Sistemik adalah Demam Enterik. Istilah lain untuk Demam Enterik adalah Demam Tifoid. Diare Pada Penyakit Sistemik melibatkan usus halus distal. Penyebab Diare Pada Penyakit Sistemik adalah Salmonella typhi, Slamonella nontyphi, Yersinia enterocolitica, dan Campylobacter spp.. Virus dan parasit belum terbukti secara empiris sebagai penyebab Diare Pada Penyakit Sistemik (Thomas, 1985 ; Taylor, 1988; Winn dkk, 2006). Kondisi Khusus dan Agen Infeksius Agen infeksius yang terlibat dapat diprediksi dari kondisi khusus yang mendahului. Misalnya, diare setelah makan nasi goreng sangat mungkin melibatkan Bacillus cereus. Contoh lain, diare sesudah menyantap telur paling mungkin disebabkan oleh Salmonella spp.. Contoh lain lagi, Vibrio spp., Norovirus, dan Virus Hepatitis A sering sekali ditemukan pada pasien diare yang sebelumnya menikmati kerang-kerangan (Winn dkk, 2006). Kesimpulan Pemeriksaan mikrobiologis feses bertujuan menemukan mikroba yang dianggap sebagai biang keladi suatu penyakit tertentu. Metoda yang dipergunakan tergantung pada mikroba yang akan dibidik. Secara umum, metoda yang dipakai meliputi pemeriksaan mikroskopis, penanaman pada media perbenihan, pemeriksaan imunologis,

pemeriksaan mikrobiologi molekuler, dan uji kepekaan. Daftar Pustaka Anonim. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Atlas RM. Handbook of Microbiological Media. Edisi II. Boca Raton : CRC Press, 1997. h. 12441245. Koneman EW dkk.. Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology. Edisi V. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 1997. h. 121170. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993. Supardi I, Warsa UC. Mikrobiologi Klinis. Dalam : Nurhasan, penyunting. Standar Pelayanan Medis Volume 3. Edisi I. Jakarta : Depkes RI & IDI, 1998. h. 245263. Thomas CL. Tabers Cyclopedic Medical Dictionary.Edisi XV. Singapore : PG Publishing Pte Ltd, 1985, h. 551. Taylor EJ. Dorlands Illustrated Medical Dictionary. Edisi XXVII. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1988. h. 620. Winn WC dkk.. Konemans Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology. Edisi VI. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h. 67110.

18

SPINA BIFIDA
Ernawati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Spina bifida berarti terbelahnya arcus vertebra yang bisa melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Penyebabnya adalah kegagalan penutupan tube neural dengan sempurna sehingga mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal yang terjadi pada hari ke 17-20 kehamilan. Spina bifida dapat dideteksi dengan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) pada cairan amnion atau AFP yang diperiksa pada darah ibu hamil dan bisa juga dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi. Resiko seseorang secara spesifik dapat diketahui berdasarkan perbandingan usia kehamilan dan level AFP. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian suplemen folic acid 400 microgram / hari sebelum hamil dan 800 microgram / hari selama kehamilan

SPINA BIFIDA Ernawati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrack: Spina bifida means the parting of arcus vertebrae that may involve nerve tissue beneath it or not. The reason is the failure of neural tube closure perfectly so that influence the neural and cutaneous ectodermal structures that occur on days 17-20 of pregnancy. Spina bifida can be detected by examination of the AFP (alpha feto protein) on amniotic fluid AFP examined or in blood of pregnant women and can also be detected by ultrasound examination. Specifically a person's risk can be identified based on comparison of gestational age and AFP level. Prevention can be done by giving 400 micrograms of folic acid supplements daily before pregnancy and 800 micrograms / day during pregnancy

PENDAHULUAN Spina bifida adalah kelainan neural tube ( neural tube defect ) yang terjadi akibat kegagalan neural tube untuk menutup dengan sempurna. Angka kejadian 1 per 1000 kelahiran. Spina bifida terdiri dari sebuah hiatus yang biasanya terletak dalam vertebra lumbosakralis, dan lewat hiatus ini menonjol sakus meningus sehingga terbentuk meningokel. Jika sakus tersebut juga berisi medulla spinalis, anomali tersebut dinamakan meningomielokel. Dengan adanya rakiskisis total, medulla spinalis tergambar sebagai pita jaringan yang berwarna merah serta menyerupai spons dan terletak dalam suatu sulkus yang dalam. Dalam keadaan ini, bayi segera meninggal saat lahir. Pada kasus-kasus lainnya, defek yang terjadi mungkin sangat ringan seperti spina bifida okulta. Malformasi yang menyertai, khususnya hidrosefalus, anansefalus dan clubfoot umum terdapat. Jika bagian otak mengalami protrusion ke dalam sakus, terjadi meningoensefalokel. Pada kasus

defek neural tube aperta, kadar alfa feto protein mendekati pertengahan kehamilan mungkin tinggi tidak seperti biasanya baik dalam plasma maternal maupun dalam cairan amnion. Beberapa program skrining dapat dilakukan pada ibu-ibu hamil, yaitu pemeriksaan skrining alfa feto protein serum maternal untuk mengetahui adanya defek neural tube dan bisa juga dilakukan penelitian sitogenetik terhadap sel-sel janin yang diperoleh melalui amniosintesis atau pengambilan sampel vili korialis dari wanita yang hamil pada usia diatas 35 tahun. Program ini menimbulkan banyak permasalahan sosial, etis, ekonomi serta hukum, diluar permasalahan stigmata psikologis yang kemungkinan timbul setelah seseorang mengetahui kalau dirinya membawa gen yang jelek. Hal yang sama pentingnya dengan keberhasilan program skrining tersebut adalah program penyuluhan intensif bagi orang-orang yang menjalani tes.

19

Program skrining neonatal juga merupakan program yang populer dan banyak dilakukan di negara bagian Amerika yang memiliki undang-undang bagi pemeriksaan skrining neonatus untuk menemukan kelainan tertentu. DEFINISI Spina bifida berarti terbelahnya arcus vertebrae dan bisa melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Spina bifida disebut juga myelodisplasia, yaitu suatu keadaan dimana ada perkembangan abnormal pada tulang belakang, spinal cord, saraf-saraf sekitar dan kantung yang berisa cairan yang mengitari spinal cord. Kelainan ini menyebabkan pembentukan struktur yang berkembang di luar tubuh. KLASIFIKASI Ada berbagai jenis spina bifida. antara lain : - Spina bifida okulta Menunjukkan suatu cacat yang lengkung-lengkung vertebranya dibungkus oleh kulit yang biasanya tidak mengenai jaringan saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini terjadi di daerah lumbosakral ( L4 S1 ) dan biasanya ditandai dengan plak rambut yang yang menutupi daerah yang cacat. Kecacatan ini disebabkan karena tidak menyatunya lengkung-lengkung vertebra ( defek terjadi hanya pada kolumna vertebralis ) dan terjadi pada sekitar 10% kelahiran - Spina bifida kistika Adalah suatu defek neural tube berat dimana jaringan saraf dan atau meningens menonjol melewati sebuah cacat lengkung vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah kantong mirip kista. Kebanyakan terletak di daerah lumbosakral dan mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi biasanya tidak disertai dengan keterbelakangan mental. - Spina bifida dengan meningokel Pada beberapa kasus hanya meningens saja yang berisi cairan

saja yang menonjol melalui daerah cacat. Meningokel merupakan bentuk spina bifida dimana cairan yang ada di kantong terlihat dari luar ( daerah belakang ), tetapi kantong tersebut tidak berisi spinal cord atau saraf. - Spina bifida dengan meningomielokel Merupakan bentuk spina bifida dimana jaringan saraf ikut di dalam kantong tersebut. Bayi yang terkena akan mengalami paralisa di bagian bawah. - Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis Merupakan bentuk spina bifida berat dimana lipatan-lipatan saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih. Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical dan atau lumbar dan dapat menyebabkan gangguan neurologis pada ekstremitas bawah dan gangguan kandung kemih. Defek neural tube ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan kadar alfa feto protein ( AFP ) pada sirkulasi fetus setelah perkembangan empat minggu. PEMBENTUKAN NEURAL TUBE Pembentukan system saraf pusat dimulai sejak bulan pertama perkembangan janin, dimulai dari notocord kemudian terbentuk neuroectoderm dan berkembang menjadi bentukan seperti pita pipih yang dinamakan neural plate, kemudian masuk ke dalam ke bagian belakang embrio yang dinamakan neural groove. Bagian samping dari neural groove akan melengkung ke atas ( neural fold ) dan menyatu membentuk suatu tabung yang dinamakan neural tube, penyatuan / fusi dari neural fold dimulai dari bagian tengah dari embrio dan bergerak ke arah atas ( cranial ) dan bawah ( caudal ).Bagian atas dinamakan anterior ( rostral ) neuropore dan bagian bawah dinamakan posterior ( caudal ) neuropore. Anterior neuropore menutup pada hari 26 atau sebelumnya

20

sedangkan caudal neuropore akan menutup pada akhir minggu ke empat. Jika bagian dari tabung neural ( neural tube ) tidak menutup, tulang belakang juga tidak menutup akan menyebabkan terjadinya spina bifida. STADIUM PERKEMBANGAN - 21 hari : neural groove dan dimulainya pembentukan neural tube - 25 hari : penutupan neural groove kecuali bagian akhir anterior dan posterior - 30 hari : neuropores menutup, pengenalan fore, mid dan hind brain. Diferensiasi 3 lapis neural tube - 5 minggu : pembentukan otak dan pembentukan lensa mata - 6 minggu : dimulainya perkembangan cerebellum - 7 minggu : corpus striatum dan thalamus, bertemunya komponen glandula pituitary - 8 minggu : meningens, diferensiasi cortex cerebral - 3 4 bulan : otak mulai menyerupai otak dewasa, terbentuknya corpus calosum dan konmponen yang lain - 4 bulan-lahir : timbulnya cerebral sulkus dan gyrus, myelinisasi dimulai. Ada 3 kategori perkembangan system saraf yang abnormal : 1. Kelainan struktural : kesalahan dalam organogenesis 2. Gangguan dalam organisasi 3. Gangguan metabolisme ETIOLOGI Bahan bahan teratogen yang dapat menyebabkan terjadinya defek neural tube adalah : - Carbamazepine - Valproic acid - Defisiensi folic acid - Sulfonamide Seorang wanita yang mengkonsumsi valproic acid selama kehamilan mempunyai resiko kemungkinan melahirkan bayi

dengan defek neural tube sebesar 1-2%, maka dari itu seorang wanita hamil yang mengkonsumsi obat-obat anti epilepsi selama kehamilannya disarankan untuk melakukan pemeriksaan AFP prenatal rutin. Faktor maternal lain yang dapat menyebabkan defek neural tube meliputi : - Riwayat keluarga dengan defek neural tube - Penggunaan obat-obat anti kejang - Overweight berat - Demam tinggi pada awal kehamilan - Diabetes mellitus PATOGENESIS Defek neural tube disini yang dimaksud adalah karena kegagalan pembentukan mesoderm dan neurorectoderm. Defek embriologi primer pada semua defek neural tube adalah kegagalan penutupan neural tube, mempengaruhi neural dan struktur kutaneus ectodermal. Hal ini terjadi pada hari ke 17 -30 kehamilan. Selama kehamilan , otak, tulang belakang manusia bermula dari sel yang datar, yang kemudian membentuk silinder yang disebut neural tube. Jika bagian tersebut gagal menutup atau terdapat daerah yang terbuka yang disebut cacat neural tube terbuka. Daerah yang terbuka itu kemungkinan 80% terpapar atau 20% tertutup tulang atau kulit. 90% dari kasus yang terjadi bukanlah faktor genetik / keturunan tetapi sebagian besar terjadi dari kombinasi faktor lingkungan dan gen dari kedua orang tuanya. DIAGNOSA Defek neural tube dapat dideteksi dengan pemeriksaan AFP ( alfa feto protein ) pada cairan amnion atau AFP yang diperiksa dari darah ibu hamil. AFP adalah protein serum utama yang terdapat pada awal kehidupan embrio dan 90% dari total globulin serum dari fetus. AFP dapat mencegah rejeksi dari fetal imun dan pertamakali dibuat di yolk sac dan kemudian di sistem gastro intestinal dan hepar fetus. Dimulai dari sirkulasi darah fetus menuju traktus urinarius kemudian diekskresi ke dalam cairan amnion.

21

AFP juga dapat bocor ke dalam cairan amnion melalui defek neural tube yang terbuka seperti pada anencephaly dan myelomeningocele, dimana sirkulasi darah fetus berhubungan langsung dengan cairan amnion. Langkah pertama dari prenatal skrining adalah pemeriksaan serum AFP pada ibu hamil antara minggu ke 15 dan 18 kehamilan. Seseorang dikatakan beresiko secara spesifik berdasarkan perbandingan usia kehamilan dan level AFP. Misalnya, pada usia kehamilan 20 minggu konsentrasi AFP serum pada ibu hamil lebih tinggi dari 1.000 ng/mL mempunyai indikasi terjadinya defek neural tube terbuka. Kadar AFP serum normal pada ibu hamil biasanya lebih rendah dari 500 ng/mL. Penentuan ketepatan usia kehamilan sangatlah penting karena level AFP mempunyai hubungan yang spesifik dengan usia kehamilan dan dapat meningkat mencapai puncak pada fetus normal pada kehamilan 12-15 minggu. Pemeriksaan AFP melalui cairan amnion merupakan pemeriksaan yang akurat, terutama pada usia kehamilan 15-20 minggu dan dapat mendeteksi kurang lebih 98% pada semua defek neural tube yang terbuka. Defek neural tube juga dapat dideteksi dengan USG. Beberapa kelainan fetus lain yang dapat dideteksi dari peningkatan AFP meliputi : - Anencephaly - Spina bifida kistika - Encephalocele - Omphalocele - Turner syndrome - Gastroschisis - Oligohydrmnions - Sacrococcygeal teratoma - Kelainan ginjal polikistik - Kematian janin intra uteri - Obstruksi traktus urinarius TERAPI Pembedahan PENCEGAHAN Penggunaan suplemen Folic acid 400 micrograms ( 0,4 mg ) / hari sebelum

hamil dan 800 micrograms / hari selama kehamilan. Penggunaan suplemen folic acid ini penting untuk menurunkan resiko terjadinya defek neural tube seperti spina bifida. Folic acid ( folinic acid, folacin, pteroyglutamic acid ) terdiri dari bagianbagian pteridin, asam para aminobenzoat dan asam glutamat. Dari penelitian terbukti bahwa yang memiliki arti biologik adalah gugus PABA dan gugus asam glutamat. PmGA bersama-sama dengan konjugat yang mengandung lebih dari satu asam glutamat, membentuk satu kelompok zat yang dikenal sebagai folat. Folat terdapat dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi dalam hati, ragi dan daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan pengolahan ( pemasakan ) makanan. Dipandang dari sudut biologik, defisiensi folat terutama akan memperlihatkan gangguan pertumbuhan akibat gangguan pembentukan nukleotida purin dan pirimidin. Gangguan ini akan menyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel. KESIMPULAN Spina bifida termasuk dalam defek neural tube yang berarti terbelahnya arcus vertebrae dan bisa melibatkan jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Angka kejadian 1 per 1000 kelahiran. Macam-macam spina bifida : - Spina bifida okulta - Spina bifida kistika - Spina bifida dengan meningokel - Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis Spina bifida dapat didiagnosis prenatal dengan : - Pemeriksaan kadar AFP di dalam serum ibu hamil dan cairan amnion - Ultrasonografi Penyebabnya kebanyakan multifaktorial, ada kemungkinan mendapatkan anak dengan cacat seperti ini meningkat banyak begitu salah satu keturunan yang dilahirkannya sudah mengalami cacat ini. Bukti baru

22

menunjukkan bahwa asam folat dapat menurunkan insidens terjadinya defek neural tube. DAFTAR PUSTAKA 1. Beck, F., Moffat, D.B., Davies, D.P. ( 1985 ). Human Embryology. 2. ORahilly Ronan., Muller Fabiola. ( 1992 ). Human Embryology & Teratology. 3. Wardhini, S., Rosmiati Hedi. ( 1995 ). Farmakologi dan Terapi. 4. Cunningham, MacDonald, Gant. ( 1995 ). Obstetri Williams. 5. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. ( 1997 ). Buku Ajar Ilmu Bedah. 6. Kurtzweil Paula., ( 1999 ). How folate can help prevent birth defects. Article FDA Consumer, Diambil 13Juni 2008, dari http;//www.fda.gov/Fdac/features/796 fol.html 7. Sadler, T.W. ( 2000 ). Embriologi Kedokteran Langman. 8. Pantanowitz Liron, Sur Monalisa. ( 2004 ). Malformations Associated With Spina Bifida. The Internet Journal of Pediatrics and Neonatology. 9.Larsen, Hans R., ( 2005 ) Folic acid. Diambil 13 Juni 2008, dari http;//www.pinc.com/healthnews/folate.

23

RESISTENSI SERANGGA TERHADAP DDT Kartika Ishartadiati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) adalah insektisida organik sintetik yang termasuk golongan organoklorin (chlorinated hydrocarbon). DDT disintesis oleh Othmar Zeidler pada tahun 1873, namun efek insektisidanya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939. Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat, dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. Namun pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat. Kata kunci: resistensi, serangga, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane)

INSECT RESISTANCE TO DDT Kartika Ishartadiati Lecturer Faculty of Medicine University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) is a synthetic organic insecticide which belongs to organochlorine (chlorinated hydrocarbon). DDT was synthesized by Othmar Zeidler in 1873, but the insecticide effect discovered by Paul Muller in 1939. Because of its strong efficacy, DDT became very popular in the field of agriculture and public health fields, and has been widely used since 1945. But the occurrence of DDTs resistance in mosquitoes and flies has been already reported in 1948. Keywords: resistance, insect, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane)

PENDAHULUAN Berkembangnya resistensi berbagai jenis serangga terhadap insektisida pada 50 tahun terakhir, merupakan masalah paling serius yang kita hadapi sejak digunakannya secara luas insektisida organik sintetik di seluruh dunia pada akhir Perang Dunia II. Meskipun resistensi serangga terhadap insektisida anorganik telah diketahui sejak tahun 1910-an, namun kasus ini meningkat nyata sejak ditemukannya insektisida organik sintetik. Resistensi serangga terhadap insektisida merupakan fenomena global yang dirasakan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, seperti Indonesia. DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) adalah insektisida organik sintetik yang pertama kali ditemukan, dan digunakan secara luas sejak tahun 1945. DDT pernah disanjung setinggi langit

karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga (Untung, 2004). Di India, pada tahun 1960 kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970. World Health Organization memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus (Tarumingkeng, 2007). Namun pada tahun 1948 sudah mulai dilaporkan terjadinya resistensi DDT pada nyamuk dan lalat (Untung, 2004). Pada tahun 1954 Anopheles sundaicus dinyatakan resisten terhadap DDT (Hoedojo & Zulhasril, 2000). Uji kerentanan Anopheles aconitus yang dilakukan secara intensif di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hasil yang didapat menerangkan bahwa daerah An. Aconitus resisten DDT dari tahun ke tahun makin

24

meluas, sehingga pada tahun 1985 semua daerah yang diuji kerentanan menunjukkan bahwa An. Aconitus telah resisten terhadap DDT, meskipun derajat resistensinya berbeda-beda (Kirnowardoyo, 1989). Sebagian besar peningkatan resistensi insektisida disebabkan oleh tindakan manusia dalam mengaplikasikan insektisida tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang sifat-sifat dasar insektisida kimia termasuk pengembangan populasi resisten (Untung, 2004). SEJARAH DICHLORO DIPHENYL TRICHLOROETHANE Pencarian senyawa-senyawa sintetik secara sistematik baru dimulai sejak ditemukannya efek insektisida dari DDT (singkatan dari nama trivialnya; 4,4Dichloro Diphenyl Trichloroethane). Penemuan DDT juga merupakan awal dari pengembangan senyawa kimia dari kelompok atau kelas hidrokarbon berklor (chlorinated hydrocarbon) (Djojosumarto, 2006). Dichloro Diphenyl Trichloroethane disintesis oleh Othmar Zeidler pada tahun 1873. Namun, efek insektisidanya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939 di Swiss (Djojosumarto, 2006; Tarumingkeng, 2007). Pada tahun 1946, untuk pertama kalinya resistensi DDT pada lalat rumah diteliti di Swedia. Sebelum diuji secara resmi di Research Station for Fruit Growing, Viticulture, and Horticulture di Wadenswil (Jerman), uji efikasi DDT telah dilakukan oleh Paul Muller terhadap Calliphora vomitoria dan beberapa spesies serangga lainnya. Selanjutnya, DDT dikembangkan oleh R. Weismann dari perusahaan J.R. Geigy. Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di

bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Dichloro Diphenyl Trichloroethane sempat dijuluki the wonder chemical, bahan kimia ajaib yang menyelamatkan ribuan hektar tanaman dari serangan hama serangga (Djojosumarto, 2006). Dichloro Diphenyl Trichloroethane adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga, tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia, sehingga dijuluki The Most Famous and Infamous Insecticide. Pada tahun 1962, Rachel Carson dalam bukunya yang terkenal, Silent Spring menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi, sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972, DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. Dichloro Diphenyl Trichloroethane menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dierami. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material. Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC, dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan.

25

Banyak negara telah melarang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, dsb. (Tarumingkeng, 2007). Ijin untuk menggunakan DDT dalam keadaan darurat oleh karena insektisida alternatif lebih mahal, lebih toksik, dan tidak seefektif DDT (Sadasivaiah et al., 2007). Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian, sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi penggunaan pestisida golongan hidrokarbon berklor (chlorinated hydrocarbon) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk) (Tarumingkeng, 2007).

c. Organofosfat: malathion, biothion, diazinon, dll. d. Karbamat: furadan, sevin, dll. e. Dinitrofenol: dinex, dll. f. Thiosianat: lethane, dll. g. Sulfonat, sulfida, sulfon. h. Lainlain:methylbromide, dll. 2. Hasil alam: nikotinoida, piretroida, rotenoida, dll. Sumber: Hoedojo & Zulhasril (2000); Tarumingkeng (2001). SIFAT KIMIAWI DAN FISIK DDT Senyawa yang terdiri atas bentukbentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) diproduksi dengan menyampurkan chloralhydrate (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl), yang dikatalisasi oleh asam belerang (WHO, 1979; Tarumingkeng, 2007). Nama dagang DDT yang pernah ada di pasaran antara lain Anofex, Cezarex, Chlorophenothane, Clofenotane, Dicophane, Dinocide, Gesarol, Guesapon, Guesarol, Gyron, Ixodex, Neocid, Neocidol, dan Zerdane (WHO, 1979).

PENGGOLONGAN INSEKTISIDA Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Menurut Hoedojo (2000) dan Tarumingkeng (2001), insektisida berdasarkan macam bahan kimianya dibagi dalam: 1. Insektisida sintetik 1) Anorganik: garam-garam beracun seperti arsenat, flourida, tembaga sulfat, dan garam merkuri. 2) Organik: a. Organoklorin: a) Seri DDT: DDT, DDD, metoksiklor. b) Seri klorden : klorden, dieldrin, aldrin, endrin, heptaklor, toksafen. c) Seri BHC: BHC, linden. b. Heterosiklik:kepone, mirex, dll.

Struktur kimia DDT. Dichloro Diphenyl Trichloroethane terdiri atas campuran tiga bentuk isomer DDT (65-80% p,p'-DDT, 15-21% o,p'-DDT, dan 0-4% o,o'-DDT), dan dalam jumlah yang kecil sebagai kontaminan juga terkandung DDE [1,1dichloro-2,2bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2bis(p-chlorophenyl) ethane]. Dichloro Diphenyl Trichloroethane ini berupa

26

tepung kristal putih, tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhadap asam permanganat. Menurut Tarumingkeng (2007), dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah: 1. Sifat apolar DDT: ia tak larut dalam air, tetapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit. 2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten. Ia sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif. Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.

Serangga dikatakan telah resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis yang biasa digunakan, serangga tersebut tidak dapat dibunuh (Soedarto, 2008). Resistensi yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat (Untung, 2004). Lamanya proses resistensi pada serangga terhadap insektisida sangat bervariasi, dari hanya satu sampai dua tahun, hingga puluhan tahun. Sebagai contoh, senyawa arsenik yang digunakan untuk mengendalikan kumbang kolorado pada kentang di Long Island (Amerika Serikat) sejak tahun 1880, baru menampakkan gejala resistensi pada tahun 1940-an, tetapi fenvalerat telah menyebabkan resistensi hanya dalam waktu tiga tahun, bahkan karbofuran tidak lagi efektif setelah dua tahun digunakan (Djojosumarto, 2006). Resistensi insektisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus. Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10 -2 sampai 10-13. Karena adanya seleksi yang terus menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit. Individu resisten kawin satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi insektisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka (Untung, 2004). Beberapa serangga telah resisten terhadap DDT. Setelah DDT ditemukan, serangga yang tidak memiliki resistensi

CARA KERJA DDT Toksisitas DDT adalah sedang, dengan LD50 oral (tikus) 113 mg/kg (WHO, 2005). Insektisida ini bekerja melalui kontak kulit terhadap berbagai jenis serangga (Soedarto, 2008). Dichloro Diphenyl Trichloroethane mempengaruhi keseimbangan ion-ion K dan Na dalam neuron (sel saraf) dan merusak selubung saraf sehingga fungsi saraf terganggu (Tarumingkeng, 2001). Serangga dengan mutasi tertentu pada gen kanal sodiumnya resisten terhadap DDT dan insektisida sejenis lainnya (Denholm et al., 2002). PROSES TERJADINYA RESISTENSI DAN MEKANISME RESISTENSI

27

bawaan dan terkena zat kimia ini akan punah dari populasinya. Sejalan dengan waktu, serangga resisten yang sebelumnya sedikit menjadi bertambah banyak. Akhirnya, seluruh spesies tersebut menjadi populasi dengan anggota-anggota yang resisten terhadap DDT. Ketika ini terjadi DDT menjadi tidak efektif lagi terhadap spesies serangga tersebut (Yahya, 2004). Pengguna insektisida sering menganggap bahwa serangga yang tetap hidup belum menerima dosis letal, sehingga mereka meningkatkan dosis dan frekuensi aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi serangga yang peka dan meningkatkan proporsi serangga yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominasi oleh individu yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominasi oleh individu-individu yang resisten, sehingga pengendalian serangga menjadi tidak efektif lagi. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan populasi yang menerima tekanan seleksi yang lemah. Menurut Untung (2004), mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Peningkatan detoksifikasi insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim tertentu.

Dichloro Diphenyl Trichloroethane didetoksifikasi menjadi DDE, DDA, atau kelthane oleh karena bekerjanya ensim dehidroklorinase (Beament & Treherne, 2003). 2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga. Diperkirakan bahwa kepekaan terhadap DDT di tempat sasaran dapat berubah oleh karena perubahan suhu. Pada penelitian menggunakan neuron sensori pada kaki lipas menunjukkan bahwa DDT lebih efektif merangsang sel sensori pada suhu rendah (16 0C) dari pada suhu tinggi (300C) (Beament & Treherne, 2003). 3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen. Dalam bentuk suspensi, DDT bekerja lebih kuat terhadap larva nyamuk pada suhu rendah dari pada suhu tinggi. Namun, jika diinjeksikan pada larva, DDT bekerja lebih kuat pada suhu tinggi dari pada suhu rendah. Berdasarkan pengamatan tersebut, disimpulkan bahwa DDT diabsorbsi lebih banyak pada suhu rendah dari pada suhu tinggi (Beament & Treherne, 2003). Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida adalah stadium serangga, generation time serangga dan kompleks genetik (genetic complex) serangga. Insektisida yang bekerja terhadap semua stadium serangga, artinya dapat membunuh stadium telur, larva, pupa, maupun dewasa, akan lebih cepat terjadi resistensi terhadapnya dibandingkan dengan insektisida yang hanya bekerja terhadap satu stadium dari serangga. Seranggaserangga yang mempunyai siklus hidup pendek sehingga dalam setahun terdapat

28

banyak generasi, akan lebih cepat menjadi resisten terhadap insektisida dibandingkan dengan serangga-serangga yang hanya mempunyai satu generasi dalam setahun (siklus hidupnya panjang). Dalam hal kompleksitas dari gen, semakin banyak gen yang mengatur kemampuan resistensi serangga terhadap insektisida, semakin lambat terjadi resistensi. Jika jumlah gen pengatur resistensi sedikit, serangga cepat resisten terhadap insektisida (Soedarto, 2008). PEMBAGIAN RESISTENSI Menurut Soedarto (2008), resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy) dan resistensi yang didapat (acquired resistancy). 1. Resistensi bawaan Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap insektisida tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten terhadap suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap suatu insektisida jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau ribu tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida tersebut. 2. Resistensi didapat Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat menyesuaikan diri berkembang menjadi resisten terhadap insektisida tersebut. Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi peka terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi silang (cross

resistance) dan resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo & Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008). 3. Cross resistance Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon (satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri). 4. Double resistance Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan DDT (beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri). Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis insektisida harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus dinaikkan, maka pada dosis tertentu akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan serta berdampak buruk pada lingkungan hidup. Karena itu, insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008). Saat ini laju penemuan insektisida baru sangat lambat, hal ini dapat disebabkan antara lain: 1) peningkatan biaya penelitian untuk menemukan insektisida baru yang memenuhi syarat, 2) peningkatan biaya dan persyaratan registrasi insektisida yang semakin ketat, 3) peningkatan biaya produksi, serta 4) semakin ketatnya kompetisi antar produsen insektisida (Untung, 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

29

Saat ini terjadi resistensi beberapa serangga terhadap DDT yang disebabkan oleh ulah pengguna DDT yang tidak mengerti akan mekanisme terbentuknya populasi serangga yang resisten. Penggunaan insektisida untuk pengendalian atau pemberantasan serangga, sebaiknya tidak terus menerus menggunakan satu jenis atau satu golongan insektisida tertentu saja, tetapi diselingi dengan penggunaan insektisida dari jenis atau golongan lainnya, sehingga menghambat atau memperlambat terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida tertentu..

Soedarto, 2008. Parasitilogi Airlangga University Surabaya, hlm. 288-291.

Klinik. Press,

Tarumingkeng, R.C., 2001. Pestisida dan Penggunaannya. http://tumoutou.net/TOX/PESTISID A.htm, diakses pada tanggal 26 Desember 2008. Tarumingkeng, R.C., 2007. DDT dan Permasalahannya di abad 21. http://tumoutou.net/dethh/9_DDT_a nd_its_problem.htm, diakses pada tanggal 26 Desember 2008. Untung, K., 2004. Manajemen Resistensi Pestisida Sebagai Penerapan Pengelolaan Hama Terpadu. http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id/? satoewarna=index&winoto=base&a c..., diakses pada tanggal 26 Desember 2008. WHO, 1979. Environmental Health Criteria 9: DDT and its derivatives. http://www.inchem.org/documents/ ehc/ehc009.htm, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

DAFTAR PUSTAKA Beament, J.W.L., Treherne, J.E., 2003. Advances in Insect Physiology, Volume 8. Academic Press. Denholm, I., Devine, G.J., Williamson, M.S., 2002. Evolutionary genetics. Insecticides resistance on the move . Science 297 (5590): 2222-3. Djojosumarto, P.,2006. Pestisida & Aplikasinya. Agromedia, Jakarta. Hoedojo, Zulhasril, 2000. Insektisida dan resistensi. Dalam: Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hlm. 248255. Kirnowardoyo, S., 1989. Tinjauan Penyelidikan Entomologi Malaria yang Dilakukan oleh Dit. P2B2, Dit Jen PPM & PLP, Dep. Kes. R.I. Maj. Cermin Dunia Ked. 54: 16-18. Sadasivaiah, S., Tozan, Y., Breman, J.G., 2007. Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) for Indoor Residual Spraying in Africa: How Can It Be Used for Malaria Control?. Am. J. Trop. Med. Hyg. 77 (Suppl 6): 249263.

WHO, 2005. The WHO Recommended Classification of Pesticides by Hazard. http://www.who.int/ipcs/publication s/pesticides_haza, diakses pada tanggal 26 Desember 2008. Yahya, H., 2004. Keruntuhan Teori Evolusi. http://www.harunyahya.com, diakses pada tanggal 26 Desember 2008.

30

EFEK PEMAKAIAN PIL KONTRASEPSI KOMBINASI TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH F. Y. Widodo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Kontrasepsi oral adalah suatu cara kontrasepsi yang sangat luas dipakai untuk menghambat kehamilan, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, mengingat efektifitasnya serta cara pemakaian yang sangat mudah. Namun, pil kontrasepsi ini juga memiliki beberapa efek samping yang tidak diinginkan, salah satunya dapat menimbulkan abnormalitas dari tes toleransi glukosa. Hal tersebut disebabkan adanya kandungan progesteron pada pil kontrasepsi tersebut. Sampai saat ini masih banyak dilakukan kegiatan penelitian lebih lanjut untuk menemukan suatu kontrasepsi oral yang mempunyai daya guna tinggi dan dengan efek samping yang sekecil mungkin terhadap kadar glukosa darah. Kata Kunci : Kontrasepsi oral, progesteron, tes Toleransi glukosa

EFFECT OF COMBINED USE OF CONTRACEPTIVES PIL CONTENT OF BLOOD GLUCOSE F. Y. Widodo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract Oral contraceptives are one of the very widely used contraception to prevent pregnancy, both in Indonesia and around the world, given its effectiveness and use of a very easy way. However, the contraceptive pill also has some undesirable side effects, one of which can cause abnormalities of glucose tolerance tests. This is due to the content of progesterone on the contraceptive pill. Until now there are many activities carried out further research to find an oral contraceptive that has high efficiency and with the least possible adverse effects on blood glucose levels. Keywords: Kontrasepsi oral, progesteron, tes toleransi glukosa

PENDAHULUAN Kontrasepsi oral, merupakan salah satu alat kontrasepsi yang banyak disukai oleh para perserta Keluarga Berencana. Hal ini terungkap dari data yang disampaikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Maret 2011, yang menyatakan bahwa Peserta KB Baru secara nasional pada bulan Maret 2011 sebanyak 739.500 peserta, apabila dilihat per mix kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai berikut : 48.891 peserta IUD (6,61%), 9.634 peserta MOW (1,30%), 2.508 peserta MOP (0,34%), 47.824 peserta Kondom (6,47%), 50.781 peserta Implant (6,87%), 373.154 peserta Suntikan (50,46%), dan 206.708 peserta Pil (27,94%). Dari data tersebut dapat

dilihat bahwa peserta Pil menduduki peringkat kedua setelah peserta Suntikan. (1). Sedangkan di Jawa Timur, angka peserta KB yang menggunakan Pil tidak jauh berbeda dengan angka nasional, yaitu sebesar 23.53%, menduduki peringkat kedua setelah peserta Suntikan, sebesar 60.13%. Untuk jumlah peserta KB lain adalah IUD 5.84%, MOW 1.73 %. MOP 0.40%, Kondom 4.04% dan Implant 4.32% (1). Diseluruh dunia, jumlah wanita yang menggunakan alat kontrasepsi oral mencapai lebih dari 100 juta jiwa. Di Amerika Serikat, pil kontrasepsi disetujui untuk digunakan sejak tahun 1960, dan saat ini penggunanya hampir mencapai 12 juta jiwa (2,3). Data yang ada menunjukkan bahwa pemakaian pil kontrasepsi mencapai 30% dari keseluruhan

31

cara KB yang dipakai, dan ini lebih banyak apabila dibandingkan dengan pemakai alat kontrasepsi lain, seperti misalnya MOW (20%), kondom (13%), MOP (15%), IUD (6%), sedangkan sisanya memakai cara KB yang lain (4). Namun, ternyata alat kontrasepsi yang paling banyak dipakai ini juga memiliki beberapa efek samping yang tidak diinginkan, yang berpengaruh pada pemakainya. Salah satu efek samping yang dianggap paling berbahaya adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler, dimana dapat menimbulkan penyakit jantung koroner (5, 6). Dari data-data yang ada, pada awalnya menyebutkan, bahwa peningkatan resiko kematian diantara wanita yang pernah memakai pil kontrasepsi, terutama disebabkan adanya gangguan pembuluh darah pada para pemakai yang usianya lebih tua dan mempunyai kebiasaan merokok. Sedangkan laporan yang lebih baru menyebutkan, setelah dilakukan penelusuran lebih dari 25 tahun, diketahui bahwa efek pil kontrasepsi yang paling meningkatkan mortalitas terjadi pada pemakai baru dan yang sedang menggunakan. Efek ini menetap dalam jangka 10 tahun setelah penghentian pemakaian (7, 8). Faktor risiko lain yang dapat memicu timbulnya penyakit jantung koroner adalah abnormalitas dari tes glukosa darah . Seperti diketahui, pemakaian pil kontrasepsi juga dapat meningkatkan kadar glukosa darah pada pemakainya, sehingga pada peserta KB yang memakai kontasepsi dalam bentuk pil, resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler ini akan menjadi semakin lebih besar (4, 9) Efek pemakaian kontrasepsi oral terhadap metabolisme karbohidrat ini diperkirakan oleh karena komponen estrogen pada preparat kontrasepsi oral tersebut (4). Namun, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gangguan estrogen terhadap metabolisme karbohidrat adalah kecil. Pernyataan ini juga ditunjang oleh penelitian yang dilakukan Berenson dan kawan-kawan , para sarjana tersebut meneliti preparat ethinyl estradiol and desogestrel, yang ternyata juga memberikan dampak kepada

metabolisme karbohidrat, walaupun gangguan tersebut secara klinis tidak bermakna (10, 11). Selain itu, penelitian tentang efek norgestimate dan desogestrel yang dikombinasi dengan 25 g ethinyl estradiol (EE), ternyata hasilnya tidak menunjukkan perbedaan dengan kedua penelitian tersebut diatas (12). Saat ini banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan kontrasepsi oral tiga fase. Nampaknya kontrasepsi oral jenis ini hanya memberikan efek yang minimal pada metabolisme karbohidrat, dan bahkan tidak menunjukkan efek yang berarti pada pemakainya. Efek itu tergantung pada macam kontrasepsi oral yang dipakai, serta ada atau tidak adanya latar belakang risiko timbulnya penyakit-penyakit tersebut. (8, 12). Sejarah Pil Kontrasepsi Perkembangan penggunaan pil kontrasepsi sebagai pencegah kehamilan diawali ketika pada tahun 1940 Sturgis dan Albright menjelaskan tentang efek hambatan ovulasi pada wanita yang mengkonsumsi preparat estrogen. Selanjutnya, dengan adanya perkembangan penemuan preparat progesteron oral yang kuat, maka kemungkinan untuk menghambat ovulasi secara konsisten dan membuat suatu periode menstruasi yang baru, telah menjadi kenyataan (4). Penggunaan preparat progesteron untuk menghambat ovulasi ini pertama kali dilakukan oleh Rock, Pincus dan Gracia. Preparat yang digunakan adalah derivat dari 19-nortestosterone, yang diberikan selama 20 (dua puluh) hari, dimulai dari hari ke 5 (lima) menstruasi sampai dengan hari ke 25 (dua puluh lima) dalam satu siklus menstruasi (13). Secara intensif, penelitian tentang penggunaan pil kombinasi dilakukan dibawah pimpinan Pincus dan Rock yang melakukan percobaan lapangan di Puerto Rico. Pil tersebut mengandung progestin norethynodrel dan estrogen mestranol, ternyata pil tersebut memiliki daya yang sangat tinggi untuk mencegah kehamilan. Ini permulaan terciptanya pil kombinasi. (13, 14). Pil yang terdiri dari kombinasi antara

32

etinilestradiol atau mestranol dengan salah satu jenis progestagen (progesteron sintetik) kini banyak digunakan untuk kontrasepsi (14). Kemudian, sebagai hasil penelitian lebih lanjut, ditemukan pil sekuensial, mini pill, morning after pill, dan Depo-Provera yang diberikan sebagai suntikan (4, 14) Dewasa ini masih terus dilakukan kegiatan penelitian lebih lanjut untuk menemukan suatu cara kontrasepsi hormonal yang mempunyai daya guna tinggi dan dengan efek samping yang sekecil mungkin (14).

lain yang mengandung jumlah estrogen yang sama (6, 13). 3. Pil Kontrasepsi Oral 3 Fase. Dalam pil kontrasepsi 3 fase, kadar estrogen dan progesteron bervariasi sedemikian rupa, sehingga mirip sekali dengan keadaan alamiah dalam tubuh penggunanya. Kadar hormon-hormon tersebut dalam pil adalah sebagai berikut: 6 tablet berisi ethynilestradiol 30 Ug dan levonorgestrel 50 Ug 5 tablet berisi ethynilestradiol 40 Ug dan levonorgestrel 75 Ug 10 tablet berisi ethynilestradiol 30 Ug dan levonorgestrel 125 Ug

Jenis Pil Kontrasepsi Pada dasarnya sampai saat ini telah diketahui adanya beberapa jenis pil kontrasepsi sebagai berikut: 1. Pil Kombinasi. Pil ini mengandung estrogen dan progesteron, diminum 1 tablet setiap hari, dan harus dimulai pada hari ke 5 (lima) saat menstruasi, dan diminum selama 20 (dua puluh) atau 21 (dua puluh satu) hari. Dengan memakai pil kombinasi maka pengeluaran LH (Luteinizing Hormone) akan dihambat, sehingga ovulasi tidak terjadi. Disamping itu, motilitas tuba Fallopii dan uterus juga ditinggkatkan, sehingga fertilisasi akan sulit terjadi. Efek yang lain terhadap traktus urogenitalis adalah modifikasi pematangan endometrium sehingga implantasi menjadi sukar, dan terjadi pula pengentalan dari lendir serviks uteri sehingga pergerakan sel sperma menjadi terhalang (4, 14, 15) 2. Pil Kontrasepsi 2 Fase Pil ini terdiri dari 21 tablet, yang kesemuanya mengandung ethinyl-estradiol 35 Ug, tetapi 10 tablet pertama mengandung progesteron 0.5 mg, dan 11 tablet berikutnya mengandung progesteron sebesar 1 mg. Model pil ini lebih mendekati siklus menstruasi yang normal, sehingga dapat lebih menurunkan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan. Khasiat pil ini untuk mencegah kehamilan tetap sama dengan pil

Pil kontrasepsi jenis ini memiliki efek samping yang paling minimal apabila dibanding dengan jenis yang lain, tetapi efek untuk mencegah kehamilan tetap sebanding (6, 13). 4. Pil Pasca Sanggama pill/morning after pill) ( post coital

Pil ini hanya mengandung estrogen saja, namun dalam dosis yang besar. Cara mengkonsumsi pil ini adalah diberikan selama 5 (lima) hari berturut-turut, dan harus mulai deiberikan paling lama 72 (tujuh puluh dua) jam setelah sanggama. Cara kerja pil ini adalah dengan menghambat terjadinya implantasi/penempelan blastokist kedalam endometrium (4, 6, 13, 14). 5. Pil Berurutan (sequential pill) Dosis pil ini merupakan campuran antara pil estrogen dan pil kombinasi. Estrogen diberikan selama 15 hari pertama, selanjutnya diikuti dengan pemberian pil kombinasi estrogen dan progesteron selama 5 hari berikutnya. Khasiat pil ini sebagian besar tergantung pada komponen estrogennya yang bekerja menghambat LHRH (Lutein Hormone Releasing Hormone), sehingga FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) tidak dikeluarkan. Akibatnya, proses ovulasi akan menjadi terhambat (6, 14).

33

6. Mini Pil Pil jenis ini merupakan pil tunggal yang hanya mengandung progesteron saja, dan diberikan setiap hari. Cara kerja pil ini ialah dengan meningkatkan kekentalan lerdir serviks uteri sehingga sperma menjadi sulit untuk bergerak. Pil ini juga menyebabkan adanya perubahan pada endometrium, sehingga implantasi dapat dihambat (14, 16). 7. Pil Kontrasepsi Untuk Pria Saat ini telah ditemukan suatu bahan yang disebut Gosypol, yang ternyata memiliki efek spermatisida (membunuh sel sperma), baik pada pemakaian lokal maupun sistemik. Lebih lanjut, penggunaan obat ini masih dalam penelitian para ahli, baik tentang farmakologinya maupun tentang toksikologinya (17).

Komponen progesterone lebih banyak menghambat LH dan hanya sedikit menghambat FSH. Fungsi dari progesterone dalam pil kombinasi adalah untuk lebih memperkuat khasiat estrogen, sehingga dalam 95 98% tidak terjadi ovulasi. Progesteron sendiri dalam dosis tinggi dapat menghambat terjadinya ovulasi, tetapi tidak pada dosis rendah. Progesteron memiliki khasiat (14, 15, 18): membuat lendir serviks uteri menjadi lebih kental, sehingga menghalangi penetrasi spermatozoon untuk masuk kedalam uterus. Kapasitasi spermatozoon yang perlu untuk memasuki ovum terganggu Beberapa jenis progesterone memiliki efek antiestrogenik terhadap endometrium, sehingga menyulitkan implantasi ovum yang telah dibuahi.

Mekanisme Kerja Pil Kontrasepsi Efek pil kontrasepsi untuk dapat mencegah kehamilan adalah merupakan kerja aktif dari komponen-komponen yang ada dalam pil tersebut. Pada pil kombinasi, komponen estrogen dan komponen progesteron bekerja sama untuk menghambat terjadinya ovulasi (13, 14, 18). Aktifitas tersebut terjadi pada tingkat hipotalamus, yaitu dengan menghambat GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone), sehingga pelepasan FSH dan LH yang berasal dari kelenjar hipofisa anterior akan terhambat, dan hal tersebut akan menimbulkan hambatan pada ovarium secara sekunder (13, 18) Dikatakan bahwa estrogen memiliki dominansi untuk menekan FSH, sehingga maturasi folikel dalam ovarium menjadi tehambat. Karena pengaruh estrogen dari ovarium tidak ada, maka tidak terdapat pengeluaran LH. Ditengah-tengah daur haid kurang terdapat FSH dan tidak ada peningkatan kadar LH akan menyebabkan ovulasi menjadi terganggu. Estrogen dalam dosis tinggi dapat mempercepat perjalanan ovum, dan hal ini akan mempersulit terjadinya implantasi dalam endometrium dari ovum yang sudah dibuahi(13, 14, 18)

Efek progesterone dan estrogen bersama-sama dapat dilihat pada endometrium, dimana endometrium menjadi sukar untuk mengalami implantasi dan menjadi lebih tipis, yang mengakibatkan para pemakai pil kontrasepsi jarang mengalami menstruasi (14, 18, 19). Dengan banyaknya modifikasi dalam rumus kimia dan dosis dari progesterone dan estrogen, maka aktifitas biologik dari berbagai jenis pil juga berbeda-beda. Untuk membandingkan khasiat farmakologi dari pil-pil kombinasi, selain dilihat dosisnya, juga harus dilihat dari jenis hormon yang terkandung dalam pil tersebut. Sebagai contoh, noretindron dan noretinodrel memiliki kekuatan yang sama, sedangkan noretindron asetat dua kali lebih kuat daripada noretindron, atau noretinodrel. Etinodiol diasetat 15 kali lebih kuat daripada norgestrel dan kira-kira 30 kali lebih kuat daripada noretindron atau noretinodrel. Etinil estradiol memiliki kekuatan 1.7 sampai dengan 2 kali lebih kuat daripada mestranol. Hal ini penting untuk diketahui, apabila akan memberikan pil kontrasepsi, perlu dilakukan evaluasi terlebih dahulu tentang dosis dan

34

jenis kedua hormon yang dipakai dalam pil kombinasi tersebut (14, 18, 19).

Keuntungan Apabila diminum secara teratur, pil kontrasepsi memiliki efektifitas untuk mencegah terjadinya kehamilan hampir mendekati 100%. Tidak ditemukan adanya abortus spontan atau abnormalitas pada bayi yang dikandung, apabila terjadi kehamilan selama pemakain pil tersebut (18, 19, 20) Pada wanita yang menghentikan pemakaian pil kontrasepsi karena ingin hamil, ternyata tidak menunjukkan adanya infertilitas yang permanen, serta tidak didapatkan hubungan antara besarnya angka kehamilan dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral (21) Penggunaan pil kontrasepsi pada masa lalu ternyata juga tidak mengganggu kehamilan yang terjadi kemudian setelah penghentian pemakaian, dan tidak meningkatkan risiko kematian janin dalam rahim, tidak meyebabkan prematuritas, kelainan kongenital dan kematian perinatal (18). Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penghentian penggunaan pil kontrasepsi tidak akan menyebabkan bayi yang lahir memiliki berat badan lahir rendah, namun ada yang menyebutkan akan terjadi kelahiran dengan berat badan yang rendah apabila pil kontrasepsi masih digunakan pada kehamilan usia dini sekali, yaitu saat-saat mendekati waktu konsepsi (22, 23). Selain itu, pil kontrasepsi juga memiliki kelebihan yang menguntungkan pada pemakainya, yaitu: a. Pencegahan terhadap infeksi/radang panggul (pelvic inflamatory disease) dan penyakit menular seksual. Hal ini bisa terjadi disebabkan mengentalnya lendir serviks uteri, sehingga mencegah masuknya kuman kedalam rahim (9, 18, 19). b. Pencegahan terhadap terjadinya kehamilan ektopik (9, 18, 19)

c. Pencegahan terhadap penyakit kanker ovarium, kanker endometrium, serta pencegahan terhadap timbulnya tumor jinak payudara (9, 18, 19) d. Mengurangi risiko terjadinya penyakit rheumatoid arthritis (9, 18) e. Memperbaiki kelainan-kelainan menstruasi, seperti haid tidak teratur, dismenorhea, premenstrual tension, keluarnya darah haid yang banyak, serta mencegah endometriosis ( 4, 18) Kontraindikasi Kontraindikasi penggunaan pil kontrasepsi dapat dibagi menjadi dua, yaitu kontraindikasi mutlak/absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi mutlak meliputi penyakit trombofeblitis atau tromboemboli, penyakit serebrovaskuler, dan juga penyakit jantung koroner. Penyakit tersebut diderita saat ini atau pernah diderita pada saat lampau.. Penyakti lain adalah kanker payudara serta penyakit kanker lain yang dipengaruhi oleh estrogen, perdarahan pervaginam abnormal yang tidak terdiagnosis, kehamilan dan gangguan faal hati (4, 6, 14). Sedangkan kontra inidikasi relatif meliputi penyakit hipertensi, diabetes melitus, perokok, umur lebih dari 35 tahun, penyakit kandung empedu, gangguan faal hati ringan, gangguan faal ginjal dimasa lalu, epilepsi dan mioma uteri (4, 6, 14). Efek Samping Efek samping yang paling ditakuti pada pemakaian pil kontrasepsi adalah timbulnya penyakit pada sistem kardiovaskuler, terutama pada pemakai pil yang berumur lebih dari 35 tahun dan perokok (7, 8). Pemakaian pil kontrasepsi juga akan meningkatkan risiko terkena penyakit-penyakit tromboemboli, penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskuler, serta hipertensi (14, 18). Risiko yang lain adalah timbulnya tumor-tumor ginekologik, yaitu tumor

35

mammae dan serviks uteri, serta timbulnya tumor-tumor ditempat lain, seperti tumor pada hati, melanoma dan tumor pada kelenjar hipofisa (14, 18) Selain memungkinkan timbul efek samping yang berat, pada pemakai kontrasepsi oral juga bisa timbul efek samping yang lebih ringan, yang disebabkan oleh komponen-komponen dalam pil tersebut. Dari komponen estrogen, akan memberikan efek samping ringan berupa rasa mual, retensi cairan, sakit kepala, nyeri pada payudara, dan keputihan. Sedangkan komponen progesteron akan menyebabkan efek samping ringan berupa perdarahan yang tidak teratur, bertambahnya berat badan, payudara mengecil, keputihan, jerawat dan kebotakan (15, 16, 18) Disamping itu, masih banyak efek samping yang lain, yang timbul pada pemakai pil kontrasepsi, seperti misalnya adanya gangguan penglihatan, gangguan metabolisme lemak, ganguan metabolisme karbohidrat, gangguan pada sistem pembekuan darah, serta gangguan metabolisme protein (6, 16, 18) GLUKOSA DARAH Kadar glukosa darah normal berkisar antara 65 - 110 mg/dl, atau 3.6 6.1 mmol/l.. Pada keadaan posabsorbsi, konsentrasinya berkisar antara 4.5 5.5 mmol/l. Setelah makan yang mengandung tinggi karbohidrat, akan naik menjadi 6.5 7.2 mmol/l. Saat puasa, kadar glukosa darah turun hingga 3.3 3.9 mmol/l (24). Seseorang akan didiagnosa menderita diabetes melitus apabila (25, 26, 27) : 1. Gejala klasik berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, ditambah gula darah sewaktu > 200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir. Atau:

2. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau: 3. Kadar gula darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) > 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan Standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air. Penurunan kadar glukosa darah yang sangat mendadak seperti misalnya pada kelebihan dosis insulin, dapat menyebabkan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena menurunnya kadar glukosa di otak (24). Sumber Glukosa Darah Sebagian besar karbohidrat dalam makanan akan membentuk glukosa, galaktosa atau fruktosa, yang kemudian akan diangkut ke hati lewat vena porta. Kemudian galaktosa dan fruktosa akan dikonversi menjadi glukosa. (24) Selain dari diet, glukosa juga bisa diperoleh dari senyawa-senyawa glukogenik yang mengalami glukoneogenesis. Asam amino dan propionat, akan langsung diubah menjadi glukosa. Asam laktat yang merupakan hasil oksidasi glukosa dalam otot, akan dibawa ke hati dan ginjal untuk disintesis kembali menjadi glukosa, yang selanjutnya akan masuk ke sirkulasi darah untuk dipakai lagi oleh jaringan tubuh. Demikian juga gliserol, dibawa ke hati dan ginjal untuk diubah menjadi glukosa (24). Apabila terjadi kelaparan, alanin yang ada dalam otot akan dibawa ke hati untuk diubah menjadi glukosa. Sebaliknya, glukosa dalam hati bisa dibawa ke otot untuk diubah menjadi alanin (Siklus GlukosaAlanin). Sumber glukosa darah yang lain bisa berasal dari proses glikogenolisis di hati. (24) Pengendalian Enzimatis Sel hati memiliki permeabilitas terhadap glukosa yang lebih tinggi daripada sel-sel lain. Impermeabilitas sel ekstrahepatik

36

disebabkan oleh membran sel yang menghalangi masuknya glukosa kedalam sel. Glukosa yang telah masuk, akan segera mengalami fosforilasi oleh enzim heksokinase. Kecepatan pengambilan glukosa dalam hati maupun jaringan ekstrahepatik tergantung pada kadar glukosa darah. Heksokinase akan dihambat oleh glukosa-6-fosfat (mekanisme umpan balik). Enzim lain yang berperan adalah glukokinase, yang tidak dipengaruhi oleh oleh glukosa-6-fosfat (24) Apabila konsentrasi glukosa darah meningkat, maka glukosa akan dibawa ke hati melalui vena porta. Pada kadar glukosa yang normal, hati merupakan satu-satunya penghasil glukosa. Tetapi, bilakadar glukosa meningkat, pengeluaran glukosa dari hati akan terhenti (24). Pengendalian oleh Hormon Hormon pengendali kadar glukosa darah yang utama adalah insulin. Adanya insulin, akan menyebabkan pengambilan glukosa oleh otot dan jaringan lemak. Hal ini karena adanya peningkatan transport glukosa melalui membran sel. Insulin disekresi kedalam sirkulasi darah sebagai respon langsung keadaan hiperglikemia. Asam amino, asam lemak bebas, keton, glukagon, sekretin dan tolbutamida, dapat merangsang pengeluaran insulin (24) Epinefrin dapat menghambat pelepasan insulin, serta menyebabkan glikogenolisis dalam hati dan otot dengan cara merangsang fosforilase. Karena dalam otot tidak terdapat enzim glukosa-6fosfatase, maka hasil akhirnya berupa laktat. Hormon-hormon lain seperti glukagon, GH, ACTH, glukokortikoid, dan hormon tiroid, memiliki efek yang sama dengan epinefrin, yaitu bertindak sebagai hormon-hormon diabetogenik, yang masing-masing memiliki kekhususan, bekerja dengan mekanisme yang berbeda-beda (24). Pengendalian oleh Ginjal Secara terus menerus, glukosa akan difiltrasi oleh glomeruli. Kemudian, karena adanya sistem reabsorbsi dari tubulus ginjal, maka glukosa akan kembali masuk kedalam sirkulasi darah. kapasitas sistem tubuler

untuk mereabsorbsi glukosa memiliki batas ambang. Bila kadar glukosa meningkat, sebagian glukosa akan terbuang melalui urine. Glukosuria akan terjadi apabila kadar glukosa darah vena melebihi 10.0 mmol/l, atau setara dengan 180 mg/dl. (24)

Toleransi Glukosa Menurunnya toleransi glukosa, merupakan tanda dari Diabetes Melitus, sebagai akibat menurunnya sekresi insulin. Manifestasi dari hal tersebut adalah berupa naiknya kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan glukosuria. Selain itu, toleransi glukosa juga bisa menurun karena adanya obesitas yang menimbulkan hiperlipidemia, atherosklerosis dan penyakit jantung koroner, yang timbul bersama-sama dengan diabetes melitus, yang secara keseluruhan dikenal dengan sebutan sindroma metabolik. Penurunan toleransi glukosa juga bisa terjadi pada kerusakan hepar, beberapa penyakit infeksi, obat-obatan, hiperaktifitas kelenjar hipofisa dan korteks adreanal yang menghasilkan hormon-hormon antagonis insulin (24) Pemberian suntikan insulin akan menurunkan kadar glukosa darah, dimana penggunaan serta penyimpanan glukosa sebagai glikogen dalam otot dan hati akan ditingkatkan. Kelebihan dosis insulin dapat menyebabkan hipoglikemia, yang akan menyebabkan kejang-kejang, dan bahkan kematian, walaupun pengobatan segera dilakukan dengan pemberian glukosa. Peningkatan toleransi glukosa juga nampak pada insufisiensi kelenjar hipofisa atau korteks adrenal, dimana akan terjadi penurunan kadar hormon-hormon yang bekerja secara antagonis dengan insulin (24). EFEK KONTRASEPSI ORAL TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH Seperti telah disampaiakan didepan, bahwa pemakaian kontrasepsi oral dapat menimbulkan beberapa efek samping yang merugikan pemakainya, yang salah satunya adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah, sebagai akibat toleransi glukosa darah yang menurun. Hal ini akan terlihat apabila

37

dilakukan perbandingan tes toleransi glukosa pada pemakai kontrasepsi oral dan yang tidak memakai kontrasepsi oral. Kadar glukosa darah pemakai kontrasepsi oral akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak memakai (6, 13, 18). Kontrasepsi oral yang hanya mengandung estrogen saja, tidak memiliki efek merugikan pada metabolisme glukosa, tetapi yang mengandung progesteron menunjukkan antagonisme dengan insulin. Formulasi kontrasepsi oral dengan progesteron dosis tinggi menunjukkan tes toleransi glukosa yang abnormal pada pemakainya, dengan tingkat insulin yang meningkat pada rata-rata pasien. Efeknya pada metabolisme karbohidrat, akan menurunkan toleransi glukosa. Progesteron juga dapat menurunkan kecepatan absorpsi karbohidrat dari sistem pencernaan makanan. Hal-hal tersebut diatas terkait dengan potensi androgenik dari progesteron, serta tingirendahnya dosis progesteron (6, 13, 18) Komponen progestogen yang digunakan sebagai bahan kontrasepsi oral kombinasi, telah mengalami perubahanperubahan sejak pertama kali ditemukan. Diakui bahwa struktur kimia itu dapat memberikan efek yang merugikan maupun yang menguntungkan. Pemikiran tersebut diatas menarik minat beberapa ahli untuk melakukan beberapa riset, yang hasilnya ternyata masih menunjukkan adanya beberapa perbedaan pendapat. Namun, sebagian besar dari hasil riset tersebut menyatakan bahwa, obat-obat kontrasepsi oral generasi baru sebagian besar tidak menunjukkan adanya gangguan pada metabolisme karbohidrat. Walaupun sebagian kecil ada gangguan, sifatnya hanya ringan saja, tidak sampai menunjukkan adanya kemaknaan secara klinis. Gejala klinis akan timbul apabila pemakai kontrasepsi oral tersebut sebelumnya telah memiliki faktor risiko yang mendasari (19, 28) Di Amerika Serikat, data yang disampaikan oleh Third National Health and Nutrition Examination Survey, yang membandingkan efek samping berbagai macam kontrasepsi oral, menunjukkan bahwa (29):

1. Pemakai kontrasepsi oral pemula, tidak menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa darah, HbA1c, insulin, atau Peptida-C. 2. Tidak ada hubungan antara umur pemakai, usia ketika pertama kali memakai kontrasepsi oral, dengan metabolisme karbohidrat 3. Penghentian kontrtasepsi oral tidak menyebabkan perubahan pada metabolisme karbohidrat. Riset terbaru yang dilakukan oleh Berenson dan kawan-kawan pada tahun 2011, menunjukkan bahwa kontrasepsi oral yang mengandung desogestrel, suatu progesteron generasi ketiga, ternyata tidak menyebabkan peningkatan kadar glukosa maupun insulin pada pemakainya, dibandingkan dengan pamakaian kontrasepsi suntik yang mengandung DMPA, yang ternyata meningkatkan kadar glukosa dan insulin, walaupun hanya sedikit (10). Klipping dan Marr melakukan riset dengan membandingkan efek 2 (dua) macam kontrasepsi oral yang masing-mnasing mengandung progesteron jenis terbaru, yaitu drospirenone dan desogestrel, terhadap metabolisme lipid, karbohidrat dan parameter hemostatik. Dari hasil Tes Toleransi Glukosa, ternyata tidak menunjukkan adanya peningkatan yang bermakna, sehingga keua jenis progesteron tersebut disimpulkan aman untuk dipakai (30) Ldickea dan kawan-kawan melakukan riset dengan membandingkan efek 2 (dua) jenis kontrasepsi oral yang masing-masing mengandung gestodene atau desogestrel yang dikombinasikan dengan ethinilestradiol terhadap profil karbohidrat pemakainya. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar glukosa yang bermakna, namun tidak ditemukan peningkatan kadar insulin dan peptida-C. Tidak ada perbedaan antara pengaruh gestodene dan desogestrel terhadap metabolisme karbohidrat (12) Penelitian yang dilakukan di Swedia pada pemakai kontrasepsi oral yang berusia antara 36 56 tahun menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pemakaian kontrasepsi oral dengan timbulnya gejala prediabetes. Namun, hal tersebut tidak ditemukan pada pemakai yang memiliki

38

risiko rendah terhadap penyakit kardivaskuler, memiliki Indeks Massa Tubuh (BMI) lebih rendah, aktif melakukan latihan fisik, serta tidak merokok. Dikemukakan pula bahwa risiko terhadap pemakaian kontrasepsi oral akan semakin menurun dengan semakin lamanya penggunaan kontrasepsi oral ini (31). Di Asia juga dilakukan beberapa riset yang memantau pengaruh pemakaian kontrasepsi oral terhadap kadar glukosa darah. Di Thailand, Suwikroma dan Jaisamrarnb mengemukakan bahwa pil kontrasepsi kombinasi dosis rendah yang diminum oleh wanita diatas usia 40 tahun, dapat meningkatkan toleransi glukosa dan menurunkan kadar glukosa darah puasa, sehingga aman untuk dipakai (32). Riset yang dilakukan di China oleh Rosenthal dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa pemakaian kontrasepsi oral secara umum tidak akan meningkatkan risiko terjadinya diabates melitus. Risiko terjadinya diabates melitus akan meningkat pada saat awal-awal pemakaian saja, setelah pemakaian diteruskan malah menunjukkan penurunan risiko terjadinya diabates melitus (33). Usaha-usaha yang dilakukan oleh para ahli untuk menurunkan efek yang tidak diinginkan pada pemakaian kontrasepsi oral, tidak hanya dengan cara menemukan jenis obat yang mutakhir saja, namun juga diusahakan merekayasa cara pemberian dan penurunan dosis sedemikian rupa sehingga aman dipakai. Rekayasa tersebut antara lain dengan mengubah dosis kontrasepsi oral monofasik menjadi bifasik atau trifasik. Skema administrasi ini memungkinkan penurunan dosis total progestin per siklus pemakaian, serta lebih dapat meniru siklus alami yang murni. Ini tidak berarti bahwa pil bifasik atau trifasik memiliki keuntungan yang berlebihan, karena masih memungkinkan timbulnya efek samping pada pemakainya, walaupun telah diminimalisir (19, 20, 34) KESIMPULAN Sejak diperkenalkan pada tahun 1960, pil kontrasepsi kombinasi telah menjadi salah satu metode yang paling

banyak dan sering digunakan di seluruh dunia. Meskipun sangat efektif, formulasi kontrasepsi oral berhubungan dengan efek samping yang signifikan. Perbaikan-perbaikan yang dilakukan melalui riset dalam tolerabilitas dan keamanan telah dicapai, tanpa mengurangi efektivitasnya, terutama melalui pengurangan dosis hormon dan pengembangan beberapa macam progestin baru. Kontrasepsi oral kombinasi multifasik juga telah diperkenalkan, walaupun keuntungan klinis dari formulasi tersebut belum berani dinyatakan sepenuhnya aman. Penelitian yang serius dan kontinyu perlu terus dilakukan, untuk menjamin para pemakai kontrasepsi oral, bahwa sediaan kontrasepsi oral yang beredar telah dirancang untuk meningkatkan kebutuhan tolerabilitas dan keamanan yang selama ini belum terpenuhi, untuk menuju kepada tersedianya kontrasepsi yang aman dan efektif, untuk dipakai oleh generasi mendatang. KEPUSTAKAAN 1. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN); 2011; Laporan Umpan Balik Hasil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kontrasepsi Maret 2011; Direktorat Pelaporan dan Statistik BKKBN; Jakarta; hal. 9 11, dan 51. 2. Trussell, J.; 2007; "Contraceptive Efficacy". In Hatcher, R. A., et al.; Contraceptive Technology; 19th rev. ed.; Ardent Media, NY. 3. Mosher WD, Martinez GM, Chandra A, Abma JC, Willson SJ; 2004; "Use of contraception and use of family planning services in the United States: 19822002" . Adv Data (350): 136, U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SERVICES, Centers for Disease Control and Prevention National Center for Health Statistics.

39

4. Pernoll, M. L.; 2001; Benson & Pernooll Handbook of Obstetrics and Gynecology; 10th ed.; McGraw-Hill Medical Publishing Division, New York, p. 727 41 5. Hall, J. E.; 2008; The Female Reproductive system: Infertility and Contraception; Harrisons Principles of Internal Medicine, vol. II, 17th ed., McGraw-Hill Medical, NY.; p. 2275 304. 6. Chrousos, G. P.; 2007; The Gonadal Hormone & Inhibitors; on Katzung Basic and Clinical Pharmacology; 10th ed.; The McGraw-Hill Co. Inc.; p. 664 71 7. Vessey M, Painter R, Yeates D.; 2003; Mortality in relation to oral contraceptive use and cigarette smoking. Lancet; 362:185-91. 8. Hannaford, P. C., et al ; 2010; Mortality among contraceptive pill users: cohort evidence from Royal College of General Practitioners Oral Contraception Study; BMJ; 340: c927 9. Burkman, R.; Schlesselman, J. J.; Zieman, M.; 2004; Safety Concerns and Health Benefits Associated with Oral Contraception; American Journal of Obstetrics & Gynecology, Vol. 190, Issue 4, Sup , P. S5-S22 10. Berenson, A. B.; van den Berg, P; Williams, K. J.; Rahman, M.; 2011; Effect of Injectable and Oral Contraceptives on Glucose and Insulin Levels; Obstetrics & Gynecology. 117(1):41-47

11. Kaunitz, A. M.; 2004; Enhancing oral contraceptive success: the potential of new formulations; Am. J. of Obst. & Gyn., Vol. 190, Issue 4, Sup., p. S23-S29 12. Ldickea, F.; et al; 2002; Randomized controlled study of the influence of two low estrogen dose oral contraceptives containing gestodene or desogestrel on carbohydrate metabolism; Contraception, Volume 66, Issue 6, Pages 411-415 13. Loose-Mitchel, D. S.; Stancel, G. M.; 2001; Hormonal Contraseptives; on Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Theurapeutics, 10th ed.; McGrawHill Prof., 1623 9. 14. Wiknjosastro, H. (editor); 2007; Ilmu Kandungan; cetakan kelima; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, hal. 534 575. 15. Norwitz, E. R.; Schorge, J. O.; 2008; At a Glance Obsteri dan Ginekologi; edisi kedua; alih bahasa Diba Artsiyanti; Penerbit Erlangga; hal. 31. 16. Bennet, P. N.; Brown, M. J.; 2003; Clinical Pharmacology; 9th ed.; Churchill Livingstone; p. 721 8. 17. Coutinho, E. M.; 2002; Gossypol: a Contraceptive for Men; Contraception , Vol. 65, Issue 4, Pages 259-263 18. Stubblefield, P. G.; Carr-Ellis, S.; Kapp, N.; 2007 ; Family Planning, on Berek & Novaks Gynecology; 14th ed.; Lippincott Williams & Wilkins; p. 247 - 312.

40

19. Kiley, J. ; Hammond, C; 2007; Combined Oral Contraceptives: A Comprehensive Review; Clin. Obst. Gyn; Vol. 50 - Issue 4 - pp 868-877 20. Dhont, M.; 2010; History of Oral Contraception; The European Journal of Contraception and Reproductive Health Care; 15(S2):S12S18. 21. Barnhart K; Mirkin S; Grubb G; Constantine G; 2009; Return to Fertility After Cessation of a Continuous Oral Contraceptive; Fertil Steril; Vol. 91 (5), pp. 1654-6. on http://web.ebscohost. com/ 22. Chen XK; Wen SW; Sun LM; Yang Q; Walker MC; Krewski D; 2009; Recent oral contraceptive use and adverse birth outcomes; Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol; Vol. 144 (1), pp. 40-3; on http://web. ebscohost.com/ 23. Mucci LA; Lagiou P; Hsieh CC; Tamimi R; Hellerstein S; Vatten L; Adami HO; Cnattingius S; Trichopoulos D; 2004; A prospective study of pregravid oral contraceptive use in relation to fetal growth; BJOG; Vol. 111 (9), pp. 989-95; on http://web. ebscohost.com/ 24. Bender, D. A.; 2009; Gluconeogenesis & the Control of Blood Glucose; on Harpers Illustrated Biochemistry; 28th ed.; McGraw-Hill; p. 165 173. 25. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 2005; Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus; Departemen Kesehatan RI

26. Powers, A. C.; 2008; Diabetes Mellitus, on Harrisons Principles of Internal Medicine, vol II; 17 th ed.; McGraw-Hill Medical, New York; p. 2275 2304. 27. McPhee, S.J.; Papadakis, M. A.; Rabow, M. W.; 2011; Diabetes Mellitus Hypoglicemia ; on Current Medical Diagnosis & Treatment; 15th ed.; The McGrawHill Companies, Inc; Chapter 27; on http://www. accessmedicine.com 28. Lawrie TA; et al; 2011; Types of Progestogens in Combined Oral Contraception: Effectiveness and Side-Effects; Cochrane Database Syst Rev; Vol. 5. on http://web.ebscohost.com/ 29. Troisi RJ, Cowie CC, Harris MI.; 2000 ; Oral Contraceptive Use and Glucose Metabolism in a National Sample of Women in the United States; Am.J. of Obs. & Gyn.; Vol. 183, Issue 2 , Pages 389-395. 30. Klipping, C.; Marr, J.; 2005; Effects of two combined oral contraceptives containing ethinyl estradiol 20 g combined with either drospirenone or desogestrel on lipids, hemostatic parameters and carbohydrate metabolism; Contraception , Vol. 71, Issue 6, P. 409-416 31. Deleskog A; Hilding A; Ostenson CG; 2011; Oral contraceptive use and abnormal glucose regulation in Swedish middle aged women; Diabetes Res Clin Pract;Vol. 92 (2), p. 288-92; on http://web.ebscohost.com/ 32. Suwikroma, S. & Jaisamrarnb, U.; 2005; Comparison of the metabolic effects of oral contraceptive and nonhormonal contraceptive use in women over

41

MEKANISME TERJADINYA NYERI KEPALA PRIMER Jimmy Hadi Widjaja Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Yang disebut sebagai nyeri kepala primer adalah suatu nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural organik. Berdasarkan klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi 2 dari IHS (International Headache Society) yang terbaru tahun 2004, Nyeri Kepala Primer terdiri atas Migraine, Tension type Headache, Cluster Headache and other trigeminal-autonomic cephalalgias dari Other Primary Headaches (IHS, 2004). Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme patofisiologi nyeri kepala primer ini, akan tetapi pada dasarnya secara umum patofisiologinya hampir mirip satu sama lainnya dengan disertai adanya sedikit perbedaan spesifik yang masing-masing belum diketahui selengkapnya dengan benar. Kata kunci : patofisiologi Nyeri Kepala Primer, Migraine, Tension type Headache

PRIMARY MECHANISMS OF HEAD PAIN Jimmy Hadi Widjaja Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT The so-called primary headache is a headache without any organic cause of structural. Based on the classification of the International Headache second edition of the IHS (International Headache Society) the most recent in 2004. Primary Head Pain consists of Migraine, Tension-type Headache, Cluster Headache and other trigeminal-autonomic cephalalgias from Other Primary Headaches (IHS, 2004). Many factors play a role in the pathophysiological mechanisms of primary headache is but basically the general pathophysiology is almost similar to each other with slight differences with the specific individual is not known more correctly Keywords : pathophysiology of Primary Head Pain, Migraine, Tension-type Headache

PENDAHULUAN Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (sefalgi) pada sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore (Ho, 2002) didapati prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%, wanita 85% (p= 0.0002). Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian pendahuluan di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mendapati hasil pria 78% sedangkan wanitanya 88% (Sjahrir, 1978). Dalam tulisan ini di jelaskan mekanisme perkembangan terkini mengenai neuropatofisiologi nyeri kepala primer berdasarkan bukti-bukti penelitian yang teruji. Lebih tahu mengenai hal mekanisme

terjadinya suatu penyakit, maka lebih tahu pula kita mengenai prospek pengobatannya untuk masa mendatang. Patofisiologi Nyeri kepala. Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminalsentral (Milanov, 2003). lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebagian besar berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid

42

dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh SP (substance P), NKA (Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2), bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor-nosiseptor. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi pelepasan VIP (vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea (Bolay, 2002). Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel (Nav 1.8), purinergic reseptors (P2X3), isolectin B4 (IB4), neuropeptide Y, galanin dan artemin reseptor( GFR-3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-3) (Machelska, 2003). Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgi (Cecchini, 2003).

Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey (PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine like headache). Pada penelitian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH (Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol (Lake, 2002). Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru yang paling berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan kadar cGMP (cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH (Gallai, 2003). Reseptor opioid di downregulated oleh penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overusedmaka terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CDH (Lake, 2002). Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin 1), lL6 dan TNF (Tumor Necrotizing Factor ) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell melepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2) dan peptides (CGRP, SP) (Buzzi, 2003).

43

Patofisiologi Migren Cutaneous allodynia (CA) adalah nafsu nyeri yang ditimibulkan oleh stimulus non noxious terhadap kulit normal. Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan cutaneus allodynia (CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar kedaerah kontralateral dan kedua lengan (Bolay,2002). Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan sensitivitas yang meninggi dari neuron trigeminal sentral (second-order) yang menerima input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya kenaikan sementara daripada sensitivitas third order neuron yang menerima pemusatan input dari kulit pada sisi yang berbeda, seperti sama baiknya dengan dari duramater maupun kulit yang sebelumnya (Bolay,2002). Ada 3 hipotesa patofisiologi migren yaitu dalam hal

memproses informasi yang berasal dari struktur intrakranial dan kulit. Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow (CBF) yang dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan sebagai seperti suatu gelombang ("spreading oligemia), dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3 mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi sel saraf menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas sel saraf menurun menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC (trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri kepala (Lauritzen, 2001). Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita migren. Fase sentral sensitisasi pada migren, induksi nyeri ditimbulkan oleh komponen inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion potasium, protons, histamin, 5HT (serotonin), bradikin, prostaglandin E di pembuluh darah serebral, dan serabut saraf yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap reseptor C fiber di meningens dapat dihambat dengan obat-obatan NSAIDs (non steroid anti inflammation drugs) dan 5-HT 1B/1D agonist, yang memblokade reseptor

1. Pada migren yang tidak disertai CA, berarti sensitisasi neuron ganglion trigeminal sensoris yang meng-inervasi duramater. 2. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred pain, berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal (first order) dan sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis (second order) dengan daerah reseptif periorbital. 3. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain, terdiri atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik (third order) yang meliputi daerah reseptif seluruh tubuh. Pada penderita migren, disamping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian sensitivitas kulit. Sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi set safar sentral terutama pada sistem trigeminal, yang

44

vanilloid dan reseptor acid-sensittive ion channel yang juga berperan melepaskan unsur protein inflamator). Fase berikutnya dari sensitisasi sentral dimediasi oleh aktivasi reseptor presinap NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphosphat (reseptor P2X3) dan reseptor 5-HT IB/ID pada terminal sentral dari nosiseptor C-fiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak pelepasan transmitter. Jadi obat-obatan yang mengurangi pelepasan transmitter seperti opiate, adenosine dan 5HT1B/1D reseptor agonist, dapat mengurangi induksi daripada sensitisasi sentral. Proses sensitisasi di reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan oleh berbatuk, rasa mengikat di kepala, atau pada saat menolehkan kepala. Sedangkan sensitivitas pada sentral neuron trigeminal menerangkan proses timbulnya nyeri tekan pada daerah ektrakranial dan cutaneus allodynia. Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus allodynia (CA) dapat sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migren. Pada pemberian sumaptriptan maka aktivitas batang otak akan stabil dan menyebabkan gejala migren pun akan menghilang sesuai dengan pengurangan aktivasi di cingulate, auditory dan visual association cortical. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis migren sehubungan dengan adanya aktivitas yang imbalance antara brain stem nuclei regulating antinoception dengan vascular control. Juga diduga bahwa adanya aktivasi batang otak yang menetap itu berkaitan dengan durasi serangan migren dan adanya serangan ulang migren sesudah efek obat sumatriptan tersebut menghilang (Lake, 2002). Kruit MC dalam laporan penelitiannya yang dimuat pada The Journal of American Medical Association Januari 2004 vol 291 mengenai gambaran MRI yang supersensitif pada 161 pasien migren dibandingkan dengan 141 orang tanpa migren. Temuan ini telah mengubah pandangan terhadap migren yang selama ini dianggap sebagai suatu episodic disorder dengan gejala transient menjadi suatu

chronic progressive disorder yang mengakibatkan perubahan permanen dari parenkhim otak. Pada subyek kontrol tanpa migren didapati 38% adanya tiny brain lesion. Peneliti mendapatkan adanya lesi diotak yang lebih banyak dan lebih luas pada pasien wanita migren 2 kali banyak dibandingkan dengan laki-laki secara signifikan. Pasien yang lebih sering mendapat serangan migren dan juga disertai aura lebih banyak menunjukkan lesi infark dibandingkan tanpa aura (IHS, 2004). Patofisiologi Tension Type Headache. Pada penderita Tension type headache didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan yang bertambah pada palpasi jaringan miofascial perikranial. Impuls nosiseptif dari otot perikranial yang menjalar kekepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala dan nyeri yang bertambah pada daerah otot maupun tendon tempat insersinya. TTH adalah kondisi stress mental, non-physiological motor stress, dan miofasial lokal yang melepaskan zat iritatif ataupun kombinasi dari ke tiganya yang menstimuli perifer kemudian berlanjut mengaktivasi struktur persepsi supraspinal pain, kemudian berlanjut lagi ke sentral modulasi yang masing-masingh individu mempunyai sifat self limiting yang berbeda-beda dalam hal intensitas nyeri kepalanya (Jensen, 2001). Pengukuran tekanan palpasi terhadap otot perikranial dilakukan dengan alat palpometer (yang ditemukan oleh Atkins, 1992) sehingga dapat mendapatkan skor nyeri tekan terhadap otot tersebut. Langemark & Olesen tahun 1987 telah menemukan metode palpasi manual untuk penelitian nyeri kepala dengan cara palpasi secara cepat bilateral dengan cara memutar jari ke-2 dan ke-3 ke otot yang diperiksa, nyeri tekan yang terinduksi dinilai dengan skor Total Tenderness Scoring system. Yaitu suatu sistem skor dengan 4 point penilaian kombinasi antara reaksi behaviour dengan reaksi verbal dari penderita (Bendtsen, 2000). Pada penelitian Bendtsen tahun 1996 terhadap penderita chronic tension type headache ternyata otot yang mempunyai nilai

45

Local tenderness score tertinggi adalah otot Trapezeus, insersi otot leher dan otot sternocleidomastoid (Bendtsen, 2000). Nyeri tekan otot perikranial secara signifikan berkorelasi dengan intensitas maupun frekwensi serangan tension type headache kronik. Belum diketahui secara jelas apakah nyeri tekan otot tersebut mendahului atau sebab akibat daripada nyeri kepala, atau nyeri kepala yang timbul dahulu baru timbul nyeri tekan otot. Pada migren dapat juga terjadi nyeri tekan otot, akan tetapi tidak selalu berkorelasi dengan intensitas maupun frekwensi serangan migren. Nyeri miofascial adalah suatu nyeri pada otot bergaris termasuk juga struktur fascia dan tendonnya. Dalam keadaan normal nyeri miofascial di mediasi oleh serabut kecil bermyelin (Aoc) dan serabut tak bermyelin (C), sedangkan serabut tebal yang bermyelin (A dan AB) dalam keadaan normal mengantarkan sensasi yang ringan/ tidak merusak (inocuous). Pada rangsang noxious dan inocuous event, seperti misalnya proses iskemik, stimuli mekanik, maka mediator kimiawi terangsang dan timbul proses sensitisasi serabut Aa dan serabut C yang berperan menambah rasa nyeri tekan pada tension type headache (Sjahrir, 2003). Pada zaman dekade sebelum ini dianggap bahwa kontraksi dari otot kepala dan leher yang dapat menimbulkan iskemik otot sangatlah berperan penting dalam tension type headache sehingga pada masa itu sering juga disebut muscle contraction headache. Akan tetapi pada akhir-akhir ini pada beberapa penelitian-penelitian yang menggunakan EMG (elektromiografi) pada penderita tension type headache ternyata hanya menunjukkan sedikit sekali terjadi aktifitas otot, yang tidak mengakibatkan iskemik otot, jika meskipun terjadi kenaikan aktifitas otot maka akan terjadi pula adaptasi protektif terhadap nyeri. Peninggian aktifitas otot itupun bisa juga terjadi tanpa adanya nyeri kepala. Nyeri myofascial dapat di dideteksi dengan EMG jarum pada miofascial trigger point yang berukuran kecil beberapa milimeter saja (tidak terdapat pada semua otot). Mediator kimiawi substansi endogen seperti serotonin (dilepas dari platelet),

bradikinin (dilepas dari belahan precursor plasma molekul kallin) dan kalium (yang dilepas dari sel otot), SP dan CGRP dari aferens otot berperan sebagai stimulan sensitisasi terhadap nosiseptor otot skelet. Jadi dianggap yang lebih sahih pada saat ini adalah peran miofascial terhadap timbulnya tension type headache (Bendtsen, 2000). Untuk jenis TTH episodik biasanya terjadi sensitisasi perifer terhadap nosiseptor, sedang yang jenis kronik berlaku sensitisasi sentral. Proses kontraksi otot sefalik secara involunter, berkurangnya supraspinal descending pain inhibitory activity, dan hipersensitivitas supraspinal terhadap stimuli nosiseptif amat berperan terhadap timbulnya nyeri pada Tension type Headache. Semua nilai ambang pressure pain detection, thermal & electrical detection stimuli akan menurun di sefalik maupun ekstrasefalik (Bendtsen, 2000) Stress dan depresi pada umumnya berperan sebagai faktor pencetus (87%), exacerbasi maupun mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi life time depresi pada penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya (DeNoon, 2004). Pada suatu penelitian dengan PET Scan, ternyata membuktikan bahwa kecepatan biosintesa serotonin pada pria jauh lebih cepat 52% dibandingkan dengan wanita. Dengan bukti tersebut di asumsikan bahwa memang terbukti bahwa angka kejadian depresi pada wanita lebih tinggi 2- 3 kali dari pria (Gutman, 2002). CGRP CGRP immunoreactive fibres bermula dari ganglion trigeminal yang menginervasi pembuluh darah serebral bagian kranial. Terletak di serabut saraf perivaskuler yang mensupply sebagian arteri serebral besar (seperti misalnya arteri temporalis superfisial) dan pial arteriole dipermukaan korteks. CGRP didapati dalam jumlah yang terbanyak (40% dari sel body semua sel neuron) bersamaan dengan SP (18%), dan neurotransmitter lain NOS (15%), dan

46

PACAP (20%) di serabut sensoris trigeminal perivaskuler (Lassen, 2002). Fungsi CGRP di neuron sensoris belumlah jelas sekali, diduga berfungsi sebagai vasodilator atau "antivasokonstriktor" (Jensen, 2001). Stimuli pada serabut safar sensoris tersebut mengakibatkan pelepasan CGRP sehingga menyebabkan vasodilatasi serebral terutama arteri serebri media. CGRP juga berperan sebagai mediator dalam proses inflamasi neurogenik dan CGRP juga berpengaruh menurunkan tekanan darah. Pada saat serangan migren datang ternyata CGRP meninggi dalam darah didaerah vena jugularis ekstema (cephalic release) yang kemudian mengalir ke daerah jaringan ekstrakranial seperti pada duramater dan ganglion Gasseri, sedangkan didaerah ekstrakranial lain tidak meninggi (Lassen, 2002). CGRP bukan hanya dapat berperan sebagai penyebab timbulnya proses nyeri kepala seketika, akan tetapi berperan menginduksi timbulnya migren. CGRP akan meninggi pada penderita migren maupun nyeri kepala klaster. Sehingga peptide CGRP ini menjadi suatu marker bagi penderita migren.Sedangkan VIP menjadi suatu marker bagi aktifitas parasematik . Pada saat serangan migren kadar SP tidak meninggi, sehingga diduga bahwa SP tidak ikut berperan dalam bagian proses nosisepsi vaskular. NOS & PACAP Peranan NO pada sistem sensoris belum jelas benar, kan tetapi diduga kuat bahwa NO berpatisipasi dalam patogengenisis timbulnya sefalgi primer. NO juga berperan sebagai mediator pelepasan CGRP untuk menginduksi nyeri kepala. NO mempunyai sifat otoinduksi dimana akan terjadi produksi NO yang berlama. Transmitter-tranmitter tersebut dilepas pada ruang perivaskuler dan kemudian mengalir difus kedarah vena (Lassen, 2002). NOS (Nitric Oxyde Synthesa) serabut saraf perivascular terutama disirkulasi seberal pembuluh darah besar dan didaerah sphenopalatina dan ganglia oticucum. Adanya NOS Immunureactivy

didalam sel bodi saraf trigeminal menunjukan bahwa NO berperan dalam induksi timbulnya migren, TTH dan nyeri kepala klaster. NO dilepas dari endotel atau dari saraf perivaskuler, dan mengaktifkan sistem guanylate cyclase pada sel otot polos. Kejadian ini mengakibatkan penurunan kadar Ca++intraseluler, vasodilatasi dan ini akan mengaktivasi struktur pain sensitif disekitar pembuluh darah kranial (Jensen, 2001). Diduga pada tension type headache aktivasi terhadap brain stem interneuron lebih sedikit sedikit dibandingkan dengan migren. Keadaan tersebut diatas menyokong teori bahwa nyeri kepala disebabkan aktivitasi batang otak. Keberadaan PACAP bersamaan dengan SP dan CGRP diserabut saraf dan ganglia. Ia terdapat di dorsal horn medula spinalis, dan di sel bodi ganglia spinal spinal dan ganglia trimegeminal, diganglia dan parasimpatik, homolog dengan VIP. PACAP berperan penting sebagai neuromodulator di sistem sensorik dan otonomik. PACAP membuat dilatasi dan kenaikan ceberal blood flow (Milanov, 2003). SP & NEUROKININ Substance (SP) adalah suatu neuropeptide pain transmitter yang berfungsi sebagai nosisepsi modulator, inflamsi neurogenik dan menjadi suatu bagian integral CNS pathway dari stress psikologis. Juga Substance P berfungsi sebagai vasodilator yang potensial. Jika timbul suatu stress maka Subtance P akan dilepas sebagai respon terhadap stress atau depresi tersebut. Substance P adalah termasuk salah satu jenis famili neurokinin. Hanya jenis reseptor Neurokinin 1 (NK1) yang mempunyai afinitas kuat dengan substance P. Substance P juga berperan sebagai transmitter nosiseptif primer di serabut saraf aferen sensoris (C Fibers). pada beberapa penelitian diduga bahwa SP terlibat dalam ekstrapasasi plasma dari post-capitallary venules di duramater pada saat serangan nyeri kepla primer (Lindsay, 2001). SP-Immunoreactive nerve fibers berasal dari ganglion trigeminal, dijumpai banyak berlebihan di pembuluh darah anterior daripada Sirkulus Willisii, terutama arteri serebri anterior dan juga disebagian

47

vena serebral. Serabut saraf perivakular tersebut juga berada di ganglia radiks dorsalis servekalis superior. SP dan NK1 banyak konsentrasinya kornu dorsalis medula spinalis akan tetapi terdapat juga beberapa tempat SSP ( Sistem Saraf Pusat) yaitu di sistem limbik, termasuk di hipotalamus, amygdala yang mengurus behaviour emosional. Substance P mengatur regulasi transmisi sinaptik di kornu dorsalis dan seterusnya memproses informasi noxious sensory cutaneous ke otak, terintegrasi dalam semua proses nyeri, stress, ansietas, muntahmuntah, tonus kardiovaskuler, stimulasi sekresi saliva, kontraksi otot polos, dan vasodilatasi (Lindsay, 2001). Serotonin dan nor-epinefrin Serotonin (5-HT) dan nor-epinefrin (NE) adalah neurotransmitter yang berperan dalam proses nyeri maupun depresi, yang mengurus mood dan depresi terletak di korteks prefrontal dan sistem limbik, sedangkan yang mengurus pain modulating circuit terletak di amygdala, periaquaductal gray (PAG), dorsolateral pontine tegmentum (DLPT), dan rostroventral medulla (RVM). Modulasi efek serotonin di otak menunjukkan efek impulsif, modulasi sexual behaviour; appetite dan agresi. Sedang NE sistem menunjukkan modulasi waspada, sosialisasi, energi, dan motivasi. Kalau keduanya bersamaan maka ia akan memodulasi ansietas, iritabilitas, nyeri, mood, emosi dan fungsi kognitif. Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan norad renalin di otaknya. Platelet mempunyai kemiripan fungsi, bentuk, biokimiawi maupun farmakologikal dengan serotonergic nerve ending. Platelet sendiri tidak mensintesa 5HT, akan tetapi hanya tempat menumpuknya 5HT yang berasal dari sirkulasi di plasma dan terutama yang berasal dati enterochromaffin tissue daripada traktusgastrointestinal (Bendtsen, 2000). Serotonin platelet (Platelet 5HT) disimpan dalam bentuk granul padat yang akan berubah secara lambat sekali jikalau sifat farmakologikalnya tidak aktif. Sebaliknya pada plasma 5HT ekstraselular sangat cepat berubah dan farmakologikalnya

aktif. Kadar 5HT di platelet dan plasma mengekspresikan kandungan 5HT di serotonergic nerve ending dan sinaps. Banyak laporan penelitian mengenai metabolisme dan kadar 5HT pada TTH, yang mendapatkan hasil yang berbeda beda secara tidak konsisten. Akan tetapi pada dasarnya disimpulkan bahwa pasien dengan Episodik TTH menunjukkan platelet 5HT uptake akan berkurang, dan terdapat peninggian kadar platelet 5HT dan plasma 5HT. Sedangkan pada TTH kronik didapati kadar platelet 5HT ataupun plasma 5HT adalah normal atau menurun). 5HT adalah suatu neurotransmitter penting yang berperan dalam modulasi nyeri secara kompleks. Yaitu sebagai antinociceptive pathway ascending maupun descending dari brain stem ke spinal cord. Reseptor-reseptor 5HT tersebar di meningens, beberapa lapis korteks, struktur otak bagian dalam, dan paling banyak di intiinti di batang otak (Bendtsen, 2000). Neurotransmitter maupun neurokimiawi lain yang berperanan pada proses nyeri kepala maupun migren adalahjenis katekolamin seperti misalnya noradrenalin/ norepinefrin & dopamin yang terutama banyak dijumpai di locus ceruleous. Yang berperanan sebagai media proses vasokonstriksi maupun vasodilatasi dan pelepasan asam lemak bebas yang berguna sebagai signal kepada platelet untuk melepaskan serotonin. Norepinefrine dan serotonin berperan sangat penting dalam fungsi endogen pain-supressing descending projection. Stress yang kronik memproduksi peninggian aktivitas tyrosine hydroxylase, yaitu suatu enzym yang terlibat dalam biosintesa NE di LC. Pada suatu penelitian terhadap pasien depresi ternyata didapati pengurangan kadar NE dan metabolitnya, dan homovanilic acid (metabolit dari dopamin) di darah venoarteriai. Komponen Dorsal Raphe Nucleus (DRN) didalam PAG mengirim pancaran serotonergik ke korteks serebri dan pembuluh darah, yang dapat melancarkan neuron excitability dan vasomotor kontrol. Aktivitas metabolik yang abnormal dari PAG dapat menyebabkan area ini menjadi lebih peka dan mudah rusak terhadap modulasi reseptor sesudah penggunaan obat2an abortif maupun

48

analgetikum yang terlampau sering (Lake, 2002). Penutup Seperti yang telah diterangkan diatas, begitu kompleks mekanisme bagaimana terjadinya nyeri kepala primer yang melibatkan perubahan neurokimiawi dikepala, perubahan dinding pembuluh darah otak, aktivasi serabut safar trigeminal dan batang otak dan lain-lain, yang dapat ditimbulkan oleh pelbagai faktor pencetus seperti stres, depresi, makanan tertentu, cuaca dan lain-lain. Demikianlah sekilas mengenai perkembangan terkini mekanisme dan pengobatan dari nyeri kepala, dengan adanya tulisan seperti diatas maka diharapkan semoga ada manfaatnya bagi upaya penyembuhan dan mengurangi penderitaan bagi penderita nyeri kepala pada khususnya, juga dapat mencegah timbulnya angka kesakitan serangan nyeri kepala sehingga dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pada masyarakat Indonesia pada khususnya. Kepustakaan Bendtsen L. 2000. Central sensitization in tension type headache-possible pathophysiological mechanisms. Cephalalgia;20:486-508. Bolay H, Moskowitz MA. 2002. Mechanism of pain modulation in chronic syndromes. Neurology;59(suppl):S2-S7. Buzzi MG, Tassolrelli C, Nappi G. 2003. Peripheral and central activation of trigeminal pain pathways in migraine: data from experimental animal models. Cephalalgia;23(Suppl.l): 1-4. Cecchini AP, Sandrini, Fokin IV, Moglia A, Nappi G. 2003. Trigeminofacial reflexes in primary headaches. Cephalalgia;23(Suppl 1 ):33-41. DeNoon D. 2004. Migraine Linked to Brain Lesions, damage worse with more frequent, more severe migraines.

Gallai V, Alberti A, Gallai B, Coppola F, Floridi A, Sarchielli P. 2003. Glutamate and nitic oxide pathway in chronic daily headache: evidence from cerebrospinal fluid. Cephalagia;23: 166-174. Gutman D, Nemeroff CB. 2002. The Neurobiology of Depression. Laboratory of Neuropsychopharmacology, Department of Psychiatry, Emory University School of Medicine, Atlanta, Georgia. Ho KH, Ong BKC. 2002. A community based study of headache diagnosis and prevalence in Singapore. Cephalalgia;23:613. Jensen R. 2001. Mechanisms of tension type headache. Cephalalgia;21:786-789. Lake III AE, Saper JR. 2002. Chronic Headache: New advances in treatment strategies. Neurology;59(Suppl 2):S8-S 13. Lassen Lh, Hadersley PA, Jacobson VB, Inversen HK, Perling B, Olesen J. 2002. CGRP may Play a Causative role in migraine. Cephalalgia; 22:54-61. Lauritzen M. 2001. Cortical spreading depression in migraine. Cephalalgia;21:757760. Lindsay DeVane C. 2001. Substance P: A Era, a New Role. Pharmacotherapy; 21(9): 1061-1069. Machelska H, Heppenstall PA, Stein C. 2003. Breaking the Pain Barrier. Nat Med;9(11): 1353-1354. Milanov I, Bogdanova D. 2003. Trigeminocervical reflex in patients with headache. Cephalalgia;23:33-38. Sjahrir H, Nasution D, Rambe H. 1978. Prevalensi nyeri kepala paroksismal pada mahasiswa FK.USU Medan. Biennieal Meeting PNPNCh, Surabaya 1978. Sjahrir H. 2003. Insidens jenis penyakit pasien yang berobat jalan dipraktek klinik saraf Klinik spesialis Bunda. The International Classification of Headache Disorders,2nd Edition. 2004. Cephalalgia;42 Supplement.

49

50

PENELITIAN PSIKONEUROIMUNOLOGI: APAKAH STRESS MEMPENGARUHI IMUNITAS DAN MENYEBABKAN PENYAKIT ARTERI KORONER? Djanggan Sargowo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Tulisan ini bertujuan mempelajari pentingnya psikoneuroimunologi (PIN) dalam memahami peran stressor psikologi akut dan kronis pada system kekebalan dan perkembangan penyakit arteri koroner (CAD). Pertama, PNI mengilustrasikan bagaimana stress psikologi merubah fungsi endotel dan merangsang kemotaksis. Kedua, stress psikologi akut merangsang leukositosis, meningkatkan sitotoksisitas sel NK dan mengurangi respons proliferasi mitogen ketika stress psikologi kronik mungkin merangsang efek buruk kesehatan. Ini akan menghasilkan perubahan dalam fungsi kardiovaskuler dan perkembangan CAD. Ketiga, stress psikologi akut dan kronis akan meningkatkan factor hemostasis dan protein fase akut, kemungkinan merangsang pembentukan thrombus dan miokard infark. Bukti untuk pengaruh stress psikologi akut dan kronis pada onset dan progres CAD adalah konsisten dan meyakinkan. Tulisan ini juga menyoroti daerah penelitian potensial dan akibatnya dari deteksi dini perubahan imunologi dan resiko kardiovaskuler pada orang dibawah stress psikologi tinggi. Kata Kunci: Kardiovaskuler, Inflamasi, Psikoneuroimunologi, Stress Abstract This review addresses the importance of psychoneuroimmunology (PNI) studies in understanding the role of acute and chronic psychological stressors on the immune system and development of coronary artery disease (CAD). Firstly, it illustrates how psychological stressors change endothelial function and lead to chemotaxis. Secondly, acute psychological stressors lead to leukocytosis, increased natural killer cell cytotoxicity and reduced proliferative response to mitogens while chronic psychological stressors may lead to adverse health effects. This will result in changes in cardiovascular function and development of CAD. Thirdly, acute and chronic psychological stressors will increase haemostatic factors and acute phase proteins, possibly leading to thrombus formation and myocardial infarction. The evidence for the effects of acute and chronic psychological stress on the onset and progression of CAD is consistent and convincing. This paper also highlights potential research areas and implications of early detection of immunological changes and cardiovascular risk in people under high psychological stress. Key words: Cardiovascular, Infl ammation, Psychoneuroimmunology, Stress

I.

Pendahulan

Dalam decade terakhir, ada peningkatan yang menarik dalam menjelajah hubungan diantara stress psikologi dan berbagai macam kondisi kesehatan. Suatu perluasan tubuh dari bukti mengesankan adanya hubungan antara sistem imun, system saraf pusat (CNS) dan system endokrin, dimana system ini dapat dipengaruhi oeh factor social dan psikologi. Pada 1964, Solomon dkk mempublikasikan sebuah artikel berjudul emotion, immunity and disease: a speculative theoretical integration dan ini memungkinkan menjadi rambu pemandu penelitian menarik psikoneuroimunologi (PNI). Pada 1975, Ader dan Cohen dkk memperagakan kemungkinan dari fungsi imun menjadi kondisi klasik dan

memeriksa secara seksama keyakinan bahwa system imun dan system saraf tidak berhubungan. Ini memacu memburu usaha menjelajah bagaimana tingkah laku dan system biologi dapat berhubungan dalam berusaha keras untuk membuka lebih misteri dari tubuh manusia. PNI adalah sebuah bidang penyelidikan yang memeriksa hubungan antara stress, system imun dan kesehatan. Stress mungkin mengurangi sebuah kemampuan meniru dan efek negatif respons neuroendokrin dan pada akhirnya kegagalan fungsi imun. Peristiwa trauma mungkin merusak hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) aksis dan system saraf simpatis (SNS), merangsang tingkat serius yang lebih tinggi dan sakit yang mengancam nyawa termasuk

51

penyakit jantung. Secara spesifik, peristiwa trauma kehidupan memicu system respons inflamasi jadi mereaksi lebih cepat stress kehidupan berikutnya dan meningkatkan inflamasi sebuah peran etiologi dalam banyak penyakit kronis. Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa factor psikososial adalah kuat dan independen berkaitan dengan perkembangan penyakit arteri koroner (CAD) dan meningkatkan resiko disfungsi jantung dan peristiwa jantung. Itu sudah diusulkan bahwa stress mental di setiap hari kehidupan adalah hal penting yang menentukan perjalanan iskemi. Stres psikologi akut disebabkan oleh stress emosi jangka pendek dan kemarahan yang intens. Stres psikologi kronik disebabkan oleh status sosioekonomi rendah, stress pekerjaan, tarikan kronis, isolasi social, tekanan, kecemasan dan permusuhan. Dalam tulisan ini, kita melihat seleksi studi yang menujukan peran factor psikologi dan progresi CAD dan fungsi imun. Ini

mengantarkan klinisi untuk memahami pentingnya kekebalan sebagai sebuah hubungan antara pikiran dan system kardiovaskuler. Ini akan juga menyediakan dasar untuk pembangunan sebuah model stres integrative untuk mencegah CAD dengan mencaga kesehatan mental. II. Stres merangsang kemotaksis lewat perubahan dalam fungsi endotel

Stres psikologi mengaktivasi SNS yang mengatur denyut jantung dan pelepasan katekolamin dan HPA aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stress psikologi akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK. Hubungan antara stress akut, SNS dan leukosit diilustrasikan dalam gambar 1. Pada stress kronik, aktivitas HPA aksis mungkin berkurang, merangsang lelah dan peningkatan aktivasi inflamasi yang dimediasi oleh imun.

Gambar 1. Hubungan antara stress akut, system saraf simpatis dan sel darah putih (Ho, et al., 2010).

Lebih jauh, stimulasi reseptor Beta adrenergic merangsang perubahan ekspresi molekul sel adhesi (Gbr. 2). Di bawah stress psikologi rendah, CD62L sel NK dengan Lselectin (CD62 ligand) menempel lemah ke sel endotel yang mengekspresikan reseptor

molekul adhesi. Di bawah stress psikologi tinggi, L-selectin dari sel NK tidak berperan menggerakkan dan CD62 sel NK akan ditahan di dalam tepi genangan pembuluh darah atau jaringan di luar pembuluh darah. Malahan, CD62 sel NK tanpa L-selectin akan

52

dimobilisasi. Lebih jauh, akan ditingkatkan konsentrasi dari molekul adhesi seperti ICAM 1 dan CD11a di bawah tingkat stress psikologi tinggi atau sendiri. Peningkatan konsentrasi molekul adhesi menyebabkan CD62 sel NK menghentikan gulungan dan menempel pada tempat meningkatkan molekul adhesi. Disfungsi endotel juga menghasilkan perekrutan dan penempelan limfosit T dan platelet. Aktivasi sel T pada gilirannya menghasilkan sitokin proinflamasi, seperti factor nekrosis tumoralfa (TNF alfa), interleukin (IL)-1 dan IL-6 yang menstimulasi makrofag dan sel endotel pembuluh darah dan memperkuat aliran proses inflamasi. Pada akhirnya ini akan merangsang kondisi dini atherosclerosis

dimana makrofag dan sel imunokompeten lainnya menyebabkan inflamasi local dan pembentukan plak. Pembentukan thrombus local membangkitkan serotonin, tromboxan A2, dan thrombin yang menyebabkan vasokonstriksi dan kemudian merangsang sindrom koroner akut (ACS) dengan rupture dari plak. Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) merangsang otot polos dan sel endothelial mengelilingi plak arteri koroner, menghasilkan lebih banyak sitokin proinflamasi dan memicu ekspresi lebih molekul adhesi. CRP diprediksi sebuah bagian tidak baik dalam ACS tidak bergantung keberatan atherosclerosis dan dihubungkan secara signifikan dengan gagal jantung kongesti (CHF).

Gambar 2. Jalur yang menggambarkan bagaimana tingkat stress yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan adhesi sel molecular ke sel endothel melalui system saraf simpatis (Ho, et al., 2010).

53

III.

Stres merangsang penyakit arteri koroner melalui perubahan pada monosit dan sitokin

Gambar 3 menunjukkan peran limfosit dan sitokin dalam perkembangan CAD di bawah stress akut dan kesendirian. Status sosioekonomi rendah mungkin meningkatkan resiko CAD melalui inflamasi sedang dan aktivasi imun. Status sosioekonomi rendah dihubungkan dengan jumlah total sel NK dan limfosit T dan B lebih tinggi di dalam sirkulasi. Dopp dkk menyarankan bahwa pergantian pertukaran subset limfosit spesifik adalah sebuah komponen kesatuan dari respons lawan atau lari stress akut. Selama stress psikologi akut, persentase sirkulasi sel NK dan sel T

sitotoksik CD8 meningkat sedangkan sel NK dan sel T CD4 sirkulasi yang mengekspresikan L-selectin berkurang. Stres psikologi akut mengurangi respons proliferasi mitogen, utamanya fitohemaglutinin (PHA). Owen dan Steptoe mempelajari hubungan antara sel NK, kepekaan stress sitokin proinflamasi, dan denyut jantung manusia. Peningkatan jumlah sel NK mengikuti stress dihubungkan secara positif dengan respons denyut jantung dan perbedaan individu dalam respons stress jantung pengendali simpatis dihubungkan dengan NK dan respons sitokin proinflamasi ke stress psikologi.

Gambar 3. Monosit, sitokin, dan CAD (Ho, et al., 2010).

54

Sebuah stressor psikologi akut meningkatkan sitokin proinflamasi termasuk sel mononuclear ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL-6). Peningkatan ekspresi gen IL-1B dihubungkan secara positif dengan denyut jantung dan kepekaan tekanan darah sistol. Sitokin juga mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Sitokin ini dapat merangsang proliferasi dan perpindahan sel otot polos melalui rangsangan factor pertumbuhan lainnya yang memicu lesi koroner. Mann menyarankan bahwa ekspresi jangka pendek dari stress aktivasi sitokin dengan jantung mungkin menjadi sebuah respons adaptif untuk stress, sebaliknya ekspresi jangka pendek dari molekul ini mungkin sesungguhnya maladaptive dengan menghasilkan dekompensasi jantung. Cesari dkk menemukan bahwa sitokin proinflamasi memprediksi peristiwa kardiovaskuler pada orang tua. Sebagai contoh, IL-6 dihubungkan secara signifikan dengan CAD, stroke dan gagal jantung kongesti (CHF) dan adalah sebuah predictor independen kuat untuk meningkatkan kematian pada CAD tidak stabil. Tambahannya, TNF alfa juga menunjukkan sebuah hubungan signifikan dengan CAD. Setelah semua, tingkat sitokin seperti IL-6 dan TNF alfa mungkin menjadi predictor lebih kuat untuk insiden peristiwa kardiovaskuler daripada protein fase akut seperti CRP.

IV.

Akibat stress pada pembekuan dan atherosclerosis

Gambar 4 menunjukkan hubungan antara stress dan pembekuan. Stres psikologi akut meningkatkan factor hemostasis seperti factor von Willebrand. Keadaan social buruk dan factor psikososial pada anak-anak meningkatkan konsentrasi protein fase akut seperti plasma fibrinogen pada dewasa dan ini meningkatkan resiko CAD berikutnya. Orang yang sendiri juga menunjukkan respon fibrinogen lebih besar ke stress. Stresor psikososial kronik meningkatkan factor hemostatik keduanya (factor VII) dan protein fase akut (fibrinogen). Fibrinogen adalah gagasan untuk meningkatkan atherosclerosis dengan peningkatan agregasi platelet, peningkatan pelepasan endotel-turunan factor pertumbuhan (Endothelial-derived growth factor), merangsang proliferasi sel otot polos dan peningkatan plasma dan viskositas darah. Stres akut dan kronis mungkin mengaktivasi kaskade koagulasi dan merangsang pembentukan thrombus dan miokard infark (MI). Ada bukti kuat dari studi epidemiologi dan meta analisis yang tingkatannya lebih tinggi dari protein fase akut seperti CRP dan fibrinogen memprediksi masa depan kematian kardiovaskuler dan dihubungkan dengan status sosioekonomi rendah. Stres psikologi dihubungkan dengan meningkatnya aktivasi platelet dan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler.

55

Gambar 5. Hubungan antara stress akut dengan koagulasi (Ho, et al., 2010). V. Depresi, Infeksi dan Penyakit Arteri Koroner Gejala depresi seperti lelah dan mudah perasa adalah precursor pertama dan rekuren CAD. Selain itu, penyelidikan detail sudah menunjukkan bahwa gejala biologi dari depresi seperti malas adalah secara sederhana dihubungkan dengan penyemprotan fraksi ventrikel kiri lebih rendah dan jumlah penyakit pembuluh darah. Kerja penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa Chlamydia pneumonia memainkan peran dalam atherosclerosis dan dihubungkan dengan resiko lebih tinggi untuk CAD. Pada sebuah studi, gejala depresi dikaitkan dengan pengaktifan kembali virus laten dan inflamasi pembuluh darah koroner. Perbedaan antara grup tekanan dan grup control dengan memperhatikan level serum IgG Anti Chlamydia pneumonia secara dekat mencapai signifikan. Itu meminta studi lebih jauh untuk menjelajah efek stress lama menghasilkan aktivasi Chlamydia pneumonia, yang mungkin memperkuat resiko CAD. VI. Petunjuk masa depan PNI memfasilitasi penilaian dan pemahaman respons stress. Apakah yang kita ketahui tentang hubungan antara stress psikologi dan CAD? Penelitian memperagakan bahwa stress psikologi akut merangsang leukositosis, meningkatkan rasio CD8/CD4, meningkatkan sitotoksisitas sel NK dan mengurangi respons proliferasi mitogen. Perubahan imunologi ini akan membuat individu peka CAD lewat meningkatnya ekspresi molekul adhesi sel endotel dan level serum dari protein fase akut dan factor hemostasis. Itu sekarang dinilai bahwa inflamasi pembuluh darah adalah pusat atherosclerosis dan bahwa limfosit T, monosit dan sitokin inflamasi semuanya dilibatkan. Stres psikologi kronik mungkin juga merangsang perilaku kesehatan buruk seperti merokok, penyalahgunaan alcohol, makanan tidak sehat dan mengurangi aktivitas fisik,yang mengaktifasi mekanisme patologi di atas. Penemuan di atas menimbukan rasa ingin tahu dalam kemungkinan meningkatkan kekebalan melalui penanggulangan dengan stress dan mengurangi resiko psikososial untuk kondisi jantung. Kesehatan psikologi dapat membantu mengenali hubungan ini, bagian penting dari peningkatan kesehatan melalui intervensi psikologi. Kesehatan psikologi dapat membantu orang mengatasi dengan stress melalui intervensi seperti terapi kognitif, latihan relaksasi dan modifikasi tingkah laku. Penelitian pada stress dan penanggulangan mengindikasikan bahwa bermacam-macam strategi penanggulangan (termasuk relaksasi, olahraga, meditasi dan dukungan social) berguna dalam respons untuk meningkatkan stress fungsi psikososial, kesehatan fisik dan kualitas hidup. Peningkatan penghargaan sendiri secara global dikaitkan dengan denyut jantung lebih rendah dan variasi melemahkan denyut jantung dan respons inflamasi pada stress akut. Garis dasar level CRP memperkirakan peristiwa kardiovaskuler masa depan. Tes CRP mungkin sebuah peran utama tambahan dalam penilaian global resiko kardiovaskuler. Monitoring CRP sensitive tinggi mungkin juga menawarkan sebuah metode baru pengukuran respons dalam terapi antidepresan. Pengukuran level serum IL-1 dan IL-6 mungkin mengenali pasien tekanan atau cemas yang dapat menguntungkan sebagian besar dari strategi pencegahan dini penyakit kardiovaskuler. Studi pada decade lalu bertujuan menghubungkan stress psikologi ke fungsi imun dank e CAD. Beberapa

56

pertanyaan sisa tidak terjawab: (i) seluas apakah stressor akut berakibat mendirikan simulasi laboratorium peristiwa stress kehidupan nyata lebih kronis dan apakah reaktivitas kekebalan laboratorium sebuah penanda watak peka untuk penyakit yang didatangkan stress? (ii) Kelelahan yang terjadi sebelum peristiwa koroner akut mungkin bentuk lain bagian reaksi inflamasi. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk menemukan jika inflamasi menyebabkan perasaan kelelahan atau jika ada perasaan kelelahan diperkuat dengan inflamasi. (iii) studi prospektif dari pasien bertekanan diperlukan untuk mengukur luas kesatuan penanda inflamasi karena mengenali lebih tinggi dari lainnya dalam memperkirakan CAD. Lebih jauh, efek peningkatan terapi anti depresan menunjuk ke arah factor resiko kardiovaskuler konvensional pada biomarker inflamasi ini seharusnya

dievaluasi lebih jauh pada hasil percobaan. Demikian itu dapat dikembangkan jika pengurangan marker inflamasi ini cocok untuk mengurangi peristiwa kardiovaskuler. VII. Penutup PNI disangkutkan dengan hubungan system imun-neuroendokrin-psikologi multifaset. Ini termasuk mempengaruhi factor psikososial seperti persepsi stress dan penanggulangan penyakit yang dimediasi imunologi. Stres kronik dan hubungan respons psikologi dapat mengaktivasi system hipotalamuspituitari-adrenokortikal dan simpatisadrenomedula. Jadi, penelitian lebih jauh dapat mencari penyelidikan melalui hubungan antara stress dan kekebalan untuk kondisi kardiovaskuler. Penambahan pengetahuan akan bernilai, dengan kesehatan manusia terbaik tertarik pada jantung.

VIII.

Daftar Pustaka 1. Brannon L, Feist J. Health Psychology: An Introduction to Behaviour and Health. 5th ed. Thomson Wadsworth, 2004. 2. Solomon GF, Moos RH. Emotions, immunity and disease: A speculative theoretical integration. Arch Gen Psychiatry 1964;11:657-74. 3. Ader R, Cohen N. Behaviourally conditioned immunosuppression. Psychosom Med 1975;37:333-40. 4. Walls A. Resilience and psychoneuroimmunology: The role of adaptive coping in immune system responses to stress. Dissertation Abstracts International 2008: Section B: The Sciences and Engineering 69;1350. 5. Kendall-Tackett K. Psychological trauma and physical health: A psychoneuroimmunology approach to etiology of negative health effects and possible interventions. Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy 2009; 1:35-48. 6. Rozanski A, Blumenthal JA, Kaplan J. Impact of psychological factors on the pathogenesis of cardiovascular disease and implications for therapy. Circulation 1999;99:2195-217. 7. Hemingway H, Malik M, Marmot M. Social and psychosocial influences on sudden cardiac death, ventricular arrhythmia and cardiac autonomic function. Eur Heart J 2001;22:1082101. 8. Gullette EC, Blumenthal JA, Babyak M, Jiang W, Waugh RA, Frid DJ, et al. Effects of mental stress on myocardial ischemia during daily life. JAMA 1997;277:1521-6. 9. Gabbay FH, Krantz DS, Kop WJ, Hedges SM, Klein J, Gottdiener JS, et al. Triggers of myocardial ischemia during daily life in patients with coronary artery disease: physical and mental activities, anger and smoking. J Am Coll Cardiol 1996;27:585-92. 10. Steptoe A, Brydon L. Psychoneuroimmunology and

57

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

coronary artery disease. In: Vedhara K, Irwin M, editors. Human Psychoneuroimmunology Oxford: Oxford University Press, 2005. Brydon L, Edwards S, Jia H, Mohamed-Ali V, Zachary I, Martin JF, et al. Psychological stress activates interleukin-1 gene expression in human mononuclear cells. Brain Behav Immun 2005;19:540-6. Chrousos GP. The hypothalamicpituitary-adrenal axis and immunemediated infl ammation. N Engl J Med 1995; 332:1351-62. Irwin M, Patterson T, Smith TL, Caldwell C, Brown SA, Gillin JC, et al. Reduction of immune function in life stress and depression. Biol Psychiatry 1990;27:22-30. Herbert TB, Cohen S. Stress and immunity in humans: a metaanalytic review. Psychosom Med 1993;55:36479. Heinz A, Hermann D, Smolka MN, Rieks M, Grf K-J, Phlau D, et al. Effects of acute psychological stress on adhesion molecules, interleukins and sex hormones: implications for coronary heart disease. Psychopharmacology 2003;165:111-7. Steptoe A, Owen N, Kunz-Ebrecht SR, Brydon L. Loneliness and neuroendocrine, cardiovascular, and infl ammatory stress responses in middleaged men and women. Psychoneuroendocrinology 2004;29:593-611. Wallen NH, Heldf C, Rehnqvistf N, Hjemdahl P. Effects of mental and physical stress on platelet function in patients with stable angina pectoris and healthy controls. Eur Heart J 1997;18:807-15. Mills PJ, Dimsdale JE. The effects of acute psychological stress on cellular adhesion molecules. J Psychosom Res 1996;41:49-53. Redwine L, Snow S, Mills P, Irwin M. Acute psychological stress: effects on chemotaxis and cellular adhesion molecule expression. Psychosom Med 2003;65:598-603. Farag NH, Nelesen RA, Dimsdale JE, Loredo JS, Mills PJ. The effects of acute psychological stress on

21.

22. 23. 24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

lymphocyte adhesion molecule expression and density in cardiac versus vascular reactors. Brain Behav Immun 2002;16:411-20. Dopp JM, Miller GE, Myers HF. Increased natural killer-cell mobilization and cytotoxicity during marital conflict. Brain Behav Immun 2000;14: 10-26. Lind L. Circulating markers of inflammation and atherosclerosis. Atherosclerosis 2003;169:203-14. Libby P, Ridker PM, Maseri A. Inflammation and atherosclerosis. Circulation 2002;105;1135-43. Cesari M, Penninx B, Newman AB, Kritchevsky SB, Nicklas BJ, SuttonTyrrell K, et al. Inflammatory markers and onset of cardiovascular events. Results from the Health ABC Study. Circulation 2003; 108:2317-22. Epub 2003 Oct 20. Steptoe A, Willemsen G, Owen N, Flower L, Mohamed-Ali V. Acute mental stress elicits delayed increases in circulating inflammatory cytokine levels. Clin Sci 2001;101:185-92. Brydon L, Edwards S, Jia H, Mohamed-Ali V, Zachary I, Martin JF, et al. Psychological stress activates interleukin-1 gene expression in human mononuclear cells. Brain Behav Immun 2005;19:540-6. Dugue B, Leppanen E, Grasbeck R. Preanalytical factors (Biological Variation) and the measurement of serum soluble intercellular adhesion molecule-1 in humans: influence of the time of day, food intake, and physical and psychological stress. Clin Chem 1999;45:1543-7. Owen N, Poulton T, Hay FC, Mohamed-Ali V, Steptoe A. Socioeconomic status, C-reactive protein, immune factors, and responses to acute mental stress. Brain Behav Immun 2003;17:286-95. Owen N, Steptoe A. Natural killer cell and proinflammatory cytokine responses to mental stress: associations with heart rate and heart rate variability. Biol Psychol 2003;63:101-15. Owen N, Poulton T, Hay FC, Mohamed-Ali V, Steptoe A.

58

31.

32. 33. 34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

Socioeconomic status, C-reactive protein, immune factors, and response to acute mental stress. Brain Behav Immun 2003; 17:286-95. Benschop RJ, Rodriguez-Feuerhahn M, Schedlowski M. Catecholamine induced leukocytosis: early observations, current research, and future directions. Brain Behav Immun 1996;10:77-91. White PD. The relationship between infection and fatigue. J Psychosom Res 1997;43:345-50. van Snick J. Interleukin-6: an overview. Annu Rev Immunol 1990;8: 253-78. Dantzer R, Bluthke RM, Kent S, Goodall G. Behavioral effects of cytokines: an insight into mechanisms of sickness behavior. Methods Neurosci 1993;17:130-44. Appels AD, Bar FW, Bar J, Bruggeman C, De Baets M. Inflammation, depressive symptomatology, and coronary artery disease. Psychosom Med 2000;62:6015. Mann DL. Stress-activated cytokines and the heart: from adaptation to maladaptation. Annu Rev Physiol 2003;65:81-101. von Kanel R, Mills PJ, Fainman C, Dimsdale JE. Effects of psychological stress and psychiatric disorders on blood coagulation and fibrinolysis: a behavioural pathway to coronary artery disease? Psychosom Med 2001;63:531-44. Brunner E, Davey Smith G, Marmot M, Canner R, Beksinska M, OBrien J. Childhood social circumstances and psychosocial and behavioural factors as determinants of plasma fibrinogen. Lancet 1996;347 :1008-13. Steptoe A, Magid K, Edwards S, Brydon L, Hong Y, Erusalimsky J. The influence of psychological stress and socioeconomic status on platelet activation in men. Atherosclerosis 2003;168:57-63. Barefoot JC, Schroll M. Symptoms of depression, acute myocardial infarction, and total mortality in a community sample. Circulation 1996;93:1976-80.

41. Appels A, Kop W, Br F, de Swart H, Mendes de Leon C. Vital exhaustion, extent of atherosclerosis, and the clinical course after successful percutaneous transluminal coronary angioplasty. Eur Heart J 1995;16:1880-5. 42. Appels A, Mulder P. Excess fatigue as a precursor of myocardial infarction. Eur Heart J 1988;9:758-64. 43. Frasure-Smith N, Lesperance F, Talajic M. Depression following myocardial infarction: impact on 6month survival. JAMA 1993;270: 1819-25. 44. Carney R, Rich M, Freedland K, Saini J, te Velde A, Simeone C, et al. Major depressive disorder predicts cardiac events in patients with coronary heart disease. Psychosom Med 1988;50:62733. 45. Mendes de Leon CF, Kop WJ, de Swart HB, Br FW, Appels A. Psychosocial characteristics and recurrent events after percutaneous transluminal coronary angioplasty. Am J Cardiol 1996;77:252-5. 46. Kop WJ, Appels A, Mendes de Leon CF, Br FW. The relationship between severity of coronary artery disease and vital exhaustion. J Psychosom Res 1996;40:397-405. 47. Frasure-Smith N, Lesperance F, Talajic M. Depression and 18-month prognosis after myocardial infarction. Circulation 1995;91:999-1005. 48. Saikku P, Keinonen M, Tenkanen L, Kinnanmaki E, Ekman M, Manninen V, et al. Chronic Chlamydia pneumoniae infection as a risk factor for coronary heart disease in the Helsinki Heart Study. Ann Intern Med 1992;116:273-8. 49. Hendrix MGR, Salimans MM, van Boven CPA, Bruggeman CA. High prevalence of latently present cytomegalovirus in arterial walls of patients from grade III atherosclerosis. Am J Pathol 1990;136:23-8. 50. Epstein SE, Speir E, Zhou YF, Guetta E, Leon M, Finkel T. The role of infection in restenosis and atherosclerosis: focus on cytomegalovirus. Lancet 1997;348Suppl1:s13-7.

59

51. Zhou YF, Leon MB, Waclawiw MA, Popma JJ, Yu ZK, Finkel T, et al. Association between prior cytomegalovirus infection and the risk of restenosis after coronary atherectomy. N Engl J Med 1996;33:624-30. 52. Speir E, Huang E, Modali R, Leon MB, Shawl F, Finkel T, Epstein S. Interaction of human cytomegalovirus with p53: possible role in coronary restenosis. Scand J Infect Dis Suppl 1995;99:78-81. 53. Blum A, Giladi M, Weinberg M, Kaplan G, Pasternack H, Laniado S, et al. High anti-cytomegalovirus (CMV) IgG antibody titer is associated with coronary artery disease and may predict post coronary balloon angioplasty restenosis. Am J Cardiol 1998;81:866-8. 54. Antoni MH. Stress management effects on psychological, endocrinological, and immune functioning in men with HIV infection: empirical support for a psychoneuroimmunological model. Stress 2003;6:173-88. 55. Folkman S. Positive psychological states and coping with severe stress. Soc Sc Med 1997;45:1207-21. 56. Ridker PM, Rifai N, Pfeffer M, Sacks F, Lepage S, Braunwald E. Elevation of tumor necrosis factor-a and increased risk of recurrent coronary events after myocardial infarction. Circulation 2000; 101:2149-53. 57. OBrien SM, Scott LV, Dinan TG. Antidepressant therapy and C-reactive protein levels. Br J Psychiatry 2006; 88:449-52. 58. Lindmark E, Diderholm E, Wallentin L, Siegbahn A. Relationship between interleukin 6 and mortality in patients with unstable coronary artery disease: effects of an early invasive or noninvasive strategy. JAMA 2001;286:2107-13

60

PENGARUH PEMBERIAN ROYAL JELLY PERORAL TERHADAP PROPORSI KENAIKKAN BERAT BADAN TERHADAP BERAT BADAN TIKUS PUTIH(Rattus norvegicus strain Wistar) JANTAN Ayly Soekanto Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Royal jelly dapat meningkatkan berat tubuh manusia. Penelitian terhadap hewan telah membuktikan bahwa royal jelly makan untuk tikus, ayam, sapi dan kucing dapat meningkatkan berat badan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh royal jelly makan dengan proporsi kenaikan berat badan ke berat badan tikus pada tikus putih jantan. Penelitian ini adalah eksperimental laboratorium penelitian menggunakan Pretest-posttest dengan Kontrol Design Group Perbandingan. Sampel penelitian ini adalah tikus putih jantan 32 yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, dan masing-masing kelompok dirawat selama 2 bulan. K1: kelompok kontrol mendapatkan aquadest 3 ml / hari makan lisan, P1: kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 15 mg / kgBB / hari, P2: kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 30 mg / kgBB / hari dan P3: kelompok perlakuan dengan makan royal jelly 45 mg lisan / kgBB / hari. Sebagai kesimpulan, royal jelly oral dapat makan meningkatkan berat badan tikus dan proporsi kenaikan berat badan ke berat badan tikus pada tikus putih jantan. Kata Kunci: royal jelly, berat badan.

GIVING EFFECT TO THE PROPORTION OF ROYAL JELLY peroral increase WEIGHT WEIGHT OF WHITE RATS (Rattus norvegicus strain Wistar) MALE Ayly Soekanto Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Royal jelly can increase human body weight. Animal studies have proved that royal jelly feeding to mice, chickens, cows and cats can improve the body weight. The purpose of this study is to prove the influence of royal jelly feeding to the proportion of body weight increase to the rats body weight in the male white rats. This research was a laboratory experimental study using the the Pretest-Posttest Control Group Comparison Design. The samples of this research were 32 male white rats that were divided into 4 groups in random, and each group was treated for 2 months. K1 : control group getting Aquadest 3 ml/day oral feeding, P1 : treatment group with royal jelly oral feeding 15 mg/kgBW/day, P2 : treatment group with royal jelly oral feeding 30 mg/kgBW/day and P3 : treatment group with royal jelly oral feeding 45 mg/kgBW/day. In conclusion, royal jelly oral feeding can improve the rats body weight and the proportion of body weight increase to the rats body weight in the male white rats. Keywords : royal jelly, body weight.

PENDAHULUAN Royal jelly adalah salah satu produk suplemen yang saat ini sangat banyak dipromosikan untuk menunjang kesehatan manusia. Salah satu efek yang dipromosikan adalah dapat meningkatkan

berat badan pada anak-anak yang berat badannya kurang. Royal jelly adalah cairan putih seperti susu yang dihasilkan kelenjar hypopharyngeal lebah madu pekerja untuk makanan larva lebah sampai berumur tiga hari dan

61

kemudian secara bertahap diganti dengan Bee Pollen yang dicampur madu. Ratu lebah sejak masa larva sampai menjadi lebah dewasa mendapatkan royal jelly untuk makanannya sepanjang hidupnya Tahun 1952 royal jelly telah digunakan dalam praktek para dokter di banyak negara di dunia. Dalam masyarakat tradisional Cina, royal jelly telah lebih lama lagi digunakan untuk terapi para lanjut usia karena penyakit degeneratif (Krell,1996). Pertama kalinya royal jelly dipublikasikan untuk resep awet muda di Eropa pada tahun 1958. Sejak itu penggunaannya di Eropa meluas. Masyarakat yang mengkonsumsi royal jelly mengatakan bahwa setelah mereka mengkonsumsi royal jelly, mereka merasakan kondisi fisik yang sehat, performa intelektual (kemampuan belajar dan ingatan) dan kondisi mental menjadi meningkat, rasa percaya diri menjadi lebih besar, merasa selalu dalam kondisi prima. Dengan kata lain royal jelly tampaknya berfungsi sebagai stimulant umum, meningkatkan respon immun dan fungsi sistem tubuh dengan lebih baik (Krell, 1996). Royal jelly yang dikonsumsi ratu lebah sepanjang hidupnya terbukti mampu menyebabkan ratu lebah mencapai kedewasaan seksual lebih cepat dan kemampuan reproduksi yang luar biasa. Selain itu ratu lebah juga mempunyai usia yang jauh lebih lama dan ukuran tubuh mencapai dua kali lebih besar daripada lebah lainnya. Kenyataan ini juga sesuai dengan penelitian pada lalat buah dan ayam yang secara eksperimental diberikan royal jelly, ternyata juga menjadi lebih besar, hidup lebih lama dan lebih produktif (Sihombing, 1997). Pertumbuhan mencit meningkat sedikit pada pemberian royal jelly 1 gram perkilogram pakannya, tetapi justru menurun pada pemberian dengan dosis yang lebih besar (Chauvin, 1968). Bonomi (1983) juga melaporkan ada peningkatan berat badan ayam yang mendapatkan tambahan royal jelly pada pakannya. Salama et. al (1977) melaporkan ada peningkatan berat badan tikus yang mendapatkan royal jelly 10, 20 dan 40 mg

secara injeksi langsung ke lambung tikus (Krell,1996). Radu-Todurache pada tahun 1978 melakukan penelitian dengan memberikan 20 mg royal jelly pada sapi dan mendapatkan kenaikan berat badan antara 1113 % setelah diobservasi selama enam bulan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat royal jelly (Krell, 1996).. Pemberian injeksi royal jelly dosis rendah pada kucing dapat meningkatkan haemoglobin dan jumlah erytrocyt dan pemberian dosis ulangan sampai 10 mg/kg BB menstimulasi aktivitas motorik dan peningkatan berat badan pada mencit. Tetapi pada pemberian dosis yang lebih tinggi dari 100 mg/kg BB justru menyebabkan pengurangan berat badan (Lupachev, 1963 cit Krell,1996). Untuk membuktikan adanya peningkatan berat badan setelah pemberian royal jelly peroral, maka dilakukan penelitian terhadap proporsi kenaikkan berat badan terhadap berat badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Banyaknya sampel penelitian adalah 32 ekor tikus putih jantan yang berumur 7 8 minggu dan mempunyai berat badan ratarata 150 - 200 gram yang diperoleh dari Laboratorium Kandang Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara random. Karena populasi pada penelitian ini dianggap homogen maka cara random yang digunakan adalah Simple Random Sampling yang dilakukan dengan random numbers (Zainuddin, 2000). Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan rancangan penelitian Pretest-Posttest Control Group Comparison Design (Zainuddin, 2000). Rancangan penelitian ini disusun sebagai langkah untuk mengukur berat badan tikus

62

sebelum dan sesudah perlakuan kemudian menghitung kenaikan berat badannya dibandingkan dengan berat badan tikus sebelum pemberian royal jelly peroral dengan dosis yang bervariasi pada

kelompok perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan selama 2 bulan. Secara sistematis, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

K1 Populasi Randomisasi P1 P2 P3

O1a O2a O3a O4a

O1b O2b O3b O4b

K1 : Kelompok kontrol dengan pemberian aquadest 3 ml / hr peroral P1 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral P2 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral P3 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral O1a & O1b : Data kelompok kontrol sebelum dan sesudah 2 bulan perlakuan. O2a & O2b : Data kelompok P1 sebelum dan sesudah 2 bulan perlakuan. O3a & O3b : Data kelompok P2 sebelum dan sesudah 2 bulan perlakuan. O4a & O4b : Data kelompok P3 sebelum dan sesudah 2 bulan perlakuan.

Royal jelly diberikan peroral dengan dosis pemberian masing-masing 15 mg/kg BB/hari, 30 mg/kg BB/hari dan 45 mg/kg BB/hari yang diberikan sekali sehari pada waktu yang sama. Volume pemberian yang digunakan adalah < 5 ml, karena menurut Ritchel (1978) , Donatus dan Nurlaila (1986) volume maximum larutan obat yang diberikan peroral pada tikus ( 150 - 200 gram ) adalah 5,0 ml (Kusumawati, 2003). Cara pemberian peroral ini dilakukan dengan sonde menggunakan spuit 3 ml dan gastris sonde no. 6 . Perlakuan ini dilakukan selama 2 bulan. Kelompok Kelompok Kontrol Sampel Kelompok I Royal Jelly

DATA DAN PENELITIAN

ANALISIS

DATA

Berat Badan Awal Tikus Berat badan awal tikus adalah berat badan tikus putih jantan sebelum perlakuan selama 2 bulan. Tikus ditimbang dengan timbangan dalam satuan gram. Data lengkap hasil penimbangan berat badan tikus putih jantan sebelum dan sesudah perlakuan terdapat pada Tabel 1.

Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr

Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr

15 mg/kgBB/hr

63

Aquadest

peroral

peroral

peroral

Sebelu m A B C D E F G H Rata-rata 177 180 187 170 167 170 157 153 170,125

Sesudah 189 199 197 187 187 188 177 172 180,000

Sebelu m 185 168 160 167 184 162 187 162 171,875

Sesudah 205 200 187 196 208 186 214 170 195,750

Sebelu m 183 162 182 162 171 179 178 157 171,750

Sesudah 230 228 234 183 191 205 197 188 207,000

Sebelu m 163 170 168 173 180 165 162 183 170,500

Sesudah 202 205 180 193 210 185 178 230 197,875

Tabel 1. Berat Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan sebelum dan sesudah perlakuan (gram) Kenaikan Berat Badan Tikus Kenaikan berat badan tikus adalah berat badan tikus putih jantan setelah 2 bulan perlakuan dikurangi berat badan tikus putih sebelum perlakuan. Data lengkap kenaikan berat badan tikus terdapat pada tabel 2.

Kelompok Kelompok Sampel Aquadest A B C D E F G H 12 19 10 17 20 18 20 19 Kontrol

Kelompok I Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral 20 32 27 29 24 24 27 8

Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral 47 66 52 21 20 26 19 31

Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral 39 35 12 20 30 20 16 47

64

Rata-rata

16,875

23,875

35,250

27,375

Tabel 2. Kenaikan Berat Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan setelah perlakuan (gram) Proporsi Kenaikan Berat terhadap Berat Badan Tikus Badan berat badan terhadap berat badan tikus tikus putih jantan sebelum perlakuan diperlihatkan pada tabel 4 dan gambar 1. Dari hasil perhitungan proporsi kenaikan berat badan terhadap berat badan tikus putih sebelum perlakuan didapatkan peningkatan proporsi kenaikan berat badan terhadap berat badan tikus putih kelompok 15 mg/kgBB/hr peroral dibandingkan kelompok kontrol. Demikian juga pada kelompok 30 mg/kgBB/hr peroral dan kelompok 45 mg/kgBB/hr peroral

Proporsi kenaikan berat badan terhadap berat badan tikus adalah hasil perhitungan dari kenaikan berat badan tikus putih jantan dibagi dengan berat badan tikus sebelum perlakuan. Data lengkap hasil perhitungan proporsi kenaikan berat badan terhadap berat badan tikus dapat dilihat pada tabel 3. Adapun rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) proporsi kenaikan

Kelompok Kelompok Kontrol

Kelompok II Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr

Kelompok III Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral 0.256830601 0.407407407 0.285714286 0.12962963 0.116959064 0.145251397 0.106741573 0.197452229

Kelompok I Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral 0.239263804 0.205882353 0.071428571 0.115606936 0.166666667 0.121212121 0.098765432 0.256830601

Sampel A B C D E F G H

Aquadest 0.06779661 0.105555556 0.053475936 0.1 0.119760479 0.105882353 0.127388535 0.124183007

peroral 0.108108108 0.19047619 0.16875 0.173652695 0.130434783 0.148148148 0.144385027 0.049382716

Tabel 3. Proporsi Kenaikan Berat Badan terhadap Berat Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan sebelum perlakuan

Kelompok Kelompok I

Jumlah Pengamatan 8

Rata-rata (mean) dan Simpangan Baku (SD) 0.100505309 + 0,0267004

65

Kontrol Kelompok II Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral Kelompok III Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral Kelompok IV Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral Tabel 4. Rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) Proporsi Kenaikan Berat Badan terhadap Berat Badan Tikus Putih(Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan sebelum perlakuan .
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 Kontrol RJ 15 m g RJ 30 m g RJ 45 m g Proporsi Kenaikkan Berat Badan Sesudah Perlakuan Terhadap Berat Badan Tikus Sebelum Perlakuan

0.139167208 + 0,0445727

0.205748273 + 0,1047984

0.159457061 + 0,0685315

Gambar 1. Histogram rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) Proporsi Kenaikan Berat Badan terhadap Berat Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan sebelum perlakuan KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan , dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian royal jelly peroral dapat meningkatkan proporsi kenaikan berat badan terhadap berat badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan. Untuk memberikan informasi yang lebih akurat, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kenaikan berat badan setelah pemberian royal jelly peroral. DAFTAR PUSTAKA Applegate EJ, 1995. The Anatomy and Physiology Learning System : Textbook 1st Ed. Philadelphia : WB Saunders Company, pp 392-396. Balch, JF, 1990. Prescription for Nutritional Healing. Garden City Park, New York, Avery Publishing Group Inc, pp 4-10, 3745. Brown, R , 1993. Bee Hive Product Bible. Garden City Park, New York, Avery Publishing Group Inc, pp 103-122.

66

Frandson RD, 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Yogjakarta : Gajah Mada University Press, hlm 752-791. Ganong, WF, 2003. Review of Medical Physiology. 21 th Ed , United States of America, McGraw-Hill Companies, Inc, pp 364-371, 425-431.

Santoso, MH, 2003. Persepsi Kefarmasian Pada Api Therapy. Seminar Terapi Lebah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Sarwono, B, 2001. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Lebah Madu. Penerbit Agro Media Pustaka. Tangerang.

Halim, AN, dan Sukarno, 2001. Teknik Mencangkok Royal Jelly, Penerbit Kanisius, Yogjakarta.

Sihombing, DTH, 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu, Yogjakarta. Gajah Mada University Press.

Junqueira, LC, Carneiro J dan Kelley RO, 1997. Histologi Dasar. Edisi ke-8. Alih Bahasa : Jan Tambayong. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm 418-433.

Smith JB dan Mangkoewidjojo, 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press, hal 37 57.

Kusumawati, D, 2003. Bahan Ajar Tentang Hewan Coba, Universitas Airlangga Surabaya.

Walji, H, 2001, Terapi Lebah, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm 55-61.

Krell, R, 1996. Vallue-added products From beekeeping, FAO Agricultural Services Bulletin No. 124, Food And Agriculture Organization of the United Nations Rome.

Wonodirekso S, 2003. Penuntun Praktikum Histologi. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat.

Mardihusodo, SJ, 2003. Produk-produk Lebah Madu : Khasiat dan Manfaatnya Untuk Kesehatan. Seminar Terapi Lebah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Zainuddin A, 2000. Metode Penelitian. Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya.

67

PENGARUH PEMBERIAN ROYAL JELLY PERORAL TERHADAP BERAT TESTIS DAN PROPORSI BERAT TESTIS TERHADAP BERAT BADAN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain Wistar) JANTAN Hardiyono Ayly Soekanto Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya; Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK Royal jelly dapat meningkatkan vitalitas dianggap manusia dan kesuburan. Penelitian terhadap hewan telah membuktikan bahwa royal jelly makan untuk ayam, burung puyuh dan kelinci dapat meningkatkan kesuburan. Nurmiati studi (2002) juga membuktikan bahwa royal jelly dapat meningkatkan kesuburan tikus betina. Penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh royal jelly untuk spermatogenesis dengan mengukur berat testis dan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus pada tikus putih jantan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan Test Posting Hanya Kontrol Grup Desain murah maka data dianalisis statistik menggunakan Anova dengan tingkat signifikansi kurang dari 0,05. Penelitian sampel 32 orang dewasa tikus putih jantan yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, dan masing-masing kelompok dirawat selama 52 hari. K1: kelompok kontrol mendapatkan aquadest 3 ml / hari makan lisan, P1: kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 15 mg / kgBB / hari, P2: kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 30 mg / kgBB / hari dan P3: kelompok perlakuan dengan makan royal jelly 45 mg lisan / kgBB / hari. Semua data-data dianalisis menggunakan Anova menunjukkan perbedaan yang signifikan antara semua perlakuan dan kelompok kontrol. Untuk mengidentifikasi kelompok mana yang memiliki perbedaan yang signifikan dalam setiap variabel, analisis dilanjutkan dengan uji LSD. Kesimpulannya, makan royal jelly oral tidak berubah berat testis dan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus pada tikus putih jantan. Kata Kunci : royal jelly, berat testis, spermatogenesis.

GIVING EFFECT TO THE ROYAL JELLY peroral HEAVY WEIGHT PROPORTIONS testis and testicular WEIGHT OF WHITE RATS (Rattus norvegicus strain Wistar) MALE Hardiyono Ayly Soekanto Lecturer Faculty of Medicine, University of Hang Tuah Surabaya; Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT Royal jelly is considered can improve man vitality and fertility. Animal studies have proved that royal jelly feeding to chickens, quails and rabbits can improve the fertility. Nurmiati study (2002) also proved that royal jelly can improve the fertility of female rats. This study is to prove the influence of royal jelly to spermatogenesis with measuring testicular weight and the proportion of the testicular weight to the rats body weight in the male white rats This research was a laboratory experimental study using the Post Test Only Control Groups Design dan the datas were analyzed statistically using Anova with significance level of less than 0,05. The samples research were 32 adult male white rats that were divided into 4 groups in random, and each group was treated for 52 days. K1 : control group getting Aquadest 3 ml/day oral feeding, P1 : treatment group with royal jelly oral feeding 15 mg/kgBW/day, P2 : treatment group with royal jelly oral feeding 30 mg/kgBW/day and P3 : treatment group with royal jelly oral feeding 45 mg/kgBW/day. All datas were analyzed using Anova to indicate significant difference between all treatment and control groups. To identify which group had significant difference in each variable, the analysis was continued with LSD test.

68

In conclusion, royal jelly oral feeding was not changed the testicular weight and the proportion of the testicular weight to the rats body weight in the male white rats. Keywords : royal jelly, testicular weight, spermatogenesis.

PENDAHULUAN Royal jelly adalah salah satu produk suplemen yang saat ini sangat banyak dipakai untuk minuman suplemen energi, produk-produk kecantikan maupun produk-produk penunjang vitalitas pria. Royal jelly adalah cairan putih seperti susu yang dihasilkan kelenjar hypopharyngeal lebah madu pekerja untuk makanan larva lebah sampai berumur tiga hari dan kemudian secara bertahap diganti dengan Bee Pollen yang dicampur madu. Ratu lebah sejak masa larva sampai menjadi lebah dewasa mendapatkan royal jelly untuk makanannya sepanjang hidupnya Fungsi reproduksi merupakan salah satu fungsi yang paling sering menimbulkan problem dalam kehidupan rumah tangga. Infertilitas sebagai penyebab terjadinya ketidakmampuan untuk mempunyai keturunan merupakan salah satu penyebab terjadinya keretakan dalam rumah tangga. Stres, gizi tidak seimbang, polusi dan radiasi sebagai dampak kehidupan modern dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. Karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang dapat mencegah terjadinya infertilitas tersebut. Salah satunya adalah dengan pemberian suplemen vitamin untuk meningkatkan fungsi organorgan reproduksi tersebut. Royal jelly yang dikonsumsi ratu lebah sepanjang hidupnya terbukti mampu menyebabkan ratu lebah mencapai kedewasaan seksual lebih cepat dan kemampuan reproduksi yang luar biasa, yaitu kemampuan bertelur sepanjang hidupnya dengan jumlah telur mencapai 2000 butir perharinya. Selain itu ratu lebah juga mempunyai usia yang jauh lebih lama daripada lebah betina lainnya. Kenyataan ini juga ditunjang dengan kenyataan bahwa lalat buah dan ayam yang secara eksperimental diberikan royal jelly, ternyata

juga menjadi lebih besar, hidup lebih lama dan lebih produktif. Dari percobaan tersebut, didapatkan bahwa pemberian royal jelly pada ayam yang telah tua dan telah menurun produksi telurnya, dapat mendorong meningkatnya kembali produksi telurnya (Sihombing, 1997). Demikian juga pemberian royal jelly pada ayam dapat menghasilkan telur dua kali lipat lebih banyak dibandingkan kelompok ayam yang tidak diberi royal jelly (Walji,2001). Studi penelitian yang dilakukan oleh Nurmiati (2002) membuktikan bahwa pemberian royal jelly dapat meningkatkan fertilitas mencit betina yang ditandai dengan meningkatnya jumlah folikel sekunder, folikel tersier, folikel de Graaf serta peningkatan jumlah fetus. Menurut Weitgosser (2001), royal jelly telah digunakan untuk pengobatan impotensi dan dapat meningkatkan kemampuan libido (Nurmiati,2002). Pemberian royal jelly 20 mg/kgBB/hr dapat meningkatkan dan menormalkan aktifitas seksual terhadap pria dan wanita. Royal jelly dapat meningkatkan hormon androgen pada pria dan estrogen pada wanita melalui aktifitas gonadotropin maupun panthotenic acid yang berperan dalam produksi dan pelepasan hormon-hormon adrenal. Penulis meneliti proses spermatogenesis sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi pada pria. Untuk membuktikan adanya peningkatan proses spermatogenesis setelah pemberian royal jelly dalam dosis yang berbeda, maka dilakukan penelitian terhadap berat testis dan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

69

Banyaknya sampel penelitian adalah 32 ekor tikus putih jantan yang berumur 7 8 minggu (sexually mature) dan mempunyai berat badan rata-rata 150 - 200 gram yang diperoleh dari Laboratorium Kandang Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara random. Karena populasi pada penelitian ini dianggap homogen maka cara random yang digunakan adalah Simple Random Sampling yang dilakukan dengan random numbers (Zainuddin, 2000).

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan menggunakan rancangan penelitian Posttest Only Control Group Design (Zainuddin, 2000). Rancangan Penelitian ini disusun sebagai langkah untuk mengukur berat testis dibandingkan dengan berat badan tikus setelah pemberian royal jelly peroral dengan dosis yang bervariasi pada kelompok perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan selama 52 hari.

Secara sistematis, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : K1 Populasi Randomisasi P1 P2 P3 O1 O2 O3 O4

K1 : Kelompok kontrol dengan pemberian aquadest 3 ml / hr peroral P1 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral P2 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral P3 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral O1 : Data kelompok kontrol setelah 52 hari perlakuan O2 : Data kelompok P1 setelah 52 hari perlakuan O3 : Data kelompok P2 setelah 52 hari perlakuan O4 : Data kelompok P3 setelah 52 hari perlakuan

Royal jelly diberikan peroral dengan dosis pemberian masing-masing 15 mg/kg BB/hari, 30 mg/kg BB/hari dan 45 mg/kg BB/hari yang diberikan sekali sehari pada waktu yang sama. Volume pemberian yang digunakan adalah < 5 ml, karena menurut Ritchel (1978) , Donatus dan Nurlaila (1986) volume maximum larutan obat yang diberikan peroral pada tikus ( 150 - 200 gram ) adalah 5,0 ml.

Cara pemberian peroral ini dilakukan dengan sonde menggunakan spuit 3 ml dan gastris sonde no. 6 . Perlakuan ini dilakukan selama 52 hari.

DATA DAN PENELITIAN Berat Badan Tikus

ANALISIS

DATA

70

Berat badan tikus adalah berat badan tikus putih jantan setelah perlakuan selama 52 hari sebelum dikorbankan. Tikus ditimbang dengan timbangan dalam satuan gram.

Data lengkap hasil penimbangan berat badan tikus putih jantan terdapat pada Tabel 1. Adapun rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) data hasil penimbangan berat badan tikus diperlihatkan pada tabel 2 dan gambar 1

Kelompok I Royal Jelly Kelompok 15 mg/kgBB/hr peroral Sampel A B C D E F G H 185 200 187 196 176 208 214 170

Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral 230 228 198 183 191 180 187 188

Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral 202 205 180 193 210 230 155 178

Kelompok Kontrol

Aquadest 234 195 185 182 201 170 220 210

Tabel 1. Berat Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan setelah 52 hari perlakuan (gram)

Kelompok

Jumlah Pengamatan 8

Rata-rata (mean) (gram) 192,000

Kelompok I Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral Kelompok IV Kontrol

198,125

194,125

199,625

71

Tabel 2. Rata-rata (mean) Berat Badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan setelah 52 hari perlakuan (gram)
200 198 196 194 192 190 188 Kontrol RJ 15 m g RJ 30 m g RJ 45 m g Berat Badan Tik us Putih setelah 52 hari perlakuan (gram )

Ga mbar 1. Histogram Rata-rata (mean) Berat Badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan setelah 52 hari perlakuan (gram)

Berat Testis Berat testis adalah berat testis kiri yang diambil dari tikus putih jantan setelah 52 hari perlakuan telah dibersihkan dari pembungkusnya. Testis ditimbang dengan timbangan analitik Librar Schimadzu dalam satuan gram dengan ketelitian 3 angka di belakang koma.

Data lengkap hasil penimbangan berat testis terdapat pada tabel 3. Adapun rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) data hasil penimbangan berat testis diperlihatkan pada tabel 4 dan gambar 2.

Kelompok I Royal Jelly Kelompok Sampel A B C D E F G H 15 mg/kgBB/hr peroral 1,188 1,395 1,274 1,206 1,087 1,261 1,21, 1,113

Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral 1,345 1,234 1,322 1,334 1,142 1,185 1,375 1,141

Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral 1,275 1,199 0,971 1,170 1,242 1,458 0,963 1,285

Kelompok Kontrol

Aquadest 1,255 1,213 1,192 1,044 1,261 1,129 1,171 1,189

Tabel 3. Berat Testis Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan

72

setelah 52 hari perlakuan (gram)

Kelompok Kelompok I Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral Kelompok IV Kontrol

Jumlah Pengamatan 8

Rata-rata (mean) dan Simpangan Baku (SD) 1,21700 + 0,096785

1,25975 + 0,095734

1,19538 + 0,164975

1,18175 + 0,070360

Tabel 4. Rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) Berat Testis tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan setelah 52 hari perlakuan (gram)

1.26000 1.24000 1.22000 1.20000 1.18000 1.16000 1.14000 Kontrol RJ 15 m g RJ 30 m g RJ 45 m g Be rat Testis Tik us Putih se telah 52 hari perlakuan (gram )

Gambar 2. Histogram Rata-rata Berat Testis tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan setelah 52 hari perlakuan (gram)

Dari hasil penimbangan berat testis tikus putih didapatkan rata-rata berat testis kelompok perlakuan royal jelly 15 mg/kgBB/hr peroral lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan royal jelly. Demikian juga pada kelompok perlakuan 30 mg/kgBB/hr peroral dan 45 mg/kgBB/hr peroral. Proporsi Berat Testis terhadap Berat Badan Tikus

Proporsi berat testis terhadap berat badan tikus adalah hasil perhitungan dari berat testis tikus putih jantan dibagi dengan berat badan tikus setelah 52 hari perlakuan. Data lengkap hasil perhitungan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus putih jantan dapat dilihat pada tabel 5. Adapun rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) proporsi berat testis terhadap berat badan tikus putih jantan diperlihatkan pada tabel 6 dan gambar 3.

73

Kelompok I Royal Jelly Kelompok 15 mg/kgBB/hr peroral Sampel A B C D E F G H 0,0064216 0,0069750 0,0068128 0,0061531 0,0061761 0,0060625 0,0056636 0,0065471

Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral 0,0058478 0,0054123 0,0066768 0,0072896 0,0059791 0,0065833 0,0073529 0,0060691

Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral 0,0063119 0,0058488 0,0053944 0,0060622 0,0059143 0,0063391 0,0062129 0,0072191

Kelompok Kontrol

Aquadest 0,0053632 0,0062205 0,0064432 0,0057363 0,0062736 0,0066412 0,0053227 0,0056619

Tabel 5. Proporsi Berat Testis terhadap Berat Badan Tikus Putih (Rattus norvegicus strain Wistar) Jantan setelah 52 hari perlakuan

Kelompok Kelompok I Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral Kelompok II Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral Kelompok III Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral Kelompok IV Kontrol

Jumlah Pengamatan 8

Rata-rata (mean) dan Simpangan Baku (SD) 0,006351475 + 0,0004262089

0,006401363 + 0,000945437

0,006162838 + 0,0005254249

0,005957825 + 0,0005021255

Tabel 6. Rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) Proporsi Berat Testis terhadap Berat Badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) setelah 52 hari perlakuan.

74

.
0.006500000 0.006400000 0.006300000 0.006200000 0.006100000 0.006000000 0.005900000 0.005800000 0.005700000 Kontrol RJ 15 m g RJ 30 m g RJ 45 m g

Proporsi Berat Testis terhadap Be rat Badan tikus putih se telah 52 hari perlakuan

Gambar 3. Histogram rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) Proporsi Berat Testis terhadap Berat Badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar)

Dari hasil perhitungan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus putih didapatkan peningkatan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus kelompok 15 mg/kgBB/hr peroral dibandingkan kelompok kontrol. Demikian juga pada kelompok 30 mg/kgBB/hr peroral dan kelompok 45 mg/kgBB/hr peroral

terjadi kerusakan atau atrofi sel-sel penyusun tubulus seminiferus akan terjadi penurunan berat testis (Hayati, 1998). Tetapi sebaliknya apabila sel-sel penyusun tubulus seminiferus berkembang dengan baik, apakah terjadi peningkatan berat testis bila dibandingkan dengan yang normal ? Hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Keseluruhan data berat badan tikus, data berat testis, data proporsi berat testis terhadap berat badan tikus, data tebal epitel tubulus seminiferus, data diameter tubulus seminiferus dan data proporsi tebal epitel terhadap diameter tubulus seminiferus dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis varian (Anova) satu arah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh antara kelompok perlakuan yang diberi royal jelly dengan dosis 15 mg/kgBB/hr peroral, 30 mg/kgBB/hr peroral, dan 45 mg/kgBB/hr peroral dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat royal jelly (hanya mendapat aquadest saja). Sebelum dilakukan analisis varian, dilakukan uji homogenitas menggunakan test of homogeneity of variances untuk menetukan apakah kelompok tersebut homogen atau tidak. Jika test of homogenity of variancesnya memiliki significance level atau derajat kemaknaan > 0,05 (p>0,05) maka kelompok tersebut homogen sehingga dapat dilanjutkan dengan analisis varian

PEMBAHASAN Pemberian obat atau zat tertentu yang dapat mempengaruhi spermatogenesis akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada saat pembelahan atau perkembangan dari sel epitel germinal sampai menjadi spermatozoa (Sarno, 2000). Perubahan proses spermatogenesis secara mikroskopik dapat dilihat dari ukuran dan jumlah sel-sel penyusun tubulus seminiferus. Perubahan ini akan mempengaruhi tebal epitel dan diameter tubulus seminiferus. Sedangkan secara makroskopik dapat diketahui dari adanya perubahan berat testis. Testis merupakan organ genital yang dapat memproduksi spermatozoa dan hormon seks. Di dalam testis terdapat tubulus seminiferus, jaringan ikat dan pembuluh darah. Tubulus seminiferus merupakan komponen penyusun testis yang terbesar. Keadaan ini menyebabkan apabila

75

(Anova). Dari hasil analisis varian (Anova) bila memiliki significance level atau derajat kemaknaan < 0,05 (p<0,05) dianggap terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) atau Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Dari tabel 2, diketahui rata-rata berat badan tikus antar kelompok perlakuan terdapat perbedaan tetapi masih dalam ratarata normal berat badan tikus putih dewasa dan dalam penelitian ini tidak dianalisa karena tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah pemberian royal jelly peroral mempengaruhi proses spermatogenesis maka berat badan tikus tidak menjadi fokus penelitian ini melainkan hanya untuk menghitung proporsi berat testis terhadap berat badan tikus sehingga untuk data berat badan tikus tidak dilakukan analisa statistik lebih lanjut.

Dari tabel 4, diketahui rata-rata berat testis kelompok perlakuan royal jelly 15 mg/kgBB/hr peroral lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan royal jelly. Demikian juga pada kelompok pemberian 30 mg/kgBB/hr peroral dan 45 mg/kgBB/hr peroral. Dari data berat testis tersebut dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,210 sehingga dapat dilakukan analisis varian (Anova) satu arah. Dari hasil analisis varian (Anova) didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,541 maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan tidak bermakna. Rangkuman hasil test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) berat testis diperlihatkan pada tabel 7.

Tabel 7. Rangkuman hasil test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) berat testis
Descriptives berat testis 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 1.13609 1.29791 1.17971 1.33979 1.05745 1.33330 1.12293 1.24057 1.17340 1.25353

N Royal jelly 15mg/kgBB Royal jelly 30mg/kgBB Royal jelly 45mg/kgBB Kontrol Total 8 8 8 8 32

Mean 1.21700 1.25975 1.19538 1.18175 1.21347

Std. Deviation .096785 .095734 .164975 .070360 .111124

Std. Error .034219 .033847 .058328 .024876 .019644

Minimum 1.087 1.141 .963 1.044 .963

Maximum 1.395 1.375 1.458 1.261 1.458

Test of Homogeneity of Variances berat testis Levene Statistic 1.607 df1 3 df2 28 Sig. .210

ANOVA berat testis Sum of Squares .028 .355 .383 df 3 28 31 Mean Square .009 .013 F .734 Sig. .541

Between Groups Within Groups Total

76

Dari tabel 6, diketahui rata-rata proporsi berat testis terhadap berat badan tikus kelompok pemberian royal jelly 15 mg/kgBB/hr peroral lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan royal jelly. Demikian juga pada kelompok pemberian 30 mg/kgBB/hr peroral dan 45 mg/kgBB/hr peroral. Dari data proporsi berat testis terhadap berat badan tikus tersebut dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya > 0,05

yaitu sebesar 0,346 sehingga dapat dilakukan analisis varian (Anova) satu arah. Dari hasil analisis varian (Anova) didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,368 maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan tidak bermakna. Rangkuman hasil test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) proporsi berat testis terhadap berat badan tikus diperlihatkan pada tabel 8

Descriptives proporsi berat testis/BB 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .005995155 .006707795 .005820709 .006982016 .005723571 .006602104 .005538038 .006377612 .006020655 .006416095

N Royal jelly 15mg/kgBB Royal jelly 30mg/kgBB Royal jelly 45mg/kgBB Kontrol Total 8 8 8 8 32

Mean .006351475 .006401363 .006162838 .005957825 .006218375

Std. Deviation .0004262089 .0006945437 .0005254249 .0005021255 .0005484021

Std. Error .000150688 .000245558 .000185766 .000177528 .000096945

Minimum .0056636 .0054123 .0053944 .0053227 .0053227

Maximum .0069750 .0073529 .0072191 .0066412 .0073529

Test of Homogeneity of Variances proporsi berat testis/BB Levene Statistic 1.149 df1 3 df2 28 Sig. .346

ANOVA proporsi berat testis/BB Sum of Squares .000 .000 .000 df 3 28 31 Mean Square .000 .000 F 1.093 Sig. .368

Between Groups Within Groups Total

Tabel 8. Rangkuman hasil test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) proporsi berat testis terhadap berat badan tikus

Dari hasil analisis data berat testis , diketahui rata-rata berat testis kelompok

pemberian royal jelly 15 mg/kgBB/hr peroral lebih tinggi daripada kelompok

77

kontrol yang tidak mendapatkan royal jelly. Demikian juga pada kelompok pemberian 30 mg/kgBB/hr peroral dan 45 mg/kgBB/hr peroral (tabel 4). Dari data berat testis tersebut setelah dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,210 sehingga dapat dilakukan analisis varian (Anova) satu arah. Dari hasil analisis varian (Anova) didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,541 maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan tidak bermakna (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian royal jelly peroral tidak berpengaruh terhadap berat testis tikus putih. Tetapi hasil ini belum memastikan bahwa pemberian royal jelly peroral tidak meningkatkan spermatogenesis karena yang lebih penting adalah apakah sel-sel penyusun tubulus seminferus itu berkembang dengan baik, bukan dari berat testisnya, sebab berat testis tikus juga dipengaruhi oleh berat tikus itu sendiri. Tentunya tikus yang lebih besar akan memiliki berat badan yang lebih besar dan testis yang lebih besar dan lebih berat juga. Oleh karena itu penulis melanjutkan untuk menghitung proporsi berat testis terhadap berat badan tikus. Dari hasil analisis data rata-rata proporsi berat testis terhadap berat badan tikus, diketahui bahwa kelompok pemberian royal jelly 15 mg/kgBB/hr peroral memiliki proporsi berat testis terhadap berat badan tikus yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan royal jelly. Demikian juga pada kelompok perlakuan 30 mg/kgBB/hr peroral dan 45 mg/kgBB/hr peroral (Tabel 6). Dari data proporsi berat testis terhadap berat badan tikus tersebut, setelah dilakukan test homogeneity of variance, didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,346 sehingga dapat dilakukan analisis varian (Anova) satu arah. Dari hasil analisis varian (Anova) didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,368 maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan tidak bermakna (Tabel 8). Hal ini menunjukkan

bahwa pemberian royal jelly peroral tidak berpengaruh terhadap proporsi berat testis terhadap berat badan tikus putih. Tetapi hasil ini juga belum memastikan bahwa pemberian royal jelly peroral tidak meningkatkan spermatogenesis karena yang lebih penting adalah apakah sel-sel penyusun tubulus seminiferus itu berkembang dengan baik, bukan proporsi berat testis terhadap berat badan tikusnya yang meningkat. Memang bila terjadi gangguan pada fungsi testis, maka kerusakan sel atau atrofi testis jelas akan mengakibatkan penurunan berat testis. Tentunya bila fungsi organ tubuh yang lain tidak terganggu, maka yang menurun adalah berat testisnya saja sehingga akan lebih tepat bila kemunduran fungsi testis dilihat dari penurunan proporsi berat testis terhadap berat badannya. Namun perlu diketahui bahwa testis yang berfungsi normal tidak harus mengalami kenaikan beratnya karena yang lebih penting adalah apakah dari komponen-komponen penyusun testis tersebut, komponen yang berperan langsung terhadap spermatogenesis (sel-sel spermatogeniknya) dapat terbentuk dan berfungsi dengan baik.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan , dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian royal jelly peroral tidak meningkatkan berat testis dan proporsi berat testis terhadap berat badan tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan. Saran Untuk memberikan informasi yang lebih akurat, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian lebih lanjut untuk mengukur tebal epitel tubulus dan diameter tubulus seminiferus serta proporsi tebal epitel terhadap diameter tubulus seminiferus tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan.

78

DAFTAR PUSTAKA Applegate EJ, 1995. The Anatomy and Physiology Learning System : Textbook 1st Ed. Philadelphia : WB Saunders Company, pp 392-396. Balch, JF, 1990. Prescription for Nutritional Healing. Garden City Park, New York, Avery Publishing Group Inc, pp 4-10, 37-45. Basori, A. 2005. Farmakologi Obat Obat Aphrodisiac. Temu Ilmiah Afrodisiaka Dan Fungsi Seksual Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Bloom dan Fawcett, 2002. Buku Ajar Histologi. Edisi ke-12. Alih Bahasa : Jan Tambayong. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm 687-730. Brown, R , 1993. Bee Hive Product Bible. Garden City Park, New York, Avery Publishing Group Inc, pp 103122. De Kretser, D. M. 1993. Molecular biology of the male reproduction system, USA, Academic Press, Inc. Dellman and Brown, 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Jilid II. Jakarta : UI Press, hlm 446-463, 472-477. Frandson RD, 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogjakarta : Gajah Mada University Press, hlm 752-791. Ganong, WF, 2003. Review of Medical Physiology. 21 th Ed , United States of America, McGraw-Hill Companies, Inc, pp 364-371, 425431.

Gridley, MF, 1960. Manual of Histologic and Special Staining Technics. 2 nd ed. USA, Mc Graw-Hill Companies, Inc, pp 132-133.

Gunawan, A, 2003. Histologi II : Sistem Reproduksi Pria, Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Halim, A. N, dan Sukarno, 2001. Teknik Mencangkok Royal Jelly, Penerbit Kanisius. Yogjakarta.

Hayati, A, 1998. Pengaruh Amfetamin terhadap Spermatogenesis dan Fertilitas Tikus Jantan (Rattus norvegicus L). Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Johnson, J, 2002. Nutritional and Enviromental Approaches to Infertility. Positive Health Publication Ltd.

Junqueira, LC, Carneiro J dan Kelley RO, 1997. Histologi Dasar. Edisi ke-8. Alih Bahasa : Jan Tambayong. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm 418-433.

Kusumawati, D, 2003. Bahan Ajar Tentang Hewan Coba, Universitas Airlangga Surabaya.

Krell, R, 1996. Vallue-added products From beekeeping, FAO Agricultural Services Bulletin No. 124, Food And Agriculture Organization of the United Nations Rome.

79

Mardihusodo, SJ, 2003. Produk-produk Lebah Madu : Khasiat dan Manfaatnya Untuk Kesehatan. Seminar Terapi Lebah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press, hal 37 57.

Walji, H, 2001, Terapi Lebah, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm 55-61.

Nieschlag E dan Behre h, 1997. Andrology, Male Reproductive Health and Disfunction. New York ; Heidelberg, pp 26-57.

Wonodirekso S, 2003. Penuntun Praktikum Histologi. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat.

Nurmiati, S, 2002. Pengaruh Pemberian Royal Jelly terhadap Fertilitas Mencit (Mus musculus) Betina. Tesis Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Wuryantari dan Moeloek N, 2000. Perkembangan Mutakhir Fisiologi Fungsi Testis : Dari Organ Sampai Gen. MKI 50 (8) : 377-384.

Santoso, MH, 2003. Persepsi Kefarmasian Pada Api Therapy. Seminar Terapi Lebah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Zainuddin A, 2000. Metode Penelitian. Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya.

Sarno, R, 2000. Peran Ekstrak Phyllanthus niruri L terhadap Proses Spermatogenesis Mencit ( Mus musculus). Tesis, Program Pascasarjana universitas Airlangga Surabaya.

Sarwono, B, 2001. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Lebah Madu. Penerbit Agro Media Pustaka. Tangerang.

Sihombing, D. T. H, 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu, Yogjakarta. Gajah Mada University Press.

Smith JB dan Mangkoewidjojo, 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan

80

81

PENYAKIT PARKINSON Titiek Sunaryati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Penyakit Parkinson adalah suatu kelainan degeneratif sistem saraf pusat yang sering merusak motor penderita itu keterampilan, ucapan, dan fungsi lainnya. Penyakit Parkinson mempengaruhi gerakan (gejala motorik). Gejala lainnya termasuk gangguan suasana hati, perilaku, berpikir, dan sensasi (nonmotor gejala). Gejala-gejala penyakit Parkinson hasil dari aktivitas sangat berkurang dari neuron dopaminergik, yang terutama di daerah pars compacta dari nigra substantia. Ulasan depresi estimasi kejadian di mana saja dari 20-80% dari kasus. PD tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan sendirinya, namun berkembang dengan waktu

PARKINSON DISEASE Titiek Sunaryati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract Parkinson's disease is a degenerative disorder of the central nervous system that often impairs the sufferer's motor skills, speech, and other functions. Parkinson's disease affects movement (motor symptoms). Other typical symptoms include disorders of mood, behaviour, thinking, and sensation (nonmotor symptoms). The symptoms of Parkinson's disease result from the greatly reduced activity of the dopaminergic neurons, which are primarily in the pars compacta region of the substantia nigra. Reviews of depression estimate its occurrence in anywhere from 20-80% of cases. PD is not considered to be a fatal disease by itself, but it progresses with time.

KATA PENGANTAR Penyakit Parkinson adalah suatu kelainan degeneratif sistem saraf pusat yang sering merusak motor penderita itu keterampilan, ucapan, dan fungsi lainnya. Penyakit Parkinson milik sekelompok kondisi yang disebut gangguan gerak. Hal ini ditandai dengan kekakuan otot, tremor, perlambatan gerakan fisik (bradykinesia) dan, dalam kasus yang ekstrim, hilangnya gerakan fisik (akinesia). Gejala utama adalah hasil dari stimulasi penurunan korteks bermotor oleh ganglia basal, biasanya disebabkan oleh kurangnya pembentukan dan aksi dopamin, yang dihasilkan dalam neuron dopaminergik dari otak. Gejala sekunder dapat mencakup disfungsi kognitif tingkat tinggi dan masalah bahasa halus. PD adalah baik kronis dan progresif. PD adalah penyebab paling umum dari parkinsonisme progresif kronis, sebuah

istilah yang mengacu pada sindrom tremor, kekakuan, bradykinesia dan instabilitas postural. PD juga disebut "parkinson primer" atau "PD idiopatik" (klasik berarti tidak memiliki diketahui penyebabnya meskipun istilah ini tidak sepenuhnya benar dalam terang kebanyakan mutasi genetik yang baru ditemukan). Sementara banyak bentuk parkinson adalah "idiopatik", "sekunder" kasus mungkin hasil dari keracunan terutama obat-obatan, trauma kepala, atau gangguan kesehatan lainnya. Penyakit ini dinamai dokter Inggris James Parkinson, yang membuat penjelasan rinci tentang penyakit dalam esainya: "Sebuah Essay pada Palsy Gemetar" (1817). 1 SIGN DAN GEJALA penyakit Parkinson mempengaruhi gerakan (gejala motorik). gejala khas lainnya termasuk gangguan suasana hati, perilaku, berpikir, dan sensasi (non-motor gejala). gejala individu Pasien 'mungkin sangat berbeda dan perkembangan penyakit

82

ini juga jelas Gejala utama adalah:

individu.

Tremor: biasanya 4-6 Hz tremor, maksimal ketika anggota badan yang diam, dan menurun dengan gerakan sukarela. Hal ini biasanya unilateral saat onset. Ini adalah gejala yang paling jelas dan terkenal, meskipun perkiraan 30% pasien memiliki sedikit tremor jelas; ini diklasifikasikan sebagai akinetic-kaku. Kekakuan: kekakuan; otot meningkat. Dalam kombinasi dengan tremor istirahat, ini menghasilkan, ratchety "cogwheel" kekakuan ketika anggota badan yang pasif bergerak. Bradykinesia / akinesia: masing-masing, keterlambatan atau tidak adanya gerakan. Cepat, gerakan berulang-ulang menghasilkan kerugian dysrhythmic dan decremental amplitudo. Postural ketidakstabilan: kegagalan refleks postural, yang menyebabkan gangguan keseimbangan dan jatuh. Gejala motor lain termasuk: Kiprah dan gangguan postur: Pengacakan o: gaya berjalan ditandai dengan langkah-langkah singkat, dengan kaki hampir tidak meninggalkan tanah. hambatan kecil cenderung menyebabkan pasien untuk perjalanan. o Penurunan swing-arm. Menghidupkan o "en blok": daripada biasa memutar leher dan batang dan berputar pada jari kaki, pasien PD menjaga batang leher mereka dan kaku, membutuhkan beberapa langkah-langkah kecil untuk mencapai giliran. o bungkuk, postur maju-tertekuk. Dalam bentuk yang parah, kepala dan bahu atas dapat menjadi bengkok di sudut kanan relatif terhadap batang (camptocormia) .3 o Festination: kombinasi dari postur bungkuk, ketidakseimbangan, dan langkahlangkah pendek. Ini mengarah ke kiprah yang akan semakin cepat dan lebih cepat, sering berakhir dengan jatuh. o beku Kiprah: "pembekuan" adalah manifestasi dari akinesia (ketidakmampuan

untuk bergerak). Kiprah pembekuan ditandai oleh ketidakmampuan untuk menggerakkan kaki yang mungkin memburuk dalam ketat, ruang berantakan atau ketika mencoba untuk memulai kiprah. o distonia (pada sekitar 20% dari kasus): normal, berkelanjutan, kontraksi otot memutar menyakitkan, seringkali mempengaruhi kaki dan pergelangan kaki (terutama kaki fleksi dan inversi kaki) yang sering mengganggu kiprah. Pidato dan gangguan menelan. o Hypophonia: pidato lembut. Pidato kualitas cenderung lembut, serak, dan monoton. Beberapa orang dengan penyakit Parkinson mengklaim bahwa lidah mereka adalah "berat" atau telah speech.4 berantakan o monoton berbicara. o Festinating pidato: terlalu cepat, lembut, pidato buruk-dimengerti. o Drooling: kemungkinan besar disebabkan oleh postur, lemah menelan dan bungkuk jarang. Disfagia o: gangguan kemampuan untuk menelan. Dapat menyebabkan aspirasi, pneumonia. Gejala motor lain: o Kelelahan (hingga 50% dari kasus); Masked o wajah (topeng wajah seperti juga dikenal sebagai hypomimia), dengan jarang berkedip; o Kesulitan rolling di tempat tidur atau naik dari posisi duduk; o Micrographia (kecil, sempit tulisan tangan); o Gangguan ketangkasan motorik halus dan koordinasi motorik; o Gangguan koordinasi motorik kasar; Akatisia o, ketidakmampuan untuk duduk diam. Neuropsikiatri

83

Parkinson's Disease menyebabkan gangguan kognitif dan suasana hati, yang dalam banyak kasus related.Estimated tingkat prevalensi depresi sangat bervariasi sesuai dengan populasi sampel dan metodologi yang digunakan. Ulasan depresi estimasi kejadian di mana saja dari 20-80% dari cases.6 Estimasi dari sampel masyarakat cenderung untuk menemukan harga lebih rendah dari dari pusat spesialis. Kebanyakan penelitian menggunakan kuesioner laporan diri seperti Beck Depression Inventory, yang mungkin overinflate skor akibat gejala fisik. Studi menggunakan wawancara diagnostik oleh psikiater terlatih juga melaporkan tingkat yang lebih rendah dari depresi. Secara umum, ada peningkatan risiko bagi setiap individu dengan depresi untuk terus mengembangkan penyakit Parkinson di kemudian date.7 Tujuh puluh persen orang dengan penyakit Parkinson didiagnosa dengan depresi yang sudah ada terus mengembangkan kecemasan. Sembilan puluh persen pasien penyakit Parkinson dengan kecemasan yang sudah ada kemudian mengembangkan depresi, apatis atau abulia. gangguan kognitif meliputi: Diperlambat waktu reaksi; kedua respon motor sukarela dan sukarela secara signifikan diperlambat. Eksekutif disfungsi, ditandai oleh kesulitan dalam: diferensial alokasi perhatian, kontrol impuls, mengatur pergeseran, memprioritaskan, mengevaluasi arti-penting data ambien, menginterpretasikan isyarat sosial, dan kesadaran waktu subyektif. Kompleks ini hadir untuk beberapa derajat pada pasien Parkinson yang paling, mungkin berkembang menjadi: Demensia: perkembangan kemudian di sekitar 20-40% dari semua pasien, biasanya dimulai dengan memperlambat kemajuan pemikiran dan kesulitan dengan pikiran abstrak, memori, dan peraturan perilaku. Halusinasi, delusi dan paranoia bisa terjadi. kehilangan memori jangka pendek; procedural memori lebih terganggu dari

memori deklaratif. Mendorong peningkatan memunculkan recall.1 Non-motor penyebab bicara / bahasa gangguan di kedua bahasa ekspresif dan reseptif: ini termasuk kelancaran verbal menurun dan gangguan kognitif terutama terkait dengan pemahaman isi emosional dari pidato dan expression.8 wajah Efek Obat : beberapa gangguan kognitif di atas ditingkatkan oleh obat dopaminergik, sementara yang lain sebenarnya worsened.9 Tidur mengantuk berlebihan siang hari awal, menengah, dan insomnia terminal Gangguan pada tidur REM: mengganggu mimpi hidup, dan perilaku gangguan gerakan mata yang cepat, ditandai dengan bertindak keluar dari isi mimpi dapat terjadi tahun sebelum diagnosis Persepsi Gangguan sensitivitas kontras visual, penalaran spasial, diskriminasi warna, konvergensi insufisiensi (ditandai dengan penglihatan ganda) dan kontrol oculomotor Pusing dan pingsan, biasanya hipotensi ortostatik timbul, kegagalan sistem saraf otonom untuk mengatur tekanan darah sebagai respon terhadap perubahan posisi tubuh Gangguan proprioception (kesadaran posisi tubuh dalam ruang tiga-dimensi) Pengurangan atau kehilangan indera penciuman (hyposmia atau anosmia) dapat terjadi tahun sebelum diagnosis nyeri : neuropatik, otot, sendi, dan tendon, disebabkan ketegangan, distonia, kekakuan, kekakuan sendi, dan cedera yang berhubungan dengan upaya akomodasi Otonom berminyak kulit dan dermatitis seboroik inkontinensia urin, biasanya perkembangan penyakit nanti dalam

nokturia (bangun di malam hari untuk buang air kecil) - hingga 60% dari kasus

84

Sembelit dan dysmotility lambung yang cukup berat sehingga membahayakan kesehatan kenyamanan dan bahkan Diubah fungsi seksual: ditandai dengan penurunan mendalam gairah seksual, perilaku, orgasme, dan drive ditemukan pada pertengahan dan akhir penyakit Parkinson. Data saat ini alamat fungsi seksual laki-laki hampir secara eksklusif. Berat badan, yang signifikan selama sepuluh tahun. [10] Penyebab penyakit Parkinson Tantangan yang tetap adalah untuk menemukan bagaimana neuron hancur menyebabkan penyakit Parkinson. Banyak teori telah diajukan, tetapi sebagian besar peneliti percaya bahwa penyakit Parkinson tidak disebabkan oleh penyebab tunggal melainkan kombinasi dari kedua kerentanan genetik dan tekanan lingkungan menyebabkan kematian sel otak. Penelitian telah menemukan bahwa hidup di daerah pedesaan, minum air sumur, atau yang terkena pestisida, herbisida, atau pabrik pulp kayu dapat meningkatkan resiko anda untuk mengembangkan penyakit Parkinson. Telah menunjukkan bahwa 5-10% dari orang dengan PD memiliki kecenderungan genetik. Sebuah studi baru-baru ini mengidentifikasi mutasi gen tertentu dalam kelompok orang-orang yang terkait. Walaupun mutasi gen ini tidak bertanggung jawab untuk semua penyebab PD, temuan ini dapat memberikan para ilmuwan kesempatan untuk mengembangkan model binatang untuk mendapatkan wawasan tentang PD. Saat ini, salah satu teori yang paling menjanjikan adalah hipotesis oksidasi. o Diperkirakan bahwa radikal bebas mungkin memainkan peran dalam perkembangan penyakit Parkinson. Radikal bebas adalah senyawa kimia dengan muatan positif yang dibuat ketika dopamin diurai dengan menggabungkan dengan oksigen.

o ini rincian dopamin oleh enzim yang disebut monoamine oxidase (MAO) mengarah pada pembentukan hidrogen peroksida. o protein yang disebut glutathione biasanya memecah hidrogen peroksida cepat. Jika hidrogen peroksida tidak rusak benar, dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas yang kemudian dapat bereaksi dengan membran sel dapat menyebabkan kerusakan sel dan peroksidasi lipid sesuatu yang disebut (ketika berinteraksi dengan hidrogen peroksida lipid [zat larut dalam lemak] di membran sel). o Di PD, glutation berkurang, yang mungkin berarti bahwa Anda memiliki kehilangan perlindungan terhadap pembentukan radikal bebas. o Selain itu, besi meningkat pada otak dan dapat membantu membentuk radikal bebas. o Selain itu, peroksidasi lipid meningkat pada penyakit Parkinson. o Asosiasi penyakit Parkinson dengan omset dopamin meningkat, penurunan mekanisme (glutathione) untuk melindungi terhadap pembentukan radikal bebas, meningkatkan besi (yang membuatnya lebih mudah untuk membuat radikal bebas), dan peningkatan peroksidasi lipid membantu mendukung hipotesis oksidasi. o Jika hipotesis ini ternyata benar, masih tidak menjelaskan mengapa atau bagaimana kehilangan mekanisme perlindungan terjadi. Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak diperlukan. Jika teori tersebut benar, obat-obatan dapat dikembangkan untuk menghentikan atau menunda events.11 ini Patofisiologi Gejala-gejala penyakit Parkinson hasil dari aktivitas sangat berkurang dari neuron dopaminergik, yang terutama di daerah pars compacta dari nigra substantia (harfiah "substansi hitam"). Neuron ini proyek untuk striatum dan kerugian mereka menyebabkan perubahan dalam kegiatan sirkuit saraf di dalam ganglia basal yang mengatur gerakan, pada dasarnya hambatan

85

dari jalur langsung dan eksitasi dari jalur tidak langsung. Black-pewarnaan butiran neuromelanin dalam neuron dari nigra substantia. Jalur langsung memfasilitasi gerakan dan jalur tidak langsung menghambat gerakan, sehingga hilangnya sel-sel ini mengarah ke gangguan gerakan hypokinetic. Kurangnya hasil dopamin di penghambatan peningkatan inti anterior ventral talamus, yang mengirimkan proyeksi rangsang ke korteks motor, sehingga mengarah ke hypokinesia. Ada empat jalur dopamin besar dalam otak; jalur nigrostriatal, yang disebut di atas, menengahi gerakan dan yang paling mencolok terkena dampak penyakit Parkinson-an. Jalur lainnya adalah mesocortical, yang mesolimbic, dan tuberoinfundibular. Gangguan dopamin di sepanjang jalur non-striatal mungkin menjelaskan banyak neuropsikiatri patologi yang berhubungan dengan penyakit Parkinson. Mekanisme dengan mana sel-sel otak di Parkinson hilang dapat terdiri dari akumulasi abnormal synuclein protein alpha-terikat ubiquitin dalam sel yang rusak. Kompleks alpha-synuclein-ubiquitin tidak dapat diarahkan ke proteosome tersebut. Akumulasi protein inklusi sitoplasma bentuk protein yang disebut badan Lewy. Penelitian terbaru tentang patogenesis penyakit telah menunjukkan bahwa kematian neuron dopaminergik oleh alpha-synuclein adalah karena kerusakan dalam mesin yang mengangkut protein antara dua organel seluler utama retikulum endoplasma (ER) dan aparat Golgi. protein tertentu seperti Rab1 dapat membalikkan cacat yang disebabkan oleh alpha-synuclein di models.12 hewan berlebihan akumulasi besi, yang beracun untuk sel-sel saraf, juga biasanya diamati dalam hubungannya dengan inklusi protein. Besi dan logam transisi lain seperti mengikat tembaga untuk neuromelanin dalam neuron terkena substantia nigra. Neuromelanin dapat bertindak sebagai agen pelindung. Mekanisme yang paling mungkin adalah generasi spesies oksigen

reaktif. [13] Besi juga menginduksi agregasi synuclein dengan mekanisme oksidatif. Demikian pula, dopamin dan produk sampingan produksi dopamin meningkatkan agregasi alpha-synuclein. Mekanisme yang tepat dimana agregat seperti kerusakan alpha-synuclein sel tidak diketahui. Agregat mungkin hanya reaksi normal oleh sel-sel sebagai bagian dari upaya mereka untuk memperbaiki, berbeda yang belum diketahui, menghina. Berdasarkan hipotesis ini mekanistik, model tikus transgenik dari Parkinson telah dihasilkan oleh pengenalan synuclein manusia wild type-alpha ke dalam genom tikus di bawah kendali pertumbuhanplatelet diturunkan-faktor- promoter.14 Tampilan baru-baru ini penyakit Parkinson berimplikasi khusus saluran kalsium yang memungkinkan neuron nigra substantia, tetapi tidak neuron yang paling, untuk berulang-ulang api di sebuah "alat pacu jantung" seperti pola. Banjir akibat kalsium ke dalam neuron mungkin aggrevate kerusakan mitokondria dan dapat menyebabkan kematian sel. Satu studi telah menemukan bahwa, pada hewan percobaan, pengobatan dengan isradapine calcium channel blocker memiliki efek perlindungan yang substansial terhadap perkembangan Parkinson disease.15 DIAGNOSA Biasanya, diagnosis didasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan neurologis yang dilakukan oleh wawancara dan mengamati pasien secara langsung menggunakan Unified Parkinson's Disease Skala Rating. Sebuah radiotracer untuk mesin pemindaian SPECT disebut DaTSCAN dan dibuat oleh General Electric adalah khusus untuk mendiagnosis Parkinson's Disease, tetapi hanya dipasarkan di Eropa. Karena ini, penyakit ini bisa sulit untuk mendiagnosis secara akurat, terutama pada tahap awal. Karena gejala tumpang tindih dengan penyakit lain, hanya 75% dari diagnosis klinis PD dipastikan PD idiopatik di otopsi. [34] Tanda awal dan gejala PD kadang-kadang dapat diberhentikan sebagai efek penuaan yang normal. Dokter mungkin harus mengamati orang tersebut selama beberapa waktu sampai terlihat bahwa gejala secara

86

konsisten hadir. Biasanya dokter mencari mengocok kaki dan kurangnya ayunan di lengan. Dokter kadang-kadang dapat meminta scan otak atau tes laboratorium untuk menyingkirkan penyakit lainnya. Namun, CT dan MRI scan otak orang dengan PD biasanya muncul normal. pedoman praktek klinis diperkenalkan di Inggris pada tahun 2006 menyatakan bahwa diagnosis dan tindak lanjut dari penyakit Parkinson harus dilakukan oleh seorang spesialis penyakit dalam, biasanya ahli saraf atau geriatrician dengan bunga di gangguan gerak. [2] PENGOBATAN komplikasi medis primer terlihat pada pasien dengan penyakit Parkinson (PD) termasuk disfungsi otonom, penurunan kardiopulmonal, disfagia, dan depresi. Disfungsi otonom adalah umum pada pasien dengan PD. hipotensi orthostatik o sering menjadi perhatian selama bagian akhir dari proses penyakit. Manajemen teknik dapat mencakup mengangkat kepala tempat tidur, serta memiliki pasien timbul perlahanlahan, gunakan pakaian tekanan, mengkonsumsi diet tinggi garam, dan menggunakan obat-obatan seperti pseudoephedrine, mineralocorticoids, dan midodrine. o Gangguan motilitas usus dapat menyebabkan sembelit, muntah, dan penyerapan gangguan; pilihan pengobatan termasuk kerja dengan sering, porsi kecil, serat meningkat; agen bulking, pelunak tinja, dan supositoria. inkontinensia urin o, retensi, dan infeksi kandung kemih dapat terjadi. Pengobatan biasanya didasarkan pada hasil penyelidikan, seperti studi fungsi ginjal, urinalisis, residu postvoid, cystoscopy, dan studi urodynamic. Disfungsi ereksi o tidak jarang. Pilihan pengobatan termasuk penggunaan sildenafil, suntikan prostaglandin, pompa, dan peralatan prosthetic. Cardiopulmonary penurunan postur tertekuk pasien dapat menyebabkan kyphosis, menyebabkan penurunan kapasitas paru, dan menghasilkan pola

penyakit paru-paru membatasi. Latihan pernapasan , pendidikan kembali postural, dan latihan bagasi dapat membantu. Lembaga program pengkondisian umum dapat meningkatkan daya tahan tubuh pasien. Jika fungsi paru semakin memburuk, teknik batuk dibantu, spirometri insentif, dan intervensi terapi pernafasan mungkin diperlukan. Depresi Depresi dapat terjadi pada sekitar 50% dari pasien dengan PD dan tidak boleh diabaikan, sebagai dampak terhadap kecacatan dapat menjadi signifikan. Depresi mungkin terkait dengan defisit neurotransmisi serotonergik atau ke tingkat korteks penurunan norepinefrin dan dopamin. serotonergik agen sering adalah antidepresan pertama pilihan dalam PD. Jika ini rejimen pengobatan tidak efektif, suatu antidepresan trisiklik dengan efek samping antikolinergik (misalnya, desipramine, nortriptyline) mungkin disarankan. Disfagia Jika kesulitan menelan tidak menanggapi intervensi konservatif oleh terapis bicara, pengobatan lebih agresif mungkin diperlukan. manajemen agresif tersebut dapat mencakup prosedur invasif, seperti penempatan makan nasogastrik atau gastrostomy tabung. Diskusi harus dimulai pada awal penyakit saja untuk memastikan keinginan pasien tentang tabung pengisi, dalam kasus demensia mengembangkan dan pasien tidak memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan ketika sebuah tabung pengumpan menjadi medis indicated.11 Intervensi Bedah Peningkatan bunga telah terlihat dalam pengelolaan operasi penyakit Parkinson (PD). Tiga teknik utama yang sedang

87

digunakan adalah terapi destruktif (lesioning), stimulasi otak kronis yang mendalam, dan transplantasi. Merusak Terapi Pilihan Lesioning o termasuk thalamotomy dan pallidotomy. thalamotomy inti o Ventral menengah cukup efektif menghilangkan tremor, namun efeknya pada manifestasi klinis lain dari PD tampaknya kurang signifikan dan lebih bervariasi. Thalamotomy biasanya disediakan untuk persentase yang relatif kecil pasien dengan tremor dominan resistan terhadap obat. o Saat ini, pallidotomy adalah prosedur pembedahan yang paling sering digunakan untuk PD maju. Operasi mempekerjakan lesioning untuk mengganggu aktivitas abnormal di globus pallidus; ini disinhibits talamus motor dan area motor korteks, dengan demikian meningkatkan fungsi motor. Calon pallidotomy termasuk pasien yang cacat meskipun manajemen medis yang optimal dan yang telah merespon terhadap terapi L-dopa di masa lalu, tetapi telah mengembangkan komplikasi dari pengobatan L-dopa jangka panjang. Kekakuan, tremor, dan bradykinesia semua tampaknya menanggapi pallidotomy. Deep stimulasi otak o stimulasi otak kronis yang mendalam tampaknya telah muncul sebagai alternatif untuk lesioning pada pasien dengan PD. Stimulasi o memiliki kelebihan keselamatan, berbaliknya, dan kemampuan beradaptasi (yakni, parameter stimulasi dapat disesuaikan sebagai fitur klinis berubah dari waktu ke waktu). o situs Stimulasi meliputi inti thalamic ventral lateral (dilakukan untuk mengurangi tremor, dengan respon yang baik dalam 8085% pasien), maka globus pallidus (untuk bradykinesia, gaya berjalan, berbicara, obat-induced dyskinesias), dan inti subthalamic ( untuk bradykinesia, kekakuan, tremor, gaya berjalan / postur). Sebuah studi dari 6 pasien laki-laki

menunjukkan peningkatan nilai peringkat motor dan mengurangi waktu dan kesalahan tata ruang berikut stimulasi otak mendalam mengenai globus pallidus internal. o Sebelumnya subthalamic inti stimulasi (rata-rata 7 tahun setelah vs diagnosis 14 tahun untuk populasi kontrol) telah terbukti dapat meningkatkan hasil dan kualitas hidup penderita. stimulasi nukleus o Subthalamic tidak memperbaiki hasil mortalitas jangka panjang. o Bilateral stimulasi inti subthalamic dihubungkan dalam sebuah laporan kasus dengan judi patologis. Transplantasi o Meskipun stimulasi dan lesioning dapat meningkatkan gejala, baik mengoreksi patologi yang mendasari penyakit, yang merupakan kekurangan dopamin dari hilangnya neuron nigra substantia. terapi Transplantasi menawarkan kemungkinan mengganti neuron ini hilang. o Uji klinis telah memeriksa penggunaan 3 jenis transplantasi: autologous transplantasi medula adrenal, cangkok mesencephalon janin, dan xenografts. adrenal medula transplantasi tidak digunakan secara luas karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi dari adrenalectomy. Fetal cangkokan mesencephalon telah menunjukkan hasil awal yang menjanjikan. Ujian terus, tetapi keprihatinan etis, jaringan tidak cukup, dan kesulitan prosedural membuatnya tidak mungkin bahwa prosedur ini akan menjadi hal yang biasa. Yang xenograft yang paling umum digunakan adalah mesencephalon janin babi. Sebuah pengadilan saat ini dilakukan untuk menentukan kemanjuran dari prosedur ini. Manusia embryonic stem cell dan terapi gen terapi

88

o Intrastriatal transplantasi jaringan mesencephalic manusia janin pada pasien PD telah menunjukkan kemanjuran klinis, tetapi terbatasnya ketersediaan jaringan menghalangi yang sistematis, penggunaan prosedur ini. o sel-sel induk embrio dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel dari SSP. Sel-sel ini berpotensi menyediakan sumber yang relatif terbatas sel untuk transplantasi jika protokol dikembangkan untuk menghasilkan populasi tertentu dari sel saraf. o Etis Keprihatinan ini juga memainkan peran besar dalam baris ini penelitian. o Hasil awal dari uji klinis manusia pertama terapi gen untuk PD menyarankan pendekatan secara signifikan dapat mengurangi gejala penyakit dan memberikan peningkatan 25% pada motor control.11

dikendalikan versi rilis Sinemet dan Madopar yang tersebar pengaruh dopa-L. Duodopa adalah kombinasi levodopa dan carbidopa, tersebar sebagai gel kental. Menggunakan pompa portabel pasiendioperasikan, obat ini terus menerus disampaikan melalui tabung langsung ke usus kecil bagian atas, di mana ia cepat diserap. Ada juga Stalevo (carbidopa, levodopa dan Entacapone). Tolcapone menghambat enzim COMT, sehingga memperpanjang efek L-dopa, dan sebagainya telah digunakan untuk melengkapi L-dopa. Namun, karena efeknya samping seperti gagal hati, itu terbatas dalam ketersediaannya. Sebuah obat entacapone, serupa belum terbukti menyebabkan perubahan signifikan fungsi hati dan menjaga inhibisi memadai COMT atas time.16

Dopamin agonis INTERVENSI MEDIS Levodopa Bentuk yang paling banyak digunakan pengobatan adalah L-dopa dalam berbagai bentuk. L-dopa berubah menjadi dopamin di neuron dopaminergik oleh Ldekarboksilase asam amino aromatik (sering dikenal dengan nama mantan dekarboksilase dopa-). Namun, hanya 1-5% dari L-dopa memasuki neuron dopaminergik. L sisa-dopa sering dimetabolisme menjadi dopamin di tempat lain, menyebabkan berbagai efek samping. Karena inhibisi umpan balik, L-dopa hasil pengurangan endogen dalam pembentukan L-dopa, dan akhirnya menjadi kontraproduktif. Carbidopa dan benserazide adalah dopa inhibitor dekarboksilase. Mereka membantu untuk mencegah metabolisme L-dopa sebelum mencapai neuron dopaminergik dan umumnya diberikan sebagai preparat kombinasi carbidopa / (careldopa co-) levodopa (misalnya Sinemet, Parcopa) dan benserazide / levodopa (co-beneldopa) (misalnya Madopar ). Ada juga Dopamin agonis bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirole, piribedil, cabergoline, apomorphine, dan lisuride yang cukup efektif. Ini memiliki efek samping sendiri termasuk yang tercantum di atas di samping mengantuk, halusinasi dan / atau insomnia. Beberapa bentuk agonism dopamin telah dikaitkan dengan resiko nyata peningkatan masalah perjudian. agonis Dopamin awalnya bertindak dengan merangsang beberapa reseptor dopamin. Namun, mereka menyebabkan reseptor dopamin untuk menjadi semakin kurang peka, sehingga pada akhirnya meningkatkan gejala. agonis Dopamin dapat berguna untuk pasien mengalami fluktuasi on-off dan dyskinesias sebagai akibat dari dosis tinggi L-dopa. Apomorphine dapat diberikan melalui injeksi subkutan menggunakan pompa kecil yang dibawa oleh pasien. Sebuah dosis rendah secara otomatis diberikan sepanjang hari, mengurangi fluktuasi gejala motor dengan menyediakan dosis stabil stimulasi dopaminergik. Setelah "tantangan apomorphine" awal di rumah sakit untuk menguji efektivitas dan sabar singkat dan pengasuh utama (sering

89

pasangan atau pasangan), yang terakhir dari mereka mengambil alih pemeliharaan pompa. Tempat suntikan harus diganti setiap hari dan diputar sekitar tubuh untuk menghindari pembentukan nodul. Apomorphine juga tersedia dalam dosis yang lebih akut sebagai pena autoinjector untuk dosis darurat seperti setelah jatuh atau hal pertama di pagi hari. Mual dan muntah yang umum, dan mungkin memerlukan domperidone (antiemetik sebuah). MAO-B inhibitor Selegiline dan rasagiline mengurangi gejala dengan menghambat-monoamina oksidase B (MAO-B), yang menghambat pemecahan dopamin yang dikeluarkan oleh neuron dopaminergik. Metabolit selegiline termasuk L-amphetamine dan Lmethamphetamine (jangan dikelirukan dengan isomer dextrorotary lebih terkenal dan kuat). Hal ini dapat mengakibatkan efek samping seperti insomnia. Penggunaan L-dopa dalam hubungannya dengan selegiline telah meningkatkan angka kematian yang belum dijelaskan secara efektif. Efek samping lain kombinasi bisa stomatitis. Satu laporan mengangkat kekhawatiran tentang kematian meningkat ketika MAO-B inhibitor digabungkan dengan L-dopa; [36] Namun penelitian selanjutnya belum menegaskan hal ini

finding.17 Tidak seperti lainnya non monoamine oxidase inhibitor selektif, makanan yang mengandung tyramine tidak menyebabkan krisis hipertensi . Prognosa PD tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan sendirinya, tapi berkembang dengan waktu. Harapan hidup rata-rata pasien PD pada umumnya lebih rendah daripada orang yang tidak memiliki penyakit. Pada tahap akhir penyakit, PD dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumonia, dan jatuh yang dapat menyebabkan kematian. Perkembangan gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Pada beberapa orang, namun, penyakit berlangsung lebih cepat. Tidak ada cara untuk memprediksi apa saja penyakit akan mengambil untuk seorang individu. Dengan perawatan yang tepat, kebanyakan orang dengan PD dapat hidup produktif selama bertahun-tahun setelah diagnosis. Dalam setidaknya beberapa penelitian, telah diamati bahwa mortalitas meningkat secara signifikan, dan umur panjang mengalami penurunan antara pasien rumah jompo dibandingkan dengan hunian masyarakat patients.18

90

PENGARUH DOSIS RADIASI 125I TERHADAP DIAMETER INTI SPERMATOGONIUM I Nyoman Suratma Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Penelitian ini menggunakan 48 dua bulan tikus putih jantan berumur. Tikus-tikus putih kelompok ke dalam enam kotak plastik besar dengan diameter 30 cm, sehingga setiap kotak berisi 8 tikus putih. Tikus putih diobati dengan radioaktif sebagai berikut: Kotak 1 dan kotak 2 digunakan sebagai kontrol 16 dan 32 hari. ci dosis 5 untuk 16 hari.Kotak 3 diobati dengan radiasi radio aktif ci dosis 5 untuk 32 hari.Kotak 4 diobati dengan radiasi radio aktif ci dosis selama 16 hari.Kotak 5 diobati dengan radiasi radio aktif 10 ci dosis untuk 32 hari.Kotak 6 diobati dengan radiasi radio aktif 10 Setelah waktu yang ditetapkan berakhir, testis dilakukan pemeriksaan. Tikus putih dibunuh dengan eter dan kemudian dua testis diambil dificsasi dengan formalin 10% untuk preparat histologi ditandai, inti berdiameter spermatogonium pemeriksaan dilakukan. Semua putih tikus dibunuh dengan eter dan kemudian dua testis diambil difisasi dengan formalin 10% untuk preparat histologi ditandai, dan diameter inti dihitung. Hasilnya, dengan analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah rata-rata berarti diameter inti kontrol yang spermatogonium adalah = 1.571 u dan SD = 0.191, sementara jumlah rata-rata (mean) dari spermatogonium inti berdiameter setelah radiasi adalah = 4,46 u dan sd adalah = 0.372. Hal ini ditemukan bahwa tikus putih jantan dengan radiasi radioaktif 125I memiliki rata-rata lebih besar dari diameter inti dari yang kontrol. Analisis statistik menunjukkan bahwa varian alpha = 0,05 berarti p <0,05. Kata kunci: tikus putih Laki-laki, inti berdiameter spermatogonium, radio aktif 125I.

EFFECT OF RADIATION DOSE OF 125I CORE DIAMETER spermatogonial I Nyoman Suratma Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract: This research used 48 two-month old male white mice. These white mice were group into six big plastic boxes with the diameter of 30 cm, so each box contain 8 white mice. The white mice were treated with radioactive as follows : Box 1 and box 2 were used as control of 16 and 32 days. Box 3 was treated with radiation of radio active 5 ci dosage for 16 days. Box 4 was treated with radiation of radio active 5 ci dosage for 32 days. Box 5 was treated with radiation of radio active 10 ci dosage for 16 days. Box 6 was treated with radiation of radio active 10 ci dosage for 32 days. After the assigned time was over, testes examination was conducted. The white mice was killed with ether and then the two testes was taken dificsasi with formalin 10 % for preparat histology maked, nucleus diameter spermatogonium examination was conducted. All the white mice's was killed with ether and then the two testes was taken difisasi with formalin 10 % for preparat histology maked, and the nucleus diameter was calculated. The result, with a statistical analysis showed that the average amount of the control's nucleus diameter spermatogonium mean was = 1,571u and sd = 0,191, while the average amount ( mean ) of nucleus diameter spermatogonium after radiation was = 4,46u and sd was = 0,372. It is found out that the male white mice with radiation of radioactive 125I had greater average of nucleus diameter than the control ones. Statistical analysis of variant shows that alpha = 0,05 means p < 0,05. Key words: Male white mice, nucleus diameter spermatogonium, radio active 125I.

91

I. PENDAHULUAN Efek biologis dari radioaktif adalah merupakan akibat negatif yang timbul setelah suatu alat tubuh atau bagian dari tubuh terkena radiasi sinar pengion. Efek biologis dapat berupa efek somatic dan efek genetik yang tergantung pada bagian mana dari alat tubuh terkena penyinaran. Efek somatic adalah efek yang timbul segera setelah bagian tubuh terkena radiasi sinar pengion yang sifatnya dapat akut maupun secara lambat. Efek somatic timbul pada bagian-bagian tubuh di luar alat reproduksi yang terkena radiasi sinar pengion. Efek genetic adalah merupakan efek biologis yang tampak pada generasi berikutnya dari seseorang yang terkena radiasi sinar pengion dan efek genetic timbul bila seseorang terkena radiasi pengion pada alat reproduksinya. Testes merupakan suatu kelenjar ganda, karena memiliki fungsi eksokrin dan endokrin. Hasil eksokrin terutama sel-sel seks, sehingga oleh karena itu testis dapat disebut sebagai kelenjar sitogenik. Sedangkan hasil endokrin "sekresi interen" yang dilakukan oleh sel-sel khusus (Ham, dkk; 1979). Testis dibungkus oleh selaput yang terdiri dari : tunica vaginalis, tunica albuginea dan tunica vasculosa. Testis sendiri tersusun atas banyak sekali bentukan-bentukan seperti pipa kecil (tubule) yang berjalan berlekuk-lekuk, dengan kedua muaranya berhubungan dengan rete testis melalui tubuh recti. Pipa-pipa kecil tersebut disebut tubuli seminiferi. Clermont dan Huckins (1961), telah meneliti perjalanan dari tubululi seminiferi dari testis mencit. Dikatakannya setelah meninggalkan rete testis, tubulus seminiferous berjalan ke arah caudal sampai jarak tertentu, kemudian ia berbalik pada suatu belokan yang mirip bentuk jepitan rambut, untuk kemudian berjalan kearah caudal lagi.

Demikian seterusnya tubulus itu berjalan bolak-balik ke caudal dan cranial, sehingga membentuk suatu lekukanlekukan yang teratur dalam jumlah yang sangat banyak sampai akhirnya kembali bermuara ke rete testis lagi. Speimatogonia. Clermont dan Obregon (1968) menyebutkan bahwa populasi spermatogonia terdiri dari dua macam sel yaitu : stem cells dan differentiating cells. Spermatogonia type A adalah sebagai stem cells, karena ia mampu membelah diri membentuk stem cells lagi dan differentiating cells, sedangkan differentiating cells adalah spermatogonia type intermediate dan type B, yang mana akan membelah untuk menjadi sel yang lebih terspesialisasi yaitu spermatocytes, dan tak mungkin membentuk stem cells lagi. Spermatogonium type A intinya jernih, dengan selaput inti yang tipis, sedangkan type B, inti mengandung chromatin yang besar dan selaput intinya tebal. Type intermediate adalah bentuk diantara keduanya tersebut. Spermatogonia type B inilah yang kemudian membentuk spermatocyt-spermatocyt muda pada stage VI, yang bentuknya mirip sel induknya tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Selanjutnya perubahanperubahan struktur inti terjadi pada intermediate intervals. Sampai pada stage IX baru menampakkan gambaran khas spermatocyt pada stadium leptotene. Leeson and Leeson ( 1990 ) menyebutkan bahwa inti sel spermatogonium type A, gelap dengan inti sel lonjong berwarna gelap. Sel-sel tersebut membelah diri secara berkala untuk mempertahan kan jumlah spermatogonia dan juga untuk membentuk spermatogonia pucat type A yang memiliki inti lonjong pucat. Spermatogonia pucat type A, membelah diri secara mitosis untuk menjadi

92

sperlnatogonia type B dan juga untuk menjadi spermatogonia pucat type A yang lain. Spermatogonia type B mempunyai inti bulat yang mengandung massa khromatin padat yang berhubungan dengan membran inti. Bila spermatogonia type B membelah diri dengan cara mitosis selsel tersebut menghasilkan sel-sel anak yang seluruhnya berdiferensiasi menjadi spermatocyte primer. Sewaktu proses ini berlangsung, sel-sel anak menjadi lamina basal, bertambah besar dan memperlihatkan perubahan sifat inti sel. Klasifikasi spermatogonia yang lebih kompleks diajukan oleh beberapa penulis misalnya karena jumlah generasi spermatogonia type B pada manusia ada empat, maka sel-sel tersebut diberi nama B1, B2, B3 dan B4. Yang termasuk radiasi sinar pengion adalah : sinar alfa, sinar beta, sinar grenz, sinar X (Rontgent) dan sinar gamma (Anonim, 1973 a; Gabriel, 1988 ).

2). Mengurangi frekuensi terjadinya efek stokastik ketingkat yang cukup rendah yang masih dapat ditanggung oleh masyarakat.

III TINJAUAN DAN PENELITIAN

1VIANFAT

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis radiasi radioaktif 125I terhadap diameter inti spermatogonium dalam satuan waktu yang ditentukan. Manfaat penelitian ini adalah dalam dunia kesehatan yaitu untuk terapi dan diagnosis. Para pekerja (laboran) yang bekerja di laboratorium Radio immuno-assay yang memakai radio-aktif 125 I sebagai tracer diharapkan untuk berhati-hati dan memakai pelindung badan agar tidak tercemari radio-aktif memakai pelindung badan tercemari radioaktif. agar tidak

II LATAR BELAKANG MASALAH Karena sinar gama makin meluas pemakaiannya khususnya dalam bidang kedokteran nuklir, maka kita sering melihat orang-orang yang selalu berhubungan dengan radiasi sinar pengion khususnya sinar gamma akan menderita gangguan akibat negatif dari pada sinar tersebut. Pasien kedokteran nuklir sebagai subyek penyinaran, mempunyai kemungkinan mengalami efek non stokastik disamping juga efek stokastik. Sebagai sumber radiasi ia dapat memperbesar peluang terjadinya efek stokastik, somatic dan genetic dalam masyarakat. Aspek keselamatan radiasi dalam kedokteran nuklir perlu mendapat perhatian secara wajar dan benar agar mendapat tujuan yang akan kita capai melalui keselamatan radiasi. Tujuan adalah : 1). Mencegah terjadinya efek nonstokastik yang membahayakan. keselamatan radiasi

VI TINJAUAN PUSTAKA Becquerel (1896) yang dikutif oleh Gabriel, 1988 menemukan senyawa uranium yang memancarkan sinar tak tampak yang dapat menembus bahan yang tidak tembus cahaya serta mempengaruhi emulsi fotografi. Marie Curie ( 1896 )yang dikutif Gabriel, 1988 menunjukkan bahwa inti uranium dan banyak unsure lainnya bersifat memancarkan salah satu partikel alfa, beta atau gamma. Unsur inti atom yang mempunyai sifat memancarkan sinar-sinar tersebut disebut inti radio-aktif (Kirsch dkk; 1972). Sinar gamma mempunyai sifat-sifat yaitu : Mempunyai daya tembus lebih besar dari sinar alfa, sinar beta, sinar grenz dan sinar X tidak dapat dilihat oleh mata biasa, mempunyai panjang gelombang pendek, mempunyai pancaran sinar yang lurus tidak dapat dibelokkan oleh medan magnit, dapat merangsang sel-sel jaringan hidup dan merusak sel-sel

93

jaringan hidup dan dapat mengionisasi gas. Oleh karena sinar gamma mempunyai daya tembus yang tinggi, sehingga tergolong radiasi kuat ( Hardradiation ) (Anonim, 1982; Lukman, 3983; Gabriel, 1988). Oleh karena itu sinar gamma makin meluas pemakaiannya khususnya dalam bidang kedokteran nuklir. Ekivalen dosis yang diterima oleh seseorang dari semua "sumber" ( instalasi atom ) yang dioperasikan harus tidak melebihi batas dosis yang berlaku (batas dosis perorangan). Secara ideal persetujuan atas suatu usul pengoperasian instalasi atau pekerjaan yang melibatkan penyinaran radiasi harus didasarkan atas hasil analisis biaya manfaat. Untuk suatu harga ekivalen dosis kolektif yang dipilih (berarti tingkat risiko sudah dipilih), S*, keadaan optimum akan dicapai bila dipenuhi persamaan sebagai berikut: (Wiryosimin, 1985 ) ( dX / dS ) s*=- (dY / dS) s*. bila dX / dS menyatakan penambahan biaya persatuan ekivalen dosis kolektif yang diperlukan untuk memperoleh suatu Faktor bobot untuk berbagai organ / bagian jaringan Organ / jaringan Gonad Payudara Sumsum merah Paru-paru Kelenjar gondok Permukaan tulang Lain-lain Sumber: Wiryosimin, S. 1985. Apabila penerimaan penyinaran terdiri atas penyinaran luar dan dalam, maka batas ekivalen dosis untuk efek stokastik tidak akan dilampaui bila dipenuhi hubungan sebagai berikut : W 0,25 0,15 0,12 0,12 0,03 0,03 0,30

tingkat keselamatan radiasi tertentu dan dY / dS menyatakan penambahan beban masyarakat atas kerugian yang ditimbulkan oleh pengoperasian instalasi atau pun pekerja bersangkutan persatuan ekivalen dosis kolektif ( Anonim, 1982; Santoso, 1985 ). Batas ekivalen dosis ditetapkan atas dasar prinsip bahwa risiko total dianggap sama, tidak peduli apakah penyinaran rata untuk seluruh tubuh atau hanya tertuju pada bagian tertentu saja. Anggapan ini akan berlaku bila dipenuhi hubungan :

WTH T < H w B,L


T

(Wiryosimin, 1985). Bila W. menyatakan factor bobot yang menggambarkan angka banding antara risiko stokastik yang berasal dari organ T terhadap risiko total bila seluruh tubuh menerima penyinaran secara merata; H menyatakan batas ekivalen dosis tahunan yang diterima oleh organ T dan HW B, L menyatakan batas ekivalen dosis tahunan untuk penyinaran merata pada seluruh tubuh, dalam hal ini 50 mSv ( 5000 mrem ).

Hr Ij + 1 HWB, L Ij , L

Bila Ij menyatakan jumlah pemasukan radio nuklida j dalam satu

94

tahun Ij, L menyatakan batas pemasukan tahunan untuk radio nuklida j.

2. putusnya ikatan hydrogen dan ikatan disulfida dari protein sel 3. terhadap organel-organel sel; membran plasma pecah, endoplasmic reticulum memanj ang; mitokondria membengkak, lisozom pecah akan memperberat kerusakan sel, produksi ATP berkurang. 4. Dalam inti sel akan terjadi kecepatan sintesa DNA berkurang karena aktifitas enzym berkurang akan terjadi penundaan aktifitas mitosis, aberasi struktur kromosom, putusnya kromosom atau kromatid.

Proses Ionisasi Sebagian besar system biologis terdiri dari 80 % air, karena itu sebagian besar ionisasi pada system biologis terutama terjadi pada molekul air bila tubuh kena radiasi radioaktif ( sinar pengion ) efek ini ditemukan pertama kali oleh Curie dan Debierne ( 1901 ) dikutip oleh Gabriel; 1988. Pada saat radiasi pengion mengenai suatu system biologis, maka ionisasi paling banyak terjadi pada molekul air sehingga radikal Ho, OHo , yang dihasilkan dapat menimbulkan efek yang bermacam - macam pada system biologis tersebut akan menyebabkan perubahan yang sangat penting bagi struktur dan fungsi kehidupan sel ( Casarett, 1986) Secara umum radiolisis dari air H2O.....H + OH+ Salah satu dari banyak kemungkinan pembentukan radikal bebas adalah sebuah electron dikeluarkan dari molekul air ( H2O .... H20+ e- ) dan electron tersebut diambil oleh molekul air yang lain ( e- + H20+ .....H20 ) dalam keadaan demikian sebuah ion positif ( H2O ) dan ion negatif ( H2O ) dibentuk. Tiap-tiap ion tersebut dengan adanya molekul air yang lain menjadi suatu ion dan suatu radikal bebas. H2O+H2O.....H + OH ; H2O + H2O ....... OH + Ho. Radikal-radikal ini akan bereaksi satu dengan yang lainnya ; H + OH ...... H2O ; Ho + Ho ..... H2; OH + OH .... H2O2.(hydrogen peroksida) yang merupakan bahan pengoksidasi yang aktif dan merupakan bagian penting yang perlu diperhatikan dari efek radiasi pada system yang encer (Casarett, 1968). Pengaruhnya pada molekulmolekul sel adalah: 1. Putusnya ikatan peptida dari molekul sel.

V. MATERI DAN PENELITIAN.

METODE

Definisi operasional variable 125 tergantung. Efek radioaktif I pada diameter inti sel spermatogonium adalah efek yang timbul dengan ditandai adanya perubahan diameter inti sel spermatogonium yang lebih besar atau lebih kecil atau sama sekali normal, dan atau sama dengan normal. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebidanan FKH Unair.

5.1. Hewan Penelitian Dalam penelitian memakai 48 ekor mencit jantan umur 2 bulan didapat dari Veterinary Farma ( Vehna ) di Jalan Achmad Yani Surabaya. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap pola factorial 2 x 3 sehingga ada 6 kombinasi perlakuan (Sudjana, 1992).

5.2. Bahan Dan Alat Penelitian a. Radio nukleotida 125I sebanyak 45ci, diperoleh dari Diagnostik Product Corporation Amerika Serikat ( DPC USA). Radio aktif ini di bagi menjadi empat dosis yaitu :

95

1. Dosis 5ci diradiasi selama 16 hari 2. Dosis 5ci diradiasi selama 32 hari 3. Dosis 10ci diradiasi selama 16 hari 4. Dosis 10ci diradiasi selama 32 hari, sehingga memakai 30 ci radio aktif. Masing-masing ukuran ada dalam kemasan botol kecil, yang ada tutupnya dan bisa diatur sendiri. Masing-masing botol ditaruh di tengah-tengah tutup kotak mencit dan dicatat waktunya mulai menempatkan radioaktif itu. Emisi radiasi nukleotida pada saat pemberian adalah 18 cm dalam 100 count / detik setiap 5 ci radioaktif 125 I.

b. Ether dipakai untuk membius mencit , kemudian testesnya diambil keduanya dan difiksasi dengan formalin 10% di dalam botol kecil kemudian ditutup rapat-rapat, dan diberi label. mengenai dosis, waktu dan nomor agar lebih memudahkan pengerjaan preparat histologinya. c. Mikrometer, untuk mengukur diameter inti sel spermatogonium mikroskop cahaya, botol kecil-kecil yang sudah diisi formalin 10 %. 5.3. Metode Penelitian. Mencit sebanyak 48 ekor dibagi menjadi 6 kotak plastik besar, yaitu : Kotak I; diberi radiasi 125I dosis 5 uci selama 16 hari. Kotak II; diberi radiasi 125 I dosis 5 uci selama 32 hari. Kotak III; diberi radiasi 125I dosis 10 uci selama 16 hari. Kotak IV; diberi radiasi 125I dosis 10 ci selama 32 hari. Kotak V dan Kotak VI : Sebagai kontrol. Kemudian diamati setiap hari dan mencit tetap diberi makan dan minum

Rancangan Percobaan Faktorial Waktu Hari 16 (al) 32 (a2) Dosis I D1 ; 5 uci 8 8 16 Dosis II (D2); 10 uci 8 8 16 Dosis Not (DO) Kontrol (DO) 8 8 16

Rancangan yang dipakai dalam hal ini; rancangan acak lengkap pola factorial 2 x 3 , ada dua factor diberikan pada mencit dengan dua ulangan . Faktor pertama adalah hari ( waktu ) yaitu : 16 hari ( al ) dan 32 hari ( a2 ). Faktor kedua adalah dosis yang terdiri dari dua perlakuan dan dua kontrol. Jadi ada 6 kombinasi perlakuan yaitu alDo; a2Do; alDl; a2D1; a1D2; a2D2; yang masing-masing terdiri dari 8 ekor mencit jantan umur 2 bulan. Setelah mencapai waktunya masing-masing perlakuan maka, semua mencit dikorbankan dibius dengan Ether di - dalam kaleng. Kemudian masing - masing mencit kedua testesnya diambil dan dimasukkan ke dalam botol kecil difiksasi dengan formalin 10 % untuk dibuat preparat histology. Tiap botol kecil itu ditulisi label, nomor, dosis, waktu., Dengan cara yang sama botol satu sampai delapan tetap diisi kode dan setiap botol ditutup rapat -rapat . Dengan cara yang sama juga dilakukan pada : - dosis 5 ci selama 32 hari - dosis 10 ci selama 16 hari

96

- dosis 10 ci selama 32 hari dan juga untuk kontrol. Semua mencit dalam perlakuan dan kontrol selama waktu tertentu kedua testesnya diambil dan difiksasi dalam formalin 10 % untuk di buat preparat histology. Setelah selesai membuat preparat histology yang didasarkan atas kelompok perlakuan waktu dan kontrol maka preparat itu dilihat di bawah mikroskop cahaya untuk diukur diameter inti set spermatogonium mencit tiap perlakuan dengan memakai mikro-meter. Parameter yang diamati dan dianalisa adalah diameter inti set spermatogonium tiap perlakuan, semuanya ini datanya disajikan dalam bentuk deskriptif . Sedangkan untuk menguji perbedaan diameter inti set spermatogoniun rata-rata dari masingmasing data dilakukan analisa varian dengan uji Fischer ( F ) dan bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji BNT ( Sudjana, 1992 ).

97

VI. HASIL Hasil perhitungan Mean, Sd, Se dari masing-masing perlakuan untuk data diameter inti set spermatogonium pada rancangan factorial ( Diam . Kontrol (K) 16 hari (KI) Mean Sd Se N 1,575 a1 0,191 0,067 8 Diradiasi dengan radioaktif 125I 5 uci/16 hari 3,413 bl 0,792 0,280 8 5 uci/32 hari 4,460 c1 0,372 0,132 8

32 hari (KII) Mean Sd Se N 1,638 a2 0,200 0,071 8

10 uci/16 hari 5,789 b2 0,918 0,325 8

10 uci/32 hari 7,665 c2 1,224 0,433 8

Notasi : a1.b1; b1.c1; b1.b2; c1.c2; Dalam satu kolom dan baris berbeda nyata (p < 0,05) Dari hasil ekperimen di atas dapat dilihat bahwa makin besar dosis radiasi radioaktif 125I dan makin lama waktu radiasi, rata - rata diameter inti sel spermatogonium makin besar. Untuk menguji hypotesis digunakan analisa varian. Dengan analisa varian didapat dengan alfa ( ) = 0,05 maka ; kelompok waktu, kelompok dosis, interaksi waktu dan dosis ( waktu * dosis ) semuanya bermakna dimana p < 0,05. kesehatan untuk terapi dan diagnostik ( dalam kedokteran nuklir ). Para medis yang bekerja berhubungan dengan radioaktif bisa berhati-hati dan memakai alat pelindung dari radiasi. Para pekerja (laboran) di laboratorium Radioimmunoassay yang memakai 125 radioaktif I sebagai tracer diharapkan untuk berhati-hati agar tidak tercemar dari radiasi tersebut.

VIII KESIMPULAN.DAN SARAN VII. DISKUSI. Hasil penelitian ini banyak manfaatnya bagi masyarakat luas dalam hal bidang kesehatan khususnya, industri, pertanian, peternakan, pertambangan dan energi dan lain-lainnya. Bidang 8.1. Kesimpulan.
125 1. Radioaktif khususnya I merupakan sinar yang berbentuk gelombang elektromagnetik dan

mempunyai panjang sangat pendek. 2.

gelombang

berhubungan radioaktif. DAFTAR PUSTAKA.

dengan

radiasi

Radioaktif dapat menyebabkan proses ionisasi pada system biologis yang dilaluinya.

3. Radioaktif 125I dapat menimbul kan efek negatif pada organ-organ yang aktif ( testes ). 4. Organ ini dapat menghasilkan ukuran diameter inti sel spermatogonium lebih besar dari normal. 5. Besarnya dosis radiasi radioaktif 125I serta lamanya waktu yang diberikan dalam radiasi sangat menentukan ukuran diameter inti sel spermatogonium ( Diam ). 6. Semakin besar dosis radiasi yang diberikan semakin besar juga ukuran diameter inti sel spermatogonium testes mencit . 7. Hasil pengamatan tampak bahwa diameter inti sel spermatogonium yang mendapat radiasi radioaktif 125I rata-rata diameter inti sel spermatogonium lebih besar dari kontrol. Ini dibuktikan dengan pengelompokkan mencit berdasar kan dosis, waktu, interaksi dosis dan waktu (dosis x waktu), dengan up Fischer (F) semuanya bermakna (p < 0,05), dengan alfa = 0,05. 8.2. Saran. 1. Radioaktif sangat berbahaya bagi pasien atau orang lain maka sangat dianjurkan untuk berhati-hati. 2. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk melihat efek genetic, mutagenik, teratogenik atau karsinogenik. 3. Dianjurkan kepada karyawan untuk memakai pelindung dalam menangani alat-alat yang

1. Anonim, 1973 a, Radiation Protection Procedures. International Atomic Energy. IAEA in Austria. 2. -------, 1973 b. Safe Handing of radionuclides. International Atomic Energy Agency Vienna, IAEA in Austria. 3. --------, 1982. Basic Safety Standard for radiation Protection international Atomic Energy Agency. Vienna, IAEA in Austria. 4. Casarett, A.P. 1968, Radiation Biology First edition. Prentice Hal inc-Engle wood cliffs New Yersey p:200-210. 5. Clermont, Y. and C. Huckins; 1961. Mikroskopic Anatomy of the sex cords and seminiferous tubulus in growing and adult male albino rats. Am. J. Anat. 1:79. 6. Cleimont, Y. and E. Bustos - Obregon, 1968. Reexamination of spermatogonial renewal in the rat by means of seminiferous tubules mounted in toto. Am. J. Anat. 123:237248. 7. Clermont, Y. 1962. Quantitative Analysis of spermatogenesis in the rats. Am.J.Anat. 111:111-129. 8. Gabriel, J.F. 1988. Fisika Kedokteran . Departemen Fisika UNUD. P: 276-322. 9. Ham, A.W. and David, H. Conmack, 1979. Anatomy and Histology of Faculty Medicine Univ. Toronto USA. P: 877889. 10. Lukman, D. 1983. Buku pengantar dasar-dasar radiasi dalam ilmu kedokteran gigi FKG. Trisakti Jakarta h. 32. 11. Santoso, D. 1985. Prinsip dan pemanfaatan Teknik Radioimmuno -

assay. Pusat penelitian Teknik Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional ( BATAN ). 12. Sudjana, 1992. Metoda Statistika. Tarsito Bandung. 13. Kirsch, W.M; Schulz, D; Fuchs, E. and Na Kane, P; 1972. Effect of Ionizing radiation On Nuclear energy Transduction in Normal and Neoplastic glia. J. Radiation Biology. 11:349359. 14. Wiryosimin, S. 1985. Aspek keselamatan radiasi dalam kedokteran nuklir. ABK. Pengetahuan Nuklir. Jurusan Fisika ITB.

PENATALAKSANAAN PADA DIABETIC PERIPHERAL NEUROPATHIC PAIN (DPNP)


Herni Suprapti Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Penyebab diabetic peripheral neuropathic pain (DPNP) masih belum diketahui, dan nyeri yang dirasakan dapat sangat hebat sehingga mengganggu aktivitas. DPNP tidak dapat disembuhkan, tetapi untuk memperbaiki kualitas hidup, perlu diberikan terapi untuk mengontrol nyeri, yaitu dengan memberikan obat topikal, obat oral, serta tindakan non-farmakologi lain (akupunktur dan transcutaneous nerve stimulation). Diabetic peripheral neuropathic pain (DPNP) mengenai sekitar 10% sampai 20% dari 20 juta penduduk Amerika yang menderita diabetes mellitus (DM) (1,2).

MANAGEMENT ON DIABETIC PERIPHERAL NEUROPATHIC PAIN (DPNP) Herni Suprapti Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract The cause of diabetic peripheral neuropathic pain (DPNP) is still unknown, and the pain can be so intense that it interferes with the activity. DPNP can not be cured, but to improve the quality of life, should be given therapy to control pain, by providing topical medications, oral medications, as well as nonpharmacological action of other (acupuncture and transcutaneous nerve stimulation). Diabetic peripheral neuropathic pain (DPNP) of about 10% to 20% of the 20 million Americans who suffer from diabetes mellitus (DM) (1.2).

Etiologi Seperti berbagai jenis nyeri neuropatik lainnya, penyebab DPNP tidak diketahui. Walaupun DPNP berhubungan dengan perubahan patologis saraf perifer, masih belum jelas mengapa hanya pada pasienpasien tertentu terjadi peripheral neuropathy sedangkan pasien lain tidak. Perbedaan ini menimbulkan perhatian lebih banyak terhadap peran otak dan seluruh sistem saraf pusat (SSP) pada timbulnya rasa nyeri (3). Perbaikan kontrol glukosa dapat menurunkan risiko terjadinya diabetic peripheral neuropathy, tetapi masih belum jelas apakah juga menurunkan insidens DPNP (4). Diagnosis Gejala DPNP pada umumnya berupa rasa terbakar atau electric shock sensation dan

biasanya lokasinya pada kaki atau tungkai bawah, walaupun tangan juga bisa terkena (5). Pasien juga mengalami allodynia, yaitu stimulus yang dalam keadaan normal tidak menyebabkan nyeri tetapi pada pasien ini dapat menimbulkan rasa nyeri, atau hyperalgesia, yaitu peningkatan respons terhadap stimulus nyeri. Walaupun pasien merasa nyeri, mereka juga merasa kebas pada daerah-daerah tersebut. Pasien dengan nyeri tungkai bawah terasa nyeri saat berjalan, tetapi DPNP juga sering timbul dan memburuk pada malam hari. Hal ini dapat menyebabkan gangguan tidur. Insomnia berhubungan dengan hasil glucose-tolerance-test yang abnormal dan mencetuskan DM (6). Evaluasi DPNP adalah diagnosis terbanyak pada pasien dengan DM yang kaki atau tungkainya terasa nyeri. Lakukan

pemeriksaan 2 JPP pada pasien yang merasa nyeri seperti ini, tetapi belum pernah diperiksa untuk DM (7). Penyebab lain nyeri perifer adalah nyeri karena defisiensi vitamin B12, claudication dan osteoarthritis. Penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dengan DPNP dengan beberapa pemeriksaan (8). Pada penelitian neurologis, seperti nerve conduction velocity dan quantitative sensory test, biasanya menunjukkan penurunan fungsi saraf perifer pada pasien DPNP. Tetapi didapatkan hubungan yang minimal antara hasil uji-uji ini dengan timbulnya dan keparahan DPNP; jadi, mereka hanya terbatas pada membantu membuat diagnosis. Uji ini tidak dilakukan rutin pada pasien yang telah didiagnosis DPNP. Terapi Ada beberapa pedoman terapi nyeri neuropatik secara umum atau spesifik pada DPNP (5, 9-11). Pedoman ini menunjukkan terapi mana yang paling efektif. Terapi yang direkomendasi berdasarkan pedoman pada Tabel 1. Hanya ada 2 obat yang telah mendapat persetujuan US Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DPNP, yaitu: pregabalin dan duloxetine. Walaupun sejumlah obat yang disebutkan disini adalah merupakan antidepresan atau antikonvulsan karena mereka tidak mempunyai efek analgesik, berkurangnya rasa nyeri terbukti tidak berhubungan dengan efek-efek ini. Pertimbangkan juga pemberian analgesik primer yang setara dengan opioid. Analgesik Topikal Bila nyeri relatif ter-lokalisasi, terapi mulai dengan lidocaine patch 5%. Walaupun indikasi menurut FDA hanya untuk terapi post-herpetic neuralgia, tetapi obat ini juga efektif untuk DPNP (12). Jelaskan pada pasien, bahwa obat ini berupa obat topikal yang efeknya lokal dan, sangat jarang menyebabkan efek samping sistemik atau berinteraksi dengan obat lainnya. Hal ini

baik sekali untuk pasien-pasien diabetes, dengan kondisi co-morbid. Lidocaine patch direkomendasi untuk nyeri ter-lokalisasi karena hanya 3 buah patch untuk sekali pakai. Patch dapat digunakan selama 12 jam lalu dilepas. Efek analgesia berlangsung terus selama 12 jam setelah dilepas; biasanya pasien memakai pada sore hari lalu paginya dilepas. Patch ini juga merupakan barrier fisik antara lingkungan luar dengan daerah nyeri. Hal ini baik untuk pasien DPNP dengan allodynia atau hyperalgesia, dimana adanya stimulus eksternal dapat mengeksaserbasi nyeri. Jelaskan pada pasien bahwa lidocaine patch hanya ditempelkan di kulit yang intak; jangan ditempelkan pada ulkus yang nyeri, yang sering terjadi pada pasien diabetes. Analgesik topikal lainnya yang sering digunakan untuk DPNP adalah capsaicin. Yang sering digunakan sebelum ada lidocaine patch, tetapi lidocaine patch lebih efektif. Banyak juga pasien DPNP yang tidak men-toleransi rasa panas akibat capsaicin (yang terbuat dari chili pepper), terutama bila ada allodynia (13).

Tabel 1. Penatalaksanaan DPNP 1. Bila nyeri ter-lokalisasi, berikan lidocaine patch 5%. 2. Bila nyeri menyebar atau bila pemberian lidocaine patch 5% tidak mempan, beri TCA bila tidak ada kontraindikasi. 3. Bila penggunaan TCA merupakan kontraindikasi atau bila disertai dengan efek samping yang tidak dapat ditoleransi, berikan SNRI (duloxetine atau venlafaxine) atau antikonvulsan (pregabalin atau gabapentin). Bila pasien mempunyai comorbid depresi, beri SNRI.

Bila efek analgesik TCA tidak cukup, beri antikonvulsan. Bila salah satu obat tersebut tidak efektif, coba obat lainnya.

antihistaminik yang lebih ringan. Beberapa pasien yang minum TCA merasa sangat mengantuk karena efek antihistaminiknya, tetapi efek ini menguntungkan karena membantu mereka tidur pada malam hari, dimana saat tersebut keluhan DPNP bisa sangat parah. SNRI yang lain Setelah TCA, obat yang efektif untuk DPNP adalah antikonvulsan pregabalin dan gabapentin, dan antidepresan serotonin norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) duloxetine dan venlafaxine. Beberapa studi meneliti perbandingan obat-obat ini, hasilnya tidak ada perbedaan efektivitas pada tiap pasien.

4. Bila diperlukan efek analgesik yang cukup, beri analgesik opioid (oxycodone atau tramadol). 5. Acupuncture dan TENS dapat digunakan bila obat-obat tersebut di atas tidak cukup meredakan nyeri atau tidak dapat diberikan karena pasien intoleransi. TCA = tricyclic antidepressant; SNRI = serotonin norepinephrine reuptake inhibitor; TENS = transcutaneous electrical nerve stimulation Dikutip dari Boulton AJ, et al. Diabetes Care 2005; Finnerup NB, et al. Pain 2005; Argoff CE, et al. Mayo Clin Proc 200610; Dworkin RH, et al. Arch Neural 2003. (11)

Bila pemberian TCA tidak menghasilkan efek analgesia dan antidepresan yang diharapkan, maka gantilah dengan antikonvulsan karena obat ini mempunyai efek analgesia yang berbeda dengan SNRI, dan mempunyai efek yang mirip dengan TCA, tetapi dengan efek samping yang lebih ringan. Karena kedua antidepressan, duloxetine dan venlafaxine harus diberikan sebelum pemberian antikonvulsan jika pasien mempunyai co-morbid depresi. Depresi sering terjadi pada pasien DM, dan dapat mencetuskan dan mengeksaserbasi penyakit ini (14,15). Seperti TCA, duloxetine dan venlafaxine mempunyai efek anti-depresan yang baik. Jenis antidepresan yang lain, seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), efektif untuk depresi, tetapi hanya sedikit dapat menurunkan nyeri. Duloxetine indikasinya DPNP; banyak dokter yang lebih suka meresepkannya daripada venlafaxine. Duloxetine dapat menyebabkan interaksi obat karena efek inhibitory kuat pada sistem enzim hepatic cytochrome P-450 2D6, yang terlibat pada metabolisme berbagai obat (16).

Tricyclic Antidepressant Dari semua obat yang diresepkan untuk DPNP, penggunaan tricyclic anti-depresant (TCA) paling banyak didukung riset. TCA diberikan sebagai obat oral pilihan pertama bila toleransi pasien baik dan tidak ada kontraindikasi terhadap TCA. Beberapa pasien, terutama lanjut usia, sensitif terhadap efek antikolinergik dan antihistaminik obat ini. TCA kontraindikasi pada pasien pre-existing cardiac conduction defect. Dengan alasan ini maka sebaiknya pada pasien DPNP berusia lebih dari 50 tahun, jangan diberikan TCA, walaupun tidak ada kontraindikasinya. Salah satu mitos yang masih ada bahwa amitriptyline mempunyai efek analgesik yang paling poten daripada TCA lainnya. Kenyataannya, semua TCA mempunyai efek analgesik yang sama. Jadi berikan desipramine dan nortiptyline, yang mempunyai efek antikolinergik dan

Mulailah dengan memberikan duloxetine 30 mg/hari selama 1 minggu, kemudian dosis ditingkatkan sampai 60 mg/hari. Bila mulai dengan dosis kecil, maka efek nausea dapat dihindari. Dosis 60 mg/hari cukup untuk pasien pada umumnya, tapi ada pula pasien tertentu yang memerlukan dosis 90 mg/hari, atau bahkan 120 mg/hari, supaya efektif (17). Bila menggunakan venlafaxine, disarankan sediaan extended-release. Dosisnya sekali sehari dan efek nausea-nya lebih kecil daripada sediaan immediaterelease. Mulailah dengam dosis 75 mg/hari (37.5 mg/hari untuk pasien lanjut usia) kemudian tingkatkan dengan interval 3-4 hari sampai dosis 150 mg/hari. Pertahankan dosis tersebut selama 2-3 minggu. Bila responsnya kurang baik, tingkatkan dosis sebesar 37.5 mg setiap minggu. Dosis paling tinggi adalah 450 mg/hari; beberapa dokter memberikan dosis lebih tinggi lagi, tetapi tidak ada bukti yang mendukung bahwa dosis lebih tinggi dapat meredakan nyeri lebih baik. Tidak seperti TCA, duloxetine dan venlafaxine efek antihistaminiknya kecil, dan tidak terlalu sedatif. Untuk pasien yang sukar tidur, berilah non-benzodiazepine sedative-hypnotic, seperti zolpidem, zaleplon, eszopiclone atau ramelteon, sebagai tambahan antidepresan (18).

Walapun pregabalin efeknya juga sedasi, tapi kurang menyebabkan ngantuk siang hari. Beberapa klinisi lebih suka memberi duloxetine, karena merupakan indikasi untuk DPNP.

Opioid Oxycodone dan tramadol adalah dua opioid yang digunakan untuk terapi DPNP, dan paling banyak disuport oleh literatur. Karena nyeri DPNP biasanya konsisten, dan terus menerus, maka berilah sediaan extended-release obat-obat ini setelah dosis optimal yang dapat ditentukan dengan penggunaan sediaan dose immediaterelease terlebih dahulu. Oxycodone dan tramadol lebih efektif untuk DPNP daripada opioid lainnya masih dipertanyakan; kelebihannya berhubungan dengan kenyataan bahwa obat tersebut diteliti lebih banyak untuk terapi DPNP daripada opioid lainnya. Berbagai opioid lain juga efektif untuk terapi nyeri neuropatik secara umum (19), dan penelitian terbaru mengindikasikan bahwa fentanyl transdermal baik untuk DPNP (20). Oxymorphone, merupakan sediaan which oral short-acting dan extendedrelease, adalah metabolit oxycodone dan, mempunyai efek analgesia yang mirip. Tramadol adalah obat kombinasi yang mengandung opioid lemah dan SNRI lemah. Studi opioid antagonis menunjukkan bahwa analgesia yang paling kuat adalah tramadol karena sifat SNRI-nya (21). Tramadol merupakan suatu opioid, mempunyai risiko penyalahgunaan dan ketergantungan psikis. Sebaiknya menggunakan obat yang lebih mempunyai efek SNRI, seperti TCAs, duloxetine atau venlafaxine. Kombinasi Terapi Analgesik Pasien DPNP biasanya diberikan kombinasi 2 obat atau lebih. Masih belum banyak penelitian mengenai efikasi kombinasi terapi atau kombinasi mana yang lebih

Antikonvulsan Pregabalin dan gabapentin efek analgesiknya mirip, tapi sebaiknya gunakan yang pertama lebih dahulu. Gabapentin efektif juga, tetapi sulit mencapai dosis terapetik karena terlalu sedatif. Bagi kebanyakan pasien, dibutuhkan paling dosis 1,600 mg/hari, atau lebih. Walaupun obat tersebut diberikan malam hari, beberapa pasien masih mengeluh ngantuk pada siang hari bila minum obat ini.

efektif (22). Bila memberikan terapi kombinasi, pilihlah obat yang berbeda kelasnya, seperti antidepresan dengan antikonvulsan atau opioid selain tramadol.

pacemaker. Karena elektroda dan kawatnya dipasang di bawah baju, TENS dapat digunakan sepanjang hari sambil beraktivitas.

Obat-obat yang digunakan: Amitriptyline Capsaicin Desipramine Duloxetine Eszopiclone Fentanyl, transdermal Gabapentin Lidocaine patch 5% Nortriptyline Oxycodone Oxymorphone Pregabalin Ramelteon Venlafaxine Tramadol Zaleplon Zolpidem

References 1. Vinik Al, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin North Am 2004;88:947-999,xi. 2. Boulton AJ. Management of diabetic peripheral neuropathy. Clin Diabetes 2005;23:9-15. 3. Woolf C. Central sensitization: uncovering the relation between pain and plasticity. Anesthesiology 2007;106:864-867. 4. Diabetes Control and Complications Trial Research Group. The effect of intensive diabetes therapy on the development and progression of neuropathy. Ann Intern Med 1995;122:561-568. 5. Boulton AJ, Vinik Al, Arezzo 1C, et al; American Diabetes Association. Diabetic neuropathies: a statement by the American Diabetes Association. Diabetes Care 2005;28:956-962. 6. Gottlieb DJ, Punjabi NM, Newman AB, et al. Association of sleep time with diabetes mellitus and impaired glucose tolerance. Arch Intern Med 2005;165:863-867. 7. Hoffman-Snyder C, Smith BE, Ross MA, et al. Value of the oral glucose tolerance test in the evaluation of chronic idiopathic axonal polyneuropathy. Arch Neurol 2006:63:1075-1079. 8. Horowitz SH. The diagnostic workup of patients with neuropathic pain. Med Clin North Am 2007;91:21-30.

Terapi non-farmakologi Literatur untuk terapi Non-farmakologi DPNP masih terbatas. Untuk terapi jenis ini, yang paling didukung riset adalah akupunktur (23,24). Satu-satunya faktor risiko adalah timbulnya infeksi, dan hal ini bisa dihindari dengan memakai jarum dispossible. Seperti juga pemberian lidocaine patch, tidak ada jaminan bahwa penggunaan akupunktur pasti berhasil, tapi akupunktur tidak meng-eksaserbasi kelainan co-morbid atau mempengaruhi obat yang diminum. Kadang-kadang akupunktur dapat menurunkan penggunaan analgesik oral, dan hal ini baik bagi pasien. Terapi non-farmakologi lainnya yang menguntungkan untuk DPNP adalah transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) (25). TENS adalah stimulasi elektrik ringan dengan menempatkan elektroda di daerah yang terasa nyeri. Hatihati penggunaan TENS pada pasien dengan

9. Finnerup NB, Otto M, McQuay Hi, et al. Algorithm for neuropathic pain treatment: an evidence based proposal. Pain 2005;118:289-305. 10. Argoff CE, Backonja MM, Belgrade Ml, et al. Consensus guidelines: treatment planning and options. Diabetic peripheral neuropathic pain. Mayo Clin Proc 2006;81(suppl 4):S12-S25. 11. Dworkin RH, Backonja M, Rowbotham MC, et al. Advances in neuropathic pain: diagnosis, mechanisms, and treatment recommendations. Arch Neurol 2003:60:1524-1534. 12. Barbano RL, Herrmann DN, HartGouleau S, et al. Effectiveness, tolerability, and impact on quality of life of the 5% lidocaine patch in diabetic polyneuropathy. Arch Neurol 2004;61:914-918. 13. McCleane G. Topical analgesics. Med Clin North Am 2007;91:125139. 14. Anderson R1, Freedland KE, Clouse RE, Lustman Pl. The prevalence of comorbid depression in adults with diabetes: a metaanalysis. Diabetes Care 2001;24:1069-1078. 15. Carnethon MR, Biggs ML, Barzilay 11, et al. Longitudinal association between depressive symptoms and incident type 2 diabetes mellitus in older adults: the cardiovascular health study. Arch Intern Med 2007;167:802807. 16. Preskorn SH, Greenblatt Dl, Flockhart D, et al. Comparison of duloxetine, escitalopram, and sertraline effects on cytochrome P450 2D6 function in healthy volunteers. J Clin Psychopharmacol 2007;27:28-34. ***

17. Armstrong DG, Chappell AS, Le TK, et al. Duloxetine for the management of diabetic peripheral neuropathic pain: evaluation of functional outcomes [published correction appears in Pain Med 2007;8:690]. Pain Med 2007;8:410418. 18. National Institutes of Health Stateof-the-Science Conference Statement. Manifestations and Management of Chronic Insomnia in Adults. Bethesda, Maryland; August 18, 2005:1-18. 19. Eisenberg E, McNicol ED, Carr DB. Efficacy and safety of opioid agonists in the treatment of neuropathic pain of nonmalignant origin: systematic review and metaanalysis of randomized controlled trials. LAMA. 2005:293:30433052. 20. Agarwal S, Polydefkis M, Block B, et al. Transdermal fentanyl reduces pain and improves functional activity in neuropathic pain states. Pain Med 2007;8:554-562. 21. Hair PI, Curran MP, Keam S1. Tramadol extended-release tablets in moderate to moderately severe chronic pain in adults: profile report. CNS Drugs 2007;21:259263.

makalah

Tidak seperti TCA, duloxetine dan venlafaxine efek antihistaminiknya kecil, dan tidak terlalu sedatif. Untuk pasien yang sukar tidur, berilah non-benzodiazepine sedative-hypnotic, seperti zolpidem, zaleplon, eszopiclone atau ramelteon, sebagai tambahan antidepresan. (18)

TOXOPLASMOSIS DAN KEMUNGKINAN PENGARUHNYA TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU Bagus Uda Palgunadi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak: Toxoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Toxoplasma gondii. Toxoplasmosis tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada hospesnya, penderita seringkali tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi sebab seringkali asymptomatis, terutama pada penderita yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toxoplasmosis akan memberikan gejala yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas. Akhir akhir ini toxoplasmosis diperkirakan sebagai salah satu factor penyebab perubahan perilaku dan gangguan jiwa , termasuk schizophrenia. Kata Kunci : Toxoplasmosis, Toxoplasma gondii, perubahan perilaku

TOXOPLASMOSIS AND POSSIBILITY OF ITS EFFECT TOWARD THE BEHAVIORAL CHANGES Bagus Uda Palgunadi Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract : Toxoplasmosis is zoonosis disease caused by the infection of Toxoplasma gondii. Toxoplasmosis does not always cause the pathologic state in its host. Most of the sufferers do not realize that they are infected as it is mostly asymptomatic, especially in sufferers who have good body immunity. Toxoplasmosis will give a specific symptom in sufferer who has a decreased immunity level. Lately , toxoplasmosis has been predicted as one of the factors that cause behavioral changes and mental disorder, including schizophrenia. Keywords: Toxoplasmosis, Toxoplasma gondii, Behavioral changes

PENDAHULUAN: Toxoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis yang biasanya ditularkan dari hewan baik hewan peliharaan misalnya anjing, kucing, burung ataupun dari hewan ternak misalnya babi, sapi, kambing, domba dan sebagainya. Parasit ini dijumpai secara kosmopolitan di seluruh dunia. Prevalensi toxoplasmosis di Indonesia cukup tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia angka kejadian toxoplasmosis bervariasi antara dua hingga enampuluhtiga prosen. (Gandahusada S, 1991) Toxoplasmosis tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada hospesnya, penderita seringkali tidak

menyadari bahwa dirinya terinfeksi sebab tidak mengalami tanda - tanda dan gejala gejala yang jelas, terutama pada penderita yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toxoplasmosis akan memberikan kelainan yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas misalnya pada penderita penyakit keganasan , HIV-AIDS serta penderita yang mendapatkan obat obat imunosupresan. Manifestasi yang paling jelas adalah apabila infeksi ini terjadi pada masa kehamilan sehingga dapat terjadi abortus, lahir mati, lahir hidup dengan kecacatan misalnya hydrocephalus maupun microcephalus, gangguan motorik, kerusakan retina dan otak serta tanda tanda kelainan jiwa. Toxoplasmosis mungkin bukanlah suatu penyakit yang fatal, tetapi bila tidak ditanggulangi dengan baik maka akan dapat menimbulkan

masalah mulai infetilitas, abortus, kecacatan fisik maupun mental. Dengan meningkatnya penderita HIV AIDS, kanker maupun kasus gizi buruk maka toxoplasmosis tetap harus diwaspadai karena terbukti bahwa toxoplasmosis dapat menimbulkan kelainan yang nyata pada penderita dengan status imun yang rendah. ETIOLOGI : Toxoplasmosis disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii . Parasit ini termasuk protozoa subfilum apicomplexa, kelas sporozoa, sub kelas coccidia. Toxoplasma gondii mula mula ditemukan pada binatang pengerat / rodentia di Afrika Utara yaitu Ctenodactylus gundi pada tahun 1909 oleh Nicolle dan Manceaux.. Janku pada tahun 1923 menggambatkan adanya chorioretinitis yang disebabkan oleh Toxoplasma sedangkan pada tahun 1939 Wolf dan kawan kawan mengisolasi parasit ini serta menentukannya sebagai penyebab penyakit congenital pada neonatus. Pada tahun 1970 parasit yang sudah dikenal sebagai pathogen pada manusia selama setengah abad ini diklasifikasikan secara taxonomi dalam coccidia dan diketahui bahwa bangsa kucing adalah hospes definitifnya serta menjadi jelas bahwa dalam siklus hidupnya terdapat siklus seksual yang terjadi pada pada bangsa kucing (felidae) dan hal ini mempunyai implikasi epidemiologik yang penting untuk transmisi parasit ini . ( Neva FA & Brown HW, 1994 ; Levine DN,1994) EPIDEMIOLOGI : Distribusi geografis dari Toxoplasma gondii ini kosmopolit dengan infeksi terbanyak pada berbagai jenis hewan yaitu dapat menginfeksi lebih dari duaratus spesies serta mamalia termasuk juga manusia. Pada penelitian Hutchison pada tahun 1965 menyatakan bahwa bila kucing memakan tikus yang terinfeksi oleh Toxoplasma gondii maka infeksi tersebut dapat ditularkan kembali kepada tikus melalui feces kucing tersebut, bahkan dapat pula ditransmisikan melalui air serta di dalam air parasit ini akan bertahan selama

setahun atau lebih. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009) Walaupun transmisi intrauterine secara transplacental sudah diketahui tetapi baru pada tahun 1970 siklus hidup parasit ini menjadi lebih jelas yaitu ketika ditemukannya siklus seksualnya pada kucing. Setelah dikembangkannya test serologis yang sensitive oleh Sabin dan Feldman maka diketahui bahwa zat anti Toxoplasma gondii dapat ditemukan secara cosmopolitan terutama di daerah dengan iklim panas dan lembab (Gandahusada S dkk, 2004) Dengan merebaknya kasus penyakit HIV-AIDS, saat ini toxoplasmosis dihubungkan pula dengan kemampuan untuk memperparah penyakit HIV-AIDS oleh karena sifat dari parasit ini yang opportunistic. Dikalangan penderita HIVAIDS ditengarai toxoplasmosis merupakan penyebab paling sering dari kelainan Susunan Saraf Pusatnya. (Natadisastra D & Agoes R, 2009) MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP : Dalam sel epithel usus kecil bangsa kucing dapat berlangsung siklus asexual (schizogoni) maupun sexual (gametogoni, sporogoni) yang akan menghasilkan oocyst (ookista). Ookista yang berbentuk oval dengan ukuran 9-11 mikron x 11-14 mikron akan keluar bersama feces. Ookista akan menghasilkan dua sporokista yang masing masing mengandung empat sporozoite (sporosoit). Apabila ookista tertelan oleh hospes perantara yaitu mamalia lain ( termasuk manusia ) dan golongan burung (aves), maka pada berbagai jaringan dari hospes perantara ini akan terbentuk kelompok kelompok tropozoite yang membelah secara aktif dan disebut sebagai tachyzoite yang membelah sangat cepat. Selanjutnya kecepatan membelah dari tachyzoite akan berkurang secara berangsur dan akan terbentuk cyst (kista) yang mengandung bradizoite. Masa tersebut adalah masa infeksi klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada

hospes perantara tidak terdapat stadium sexual melainkan terjadi stadium istirahat yaitu adanya kista jaringan. Apabila hospes definitive ( bangsa kucing) memangsa hospes perantara yang terinfeksi , maka akan terbentuk lagi siklus sexual maupun asexual di dalam ususnya. Masa prepaten ( masa sampai dikeluarkannya ookista dari bangsa kucing) adalah tiga sampai lima hari, sedangkan apabila bangsa kucing makan tikus yang mengandung tachyzoite biasanya masa prepaten adalah lima sampai sepuluh hari, tetapi apabila bangsa kucing langsung menelan ookista maka masa prepatennya adalah duapuluh sampai duapuluhempat hari. Bangsa kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista jaringan daripada terinfeksi oleh ookista. Pada berbagai jaringan tubuh bangsa kucing yang terinfeksi juga dapat diketemukan bentuk tachizoite ( tropozoite) dan kista jaringan sedangkan pada manusia yang terinfeksi dapat diketemukan adanya tachizoite pada masa infeksi akut serta tachizoite ini dapat memasuki setiap jenis sel yang berinti. Bentuk tachizoite menyerupai bulan sabit dengan satu ujungnya meruncing dan ujung yang lainnya agak membulat dengan ukuran sekitar 4 8 mikron dan mempunyai 1 inti yang terletak kira kira ditengah. Tachizoite ini bersifat obligat intraseluler. Tachizoite berkembangbiak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel menjadi penuh dengan adanya tachizoite maka sel tersebut akan pecah dan tachizoite akan keluar serta memasuki sel sel disekitarnya atau terjadi fagositosis terhadap tachizoite tersebut oleh makrofag. Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes apabila tachizoite yang membelah telah membentuk dinding dan kista jaringan ini dapat diketemukan terutama di dalam jaringan otak, otot jantung dan otot bergaris hospes seumur hidup (latent). Di otak, kista jaringan akan berbentuk oval sedangkan di sel otot bentuk

kista jaringan akan mengikuti bentuk sel otot. ( Gandahusada S dkk, 2004 ; Neva FA & Brown HH,1994 ; Markell EK et al, 1992 ) Adapun cara infeksi dari parasit ini pada manusia dapat melalui berbagai cara yaitu yang pertama toxoplasmosis congenital , transmisi parasit ini kepada janin terjadi in utero melalui placenta bila ibunya mendapat infeksi primer pada saat kehamilan ; yang kedua adalah toxoplasmosis aquisita , infeksi ini dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang yang mengandung kista atau tachizoite parasit ini atau melalui tertelannya ookista yang dikeluarkan oleh kucing penderita bersama fecesnya ; kemungkinan yang ketiga adalah infeksi di laboratorium yaitu melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi oleh parasit ini serta kemungkinan ke empat adalah melalui transplantasi organ dari donor penderita toxoplasmosis latent. (Gandahusada S dkk, 2004) PATOGENESA DAN MANIFESTASI KLINIS PADA MANUSIA : Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel yang berinti sehingga dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel darah merah. Bila terjadi invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka parasit ini akan memasuki sel hospes ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang selamat dari proses fagositosis akan memasuki sel, berkembangbiak yang selanjutnya akan menyebabkan sel hospes menjadi pecah dan parasit akan keluar serta menyerang sel - sel lain. Dengan adanya parasit ini di dalam sel makrofag atau sel limfosit maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh bagian tubuh menjadi lebih mudah terjadi. Parasitemia ini dapat berlangsung selama beberapa minggu. Kista jaringan akan terbentuk apabila telah ada kekebalan tubuh hospes terhadap parasit ini. Kista jaringan dapat ditemukan di berbagai organ dan jaringan dan dapat menjadi laten seumur hidup

penderita. Derajad kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh tergantung pada umur penderita , virulensi strain parasit ini, jumlah parasit ini dan jenis organ yang diserang. Lesi pada susunan saraf pusat dan pada mata biasanya bermanifestasi lebih berat dan bersifat permanent sebab jaringan jaringan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan regenerasi. Kelainan kelainan pada Susunan Saraf Pusat umumnya berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi sedangkan terjadinya penyumbatan aquaductus sylvii akibat ependymitis dapat mengakibatkan kelainan berupa hydrocephalus pada bayi. Infeksi yang bersifat akut pada retina akan mengakibatkan reaksi peradangan fokal dengan oedema dan infiltrasi leucocyte yang dapat menyebabkan kerusakan total pada mata serta pada proses penyembuhannya akan terjadi cicatrix. Akibat dari pembentukan cicatrix ini maka akan dapat terjadi atrophi retina dan coroid disertai pigmentasi. . ( Natadisastra D & Agoes R,2009 ; Gandahusada S dkk, 2004 ; Neva FA & Brown HH,1994 ) Pada toxoplasmosis aquisita , infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui sebab jarang menimbulkan gejala , tetapi bila infeksi primer terjadi pada masa kehamilan maka akan terjadi toxoplasmosis congenital pada bayinya. Manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada toxoplasmosis aquisita adalah limfadenopati, rasa lelah, demam dan sakit kepala dan gejala ini mirip dengan mononucleosis infeksiosa, kadang kadang dapat terjadi eksantema. ( Markell EK et al, 1992 ) Toxoplasmosis sistemik pada penderita dengan imunitas yang normal dapat bermanifestasi dalam bentuk hepatitis, pericarditis dan meningoencephalitis. Penyakit ini dapat berakibat fatal walaupun itu sangat jarang terjadi. Pada penderita dengan keadaan immunocompromised misalnya pada penderita HIV AIDS atau pada orang orang yang mengkonsumsi imunosupresan,

infeksi oleh parasit ini mungkin dapat meluas yang ditandai dengan ditemukannya proliferasi tachizoite di jaringan otak, mata, paru, hepar, jantung dan organ organ lainnya sehingga dapat berakibat fatal. Apabila infeksi oleh parasit ini tidak diobati dengan baik dan penderita masih tetap hidup, maka penyakit ini akan memasuki fase kronik yang ditandai dengan terbentuknya kista jaringan yang berisi bradizoite dan ini terutama didapatkan di jaringan otak serta kadang kadang tidak memberikan gejala klinik yang jelas. Fase kronik ini dapat berlangsung lama selama bertahun- tahun bahkan dapat berlangsung seumur hidup . (Dharmana E,2007) PERUBAHAN PERILAKU : Akhir akhir ini toxoplasmosis diperkirakan sebagai salah satu factor penyebab gangguan jiwa , termasuk schizophrenia. Pada suatu penelitian telah dibuktikan bahwa tikus yang diinfeksi dengan Toxoplasma gondii akan menunjukkan perubahan tingkah laku yang diantaranya adalah hilangnya perasaan takut terhadap kucing yang tentu saja dalam hal ini sangat menguntungkan bagi Toxoplasma gondii ini karena dengan demikian akan dengan mudah bagi parasit ini untuk melengkapi siklus seksualnya pada usus kucing. (Torrey FE & Yolken RH, 2006) PEMBAHASAN : Meskipun infeksi laten yang diakibatkan oleh parasit Toxoplasma gondii adalah salah satu infeksi yang sudah umum terjadi pada manusia serta biasanya dianggap suatu infeksi yang tidak mempunyai gejala atau asymptomatis kecuali pada toxoplasmosis congenital , tetapi asumsi ini kembali ditelaah dengan adanya bukti bahwa ternyata infeksi laten dari Toxoplasma gondii dapat mengubah perilaku rodentia. Sejumlah test mengenai sifat dan kepribadian atau melalui panel penilaian perilaku terhadap manusia usia dewasa, ternyata didapatkan fakta bahwa terdapat perbedaan yang bermakna terhadap

perubahan perilaku manusia yang terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dengan manusia yang tidak terinfeksi oleh Toxoplasma gondii. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kinerja psikomotorik pada orang yang terinfeksi Toxoplasma gondii menjadi berkurang dibandingkan dengan orang yanf tidak terinfeksi oleh Toxoplasma gondii. Dugaan bahwa infeksi laten dari parasit Toxoplasma gondii ini dapat berdampak pada tingkah laku manusia dan bahkan pada perbedaan transkultural adalah suatu hal yang wajar mengingat telah pula dilakukan studi tentang kemungkinan bahwa infeksi Toxoplasma gondii berpengaruh terhadap watak dan kinerja psikomotorik. Infeksi Toxoplasma gondii dapat meningkatkan kadar dopamine pada rodentia. Mekanisme meningkatnya dopamine pada manusia yang terinfeksi Toxoplasma gondii belum diketahui, tetapi mungkin melibatkan pelepasan factor inflamasi dopamine dengan cara peningkatan pelepasan cytokines misalnya Interleukin-2. Ketidakseimbangan dopamine antara bagian mesolimbic dengan bagian mesocotical dari otak diduga sangat berperan dalam perkembangan schizophrenia. Hal ini dapat menjelaskan tentang hubungan antara schizophrenia dengan toxoplasmosis. Perbedaan kadar testosterone juga mungkin dapat menjadi factor yang mempengaruhi perbedaan perilaku antara subyek peneletian yang terinfeksi toxoplasma gondii dengan subyek penelitian yang tidak terinfeksi toxoplasma gondii. Subyek penelitian yang terinfeksi Toxoplasma gondii mengindikasikan memiliki kadar testosterone ynag lebih tinggi. Kadar hormone steroid yang tinggi telah banyak dihubungkan dengan imunitas sel yang rendah, oleh sebab itu maka hubungan antara kadar testosterone dengan toxoplasmosis adalah sebagai berikut : bahwa resiko toxoplasmosis akan lebih besar pada subyek dengan kadar testosterone yang tinggi dan tentu saja dengan imunitas yang lebih rendah. Kemungkinan lain adalah bahwa perubahan perilaku yang dipicu oleh Toxoplasmosis dapat merupakan efek samping meningkatnya testosterone untuk

mengurangi imunitas sel hospes dan selanjutnya akan meningkatkan peluang kelangsungan hidup Toxoplasma gondii tersebut dalam sel hospes. ( Flegr J,2007) Terdapat bukti yang meyakinkan bahwa protozoa Toxoplasma gondii dapat menyebabkan perubahan perilaku pada hospesnya , termasuk diantaranya adalah infeksi latennya. Perubahan perilaku tersebut muncul sebagai hasil dari desakan yang kuat pada parasit untuk meningkatkan penularan dari intermediate hostnya yang umumnya adalah rodentia kepada definitive hostnya yaitu genus feline. Dalam penularan ini dapat terjadi perkembangbiakan sexual yang akan menyempurnakan siklus hidup Toxoplasma gondii. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi Toxoplasma gondii dapat mengubah perilaku rodentia yaitu untuk membuat keadaan mereka cenderung menarik dan hal tersebut dimaksudkan agar rodentia dimangsa oleh bangsa kucing yang merupakan definitive host dari Toxoplasma gondii. Selanjutnya perubahan perilaku ini ternayata dapat berbalik secara bertahap dengan pengobatan menggunakan antipsikosis dan mood stabilizer. (Webster JP, 2007) PENUTUP : . Toxoplasmosis tidak selalu menyebabkan keadaan patologis pada hospesnya, penderita seringkali tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi sebab seringkali asymptomatis, terutama pada penderita yang mempunyai imunitas tubuh yang baik. Toxoplasmosis akan memberikan gejala yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas. Penyakit ini dapat berakibat fatal walaupun itu sangat jarang terjadi. Akhir akhir ini toxoplasmosis diperkirakan sebagai salah satu factor penyebab perubahan perilaku dan gangguan jiwa , termasuk schizophrenia..Infeksi Toxoplasma gondii dapat mengubah perilaku rodentia yaitu untuk membuat keadaan mereka cenderung menarik dan hal tersebut dimaksudkan agar rodentia

dimangsa oleh bangsa kucing yang merupakan definitive host dari Toxoplasma gondii. Perubahan perilaku yang dipicu oleh Toxoplasmosis dapat merupakan efek samping meningkatnya testosterone untuk mengurangi imunitas sel hospes dan selanjutnya akan meningkatkan peluang kelangsungan hidup Toxoplasma gondii tersebut dalam sel hospes. Infeksi Toxoplasma gondii dapat meningkatkan kadar dopamine pada rodentia. Mekanisme meningkatnya dopamine pada manusia yang terinfeksi Toxoplasma gondii belum diketahui, tetapi mungkin melibatkan pelepasan factor inflamasi dopamine dengan cara peningkatan pelepasan cytokines misalnya Interleukin-2. Ketidakseimbangan dopamine antara bagian mesolimbic dengan bagian mesocotical dari otak diduga sangat berperan dalam perkembangan schizophrenia

Dharmana E. 2007. Toxoplasma gondii : Musuh Dalam Selimut. Pidato Pengukuhan Guru Besar Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Levine DN. 1994. Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press. Hal.75-78.

Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi. 7th edition. W.B. Saunders Company. pp.

160-170.

Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC. Hal. 233 - 247

DAFTAR PUSTAKA Flegr J.2007. Effects of Toxoplasma on Human Behaviour. Schizophrenia Bulletin. Vol.33 no.3.pp757-760.

Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th edition. PrenticeHall

Intenational Inc. pp. 44 - 50 Gandahusada, S. 1991. Study on the prevalence of Toxoplasmosis in Indonesia. A Review. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine Public Health,1991 ; 22:93-98.

Torrey FE and Yolken RH. 2006. Toxoplasma gondii and Schiszophrenia.

Gandahusada S dkk. 2004. Parasitologi Kedokteran. Ed 3. hal 153-161.

Webster JP.2007. The Effect of Toxoplasma gondii on Animal behavior : Playing Cat and Mouse. Schizophrenia Bulletin.Vol.33 no.3 pp.752-756.

You might also like