You are on page 1of 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KOLELITIASIS TINJAUAN KASUS 1) Pengertian Kolelitiasis (batu empedu) adalah adanya batu

yang terdapat pada kandung empedu. Yang biasanya terbentuk dalam empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. (Studdart & Brunner, 2002)

2)

Etiologi Kolelitiasis (kalkulus/kalikuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein. Ada 2 tipe utama batu empedu: Batu empedu kolesterol Terjadi karena kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan produksi empedu. Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati. Keadaan ini menyebabkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah

empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu. Jumlah wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu adalah 4 kali lebih banyak dari pada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih dari 40 tahun, mulipara dan obesitas. Insiden pembentukan batu empedu meningkat pada para pengguna pil kontrasepsi, esterogen dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insiden pembentukan batu meningkat bersamaan dengan pertambahan umur. Peningkatan insiden ini terjadi akibat bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sistesis asam empedu. Disamping itu, risiko terbentuknya batu empedu juga meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal dan penyandang penyakit diabetes. Batu pigmen empedu Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak-terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis, hemolisis dan enfeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi. 2 macam batu pigmen empedu: 1. Batu pigmen hitam: terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi. Banyak ditemukan pada penderita dengan hemolisi kronik atau sirosis hati. Terdiri dari bilirubin terpolimerisasi. Terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Patogenesanya belum jelas betul. 2. Batu kalsium bilirubinat/Batu pigmen coklat: Batu pigmen coklat, terbentu akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Infeksi saluran empedu E. coli enzim beta glukoronidase dari bakteri bilirubin bebas & asam glukoronat. Kalsium + bilirubin kalsium bilirubinat yang tidak larut Batu pigmen coklat terbentuk disaluran empedu yang terinfeksi 3) Patofisiologi Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam kandung empedu. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal

khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini. 4) Manifestasi Klinis Batu empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu tersebut mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali. Penderita penyakit kandung empedu akbat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala: gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Rasa nyeri dan kolik bilier. Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual muntah dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar. Pasien akan membolak balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien, rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartolago kosta sembilan dan sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada. Ikterus dapat dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan prosentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam doedenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu oleh darah yang tidak lagi di bawa ke dalam doudenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa menjadi kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala-gatal-gatal yang mencolok pada kulit.

Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut clay-colored. Difisiensi vitamin. Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitaminA, D, E dan K yang larut dalam lemak. Karena itu, pasien juga akan menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal. Bilamana empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata. 5) Tes Diagnostik Beberapa prosedur diagnostik untuk pemeriksaan kolelitiasis adalah sebagai berikut : Pemeriksaan sinar X abdomen : hanya 15-20 % batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untk dapat tampak pada pemeriksaan ini USG : Lebih cepat dan akurat (akurasi 95 %), dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan dan ikterus.selain itu menghindari pasien terpajan radiasi ionisasi, usg merupakan pemeriksaan paling murah, paling aman dan paling peka untuk memberikan gambaran dari kandung empedu dan saluran empedu. usg dengan mudah membedakan sakit kuning (jaundice) yang disebabkan oleh penyumbatan saluran empedu dari sakit kuning yang disebabkan oleh kelainan fungsi sel hati. Koleskintografi : prosedur ini kurang dianjurkan, terbatas pada kasus yang belum bisa didiagnosis dengan USG, dilakukan dengan menyuntikkan preparat radioaktif melalui IV,usg doppler bisa digunakan untuk menunjukkan aliran darah dalam pembuluh darah di hati. dan penuntun pada saat memasukkan jarum untuk mendapatkan contoh jaringan biopsi. Kolesistografi : digunakan jika Usg tidak ada atau hasilnya meragukan. breath test dilakukan untuk mengukur kemampuan hati dalam memetabolisir sejumlah (ditelan) banyaknya maupun intravena dalam obat. (melalui pernafasan pembuluh penderita darah). menunjukkan obat-obat tersebut ditandai dengan perunut radioaktif, diberikan per-oral radioaktivitas

banyaknya obat yang dimetabolisir oleh hati.

imaging radionuklida (radioisotop) menggunakan bahan yang mengandung perunut radioaktif, yang disuntikkan ke dalam tubuh dan diikat oleh organ tertentu. radioaktivitas dilihat dengan kamera sinar gamma yang dipasangkan pada sebuah komputer. skening hati merupakan penggambaran radionuklida yang menggunakan substansi radioaktif, yang diikat oleh sel-sel hati. ct scan bisa memberikan gambaran hati yang sempurna dan terutama digunakan untuk mencari tumor. pemeriksaan ini bisa menemukan kelainan yang difus (tersebar), seperti perlemakan hati (fatty liver) dan jaringan hati yang menebal secara abnormal (hemokromatosis). tetapi karena menggunakan sinar x dan biayanya mahal, pemeriksaan ini tidak banyak digunakan. MRI memberikan gambaran yang sempurna, mirip dengan ct scan. pemeriksaan ini lebih mahal dari ct scan, membutuhkan waktu lebih lama dan penderita harus berbaring dalam ruangan yang sempit, menyebabkan beberapa penderita mengalami klaustrofobia (takut akan tempat sempit). ERCF ( Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) : memungkinkan visualisasi struktur secara langsung retrograd terbagi menjadi : suatu kolangiopankreatografi endoskopik merupakan

pemeriksaan dimana suatu endoskopi dimasukkan ke dalam mulut, melewati lambung dan usus dua belas jari, diambil foto rontgen dari menuju ke saluran empedu. saluran empedu. suatu zat radiopak kemudian disuntikkan ke dalam saluran empedu dan pemeriksaan ini menyebabkan peradangan pada pankreas (pankreatitis) pada 3-5% penderita. kolangiografi transhepatik perkutaneus menggunakan jarum panjang bisa yang dimasukkan melalui kulit ke dalam hati, kemudian usg untuk menuntun masuknya jarum. disuntikkan zat radiopak ke dalam salah satu dari saluran empedu. digunakan rontgen secara jelas menunjukkan saluran empedu, terutama penyumbatan di dalam hati. kolangiografi operatif menggunakan zat radiopak yang bisa dilihat kedalam pada saluran rontgen. empedu. selama suatu pembedahan, zat tersebut disuntikkan secara langsung foto rontgen akan menunjukkan gambaran yang jelas dari saluran empedu.

foto rontgen sederhana sering bisa menunjukkan suatu batu empedu yang berkapur. 6) Penatalaksanaan Penatalaksanaan Nonbedah Tujuan utama terapi adalah medis untuk mengurangi insiden episode nyeri akut kandung empedu melalui penatalaksanaan pendukung serta diet dan unutk menghilangkan intervensi bedah. 1. Penatalaksanaan pendukung dan diet Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akit kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk. Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan akut biasanay dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan ditambahkan dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Kepada pasien perlu diingatkan bahwa makanan yang berlemak dapat menimbulkan serangan baru. Penatalaksanaan diet merupakan bentuk utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointerstinal. 2. Farmakoterapi o o Litolisis lokal : dengan memasukkan Methyl terbuthyl ether melalui kateter ke kandung empedu dengan bimbingan USG Litolisis sistemik: asam cenodeoksikolik dan asam penyebab melalui farmakoterapi, prosedur endoskopis serta

ursodeoksicholik. Mekanisme mengurangi penyerapan kolesterol intestinal dan mengurangi sintesis kolesterol hepatik. Syarat: batu tipe kolesterol, empedu berfungsi baik pada kolesistografi oral, batu tidak besar. 3. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan Pelarutan batu empedu Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butil eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini: melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang

dimasukkan melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal. Pengangkatan non bedah Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat kolesistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T-tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP. Sesudah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan leawat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari sfringter Oddi sehingga mulut sfingter tersebut dapat diperlebar, pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit dalam duktus koledokus untuk bergerak spontan ke dalam doudenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring atau balon kecil pada ujungnya dapat dimasukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu. ESWL (extra corporeal shock wave lithotripsi) pemecahan dengan gelombang kejutan elektrohidrolik dan elektromagnetik. Prosedur litotripsi ini telah berhasil memecah batu empedu tanpa pembedahan. Penatalaksanaan Bedah Kolesistektomi operatif atau laparoskopik Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk mengeilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau gejala yang dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien mengharuskan. Penatalaksanaan Praoperatif. Disamping pemeriksaan sinar-X pada kandung empedu, pembuatan foto toraks, elektrokardiogram dan pemeriksaan faal hati dapat dilakukan. Vitamin K diberikan jika kadar protrombin pasien rendah. Tetapi komponen darah dapat dikerjakan sebelum pembedahan. Kebutuhan nutrisi perlu dipertimbangkan, jika pasien pasien tidak dapat makan dengan baik, pemberian larutan glukosa secara intravena bersama suplemen

hidrosilat protein mungkin diperlukan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati. Persiapan sebelum operasi kandung empedu serupa dengan persiapan bagi setiap tindakan laparatomi abdominal bagian atas. Instruksi dan penjelaskan tentang mobilisasi tubuh dan nafas dalam harus disampaikan sebelum pembedahan dilakukan. Karena insisi abdomen dilakukan pada lokasi yang lebih tinggi, pasien sering enggan untuk bergerak dan membalikkan tubuhnya. Kepada pasien harus diberitahukan bahwa segera setelah setelah tindakan pembedahan biasanya dibutuhkan pemasangan selang untuk drainage dan tindakan pengisapan. Intervensi Bedah dan sistem drainage. Pasien biasanya ditempatkan pada meja operasi dengan abdomen bagian atas ditinggikan menggunakan bantal udara atau kantong pasir agar daerah mudah diakses. Kolesistektomi. Merupakan salah satu prosedur bedah yang paling sering dilakukan. Minikolesistektomi. Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan batu kandung empedu lewat luka insisi selebar 4 cm. Kolesistektomi Laparoskopik atau endoskopik. Telah membawa telah membawa perubahan yang dramatis pada cara pendekatan dalam penatalaksanaan kolesistitis. Koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam dukus tersebut untuk drainage batu, dan getah empedu sampaiedema merata. Kateter ini dihubungakn dengan selang drainage gravitas. Kandung empedu biasanya juga mengandung kolesistektomi. Bedah kolesistostomi. Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat sistem bilier tidak jelas. Kandung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan dariange yang purulen duikeluarkan, dan kateter untuk drinage untuk mencegah kebocoran getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan kolesistektomi. Kolesitektomi perkutan. Kolesistektomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolesistitis akut pada pasien-pasien yang berisiko jika harus menjalani tindakan pembedahan atau anestesi umum. Caranya, di bawah pengaruh anestesi, sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu untuk dekompresi saluran akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani umunya koledokostomi dilakukan bersama-sama

empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolelitiasis berkurang atau menghilang dengan segera. Antibiotik diberikan sebelum, selama dan sesudah pelaksanaan tindakan. Pertimbangan gerontologi. Intervensi bedah untuk penyakit pada saluran bilier merupakan prosedur yang umu dikerjakan pada lansia. Walaupun insiden batu empedu meningkat bersamaan dengan pertambahan usia, gejala yang dialami pasien lansia mungkin bukan gambaran khas yang mebcakup demam, nyeri, menggigil dan ikterus. Penyakit saluran bilier pada lansia dapat disertai atau didahului oleh gejala shock septik: oliguria, hipotensi, perubahan mental, takikardia dan takipnea. Meskipun pembedahan pada lansia berisiko akibat penyakit yang telah ada sebelumnya, namun angka mortalitas akibat komplikasi sesrius dari penyakit saluran bilier sendiri juga tinggi. Risiko mortalitas dan morbiditas akan meningkat pada pasien lansia yang menjalani pembedahan darurat penyakit saluran bilier dan dapat membawa kematian. Meskipun sakit yang kronis banyak diderita pasien lansia, koesistektomi efektif biasanya lebih dapat ditolerir dan dapat dilaksanakan dengan risiko rendah jika pengkajian dan perawatan yang cermat diberikan sebelum, selama dan sesudah tindakan bedah tersebut.

2. PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN 2.1.1 Aktivitas dan istirahat Gejala Tanda 2.1.2 2.1.3 Sirkulasi Tanda Eliminasi Gejala Tanda : Perubahan warna urine dan feses : Distensi abdomen, Teraba massa pada kuadran kanan atas Urine gelap, pekat Feses warna tanah liat, steatorea 2.1.4 Makan/minum (cairan) Gejala : Anoreksia, mual/muntah Tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dispepsia : Takikardi, berkeringat, diaporesis : Kelemahan : Gelisah, kelelahan

Tanda 2.1.5 Gejala

: Kegemukan, adanya penurunan berat badan : Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan Kolik epigastrim tengah sehubungan dengan makan Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.

Nyeri/kenyamanan

Tanda 2.1.6 Respirasi Tanda 2.1.7 Keamanan Tanda

: Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan; tanda Murphy + : Peningkatan frekuensi pernafasan Pernafasan tertekan ditandai oleh nafas pendek dan dangkal : Demam, menggigil Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal Kecenderungan perdarahan (defisiensi vit., K)

2.1.8

Penyuluhan/pembelajaran Gejala : Kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu Adanya kehamilan/melahirkan; riwayat DM, peyakit inflamasi usus, diskrasias darah Pertimbangan rencana Pemulangan Memerlukan dukungan dalam perubahan diet/penurunan berat badan.

2.2 Prioritas Keperawatan 2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.2.4 Menghilangkan nyeri dan meningkatkan istirahat Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Mencegah komplikasi Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan 2.3 Diagnosa Keperawatan 2.3.1 2.3.2 2.3.3 Nyeri (akut) b/d obstruksi/spasme duktus Risiko terhadap kekurangan volume cairan b/d muntah, distensi, diaporesis, gangguan proses pembekuan Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d mual/muntah, pembatasan berat badan sesuai aturan, dispepsia, nyeri, gangguan nutrien, gangguan pencernaan lemak sehubungan dengan obstruksi aliran empedu.

2.3.4 2.3.5 2.3.6

Gangguan integritas kulit/jaringan b/d pemasangan drainase T-tube, perubahan metabolisme, pengaruh bahan kimia Kurang pengetahuan tentang prognosa dan kebutuhan pengobatan b/d kurang pengetahuan/mengingat, salah informasi, tidak mengenal sumber informasi. Pola nafas tidak efektif b/d nyeri, kerusakan otot, penurunan energi/kelemahan.me, pengaruh bahan kimia.

2.4 Intervensi Keperawatan Dx. 1. Nyeri (akut) b/d obstruksi/spasme duktus laporan nyeri, kolik bilier (gelombang nyeri) Wajah menahan nyeri, perilaku berhati-hati Respon otonomik (perubahan TD, nadi) Fokus menyempit Kriteria Hasil Perencanaan: 1. Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik) R/. Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan keefektifan intervensi 2. Catat respon terhadap obat, dan laporkan bila nyeri hilang R/. Nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan terjadinya komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi lebih lanjut. 3. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman R/. Tirah baring pada posisi fowler rendah dapat menurunkan tekanan intraabdomen, namun pasien akan melakukan posisi nyaman secara alamiah 4. Kontrol suhu lingkungan R/. Dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan ketidaknyamanan kulit 5. Dorong menggunakan teknik relaksasi R/. Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping 6. Kolaborasi untuk pemberian obat dan prosedur R/. Menurunkan nyeri hebat dan menghancurkan batu empedu Dx. 2. Risiko terhadap kekurangan volume cairan b/d muntah, distensi, diaporesis, gangguan proses pembekuan : Nyeri hilang/terkontrol Klien dapat relaksasi Ditandai dengan:

Kriteria Hasil

Menunjukkan keseimbangan cairan adekuat dibuktikan dengan TD stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler baik, haluaran urine cukup, tidak ada muntah

Perencanaan: 1. Pertahankan masukan dan haluran adekuat, perhatikan haluaran kurang dari masukan, peningkatan berat jenis urine. Kaji membran mukosa kulit, nadi perifer dan pengisian kapiler. R/. Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian. 2. Awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram abdomen, kelemahan, kejang, kecepatan jantung tidak teratur, hipoaktif atau tidak adanya bising usus, depresi pernafasan R/. Muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium, dan klorida. 3. Hindarkan dari lingkungan yang berbau R/. Menurunkan rangsangan pada pusat muntah 4. Lakukan bersihan oral dengan pencuci mulut, berikan minyak R/. Menurunkan kekeringan membran mukosa, menurunkan risiko perdarahan oral 5. Kaji perdarahan yang tidak biasanya R/. Protombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, meningkatkan risiko perdarahan 6. Kolaborasi untuk pasien puasa, pemberian antiemetik, lab., dan cairan R/. Menurunkan sekresi dan motilitas gaster, menurunkan mual dan muntah, mengevaluasi/mempertahankan ketidakseimbangan Dx. 3. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d mual/muntah, pembatasan berat badan sesuai aturan, dispepsia, nyeri, gangguan nutrien, gangguan pencernaan lemak sehubungan dengan obstruksi aliran empedu, gangguan koagulasi, penurunan protombin. Kriteria Hasil : Mual/muntah hilang Menunjukkan kemampuan peningkatan berat badan atau berat badan tepat. Tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit dan pengisian kapiler baik Perencanaan: 1. Kaji distensi abdomen, berhati-hati, menolak bergerak volume sirkulasi dan memperbaiki

R/. Tanda

non-verbal

ketidaknyamanan

berhubungan

dengan

gangguan

percernaan, nyeri gas. 2. Perkirakan/hitung pemasukan kalori R/. Mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi. Berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan mempengaruhi masukan. 3. Timbang sesuai indikasi. R/. Mengawasi keefektifan rencana diet. 4. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau R/. Untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual. 5. Kolaborasi untuk pemberian nutrisi sesuai indikasi R/. Berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang paling tepat. 6. Berikan kebersihan oral sebelum makan. R/. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan. 7. Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi R/. Membantu mengelaurkan flatus, menurunkan distensi abdomen. Mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat 8. Awasi tanda vital, kaji membran mukosa, turgor kulit, nadi perifer dan pengisian kapiler. R/. Indikator keadekuatan volume sirkulasi/perfusi. 9. Observasi tanda perdarahan (hematemesis, melena, petekie, ekimosis). R/. Protombin menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu terhambat, peningkatan risiko hemoragi 10. Kolaborasi untuk pemeriksaan lab., dan pemberian cairan per IV atau produk darah yang sesuai, elektrolit dan vitamin K. R/. Memberikan informasi tentang volume sirkulasi, keseimbangan elektrolit dan keadekuatan memperbaiki faktor pembekuan, mempertahankan volume sirkulasi, yang keseimbangan dan memnerikan penggantian faktor

diperlukan untuk proses pembekuan.

Dx. 4. Gangguan integritas kulit/jaringan b/d pemasangan drainase T-tube, perubahan metabolisme, pengaruh bahan kimia Ditandai dengan: Kriteria Hasil : Gangguan kulit/jaringan subkutan Menunjukkan perilaku untuk meningkatkan penyembuhan/mencegah kerusakan kulit

Perencanaan: 1. Periksa selang-T dan drein insisi, yakinkan aliran bebas R/. Pemasangan T-tube dapat selama 7-10 hari untuk membuang batu yang tertahan. Drein sisi insisi digunakan untuk membuang cairan yang terkumpul. 2. Pertahahankan selang T pada sistem penampungan tertutup R/. Mencegah iritasi kulit dan memudahkan pengukuran haluaran. Menurunkan risiko kontaminasi. 3. Observasi warna dan karakter drainase R/. Mengetahui perubahan secara normal

4. Observasi adanya cegukan, distensi abdomen atau tanda peritonitis, pankreatitis R/. Mengetahui perubahan posisi selang yang mengiritasi diafragma atau komplikasi lebih serius. 5. Observasi kulit, sklera, urine terhadap perubahan warna R/. Terjadinya ikterik mengindikasikan adanya obstruksi aliran empedu. 6. Catat warna dan konsistensi feses R/. Feses warna tanah liat terjadi bila empedu tidak ada dalam usus. 7. Selidiki laporan peningkatan/tidak hilangnya nyeri pada kaudran kanan atas, terjadinya demam, takikardia, kebocoran drainase empedu sekitar selang dari luka. R/. Tanda dugaan adanya abses atau pembentukan fistula yang memerlukan intervensi medik Dx. 5. Kurang pengetahuan tentang prognosa dan kebutuhan pengobatan b/d kurang Ditandai dengan: pengetahuan/mengingat, salah informasi, tidak mengenal sumber informasi. Pertanyaan, pernyataan salah konsepsi Permintaan informasi Tidak akurat mengikuti instruksi Kriteria Hasil : Menyatakan pengobatan Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan Perencanaan: 1. Kaji ulang proses penyakit, prosedur bedah/prognosis pemahaman proses penyakit/prognosis dan

R/. Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi

2. Tunjukkan perawatan insisi/balutan dan drein R/. Meningkatkan kemandirian dalam perawatan dan menunjukkan risiko komplikasi (contoh infeksi, obstruksi bilier). 3. Tekankan pentingnya mempertahankan diet rendah lemak, makan sedikit dan sering, pengenalan makanan, minuman yang mengandung lemak secara bertahap lebih adri 4-6 bulan. R/. Membatasi kebutuhan terhadap empedu dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan tidak adekuatnya pencernaan lemak. 4. Hindari minuman beralkohol R/. Meminimalkan risiko kerusakan pankreas 5. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan pelaporan ke dokter, contoh urine gelap, warna tanah liat, feses banyak, atau sakit ulu hati berulang. R/. Indikator obstruksi aliran empedu/gangguan pencernaan, memerlukan evaluasi lanjut dan intervensi. 6. Kolaborasi untuk pemberian obat dan prosedur R/. Menurunkan nyeri hebat dan menghancurkan batu empedu. Dx. 6. Pola Kriteria Hasil Perencanaan: 1. Observasi frekuensi/kedalaman pernafasan. R/. Nafas dangkal, distress pernafasan, menahan nafas dapat mengakibatkan hipoventilasi/etelektasis. 2. Auskultasi bunyi nafas. R/. Area yang menurun/tidak ada bunyi nafas diduga atelektasis. 3. Bantu pasien untuk membalik, batuk dan bernafas dalam secara periodik. Tunjukkan pada pasien cara menekan insisi. Anjurkan efektif. R/. Meningkatkan ventilasi semua segmen paru. 4. Tinggikan kepala tempat tidur, pertahankan posisi semi fowler rendah. Dukung abdomen saat batuk dan ambulasi. melakukan teknik batuk nafas : tidak efektif b/d nyeri, kerusakan otot, penurunan

energi/kelemahan.mempengaruhi bahan kimia. Membuat pola nafas efektif, tidak ada tanda gangguan/komplikasi pernafasan.

R/. Memudahkan ekspansi paru. 5. Bantu pengobatan pernafasan (spirometri intensif). R/. Memaksimalkan ekspansi paru. 6. Berikan analgesik sebelum pengobatan pernafasan/aktivitas terapi. R/. Memudahkan bernafas dan batuk lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA Corwin. Elizabeth, 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC Doenges, Marylinn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed. 3, Jakrta: EGC Engram. Barbara, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta Soeparman, 1999, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit FKUI Studdart & Brunner, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Ed. 8, Jakarta: EGC

You might also like