You are on page 1of 5

Kebijakan Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Written by Selamet Joko Utomo Friday, 29 July 2011 15:20

1.

2.

Seperti yang dipahami selama ini, persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk diurai dan dipecahkan. Hal ini disebabkan oleh multispektrum tentang definisi kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya tidak mudah utuk diselesaikan dalam satu pegertian. Secara konseptual perdebataan yang muncul selama ini dihadapkan dua sisi yang saling bertabrakan, yaitu mendudukan kemiskinan dalam aspek ekonomi semata atau memposisikan kemiskinan sebagai isu sosial. Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah ekonomi saja, maka kemiskinan biasanya disederhanakan dalam bentuk berapa pendapatan perkapita atau jumlah asupan makaanan bergizi/ kalori per individu, namun jika kemiskinan dianggap sebagai isu sosial maka memandang kemiskinan merupakan keterbatasan individu untuk terlibat dalam partisipasi pembangunan, baik akibat dari ketidakmampuaan ketrampilan, pendidikan atau akses untuk mendapatkan penghasilan sehingga individu tersebut tidak mampu mencapai kesejahteraan. Karakteristik kemiskinan di Indonesia cukup bervariasi, hal ini membuat penannggulangan kemiskinan di Indonesia belum terlaksana secara maksimal. Ada tiga karakteristik atau ciri kemiskinan di Indonesia, Banyak penduduk Indonesia yang rentan terhadap kemiskinan, banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sedikit diatas garis kemiskinan, kelompok ini rentan terhadap kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia diukur dari segi pendapatan, sehingga tidak mengambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orangorang yang mungkin tidak tergolong miskin dari sisi pendapatan dapat dikategorikan atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator- indikator pembangunan manusia. Perbedaan karakteristik daerah yang besar di bidang kemiskinan, luas dan keragaman antar daerah di Indonesia merupakan ciri khas dari Indonesia, hal ini terlihat dengan adanya perbedaan antara pedesaan dan perkotaan dan juga kondisi geografis Indonesia yang beragam membuat pelayanan dasar yang tidak merata di setiap daerah. Sebenarnya jumlah penduduk miskin pada orde baru menunjukkan penurunan di setiap tahun, pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta (40,08%) , pada tahun 1987 menurun menjadi 30 juta (17,42%), pada tahun 2006 sebelum krisis tinggal 22,5 juta (11,3%), namun setelah krisis ekonomi sampai pertengahan tahun 1998 jumlah penduduk miskin mencapai 79,8 juta (BPS,1998). Jumlah penduduk miskin sebenarnya menunjukkkan penurunan pada tahun 2003-2005, namun pemerintah menaikkan harga BBM secara berlebihan (sekitar 100%) pada bulan oktober 2005 sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Tercatat jumlah penduduk miskin pada bulan maret 2006 melonjak menjadi 39,05 juta, padahal pada bulan februari hanya sebesar 35,1 juta jiwa. Ditambah lagi

3. 4.

dengan kenaikan harga beras sebesar 33% sebagai dampak larangan impor beras menambah jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin, Kebijakan pemerintah untuk pegentasan kemiskinan telah banyak dilakukan, namun tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, baik melalui bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi dari pengurangan subsidi BBM dan beras untuk masyarakat miskin (raskin) maupun bantuan yang bersifat in kind yang berupa asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin serta bantuan operasional sekolah (BOS) yang diharapkan mampu menurangi jumlah anak putus sekolah dari penduduk miskin dan meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat tidak berjalan sesuai harapan. Banyak penyimpangan- penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga tujuan dari program tersebut tidak tercapai. Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan secara umum masih terdapat banyak kelemahan dari kebijakan pengentasan kemiskinan tersebut. Setidaknya ada lima kelemahan dalam penerapan kebijakan dalam pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan olleh pemerintah. Pertama, kebijakan pengentasan kemiskinan dilaksanakan secara seragam (general) tanpa melihat konteks sosial, ekonomi, dan budaya disetiap wilayah (komunitas). Kedua, definisi dan pengukuran kemiskinan lebih banyak di pengaruhi pihak luar (externally imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis. Implikasinya adalah konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dan mereduksi dari hakikat kemiskinan itu sendiri. Ketiga, penanganan program pengentasan kemiskinan mengalami birokratisasi yang dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlampau panjang. Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering ditumpangi oleh kepentingan politik yang amat kental sehingga tidak mempunyai muatan atau makna dalam penguatan perekonomian masyarakat miskin. Kelima,kebijakan kemiskinan kurang mempertimbangan aspek ekonomi kelembagaan sebagai prinsip yang dikedepankan sehingga sebagian kebijakan itu tidak berhasil karena program yang dirancang dalam pengentasan kemiskinan tidak sesuai dengan kebutuhan yag diperlukan masyarakat miskin. Melihat kondisi diatas maka perlu adanya penanganan kemiskinan yang lebih komprehensif, yaitu melihat kemiskinan tidak hanya melihat dari sisi pendapataan yang diterima perkapita, namun perlu adaya pendekataan yang menyeluruh dalam memandang kemiskinan dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan letak geografis suatu daerah. Tidak bisa lagi menerapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan secara umum, namun kebijakan tersebut harus dirancang sesuai dengan karakteristik kemiskinan di daerah tertentu. Hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya baik dari segi ekonomi, social, letak geografis dan budaya. Dengan melihat karakteristik kemiskinan yang berbeda antara daerah satu

dengan daerah lainnya yang berbeda dapat diperoleh informasi yang lengkap tentang potret kemiskinan yang sesungguhya. Maka dapat dirumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang menyentuh kaum miskin tersebut tepat sasaran. Untuk melaksanakan pengentasan kemiskinan didaerah maka perlu peranan pemerintah daerah yang baik dalam penanggulangan kemiskinan, hal ini perlu dilakukan karena pemerintah daerah mempunyai atau mengetahui secara menyeluruh karakteristik kemiskinan didaerah tersebut. Selama ini kebijakan pengentasan kemiskinan selalu dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pelaksana dari program pengentasan kemiskinan didaerah. Hal ini mengakibatkan birokrasi untuk penanggulangan kemiskinan terlalu panjang, hal ini membuka peluang kebocoran dari program pengentasan kemiskinan. Hal ini menyebabkan program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan tidak berhasil secara baik karena tidak sesuai dengan karakteristik kemiskinan didaerah. Dalam penanganaan kemiskinan perlu adanya desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pemerintah daerah sebagai institusi yang paling menngerti kondisi masyarakat didaerah perlu dilibatkaan dalam perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan, sehingga arah kebijakan pengentasan kemiskinan yang akan dilakukan menyentuh pada sasaran dan efekktif. Disamping itu perlu adanya kelembagaan yang kuat dari organisasi ekonomi masyarakat miskin, hal itu perlu adanya fasilitasi dari pemerintah untuk meningkatkan peran ekonomi masyarakat miskin dengan melibatkan peran lembaga swadaya masyarakat sebagai pendamping dari program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Dengan partisipasi masyarakat secara aktif diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin dapat berjalan sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.

Masyarakat Miskin dan Anak Jalanan


JUMAT, 03 FEBRUARY 2012 00:00

Ery Syahrial, Komisioner KPAID Kepri Kota membutuhkan masyarakat miskin. Ungkapan tersebut cukup membuat masyarakat miskin mendapat tempat untuk bisa hidup, bertahan, hingga mencari kesuksesan di kota. Bahkan di kota metropolitan sekalipun. Di mana ada kota tumbuh dan maju, di situ pasti ada masyarakat miskin. Mereka tinggal di daerah pinggiran, rumah liar, pemukiman kumuh dan banyak persoalan sosial. Keberadaan masyarakat miskin

tersebut di sisi lain memang dibutuhkan, bahkan justru membuat kehidupan kota semakin bergerak dinamis. Bayangkan bila di sebuah kota yang hanya diisi orang kaya, kaum borjuis, dan pemilik modal, maka siapa yang akan menjadi pekerja? Maka akan timbul persoalan dimanamana. Cuma yang menjadi persoalan, dan ini menjadi perbedaan dengan kota di negara-negara maju, adalah soal jumlah masyarakat miskin. Di negara maju, jumlah penduduk miskin hanya sebagian kecil. Sementara di negara kita yang masuk negara sedang berkembang (development country), jumlah penduduk miskin sangat besar. Inilah menjadi personalan terbesar, bagaimana mengurangi kemiskinan. Di kota hidup beragam manusia dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Status ekonomi yang berbeda. Ada yang memiliki modal dan usaha serta menguasai roda perekonomian. Ada kalangan menengah yang umumnya bekerja di sektor formal. Dan ada kalangan bawah yang umumnya bekerja di nonformal. Sekian persen dari masyarakat bawah yang kalangan yang tidak beruntung inilah yang menjadi masyarakat miskin kota. Mereka bekerja melakukan berbagai pekerjaan dengan gaji atau pendapatan yang kecil. Tidak sanggup menghidup keluarganya sehingga seluruh anggota keluarga sampai anaknya juga dilibatkan untuk membantu. Yang biasanya terjadi di masyarakat kita adalah miskin turun temurun. Padahal miskin bukan penyakit keturunan. Kemiskinan adalah persoalan sikap, pemikiran yang dan etos kerja. Sikap yang tidak mendukung, pemikiran yang terbelakang, etos kerja yang tidak ada atau pemalas. Miskin karena semuanya atau salah satunya tidak dipunyai. Maka dengan kondisi masyaralat kita seperti itu maka jangan heran yang banyak muncul belakangan di sepanjang jalanan kota adalah fenomena maraknya anak jalanan atau pekerja anak di jalanan. Mereka bekerja sebagai pengemis, pengecer koran, tukang semir sepatu, pengamen. Anak-anak tersebut berasal dari keluarga-keluarga miskin yang biasanya hidup di kantong-kantong kemiskinan, daerah kumuh, rumah liar. Kebanyakan anak-anak tersebut tidak sekolah. Ada beberapa yang sekolah dan itupun keadaannya terancam putus sekolah. Baik karena tidak adanya biaya, maupun daya tarik lingkungan jalanan terhadap anak-anak yang membuat mereka semakin lama semakin betah di jalanan. Niat membantu orangtua dan uang yang didapat dijalanan semakin meredam semangatnya untuk mengenyam pendidikan. Beberapa anak dipaksa oleh orangtuanya untuk mencari rupiah di jalanan. Ada juga orangtua miskin yang turun ke jalanan dengan menjadikan anaknya yang masih bayi dan balita sebagai pemancing rasa iba pengguna jalan. Dengan rasa kasihan, semakin banyak yang bersedekah, semakin banyak yang membeli koran atau lainnya. Bahkan ada juga yang jualan koran sebagai tameng, namun sebenarnya adalah pengemis. Karena dengan ngemis lebih banyak dapat uang. Di Batam dan Tanjungpinang terdapat beberapa kantong kemiskinan. Ciri-ciri daerah yang dihuni masyarakat miskin ini adalah pemukiman yang tidak tertata, kumuh, tidak ada fasilitas umum, tidak memiliki sanitasi yang sehat, sumber air bersih yang sulit dan terbatas. Anak-anaknya banyak yang tidak sekolah dan putus sekolah. Rawan kejahatan dan lain sebagainya. Momentum Bebas Anak Jalanan

Kasus pedofilia yang terjadi di Batam dan menghebohkan Indonesia baru-baru ini merupakan momentum yang baik untuk mengurangi, bahkan meniadakan anak jalanan dan pekerja anak di jalanan. Mereka dilarang turun ke jalanan karena jalanan rentan dan berbahaya. Banyak hak-hak mereka dirampas. Padahal untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, hak-hak mereka harus diberikan. Mereka juga butuh lingkungan yang kondusif. Momentum ini sejalan dengan program pemerintah pusat mewujudkan Indonesia bebas anak jalanan. Beberapa waktu lalu hingga kini, beberapa SKPD di Pemprov Kepri yang dimotori oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga sudah mulai membahas penangganan anak jalanan di Kepri. Lalu bagaimana mengatasinya masyarakat miskin dan anak jalanan ini? Mengurangi kemiskinan tetap harus jalan seiring dengan visi, misi dan program pemerintah baik provinsi maupun kota/kabupaten. Jumlah masyarakat miskin harus dikurangi secara bertahap. Program pengetasan kemiskinan tersebut harus tepat sasaran sehingga ada peningkatan kesejahteraan, dari masyarakat miskin menjadi masyarakat yang tidak lagi miskin. Ada peningkatan kualitas kehidupan, peningkatan pendidikan sehingga banyaknya anak-anak miskin yang bisa bersekolah. Untuk anak-anak warga miskin tidak harus berada di jalanan sepanjang hidupnya. Mereka mempunyai cita-cita yang akan dapat mengubah hidupnya lebih baik. Itu bisa dilakukan bila mereka tetap bersekolah atau mendapatkan pendidikan. Hanya dengan pendidikan, mereka bisa berubah dan bisa menjadi lebih baik. Bagi yang sekolah tetap semangat sekolah, jangan berhenti karena godaan jalanan. Pemerintah harus memberikan pendidikan gratis kepada mereka sehingga anak-anak jalanan itu tidak mesti mengemis atau menjual koran dulu agar bisa sekolah. Yang tidak bisa sekolah formal, mereka masih bisa mendapatkan pendidikan non formal. Dengan mendirikan rumah singgah, mereka bisa mendapatkan pendidikan dan keterampilan. Sudah ada pihak LSM yang sudah memulai dengan mendirikan rumah sejahtera untuk mendidik anak-anak yang tidak sekolah di beberapa daerah kantong miskin. Intinya tidak alasan bagi anak-anak jalanan untuk tidak sekolah, karena pendidikan adalah hak setiap anak Indonesia. Jika program pengentasan kemiskinan sukses, pendidikan sudah merata maka pemerintah ikut merasakan manfaatnya. Beban subsidi pemerintah bisa dikurangi, kualitas SDM meningkat, angka kriminal berkurang, investor semakin banyak, pendapatan daerah meningkat dan lain sebagainya. Jika sudah seperti itu, jangan merasa takut terganggu keseimbangan kota dengan berkurangnya masyarakat miskin. Justru sebaliknya, semakin menguntungkan.***

You might also like