You are on page 1of 5

Mangrove di Kepulauan Togean untuk Masyarakat Oleh : ZULFIKAR

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar, Menurut koreksi PBB Tahun 2008, Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang ke empat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai tercatat sebesar 95.181 km yang memiliki sumberdaya pesisir baik hayati maupun non hayati. Tentunya dengan garis pantai terbesar itu maka Indonesia memegang peranan penting dalam mengamankan garis pantai melalui vegetasi mangrove seperti pemecah gelombang, mengatasi abrasi dan mengatasi gelombang laut sekaligus untuk kehidupan binatang serta tempat berkemangbiak ikan-ikan tertentu dan lain sebagainya. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindungan garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari ikan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain penghasil keperluan rumah tangga, keperluan industri, obat-obatan, dan lain sebagainya. (Santoso, 2000) Mangrove berasal dari kata Mangue / Mangal (Portugis) dan Grove (English). Secara umum hutan mangrove dapat difenisikan sebagai suatu tipe ekosistem hutan yang tumbuh disuatu daerah pasang surut (pantai, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang surut dan bebas pada saat air laut surut dan komunitas tumbuhannya mempunyai toleransi terhadap salinitas (garam) air laut. Tumbuhan yang hidup di ekosistem mangrove adalah tumbuhan yang bersifat halophyte atau mempunyai toleransi yang tinggi terhadap tingkat keasinan air laut dan pada umumnya bersifat alkalin Hutan mangrove di Indonesia sering juga disebut hutan bakau. Tetapi istilah ini sebenarnya kurang tepat karena bakau (rhizophora) adalah salah satu family tumbuhan yang sering ditemukan dalam ekosistem hutan mangrove. (Khazali, 1998) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jelas disebutkan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak,

kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 3). Balai Taman Nasional Kepulauan Togean terletak di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan dibawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) yang berdasarkan penelitian CII dan Yayasan Pijak Tahun 2001 memiliki jumlah mangrove sebanyak 33 jenis tersebar diseluruh gugusan Kepulauan Togean. Menurut data BKSDA Sulteng dan BAPPEDA Poso yang disadur dari Summary of Togean Biodiversity Condition oleh Conservation International Indonesia bahwa luas hutan mangrove di Kepulauan Togean diperkirakan sekitar 4800 Ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagaian pulau Walea. Keberadaan hutan mangrove di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan masyarakat di Kepulauan Togean. Berdasarkan data tersebut ditemukan 33 spesies mangrove di Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 Spesies Mangrove Sejati (true mangrove) dan 14 Spesies Mangrove ikutan (associate mangrove). Ke 33 Jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Ekosistem mangrove tersebut tersebar di hampir sepanjang garis pantai yang paling banyak memiliki ekosistem mangrove yaitu di pantai Pulau Togean masuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II yang merupakan ekosistem mangrove terluas, pesisir timur pulau Batudaka Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I dan pantai selatan Pulau Talatakoh lingkup SPTN Wilayah III dan juga tersebar di pulau-pulau lain yang relatif sedikit dibandingkan ke tiga pulau tersebut. Wilayah pesisir pantai di gugusan kepulauan Togean memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup potensial untuk dikembangkan dalam menunjang taraf hidup masyarakat setempat, sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat yang berada di desa tersebut. Masyarakat disekitar Taman Nasional Kepulauan Togean memanfaatkan potensi Dokumentasi : Kegiatan Patroli Rutin SPTN II BTNKT Oktober 2011 sumberdaya alam misalnya mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kawasan hutan mangrove di desa Lembanato terdapat sebuah jembatan mangrove diperuntukkan untuk kegiatan tracking mangrove atau sekedar menikmati flora dan fauna didalam kawasan hutan tersebut. Jembatan ini dibangun oleh

masyarakat Lembanato sendiri bekerjasama dengan organisasi lokal pencinta wisata berbasis lingkungan yaitu Jaringan Ekowisata Togean (JET) sehingga menarik para wisatawan luar dan dalam negeri untuk menikmati keindahan hutan bakau desa Lembanato. Selain mempermudah aksebilitas masyarakat Lembanato juga efek langsung yang dirasakan oleh masyarakat adalah membantu masyarakat dalam kegiatan ekowisata misalnya sebagai guide para wisatawan lokal dan mancanegara ataupun penyewaan perahu untuk menuju lokasi desa Lembanato yang berdampak langsung dalam meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Untuk pemenuhan kebutuhan kayu, masyarakat di Kepulauan Togean umumnya menggunakan mangrove jenis Rhizophoraceae seperti dalam nama lokal setempat misalnya Kale lolab / langkai
/ moanenyo / totobu / lila (Rhizophora apiculata), Kale bamba / bamboo / bambar / dinda / bambang (Rhizophora mucronata), Lampaknyo / lila (Rhizophora stylosa) yang menurut masyarakat setempat merupakan kayu bakar berkualitas karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Umumnya masyarakat mengkonsumsi sendiri atau menjualnya dipasar tradisional dengan harga Rp. 10.000,- per meter kubik yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan beberapa orang anak. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin kebawah selain karena meraka umumnya tidak memiliki kompor minyak juga disebabkan ketersediaan di alam saat ini cukup banyak.

Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove Kepulauan Togean. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anakanaknya di waktu senggang. Atap nipah tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan Dokumentasi : Kegiatan Patroli Rutin SPTN I Wakai Mei 2011 sendiri juga dijual dengan harga Rp. 1.500,per lembarnya. Penghasil atap nipah di Kepulauan Togean adalah di Desa Bambu, Desa Patoyan, dan Desa Kabalutan Pada jenis Butung/butun/buttong (Barringtonia asiatica), Rungun/hungun (Heritiera littoralis), Katilangon/tilangon/tallisey (Terminalia catappa) dibuat perahu tradisional dengan cara pengerjaan sangat sederhana. Masyarakat nelayan Kepulauan Togean membuat perahu (bahasa lokal : katinting) dengan menggunakan kampak, parang, gergaji, pahat, dan alat bor sederhana dengan waktu pengerjaan relatif tergantung ukuran, dikerjakan secara bergotong royong dan saling membantu.

Banyak manfaat dari mangrove yang belum tereksporasi oleh masyarakat di Kepulauan Togean hal ini disebabkan keterbatasan Sumber Daya Manusia misalnya Selain manfaat-manfaat langsung tersebut yang dirasakan oleh masyarakat Kepulauan Togean, jenis-jenis lain kurang diminati walaupun banyak penelitian seperti Jenis mangrove Acrostichum sebagai bahan baku obat-obatan. Air rebusan Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit Rhizophora mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes. Jenis Kayu mangrove seperti Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhyza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun ataupun tanin yang digunakan untuk menyemak kulit pada industry, sepatu, tas dan juga sebagai pembuatan lem kayu lapis. (Inoue et al., 1999). Manfaat penambakan perikanan, dalam hutan mangrove dapat dilakukan dengan model silvofishery atau dikenal dengan istilah tambak tumpang sari, tambak empang parit atau hutan tambak. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, dapat menghasilkan nilai ekonomi tinggi selain manfaat konservasi dan memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan yang berkelanjutan. Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000). Mengingat potensi mangrove yang ada di Kepulauan Togean sangat tinggi, sehingga peran masyarakat sangatlah penting untuk mengambil secara berkelanjutan sesuai dengan daya dukung alam. Selain itu dibutuhkan peningkatan kelembagaan khususnya Balai Taman Nasional Kepulauan Togean dalam memberikan tindakan-tindakan nyata untuk menopang perekonomian tanpa mengganggu ekosistem yang ada misalnya dengan memberikan keterampilan, penyuluhan, dan perlindungan dari kegiatan perambahan mangrove yang berlebihan. Jika mangrove tersebut rusak oleh ulah manusia, harga yang dibayar sangatlah mahal dibandingkan harga sebuah konservasi. Selamatkan hutan mangrove demi anak cucu manusia, demi masa depan kita bersama. Mangroveku, Amanahku! Salam Lestari. ----------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah. 2006. Buku I Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Kepulauan Togean. Palu. Balai Taman Nasional Kepulauan Togean. 2010. Kepulauan Togean Tahun 2010. Ampana. Buku Statistik Balai Taman Nasional

Hasyim, Wahid., Adipadang http://awhasyim.wordpress.com/2010/07/19/perencanaan-wilayahberupa-pengembangan-silvofishery-mengacu-permen-lh-no-17-tahun-2010-denganpenginderaan-jauh-dan-aplikasi-sistem-informasi-geografis/ Sistem Silvofishery pada mangrove (diakses tanggal 18 Desember 2011) Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta. Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland International Indonesia Programme. Bogor, Indonesia. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia (diakses tanggal 15 Desember 2011) http://id.wikipedia.org/wiki/Pantai Garis Pantai di Indonesia (diakses tanggal 15 Desember 2011)

You might also like