You are on page 1of 9

Pendahuluan Gerakan-gerakan Islam yang muncul pada abad ke-20 dalam banyak hal mengikuti pola-pola gerakan yang

pernah muncul pada sekitar abad ke-18 dan 19. Dari pola tersebut terdapat kesinambungan dan kecenderungan diantara kalangan fundamentalis, kalangan yang terbaratkan (westernis), dan kaum modernis Islam di dunia Islam. Hanya tampaknya seiring berjalannya hari, kalangan westernis semakin kehilangan pengaruhnya diantara umat Islam. Hal tersebut disebabkan oleh makin lemahnya paradigma yang berlaku di Barat itu sendiri dan munculnya oposisi yang kian mengental dalam kalangan Muslim sendiri. Dengan begitu, di dunia Islam terjadi pelemahan pengaruh pola pemikir Muslim yang berorientasi ke Barat. Di anak benua India, gerakan pembaruan yang sebelumnya berkiblat ke Barat, seperti yang dimotori oleh Sayyid Ahmad Khan yang berubah haluan menjadi gerakan modernis yang lebih berorientasi kepada Islam.1 Pembaruan tersebut lambat laun berubah menjadi fundamental, terutama oleh al-Maudd yang merupakan seorang pemikir paling menarik di anak benua India. Menurut W. C. Smith yang dikutip oleh Azyumardi Azra, ia menyebutnya sebagai pemikir yang sistematis dalam dunia Islam modern. Ia memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang aspek-aspek normatif dan teoritis Islam, khususnya dalam konteks anak benua India. Karya-karyanya menjadi faktor utama dalam pembentukan perkembangan modern Islam di anak benua India dan di masa presiden Ziaul Haq, yang pada masa itu merupakan kekuatan ideologis dominan di Pakistan. Pada awalnya, al-Maudd dekat dengan pemikiran tradisional, meskipun pada akhirnya ia menjadi lebih fundamentalis didalam pemikiran dan tindakannya. Hal tersebut dikarenakan ia berada dalam masyarakat yang mayoritas beragama Hindu, kepedulian utamanya adalah pembelaan yang bersifat lebih fundamentalis terhadap ortodoksi tradisional dari sikap polemik dan serangan Hindu, sekaligus jawaban kepada reinterpretasi Islam yang cenderung bersifat apologetik.2 Makalah ini akan membahas biografi, latar belakang sosialpolitik dan pemikiran politiknya. Karena perjalanan kehidupan dan keadaan sosial-politik pada saat itu sangat mempengaruhi pemikirannya, terlebih lagi para tokoh-tokoh sebelumnya tidak berhasil dalam melakukan gerakan pembaruan di anak benua India tersebut. Bukan

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 153. 2 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 240.

hanya itu saja, pengaruh pemikirannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dipakai oleh kalangan fundamentalis Islam. Makalah ini akan diakhiri dengan penutup.

Biografi & Latar Belakang Sosial-Politik Sayyid Abu Al-Al al-Maudd Al-Maudd dilahirkan pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu al-Al al-Maudd. Nama Abu al-Al pernah menimbulkan masalah, karena Abu al-Al artinya ayah (dari) Yang Maha Tinggi. Sedangkan Yang Maha Tinggi merupakan atribut Tuhan yang terdapat dalam sejumlah ayat Al-Quran. Tetapi dalam pembelaannya, al-Maudd mengutip dua ayat Al-Quran dimana atribut al-Ala dan al-Alauna merupakan kata jamak dari al-Ala yang diberikan kepada manusia, yaitu kepada Nabi Musa dan orang-orang beriman. Menurut cerita ayah al-Maudd, Ahmad Hasan, tiga tahun sebelum al-Maudd lahir, ia berkunjung ke salah seorang tokoh sufi yang memberitahukan bahwa Allah akan menganugerahinya seorang anak laki-laki yang akan dihormati rakyat, akan menduduki jabatan dan kedudukan tinggi. Tokoh sufi itu berpesan agar anak itu diberi nama Abu al-Al. Ahmad Hasan sangat bergembira mendengar ramalan tersebut, dan berjanji jika hal itu menjadi kenyataan maka anak yang lahir nanti akan diberi nama sebagaimana yang dipesankan oleh sufi itu. Selain itu, kepala atau pemimpin pertama keluarga besarnya yang menetap di India dahulu atau salah seorang pendahulu al-Maududi juga bernama Abu alAl.3 Al-Maudd dilahirkan dari keluarga terhormat dan nenek moyangnya dari ayah keturunan Nabi Muhammad. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid. Keluarganya mempunyai tradisi yang lama sebagai pemimpin agama, karena banyak dari nenek moyang al-Maudd adalah syaikh-syaikh tarekat sufi yang terkenal. Salah seorang dari syaikh-syaikh yang terkenal itu adalah syaikh yang dari namanya itu Abu al-Al mengambil nama keluarga, yaitu Khawajah Qudbuddin Maudud (wafat 527 H), seorang syaikh yang terkenal dari tarekat Christi. Nenek moyangnya pindah ke anak benua India dari Chisht pada akhir abad ke-15. Orang yang pertama tiba di anak benua India itu adalah orang yang namanya sama dengan Abu al-Ala, yaitu Abu al-Ala al-Maududi (wafat 935 H).

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi ke-5, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003), hlm. 157-158.

Ayah al-Maudd, Ahmad Hasan, dilahirkan pada tahun 1885. Ia merupakan ahli fiqih dan orang yang sangat saleh. Al-Maudd adalah anak yang paling kecil dari tiga saudaranya. Setelah memperoleh pendidikan di rumahnya, kemudian ia masuk ke sekolah menengah Madrasah Fawqaniyah, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan Barat modern dengan pendidikan Islam tradisonal. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan sukses, kemudian ia memasuki perguruan tinggi Darul Ulum di Hyderabad. Akan tetapi pendidikannya terganggu karena ayahnya sakit, dan kemudian meninggal dunia4 pada tahun 1919. Karena ayahnya meninggal, ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di Darul Ulum. Keadaan tersebut mendorongnya untuk menempuh jalan autodidak, karena ditopang oleh kemampuannya berbahasa Arab, Inggris dan Persia untuk memperdalam pengetahuannya. Setelah berhenti dari pendidikannya di Darul Ulum, al-Maudd kemudian berkarir ke dunia jurnalisme pada usia 15 tahun.5 Kemudian ia menulis artikel-artikel untuk surat kabar Urdu yang terkemuka. Pada tahun 1920, ketika ia berusia 17 tahun ia telah diangkat menjadi editor surat kabar Taj yang diterbitkan di Jabalpore, suatu kota di provinsi yang sekarang dinamakan Madhya Pradesh, India. Pada akhir tahun 1920, ia datang ke New Delhi dan pertama-tama menjabat pimpinan surat kabar Muslim (1921-1923), kemudian Al-Jamiyat (1925-1928), serta dua surat kabar yang diterbitkan oleh Jamiyat-i Ulama-i Hind, suatu organisasi ulama-ulama Muslim. Dibawah pimpinannya, Al-Jamiyat menjadi surat kabar terkemuka umat Muslim di India. Masih di tahun 1920-an, al-Maudd juga mulai mengambil perhatian dalam kegiatan politik. Ia mengambil bagian dalam gerakan Khilafah dan terlibat dalam suatu gerakan rahasia. Akan tetapi ia segera meninggalkan organisasi tersebut karena tidak setuju dengan idenya. Selain itu, ia juga bergabung dengan gerakan Tahrikh-i-Hijrat, suatu organisasi oposisi terhadap pemerintahan Inggris atas India, dan menganjurkan kepada umat Muslim di India untuk hijrah secara masal ke Afganistan. Namun demikian ia berbeda pendapat lagi dengan pimpinan gerakan itu, hal itu dikarenakan ia menekankan bahwa tujuan dan strategi dari gerakan itu seharusnya realistis dan terencana. Keadaan tersebut semakin membuatnya memusatkan dirinya pada kegiatan-kegiatan akademik dan jurnalistik. Selama tahun 1920 sampai 1928, al-Maudd juga menerjemahkan empat buku; satu dari bahasa Arab dan yang ketiganya dari bahasa Inggris. Selain menerjemahkan buku, ia
4 5

A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 238. Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 172.

juga menulis buku penting Jihad fil-Islam.6 Ketika menulis buku itu ia masih berusia sekitar 20-an yang menjadi pewaris pengajaran tradisional dan pendidikan modern swasta. Ia juga masih dekat kepada pemahaman agama tradisional yang diwariskan secara turun -temurun yang saat itu sedang mulai ia tinggalkan berkat didikan simultan yang membuatnya semakin modern sekaligus semakin fundamentalis.7 Pada tahun 1930, seorang tokoh Islam di Haiderabad yang bernama Maulana Abu Mohammad Muslih menerbitkan majalah bulanan Tarjuman Al-Quran. Pada tahun 1932, majalah tersebut diambil alih oleh al-Maududi yang kemudian dipergunakan olehnya sebagai media komunikasi untuk memperkenalkan gagasan-gagasan kepada masyarakat Islam. Akan tetapi gagasan-gagasannya itu tidak mendapat respon yang berarti. Menurutnya, kegagalan tersebut disebabkan karena tidak adanya contoh hidup masyarakat Islami yang dapat disaksikan dengan mata, dan ia percaya bahwa jika saja umat Islam dapat menyaksikan suatu masyarakat yang mengikuti pola hidup para sahabat Nabi dengan melakukan semangat cintakasih, kejujuran, keadilan, dan kesediaan berkorban untuk kepentingan bersama. Karena perkembangan dakwahnya tidak mendapat respon yang berarti, maka ia menerima baik tawaran dari Chaudry T. Ali8 agar pindah ke Utara wilayah Punjab yang jumlah umat Islam lebih banyak dan semangat keagamaannya lebih kuat. Pada tahun 1937, al-Maudd pergi ke Lahore dan bertemu dengan Muhammad Iqbal. Dalam pertemuan itu, mereka bertukar pikiran tentang kondisi umat Islam dan langkahlangkah yang harus diambil untuk memberikan masa depan yang lebih baik untuk umat Islam. Dalam pertukaran pikiran tersebut terjadi kesepakatan mengenai dua hal; pertama, tentang perlunya segera dimulai usaha-usaha ilmiah untuk mengisi bagian-bagian dari pola kehidupan Islami, agar hilang anggapan orang bahwa pola hidup Islami tidak lengkap dan tidak dapat dilaksanakan. Kedua, tentang perlunya disiapkan orang-orang yang mau bekerja keras untuk memimpin umat Islam. Pada pertemuan tersebut Iqbal juga mendesaknya agar ia menerima baik tawaran dari Chaudry T. Ali. Dengan desakan Muhammad Iqbal, pada tahun
6

Jihad fil-Islam merupakan tulisan yang baik mengenai hukum Islam tentang perang dan damai. Isi buku tersebut ditulis bersambung dalam Al-Jamiyat pada tahun 1927, dan secara resmi diterbitkan pada tahun 1930. Buku tersebut mendapat pujian dari Muhammad Iqbal (1876-1938) dan Maulana Muhammad Ali Jauhar (18781931) pemimpin yang masyhur dari gerakan Khilafah dan gerakan kemerdekaan. Lihat A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hlm. 239. 7 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, hlm. 162. 8 Chaudry T. Ali merupakan salah seorang tokoh Liga Muslim. Ia menawarkan Al-Maududi tanah seluas kurang lebih 28 Hektar yang telah diwakafkan, dan di tempat tersebut sudah terdapat sebuah Masjid, perpustakaan, sejumlah bangunan untuk kantor dan tempat tinggal. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 162.

1938 al-Maudd memutuskan untuk pindah ke Punjab dan tinggal di tanah wakaf Chaudry T. Ali. Selama tinggal di tanah wakaf, ia mendapat penghasilan dari tanah pertanian setiap tahun lebih dari cukup untuk membiayai kegiatan-kegiatan awal dari gerakan dakwahnya. Nama dari gerakan pusat dakwahnya yaitu Dar al-Islam. Disana ia segera memulai rencananya membangun suatu perkampungan yang benar-benar Islami dalam segala aspeknya. Dalam upaya membangun perkampungan yang benar-benar Islami, akan tetapi upaya tersebut tidak berlangsung lama karena perbedaan paham diantara al-Maudd dan Chaudry T. Ali. Ketika itu al-Maudd menyerang kebijaksanaan dan pimpinan Liga Muslim, dan Chaudry T. Ali mendengarnya. Pada suatu hari Chaudry T. Ali mengatakan kepada alMaudd bahwa ia boleh berbuat apa saja di tanah wakaf itu, tetapi jangan memasuki bidang politik dan jangan mengecam Liga Muslim. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat diterima oleh al-Maudd. Hingga akhirnya pada awal tahun 1939 ia meninggalkan Dar al-Islam dan pindah ke kota Lahore.9 Dalam suasana ketegangan perjuangan kemerdekaan anak benua India dari penjajahan Inggris, pada tanggal 21 Agustus 1941 Al-Maudd membentuk Jamat-i-Islm dan menjadi ketuanya.10 Tujuan didirikannya untuk menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi dan menjadikan Islam sebagai sistem dan jalan hidup diatas dunia. Ia menjelaskan tujuannya tersebut perlu dicapai, karena di masa modern, manusia telah menjadikan manusia sebagai pihak yang berdaulat di dunia ini dan bukannya Tuhan seperti yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Menurutnya, faktor demikian merupakan sumber kerusakan dan bencana di dunia ini. Berbagai sistem buatan manusia, yang seluruhnya bersifat Jahiliyah, termasuk agama-agama bukan Islam. Menurutnya, hal tersebut terbukti gagal dan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Islam merupakan alternatif tunggal untuk mencegah umat manusia dari kehancuran.11 Kriteria penerimaan anggotanya hanya untuk orang-orang yang sepenuhnya menerima ideologi Islam sebagai pandangan hidupnya dan berakhlak mulia.12 Pada tahun 1947, ketika dua negara anak benua India didirikan yaitu India dan Pakistan, Jamat-i-Islm juga terbagi
9

Ibid., hlm. 162-163. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamat-i-Islm (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 86. 11 Ibid., hlm. 97. 12 Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, hlm. 173.
10

menjadi Jamat-i-Islm di India dan Jamat-i-Islm di Pakistan. Setelah itu al-Maudd memutuskan untuk hijrah ke Pakistan dan memusatkan perhatiannya untuk mendirikan suatu negara Islam dan masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia banyak menulis untuk menerangkan aspek-aspek yang berbeda dari jalan hidup Islam, terutama aspek-aspek sosial-politik. Selain menulis, ia juga mengkritik dan melawan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah Pakistan secara silih berganti serta menuduh orang-orang yang berkuasa telah gagal untuk mengubah pakistan menjadi negara Islam. 13 Pada bulan Maret 1948, al-Maudd dan anggota-anggota Jamat-i-Islm menyelenggarakan pertemuan akbar di Karachi untuk merumuskan atau mengesahkan rumusan konsepsi kenegaraan untuk diperjuangkan pada Majelis Konstituante Pakistan yang kemudian terkenal dengan Tuntutan empat Butir, yaitu: Mengingat bahwa mayoritas dari rakyat Pakistan percaya kepada prinsip-prinsip Islam, dan mengingat pula bahwa tujuan semua perjuangan dan pengorbanan mereka dalam mendirikan (negara) Pakistan ialah agar mereka dapat menghayati pola hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini, maka tiap Muslim di Pakistan menuntut kepada Majelis Konstituante agar mendasarkan undang-undang (Pakistan) atas prinsip-prinsip berikut: 1. Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah, dan oleh karenanya Pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan (Allah). 2. Syariat Islam merupakan hukum dasar bagi Pakistan. 3. Pembatalan semua undang-undang yang ada dan bertentangan dengan syariat Islam, dan kemudian menangguhkan semua undang-undang yang tidak sesuai dengan syariat Islam. 4. Pemerintah Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan syariat Islam.14 Pada tahun 1953, ia mendapat putusan hukuman mati oleh undang-undang darurat karena dituduh menulis pamflet yang menghasut tentang masalah Qadiyani,15 ia menolak kesempatan untuk memohon grasi. Ia dengan gembira memilih pilihannya untuk mati daripada memohon ampun dari orang-orang yang secara tidak adil akan menggantungnya. Dengan keyakinan yang tidak dapat digoyahkan, bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Kemudian ia mengatakan kepada anaknya dan kolega-koleganya: Apabila saatku akan mati

13

Karena mengkritik dan melawan pemerintahan Pakistan, ia seringkali ditahan dan bahkan masuk rumah tahanan. Lihat A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hlm. 241. 14 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm.163-164. 15 Qadiyani ialah paham keagamaan yang diajarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari aliran Qadian (Anjuman Ahmadiyah Qadian). Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamat-i-Islm (Pakistan), hlm. 340.

telah tiba, maka tidak ada seorangpun yang bisa menyelamatkan aku; dan apabila saat itu tidak tiba, maka mereka tidak bisa membawa aku ke tiang gantungan, sekalipun mereka sendiri menggantung diri sendiri dengan jungkir-balik untuk berusaha menggantung aku. Keluarganya juga tidak mau meminta grasi. Kekukuhan pendiriannya mengherankan pemerintah yang terpaksa dibawah tekanan umum yang kuat baik dari dalam negeri maupun luar negeri, akhirnya hukuman mati dibatalkan dan diubah menjadi hukuman selama hidup.16 Pada tahun 1956 sampai 1974, al-Maudd berpergian ke pelbagai negeri. Hal tersebut memungkinkan banyak umat Muslim di pelbagai negeri berkenalan dengannnya secara pribadi. Dalam berpergiannya tersebut, itu juga merupakan pendidikan baginya. Karena berpergiannya tersebut, ia mendapat kesempatan untuk mengetahui fakta kehidupan. Selama berpergiannya ia pernah memberikan ceramah di Kairo, Damaskus, Aman, Mekah, Madinah, Jeddah, Kuwait, Rabat, Istambul, London, New York, Toronto dan pusat-pusat internasional lainnya. Selain itu, ia juga mengambil bagian dalam banyak konferensi-konferensi internasional. Ia juga melakukan studi tour di Arab Saudi, Yordan, Jerusalem, Siria, dan Mesir untuk mempelajari aspek-aspek geografis dari tempat-tempat yang diterangkan oleh Al-Quran. Ia juga diminta untuk menjadi Komite Penasihat yang menyiapkan berdirinya Universitas Islam Madinah, dan menjadi dewan Akademis pada tahun 1962.17 Pada tanggal 23 September 1979, al-Maudd meninggal di salah satu rumah sakit yang ada di New York, Amerika Serikat.18

Negara Islam Menurut al-Maudd, didalam Islam, kedaulatan berada di tangan Tuhan dan bukan berada di tangan rakyat. Didalam Islam, Tuhan adalah pencipta, pemilik, pengatur dan penguasa seluruh alam semesta. Sedangkan manusia hanyalah makhluk (ciptaan Tuhan) yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, tugas utama manusia adalah menjalankan kehidupan menurut peraturan-peraturan yang telah diciptakan oleh Tuhan. Maka, manusia sebagai khalifah akan bertanggung jawab di hadapan tuhan di akhirat nanti. Dari penjelasan seperti diatas, dapat dipahami jika al-Maudd menentang konsep kedaulatan rakyat yang menjadi dasar ide demokrasi. Konsep kedaulatan rakyat menurut alMaudd ialah rakyat yang menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam negara. Dengan demikian, demokrasi yang bersumber pada kedaulatan rakyat merupakan kehendak mayoritas
16 17

A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hlm. 241. Ibid., hlm. 243. 18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hlm. 158.

rakyat adalah keputusan tertinggi dalam negara. Bahkan, keputusan mayoritas itu dapat mengenyampingkan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, al-Maudd mengecam konsep kedaulatan rakyat dan demokrasi sebagai syirik (menyekutukan Tuhan), bahkan cenderung ilhd (meniadakan Tuhan sama sekali). Jadi, demokrasi secara fundamental bertentangan dengan Islam.19 Untuk mengganti konsep kedaulatan rakyat, al-Maudd mengajukan konsep hukmt-i-ilhyt (kedaulatan Tuhan) dan khilfat-i-insnyt (kekhalifahan rakyat). Kedaulatan Tuhan bukan berarti Tuhan secara langsung mengambil keputusan-keputusan politik dalam negara, melainkan Tuhan memberikan keputusan-keputusan dalam syariah yang harus dijalankan oleh pemerintah sebagai khalifah Tuhan di negara tersebut. Oleh karena itu, al-Maudd menolak jika konsep kedaulatan Tuhan yang dikemukakannya adalah sama dengan konsep teokrasi20 di Eropa pada abad pertengahan. Menurut al-Maudd, Islam tidak mengajarkan teokrasi, dalam arti suatu negara yang kekuasaan pemerintahnya dilaksanakan oleh elit keagamaan seperti para pastur ataupun kaum ulama. Kekuasaan pemerintahan Islam dilaksanakan oleh seluruh komunitas Muslim dalam negara, yang melaksanakan kekuasaannyasesuai dengan Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.21 Dalam konsep khilfat-i-insnyt (kekhalifahan rakyat), ia membedakan warga negara kedalam dua jenis warga negara, yaitu warga negara Muslim dan bukan Muslim (Ahl alDzimmah). Menurutnya pembagian warga negara tersebut tetap dipertahankan, sebab hal tersebut dianggap termasuk kedalam salah satu ciri utama negara Islam. Jadi, meskipun semua manusia di dunia ini adalah khalifah Allah, tetapi secara politik, mereka yang benar benar menjadi khalifah dalam suatu negara Islam adalah terbatas pada warga negara Muslim saja. Warga negara non-Muslim bukanlah khalifah dalam arti demekian, karena non-Muslim tidak mempercayai Islam sebagai ideologi negara.22

Penutup

19

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamat-i-Islm (Pakistan), hlm. 245. 20 Teokrasi di Eropa menurut al-Maudd hanyalah ciptaan pastur-pastur Katolik belaka. Mereka menginginkan kekuasaan politik dan melaksanakan kekuasaan atas nama Tuhan. Tetapi, yang terjadi pastur-pastur itulah yang sebenarnya memper-Tuhan-kan diri mereka sendiri, sehingga teokrasi seperti itu lebih pantas disebut sebagai kekuasaan setan, bukan kekuasaan Tuhan. Ibid., hlm. 246. 21 Ibid. 22 Ibid.,hlm. 247.

Daftar Pustaka Ali, A. Mukti. 1998. Alam Pikiran Islam di India dan Pakistan. Bandung: Mizan. Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia. --------. 1996. Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga PostModernisme. Jakarta: Paramadina. Iqbal, Muhammad & Nasution, Amin Husein. 2010. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mahendra, Yusril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamat-i-Islm (Pakistan). Jakarta: Paramadina. Sjadzali, Munawir. 2003. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Edisi ke5. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

You might also like