You are on page 1of 14

ASPEK LEGAL DAN BERBAGAI TUNTUTAN ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN Oleh : Sylviani1

ABSTRAK
Kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan dimaksudkan untuk mewujudkan optimalisasi manfaat dan fungsi kawasan hutan secara lestari dan berkesinam-bungan. Maraknya berbagai tuntutan perubahan fungsi harus dikaji secara cermat dan dilihat secara komprehensif dari sisi manfaat dan dampak yang mungkin akan timbul. Meskipun secara legal alih fungsi bisa dilaksanakan namun harus tetap mengedepankan kelestarian ekosistem Sosialisasi kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan harus dilakukan sebelum menjadi keputusan menteri kepada berbagai pihak terkait, terutama kepada masyarakat yang berada disekitar atau didalam kawasan yang merasakan dampak secara langsung dari perubahan fungsi tersebut. untuk mengurangi terjadinya konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan masyarakat maupun diantara masyarakat. Sosialisasi dlakukan secara bertahap sehingga dapat menghimpun aspirasi dan harapan pihak-pihak terkait. Keywords : kebijakan, alih fungsi, optimalisasi, sosialisasi, masyarakat dan kelestarian

I. PENDAHULUAN Perubahan kawasan hutan atau sering disebut sebagi alih fungsi, adalah suatu proses perubahan terhadap suatu kawasan hutan tertentu menjadi bukan kawasan hutan atau menjadi kawasan hutan dengan fungsi hutan lainnya. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/KPTSII/2001 tentang penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan dimaksudkan untuk memberikan arahan dalam pelaksanaan penetapan kawasan hutan, perubahan status kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Peneliti pada Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Bogor2

51

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

Seiring dengan perkembangan pembangunan, tuntutan terhadap perubahan fungsi makin marak dibutuhkan. Namun demikian perubahan fungsi tersebut harus tetap memperhatikan nilai-nilai strategis kawasan hutan dan berbagai fungsi kawasan hutan sebagi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Fungsi konservasi, hutan berpengaruh terhadap pengawetan keanekaragaman flora-fauna.dan ekosistemnya. Dengan fungsi lindung hutan berperan dalam perlindungan penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Sebagai fungsi produksi hutan merupakan penyedia hasil hutan yang dapat dimanfaatkan baik oleh masyarakat sekitar maupun kalangan tertentu, pemerintah dan pihak-pihak lain yang berhak. Kawasan hutan juga memiliki nilai politis terkait dengan penguasaan dan atau pemilikan kawasan. Penetapan suatu kawasan hutan dalam fungsinya yang spesifik, baik itu untuk fungsi konservasi, lindung maupun produksi, memiliki konsekuensi yang berbeda-beda. Khusus di kawasan hutan dengan fungsi produksi, keterlibatan manusia di dalamnya jauh lebih intensif dibandingkan dengan kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi. Perubahan fungsi kawasan hutan dari yang sebelumnya memiliki fungsi produksi menjadi kawasan hutan dengan fungsi lain akan berimplikasi pada sosial ekonomi masyarakat yang sebelumnya telah beraktivitas di dalamnya terutama dalam hal pemanfaatan. Di samping pertimbangan biofisik dan lingkungan perubahan fungsi tersebut harus melalui penilaian matang untuk menghindari timbulnya kerugian dan potensi konflik ke depannya. Hingga Januari 2007 telah terjadi perubahan fungsi hutan produksi menjadi kawasan hutan dengan fungsi lain seluas 884.860,36 hektar di seluruh Indonesia (Baplan).

II. SEKILAS PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI INDONESIA 1. Pengelolaan Hutan pada masa kolonial Belanda Pengelolaan sumber daya hutan diawali dengan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura yang mengalami degradasi sampai akhir abad ke 18,karena kegiatan eksploitasi yang besar-besar dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Untuk mengatasi kondisi itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Jawatan Kehutanan yang bertugas melakukan rehabilitasi kawasan hutan yang rusak dengan reforestasi dan membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati yang diatur melalui Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan

52

Aspek Legal dan .......... (Sylviani)

untuk Jawa dan Madura 1865), dan kemudian disusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat dibuktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah. Karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pengelolaan hutan,banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan kopi untuk meningkatkan kommoditi ekspor Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan reforestasi pada tahun 1873 Jawatan Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan melalui Staatsblad No. 215 dimana kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13 Daerah Hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000 sampai 80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan jati, dan lebih luas dari 80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan non jati. Pada masing-masing daerah hutan dibentuk unit pengelolaan hutan dengan penataan kawasan dan pemancangan pal-pal batas kawasan hutan. Pada tahun 1874 diundangkan reglemen (instrumen hukum kehutanan) tentang Pemangkuan dan Eksploitasi hutan di Jawa Dan Madura yang mengatur antara lain tentang (1) pemisahan pengelolaan hutan jati dengan hutan rimba non jati; (2) Hutan jati dikelola secara teratur dan ditata dengan pengukuran, pemetaan, dan pemancangan palpal batas, serta dibagi dalam wilayah distrik-distrik hutan; (3) Eksploitasi hutan jati diserahkan pengusahaannya kepada pihak swasta. Setelah lebih dari tiga kali pelita aturan-aturan hukum tentang kehutanan mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan penduduk dan ilmu pengetahuan sehingga pada akhir masa pemerintah Belanda produk hukum yang digunakan Staatsblad No 446 tahun 1937. 2. Pengelolaan Hutan pada masa Pemerintahan Jepang Tidak banyak perubahan terhadap aturan dalam pengelolaan hutan pada masa ini,hanya untuk pengelolaan kawasan hutan diluar Jawa dan Madura ditangani oleh pemerintah pusat. Pemerintahan Jepang melakukan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan membangun industri kapal kayu, juga kawasan hutan dibuka untuk ladang-ladang palawija, tanaman jarak, kebun kopi dan gua-gua untuk perlindungan dan menyimpan amunisi mesin perang Jepang. 3. Pengelolaan Kawasan Hutan Paska Kemerdekaan Setelah merdeka,pemerintah mulai menata perangkat hukum pengelolaan hutan berdasarkan UUD 1945 dengan meninjau kembali produk-produk hukum yang diterbitkan pada masa sebelumnya dengan penyesuaian-penyesuaian kondisi negara. Langkah awal yang dilakukan 53

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

adalah membentuk pedoman kerja jawatan kehutanan yang dibagi menurut wilayah kerja terutama untuk kawasan hutan luar Jawa berdasarkan Surat Keputusan Wakil Presiden RI No 1/WKP/SUM/47, sedangkan untuk wilayah Jawa masih menggunakan aturan lama dengan beberapa penyesuaian. Untuk memperkuat kelembagaan dibidang pengelolaan hutan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 1 tahun 1951 ditetapkan tugas pokok dan fungsi dan kewajiban Jawatan Kehutanan antara lain memelihara tanah untuk mempertahankan persediaan air, menghasilkan kayu dan non kayu, sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan bagi perlindungan alam dan pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat. Tahun 1957 dikeluarkan PP No 64 mengenai penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat di bidang perikanan laut, kehutanan dan karet rakyat kepada daerah tingkat1. Dalam rangka penyempurnaan kelembagaan pengelolaan kehutanan, pemerintah mensyahkan Departemen Kehutanan sebagai institusi negara yang bertugas untuk mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Peraturan Menhut No 1/1964 menjabarkan tugas Dephut adalah merencanakan, membimbing, mengawasi dan melaksanakan usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan terutama produksi. Karena kondisi negara yang sangat genting pada saat itu dengan penggantian kepemimpinan negara, maka dalam waktu yang sangat singkat hanya 14 bulan Departemen Kehutanan dibubarkan sehingga urusan kehutanan dikembalikan ke Deptan dengan struktur Dirjen Kehutanan. Pada tahun 1967 pengaturan pengelolaan hutan dituangkan dalam UU No 5 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Guna mendukung peningkatan PMDN dan PMA di bidang pengusahaan sumber daya hutan dikeluarkan PP No 21/1970 junto PP No 18/1975 tentang HPH dan HPHH. Mulai saat itu kegiatan eksploitasi sumber daya hutan dilakukan secara besar-besaran terutama di luar Jawa. Hingga menjelang akhir 1980 belum ada suatu Rencana Tata Guna Tanah (Rencana Tata Ruang) yang mengatur tentang alokasi kawasan untuk budidaya maupun perlindungan alam, dimana pembangunan disemua sektor hanya berbasis lahan bergerak dan tidak memperhatikan keterkaitan antar penggunaan lahan. Hal ini disebabkan karena data mengenai lokasi, kondisi dan sifat tanah, serta lingkungan sosial budaya sangat terbatas. Melalui SK Menteri Pertanian No 680/Kpts/Um/8/1981 diterbitkan Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan yang berisi permintaan kepada seluruh propinsi untuk mengalokasikan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya (HL,CA,SM,HW,HP dan HPK) dalam suatu Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) /TGHK dan harus dilakukan melalui kesepakatan seluruh instansi terkait (Santoso, 2008). 54

Aspek Legal dan .......... (Sylviani)

Untuk sinkronisasi antara penataan kawasan dan penataan ruang dalam suatu wilayah administrasi, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No 24/1992 tentang Penataan Ruang yang mengatur tentang pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya walaupun secara eksplisit tidak dijabarkan dalam pasal-pasal, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur masalah perlindungan dan keamanan lingkungan. Sebagai acuan pengeloaan hutan diterbitkan UU No. 41 tahun 1999 yang masih berlaku sampai dengan sekarang.

III. ASPEK LEGAL ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN Keberadaan kawasan hutan disesuaikan dengan perubahanperubahan yang terjadi termasuk perubahan status dan fungsi hutan. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan adalah hasil suatu kontruksi teoritis, yang didasarkan pada suatu konsepsi tertentu, yang diperkuat dengan suatu pendekatan yang bersifat legalistik. Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa perubahan status dan fungsi kawasan hutan adalah hasil dari konstruksi konseptual yang didasarkan pada adanya kebutuhan riil akan lahan akibat desakan pembangunan dalam lingkup kehutanan maupun diluar sektor kehutanan Sedangkan penguatan secara legalistik adalah bahwa konstruksi tersebut kemudian diadopsi dalam suatu peraturan (regulasi) yang menjadi sumber hukum dari perubahan fungsi dan status kawasan hutan sehingga diperoleh kepastian hukum dari berubahnya status dan fungsi suatu kawasan hutan. Adopsi dari konsepsi-teoritis di atas dalam suatu bentuk pengaturan oleh negara menjadi landasan legal sekaligus menjadi sumber hukum bagi perubahan fungsi dan status kawasan hutan. Sumber hukum diartikan sebagai tempat dimana hukum digali dan ditemukan (Mertokusumo, 2005).Segala peraturan (tertulis) yang mengandung pengaturan mengenai perubahan fungsi dan kawasan hutan merupakan sumber hukum yang dapat dijadikan pegangan dalam pegaturan perubahan fungsi dan kawasan hutan. Landasan legal sebagai sumber hukumnya terdapat dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan beberapa aturan teknis turunannya baik dalam bentuk Keputusan maupun Peraturan Menteri Kehutanan. Regulasi tersebut mengatur mengenai konsepsi dasar perubahan fungsi kawasan hutan maupun aturan teknis terkait prosedur dan mekanismenya. Landasan legal perubahan fungsi dan status Kawasan Hutan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat ditemukan dalam pasal 19 dan pasal 38. Pasal 19 secara umum memiliki kandungan 55

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

isi (materi) mengenai dimungkinkannya suatu perubahan status dan fungsi kawasan hutan karena adanya kebutuhan pembangunan. Pasal 38 mengatur suatu akomodasi terhadap pembangunan di luar sektor kehutanan yang dapat dilakukan di suatu kawasan hutan dengan fungsi tertentu (hutan produksi) tanpa mengubah fungsi pokoknya. Selain itu pasal 38 juga mengatur secara khusus kegiatan pertambangan dan mekanisme implementasinya (melalui pinjam pakai kawasan hutan). Di luar UU No. 41 tahun 1999 dasar hukum perubahan fungsi kawasan hutan juga dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang mengandung pengaturan mengenai perubahan fungsi kawasan hutan. Dalam Pasal 47 PP No. 44 tahun 2004 mengenai Perencanaan Kawasan Hutan mengatur mengenai perubahan fungsi (peruntukan) kawasan hutan sebagai akibat adanya RTRWP terhadap kawasan hutan yang telah diubah peruntukannya menjadi Kawasan Budi Daya Non Kehutanan (KNBK) atau Areal Penggunaan Lain (APL). Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai perubahan fungsi dan status kawasan hutan ditemukan dalam bentuk Keputusan Menteri Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan. Regulasi tersebut mengatur secara lebih teknis perubahan fungsi kawasan hutan dalam beberapa betuk mekanisme atau prosedurnya yaitu pinjam pakai kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. Adapun regulasi terkait perubahan status dan fungsi kawasan hutan meliputi : 1. Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No : 364/Kpts-II/1990: 519/Kpta/HK.050/7/1990:23-VIII-1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Kawasan Pertanian 2. Keputusan Menteri Kehutanan No. 250/Kpts-II/1996 tentang Perubahan No. 418/Kpts-II/1993 tentang Penetapan Tambahan Persyaratan Pelepasan Kawasan hutan Untuk Pengembangan Usaha Pertanian 3. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 48/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/KptsII/2001 tentang Penetapan Kawasan Lindung, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan 4. Keputusan Menteri kehutanan No. P. 31/Menhut-II/2005 Tentang Pelepasan Kawasan Hutan/Ex Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan 5. Peraturan Menteri Kehutanan No : P.64/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No : P.14/MenhutII/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 56

Aspek Legal dan .......... (Sylviani)

6. Keputusan Menteri Kehutanan No. 26/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Kedua Keputusan Menteri Kehutanan No. 292/KptsII/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan Permasalahan legal terkait perubahan fungsi dan status kawasan hutan adalah penegakan aturan, dimana dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif dan visioner (berjangkauan ke depan) yang mampu mengikat semua aktor pembangunan dari semua sektor (pertanian, pertambangan, industri dll) yang terlibat dalam aktivitas perubahan fungsi kawasan hutan. Beberapa peraturan dan keputusan menteri kehutanan terkait perubahan fungsi kawasan hutan disusun tidak dilandasi oleh suatu visi ke depan yang mengatisipasi kecenderungan perubahan dan tuntutan dinamika yang mungkin terjadi di masa depan. Selain itu dasar hukum teknis terakit perubahan fungsi kawasan hutan hanya bersandar pada keputusan menteri dan peraturan menteri kehutanan sehingga secara vertikal materi pengaturan terkait mekanisme dan prosedur perubahan fungsi kawasan hutan belum memiliki landasan yang kuat. Untuk mengatasi pemasalahan di atas, tampaknya perlu dilakukan upaya untuk mewujudkan suatu Peraturan Pemerintah yang memiliki derajat keabsahan yang lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri yang mengatur secara khusus perubahan fungsi kawasan hutan. Dimana dalam UU No 41/1999 pasal 19 ayat 3 dikatakan bahwa peraturan pemerintah terkait dengan perubahan fungsi kawasan hutan mengatur mengenai kriteria dan fungsi hutan, cakupan luas dan pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan tata cara perubahan. Saat ini terdapat satu Peraturan Pemerintah yang mengandung pengaturan mengenai perubahan fungsi kawasan hutan yaitu Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentan Perencanaan Kehutanan, namun PP No. 44 tahun 2004 ditujukan untuk perencanaan kehutanan dan tidak secara spesifik mengatur mengenai rule of game mengenai perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana peratura pemerintah yang dimandatkan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

IV. BERBAGAI TUNTUTAN PERUBAHAN FUNGSI Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan bagi negara dan masyarakat khususnya. Jika tidak ada keseimbangan dalam nilai-nilai tersebut maka keberlanjutan hutan akan terancam. Indonesia yang memiliki kawasan hutan tropis basah selama empat dekade ini telah mengalami degradasi yang sangat pesat. Hal ini 57

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

ditandai dengan pesatnya laju pembangunan yang membutuhkan dukungan penyediaan lahan. Pemanfaatan sumber daya hutan terus meningkat seiring dengan perkembangan penduduk yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang sumber penghidupannya sangat tergantung pada lahan sekitarnya. Dari sektor pembangunan ekonomi eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah melalui pemberian kebijakan konsesi memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebagai sumber pendapatan dan devisa negara. Namun di sisi lain pemberian konsesi yang tak terkendali dan tak terawasi menimbulkan masalah nasional dan kerugian ekologi yang cukup besar, kerusakan sosial budaya, penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya konflik-konflik daerah. Faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia antara lain: a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata; (b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan; (c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam; (d) program transmigrasi; (e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah; (f) degradasi hutan bakau yang disebabkan oleh konversi menjadi tambak; (g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan; dan (h) introduksi spesies eksotik (Basyar, 2007). Tingkat kerusakan hutan yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumber daya air dan erosi tanah. Beberapa perubahan fungsi kawasan hutan yang telah dilakukan menjadi salah satu penyebab kerusakan hutan antara lain : 1. Perubahan kawasan hutan produksi menjadi perkebunan 2. Perubahan kawasan hutan produksi menjadi kawasan konservasi (TN) 3. Perubahan kawasan hutan menjadi pemukiman /transmigrasi 4. Perubahan kawasan hutan karena pemekaran kota 1. Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi perkebunan Pengembangan sektor perkebunan melalui konversi hutan merupakan faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan karena pada saat itu mekanisme cara mendapatkannya relatif mudah Realisasi penyediaan lahan untuk perkebunan besar pada tahap persetujuan prinsip pelepasan sampai dengan tahun 1988/1989 (Pelita IV) luasnya mencapai 1.652.301,20 ha, tahun 1993/1994 (Pelita V) mencapai 3.805.113,20 ha dan terus mengalami peningkatan yang sangat cepat pada Pelita VI sehingga mencapai 8.204.524,94 ha. 58

Aspek Legal dan .......... (Sylviani)

Penyimpangan dalam penerapan kebijakan yang terjadi mengakibatkan tekanan pada hutan semakin tinggi, dimana SK Menhut No 76/Kpts-II/1997 tidak dapat dilaksanakan secara efektif terbukti dari masih banyaknya lahan yang terlantar. Disamping itu kebijakan yang mengatur tentang luas maksimum pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan (20 000 ha/unit usaha atau 100 000 ha/propinsi) melalui SK Menhut No 728/Kpts-II/1998 belum cukup mendapatkan manfaat yang adil dan merata bagi para pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan karena hubungan dekat dan birokrasi pemerintahan merupakan modal untuk mendapatkan lahan yang lebih luas. Di sisi lain, kondisi internal yang ada pada wilayah yang areal hutannya dikonversi untuk pengembangan perkebunan besar terdapat masyarakat yang telah mengelola potensi sumber daya alam dengan kekuatan kearifan tradisional secara turun temurun. Usaha perkebunan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berperan dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa dan pelestarian lingkungan hidup serta sebagai instrumen pemerataan dan pengembangan ekonomi rakyat. Pengembangan perkebunan diarahkan untuk mewujudkan usaha perkebunan yang efisien, merata dan berkeadilan guna sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan memberikan peluang lebih besar kepada koperasi, usaha kecil dan menengah serta menciptakan iklim usaha perkebunan yang kondusif (SK Menhutbun No. 107/Kpts-II/1999). Tiga hal tersebut; yakni kepentingan ekonomi nasional, kepentingan kesejahteraan rakyat dan kepentingan pelestarian lingkungan, merupakan nilai-nilai mendasar yang melandasi perumusan kebijakan dan penerapannya. Namun nilai-nilai kebijakan tersebut masih belum mampu membuat kebijakan dilaksanakan dengan baik karena ternyata kepentingan para pengusaha lebih dominan dan menguasai pengembangan usaha perkebunan besar kelapa sawit. 2. Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan konservasi Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi atau hutan lindung dilakukan untuk menghentikan kegiatan eksploitasi pemanfaatan hasil hutan kayu dalam upaya menjaga kelestarian keaneka ragaman hayati, perlindungan plasma nutfah dan mempertahankan aset lainnya yang ada di kawasan hutan produksi. Landasan dasarnya adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/ KPTS-II/2001 tentang penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Perubahan fungsi suatu kawasan hutan baik hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi mempunyai 59

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

konsekuensi yang berbeda-beda. Dimana suatu kawasan hutan produksi banyak melibatkan manusia dalam pengelolaannya, sedangkan hutan lindung dan hutan konservasi lebih bersifat perlindungan. Penetapan menjadi kawasan konservasi (Taman Nasional) pada dasarnya adalah untuk : a. Melindungi, memelihara, memperbaiki dan melestarikan kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman flora fauna, sumber tanaman obat-obatan dan ekosistem yang tinggi dan terancam punah. b. Menjaga kelestarian sumberdaya air untuk kelangsungan sektor pertanian dan sumber air bagi kehidupan masyarakat sekitar. c. Mengurangi dan mencegah kerusakan hutan akibat kegiatan eksplotasi terhadap penebangan kayu dan eksplorasi penambangan serta penebangan liar yang akan mengancam terhadap kerusakan hutan. Salah satu syarat kawasan hutan ditetapkan menjadi taman nasional adalah bahwa kawasan hutan tersebut memiliki ekosistem yang masih utuh atau masih memiliki keadaan alam yang asli dan alami. Hal ini dipertegas UU No. 5 tahun 1990 Pasal 1 huruf 14 disebutkan bahwa Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli. Artinya hutan taman nasional belum pernah dimanfaatkan oleh siapapun. Hal ini sangat kontras bertentangan dengan alasan penunjukkan Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Kawasan hutan Bukit Duabelas sudah ribuan tahun ditempati oleh Komunitas Adat Orang Rimba yang pada umumnya masih eksis. Hampir semua Kawasan Hutan Bukit Duabelas sudah pernah dimanfaatkan oleh Komunitas Adat Orang Rimba untuk memenuhi kehidupan mereka mulai dari berladang, berkebun, berburu dan meramu. Kawasan Hutan Bukit Duabelas ekosistem hutannya tidak lagi asli dan alami. Hal ini dibuktikan dengan bertebarannya bekas ladang-ladang dan perkebunan karet tradisional milik Komunitas Adat Orang Rimba yang terdapat hampir di seluruh kawasan hutan Bukit Duabelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa, penunjukkan Kawasan Hutan Bukit Duabelas menjadi taman nasional cacat hukum. Pembuatan peraturan perundang-undangan salah satu asasnya adalah asas patisipasi masyarakat. Salah satu aturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah partisipasi masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 yang menyatakan : Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Ketentuan tentang partisipasi masyarakat juga diatur dalam Konvensi Bangsa Pribumi dan Masyarakat

60

Aspek Legal dan .......... (Sylviani)

Adat (Indigenous and Tribal Peoples Convention) Pasal 6 yang menyatakan : Mengharuskan agar negara melakukan konsultasi dengan bangsa pribumi dan masyarakat adat melalui prosedur yang layak, terutama melalui kelembagaan mereka miliki, manakala langkah-langkah legislatif atau administratif yang dapat memberi dampak kepada mereka sedang dalam pertimbangan untuk ditetapkan dan menetapkan bahwa negara harus menetapkan kelengkapan yang diperlukan kepada mereka untuk dapat mengembangkan institusinya sendiri. Akan tetapi, Komunitas Adat Orang Rimba baru mengetahui adanya Rencana Pengelolaan TNBD pada bulan Agustus 2005. Artinya, dalam penyusunan dan pembuatan rencana tersebut tidak melibatkan Komunitas Adat Orang Rimba sebagai pihak yang secara langsung diatur dalam pengelolaan, sehingga mengakibatkan terjadi penolakkan dari Komunitas Adat Orang Rimba terhadap rencana pengelolaan karena adanya pertentangan antara aturan-aturan rencana pengelolaan dengan aturan adat Orang Rimba. Rencana pengelolaan TN masih menjadikan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan hukum yang sudah tidak berlaku lagi dengan keluarnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3. Perubahan kawasan hutan menjadi pemukiman/transmigrasi Program pemerintah tentang pengembangan transmigrasi dilakukan karena sebagian besar penduduk Indonesia berdomisili di Pulau Jawa. Seiring berjalannya waktu pertambahan penduduk semakin meningkat, hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan akan lahan baik untuk pemukiman maupun untuk lahan usaha terutama sektor pertanian. Hal ini mendesak pemerintah untuk melakukan pemerataan penduduk melalui program transmigrasi baik lokal maupun antar pulau. Kehutanan selaku departemen teknis yang mengelola lahan negara melakukan koordinasi dengan deptrans untuk melakukan pelepasan sebagian lahan yang memungkinkan untuk dilakukan perubahan fungsi kawasan hutan guna menunjang kepentingan program transmigrasi. Pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan transmigrasi telah disepakati pada kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). dimana pemanfaatannya bukan berstatus kepemilikan tapi pemanfaatan kawasan selama 100 tahun. Menurut Departemen Kehutanan kesepakatan ini merupakan salah satu langkah dalam mengembangkan program HTR. Pelepasan kawasan hutan yang sudah dilakukan oleh Dephut untuk transmigrasi mencapai 1.561.975 hektar. Hingga saat ini luas lahan yang penyelesaiannya memasuki tahap izin prinsip mencapai 605.203 hektar, sedangkan yang memasuki tahap SK Pelepasan mencapai 956.672 hektar. Permasalahan yang terjadi dan berkembang hingga saat ini adalah para

61

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

transmigran ingin memiliki lahan tersebut dan mendapatkan sertifikat hak milik. Hal inilah yang mendorong departemen kehutanan untuk lebih meningkatkan dalam hal sosialisasi kepada para peserta transmigran. Disisi lain dengan program transmigrasi ini dapat memberikan kontribusi dalam hal penanggulangan pengangguran dan kemiskinan dengan pemanfaatan lahan dan sekaligus ada sentuhan tekhnologi. Jadi pemanfaatan lahan difokuskan kepada peningkatan produktivitas dan kualitas transmigrasi (Kapan lagi 2007). Sehingga diharapkan dengan kerjasama ini, dua departemen teknis mempunyai nilai tambah yakni menghijaukan kembali hutan-hutan yang gundul, mengembalikan keseimbangan ekosistem, sekaligus sebagai pengamanan oleh masyarakat di kawasan hutan. 4. Perubahan kawasan hutan karena Pemekaran Kota Keberadaan hutan lindung di wilayah Indonesia dari hari ke hari semakin terancam keberadaannya. Luas hutan lindung di Indonesia semakin berkurang dengan adanya alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia kerap kali diakibatkan kebijakan pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik pemekaran Propinsi ataupun Kabupaten/Kota. Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi kerap kali terancam akibat pemekaran wilayah (BS). Disamping itu pengalihan fungsi hutan masih dapat direalisasikan apabila di dalam kawasan tersebut ada pemukiman penduduk yang sudah cukup lama sehingga dapat dilakukan enclave terhadap kawasan tersebut. Selanjutnya zona kawasan tersebut secara administratif dapat dijadikan daerah/desa difinitif. Hal ini terjadi di wilayah Kabupaten Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan dimana terdapat satu desa yang berada di dalam kawasan hutan lindung yang sudah cukup berkembang dengan sarana dan prasarananya. Sehingga desa ini disarankan untuk dilakukan enclave. Perubahan fungsi hutan dapat dilakukan dengan cermat dan melihat berbagai aspek yang telah diatur dalam peraturan perundangan. Dalam menerapkan undang-undang yang terkait dengan alih fungsi kawasan hutan hendaknya pihak pemerintah dalam hal ini departemen kehutanan melaporkan dan menjelaskan tentang keadaan dan status fisik lahan tidak status administratif. Apabila suatu kawasan ditetapkan sebagai hutan lindung maka harus ada hutan yang dilindungi, sehingga tidak terjadi hutan yang sudah gundul dan sudah menjadi pemukiman masih ditetapkan sebagai hutan lindung. Dengan beralihnya fungsi kawasan menjadi peruntukan lain, tentu saja akan berpengaruh terhadap pengelolaannya. Hal tersebut secara tidak langsung akan memberikan implikasi terhadap akses masyarakat

62

Aspek Legal dan .......... (Sylviani)

yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam pemanfaatan hutan. Masyarakat dimaksud dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : masyarakat adat, masyarakat lokal dan masyarakat pendatang dengan ciri-ciri dan metode pengelolaan lahan yang berbeda (Santoso, 2008). 1. Masyarakat Adat a. Sudah lama bermukim di dalam kawasan hutan dan masyarakatnya mempunyai hubungan emosional dengan tanah yang mereka tempati. b. Norma dan aturan hukum adat yang berlaku sudah lama dan turun menurun dan digunakan untuk kepentingan hubungan sosial. c. Pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya hutan menggunakan pengetahuan tradisional dan dijamin dalam UU 41/1999. 2. Masyarakat Lokal a. Sudah lama berada di dalam kawasan hutan dan punya hubungan emosional dengan tanah yang mereka tempati. b. Aturan hukum dalam pengelolaannya menggunakan hukum negara. c. Akses untuk memanfaatkan kawasan hutan dan sumber daya hutan berpedoman pada peraturan pemerintah. 3. Masyarakat Pendatang a. Masyarakat yang bermukim bukan merupakan penduduk lama dan tidak punya hubungan emosional dengan tanah yang ditempati. b. Aturan hukum dalam pengelolaannya menggunakan hukum negara. c. Tidak punya hak dan akses untuk memanfaatkan kawasan. Alih fungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi memungkinkan pemanfaataan menjadi lebih luas. Sebaliknya, alih fungsi menjadi hutan lindung, KPA, HPT pemanfaatan akan menjadi terbatas pada zona-zona yang diperbolehkan.

V. KESIMPULAN 1. Kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan dimaksudkan untuk mewujudkan optimalisasi manfaat dan fungsi kawasan hutan secara lestari dan berkesinambungan. 63

Prosiding Fungsi Kawasan Hutan

2. Maraknya berbagai tuntutan perubahan fungsi harus dikaji secara cermat dan dilihat secara komprehensif dari sisi manfaat dan dampak yang mungkin akan timbul. Meskipun secara legal alih fungsi bisa dilaksanakan namun harus tetap mengedepankan kelestarian ekosistem. 3. Sosialisasi kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan harus dilakukan sebelum menjadi keputusan menteri kepada berbagai pihak terkait, terutama kepada masyarakat yang berada disekitar atau didalam kawasan yang merasakan dampak secara langsung dari perubahan fungsi tersebut. untuk mengurangi terjadinya konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan masyarakat maupun diantara masyarakat. Sosialisasi dilakukan secara bertahap sehingga dapat menghimpun aspirasi dan harapan pihak-pihak terkait.

DAFTAR PUSTAKA Basyar H.A. Evaluasi Penerapan Kebijakan Konversi Hutan untuk Perkebunan Besar Kelapa Sawit. Www.bappenas.go.id sumber load 10/5/2007 jam 11.14 am. Baplan. 2007. Perkembangan Perubahan Kawasan Hutan Produksi di Indonesia. Anonim. Alih Fungsi Lahan Harus Dikaji Dengan Cermat. Parlementaria Majalah DPRRI. (www.dpr.go.id./majalah parlementaria Index. Sumber download 18/7/2008 11.57 am. Anonim. 2007. Depnakertrans Sepakati Aturan Pelepasan Hutan Transmigrasi. Di down load dari kapan lagi.co.id tanggal 2 Agustus 2008. Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum Liberty, Yogyakarta. I. Nyoman Nurjaya. Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan Di Indonesia. Fakultas Hukum dan Program Studi Ilmu Hukum Paskasarjana Universitas Brawijaya Malang. Santoso, I. 2008. Rencana Pengukuhan Dan Penatagunaan Hutan (RPPH) Dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Sebagai Arahan Pembangunan Kehutanan Dan Rujukan Bagi Pembangunan Berbasis lahan. Belum diterbitkan. Sylviani 2007. Dampak perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi fungsi hutan lainnya terhadap sosial ekonomi masyarakat. 64

You might also like