You are on page 1of 10

Obat Malaria

Sejarah, obat tertua untuk mengobati demam malaria adalah kulit pohon kina dan alkaloida yang dikandungnya (kinin, 1820). Baru pada tahun 1932 ditemukan obat yang sama khasiatnya, yaitu mepakrin, yang terutama banyak digunakan selama perang dunia ke- II sewaktu tentara sekutu tidak menerima kinin lagi dari Indonesia. Pada tahun 1944, klorokuin yang lebih ringan efek sampingnya, menggantikan mepakrin yang agak toksis, juga lebih cepat efek kuratifnya. Pada tahun 1946 diintroduksi proguanil sebagai obat yang tidak hanya aktif terhadap bentuk darah (trofozoit) sebagaimana ketiga obat yang terdahulu, melainkan juga terhadap bentuk hati, khususnya bentuk EE primer dari plasmodium falciparum. Primakuin (1948) terutama berkhasiat kuat terhadap bentuk EE dari plasmodium vivax/ovale. Dengan demikian proguanil dan primakuin sangat ampuh sebagai obat pencegah malaria. Kemudian dipasarkan pula derivat klorokuin amodiakuin (1950), pirimetamin (1952), meflokuin (1981) dan halofantrin (1985). Pada tahun 1990 WHO telah mengeluarkan amodiakuin dari program terapi malaria, karena dilaporkan timbulnya efek samping pada penggunaan profilaksis. Artemeter (1991) adalah suatu derivat semisintesis dari artemisinin, yang terdapat dalam tumbuhan china qinghasou (pelafalan : cinghausu, nama lat. Artemisia annua). Obat tradisional ini sudah sejak tahun 1970-an banyak digunakan dengan sukses di china selatan (Hainan) dan Thailand terhadap plasmodium falciparum (malaria otak) yang multi resisten. Efeknya lebih cepat daripada kinin dan obat-obat lain dengan efek samping ringan. Pyronaridin adalah obat eksperimentil terbaru yang sangat efektif terhadap plasmodium falciparum multi resisten. Derivat-akridin ini berasal dari china dan telah dibuktikan efektivitasnya pada malaria, begitu pula di kamerun. Harganya juga lebih murah daripada halofantrin hingga layak digunakan di Negara-negara miskin, walaupun menimbulakan lebih sering gangguan lambung.

Mekanisme kerjanya 1. Klorokuin Mencegah dimakannya hemoglobin (zat warna darah merah) oleh parasit, sehingga timbul kekurangan asam amino esensial untuk sintesa DNA-nya.

2. Pirimetamin Adalah antagonis folat yang merintangi enzim yang mengubah asam folat menjadi asam folinat, sehingga sintesis DNA/RNA terganggu.

Obat Anti Malaria di Indonesia


Saat ini obat antimalaria yang tersedia di indonesia terdiri dari obat-obatan lama seperti, klorokuin, pirimetamin-sulfadoksin, kina dan primakuin, juga sudah ada beberapa obat baru yang penggunaannya masih terbatas didaerah tertentu dan belum direkomendasi secara luas oleh depkes. Contoh obat baru tersebut adalah kombinasi Artesunate dengan Amodiakuin, kombinasi Artesunate dengan Meflokuin, kombinasi Artemisinin dengan Naflokuin, dan artemeter injeksi. Antibiotika yang bersifat antimalaria seperti derivat tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, eritromisin, kloramfenikol, sulfametoksazol-trimetropin dan quinolin. Obat ini umumnya bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektif. Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi yaitu antara lain dengan kina.

1. Klorokuin

Klorokuin adalah 4 aminokinolin bersifat skizontosida darah. Secara farmakologis bekerja dengan mengikat feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang merupakan hasil metabolisme hemoglobin di dalam parasit. Ikatan feriprotoporfirin IX-klorokuin ini bersifat meliliskan membran parasit sehingga parasit mati. Klorokuin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup klorokuin sulfat dan difosfat untuk pemberian per oral, dan larutan 8% atau 10% klorokuin difosfat untuk pemberian parentral (intramuskular). Satu tablet klorokuin mengandung 250 mg difosfat atau 204 mg klorokuin sulfat yang setara 150 mg basa. Pada pemakaian per oral, konsentrasi puncak di dalam plasma dicapai dalam 2-3 jam dengan waktu paruh sebenarnya adalah 6-10 hari.

Klorokuin adalah obat antimalaria yang paling luas pemakaiannya karena mudah diperoleh, efek samping yang minimal, disamping itu harganya murah. Dosis total klorokuin adalah 25 mg basa/kg berat badan diberi dalam 3 hari yaitu hari pertama dan

kedua masing-masing 10 mg basa/kg berat badan dan pada hari ketiga 5 mg basa/kg berat dan saat ini klorokuin merupakan obat pilihan utama (first line drug) untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi.

Resorpsi di usus cepat dan lengkap, distribusinya baik dengan afinitas kuat untuk jaringan, misalnya hati, limpa, paru-paru, ginjal dan lekosit, pada mana kadarnya bias tinggi sekali sampai ratusan kalin lebih tinggi daripada di dalam plasma. PP-nya lebih kurang 55%, biotranformasi berlangsung lambat. Ekskresinya melalui ginjal juga lambat sekali dan untuk sebagian dalam bentuk utuh. Ekskresi dapat dipercepat dengan mengasamkan kemih dengan ammonium klorida atau vitamin C. plasma T1/2-nya sangat panjang, dari 3 sampai 6 hari, sehingga kerjanya long-acting.

Efek samping yang ditemukan pada dosis biasa bersifat agak serius, tetapi tak sering terjadi dan reversibel, yaitu pusing, vertigo, diplopia, mual, muntah dan sakit perut gatal-gatal, gangguan visus, perubahan mental dan kelainan darah (agranulositosis, anemia aplastis). Gangguan neurologis (kelemahan otot, pusing, sakit kepala, pandangan kabur dan kejang-kejang). Pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg sehari) atau penggunaan lama (di atas 1 tahun), efek sampingnya lebih hebat, yakni rambut rontok, gangguan pendengaran (tuli) dan kerusakan mata (retinopathie irreversibel). Anak-anak sangat peka terhadap klorokuin, dosis tunggal yang melebihi 30 mg/kg berat badan dapat mengakibatkan intoksikasi fatal. Dosis biasa, pada serangan akut (kurativum; oaral permulaan 600 mg d.c. basa, 6 jam kemudian 300 mg, kemudian 1 dd 300 mg selama 2 hari. Orang luar yang tidak semi-imun harus meneruskan kurang lebih 2 hari lagi. Bagi anak-anak permulaan 10-5 mg/kg badan sehari. Penggunaan intravena hanya dilakukan pada keadaan parah, misalnya malaria otak, karena adanya bahaya hipotensi mendadak dengan kematian, terutama pada anak-anak. Sebagai profilaktikum (di atas 15 tahun): pada 2 hari pertama 1 dd 300 mg (loading dose).

Namun pemberantasan malaria falciparum menghadapi kendala yang serius sejak ditemukan pertama kalinya kasus resisitensi plasmodium falciparum terhadap klorokuin di kalimantan timur pada tahun 1974, kemudian resistensi ini terus meluas dan pada tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan diseluruh provinsi di indonesia. Berdasarkan pedoman WHO, bila ditemukan resistensi plasmodium terhadap klorokuin di suatu daerah > 25%, maka dianjurkan untuk tidak lagi menggunakan klorokuin sebagai antimalaria, kecuali dikombinasi dengan antimalaria lain.

2. Pirimetamin- sulfadoksin

Pirimetamin

Derivat pirimidin ini memiliki rumus yang berkaitan dengan gugusan biguanida dari proguanil. Sebagai antagonis-folat kegiatannya lebih kurang sama, tetapi jauh lebih kuat. Berkat daya gametosidnya (secara tidak langsung) pirimetamin digunakan juga pada pemberantasan malaria tersiana dan malaria kwartana di daerah endemis untuk menghentikan penularan ke nyamuk. Obat ini tidak aktif terhadap gametosit falciparum, maka harus digunakan primakuin.

Penggunaanya terutama sebagai pencegah kausal malaria tropika untuk jangka waktu singkat. Sebagai supresivum pada semua jenis malaria juga efektif, tetapi sebagai kurativum pada serangan akut tidak cocok karena kerjanya terlalu lambat. Kombinasinya dengan suatu schizontisida darah sering kali digunakan, misalnya dengan klorokuin. Kombinasinya dengan proguanil meningkatkan toksisitas, maka harus dihindari.

Resorpsinya dari usus lengkap tetapi lambat, begitu pula ekskresinya melalui ginjal dan tinja sebagai metabolit. Zat ini ditimbun dalam berbagai organ, antara lain hati. Plasma T1/2-nya panjang sekali, lebih kurang 4 hari, PP-nya 87%.

Efek sampingnya pada penggunaan satu kali seminggu hanya ringan. Pada dosis yang lebih besar dapat terjadi gangguan saluran cerna, sedangkan pada penggunaan lama terjadi depresi sumsum tulang belakang dan anemi tertentu akibat defisiensi asam folat. Zat ini tidak dapat digunakan sebagai obat tunggal untuk pengobatan maupun profilaksis, karena banyaknya resistensi untuk plasmodium falciparum. Karena bersifat teratogen, obat ini tidak dapat diminum oleh wanita hamil.

Dosis sebagai pencegah kausal terutama pada malaria tropika dan sebagai suppresivum (untuk orang tidak semi-imun) oral 1 kali seminggu 25 mg atau 1 tablet fansidar terhadap plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin, sebaiknya

maksimal 4 minggu. Penduduk setempat yang sudah semi-imun lebih baik jangan diberikan obat ini mengingat bahaya resistensi.

Sulfadoksin

Sulfadoksin adalah suatu sulfonamida kerja panjang yang berdaya schizontisid darah, seperti klorokuin. Penggunaannya terutama untuk mengobati (dan mencegah) infeksi akibat plasmodium falciparum.

Pirimetamin- sulfadoksin (PS) adalah obat antimalaria kombinasi antara golongan sulfonamide/silfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan, skizontosida darah dan sporontosidal. Obat ini sangat praktis karena dapat diberi dalam dosis tunggal. Namun obat ini mempunyai kelemahan karena mudah mengalami resisten. Oleh karena itu, kombinasi obat ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falciparum di daerah yang resisten terhadap antimalaria klorokuin. Secara farmakologis pirimetamin bekerja sebagai inhibitor enzim tetrahidrofolat, akibatnya parasit tidak mampu melanjutkan siklus hidupnya dan akhirnya difagosit. Sedangkan sulfadoksin bekerja berkompetisi dengan PABA (para amino benzoic acid) dalam memperebutkan enzim dihidrofolat sintetase sehingga pembentukan asam dihidropteroat terganggu dan asam folat yang diperlukan parasit tidak terbentuk.

Di Indonesia obat ini tersedia hanya dalam bentuk tablet untuk pemberian per oral dan satu tablet mengandung 500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin. Konsentrasi puncak didalam darah dicapai dalam 2-4 jam dengan waktu paruh sulfonamide adalah 180 jam dan pirimetamin adalah 90 jam. Dosis yang digunakan untuk sulfadoksin adalah 25 mg/kg BB dan pirimetamin 1,25 mg/kg BB. Saat ini kombinasi pirimetaminsulfadoksin merupakan pilihan pertama (first line drug) untuk kasus malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau daerah yang telah dinyatakan resisten klorokuin. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah kulit kemerahan dengan gatal dan sindroma Steven Johnson.

Terapi kombinasi

Klorokuin dan Pirimetamin-sulfadoksin

Klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin merupakan obat antimalaria yang sering digunakan sebagai pilihan pertama pengobatan plasmodium falciparum. Di afrika resistensi plasmodium falciparum terhadap klorokuin telah meningkat dengan cepat dan intensif sejak tahun 1979. Bersamaan dengan itu, resistensi plasmodium falciparum terhadap pirimetamin-sulfadoksin sejak tahun 1980. Di indonesia pertama kali kasus plasmodium falciparum resisten terhadap klorokuin pada tahun 1974 di Kalimantan timur. Di kecamatan Siabu kabupaten Mandailing Natal provinsi Sumatra Utara pada tahun 1994 telah dinyatakan oleh departemen kesehatan RI sebagai daerah yang resisten terhadap klorokuin dengan penyebaran yang tidak merata. Pada tahun 2001 pada daerah tersebut dimana penelitian dilakukan secara invivo terhadap 61 pasien yang menderita malaria falciparum menemukan ada 29 orang (47,5%) yang resistensi klorokuin dan dari 58 pasien yang di teliti terhadap pirimetamin-sulfadoksin menemukan ada 29 orang (50%) yang resisten.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti pada penelitian Hutapea, melaporkan pertama kali resistensi plasmodium falciparum terhadap pirimetaminsulfadoksin pada 9 kasus di irian jaya, yang mana sebelumnya daerah itu telah dinyatakan resisten terhadap klorokuin pada tahun 1981.

Studi di gambia dan papua new guinea yang menbandingkan efikasi dan keamanan kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin sendiri menunjukkan bahwa efikasi kombinasi tergantung pada tingkatan resistensi. Kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin merupakan standart pilihan pertama pengobatan di Malaysia sejak tahun 1977, dan papua new guinea sejak tahun 2000, dimana keduanya merupakan daerah infeksi plasmodium falciparum dan plasmodium vivax.

Pada tahun 2001 di kabupaten Mandailing Natal yang membandingkan efikasi kombinasi klorokuin den pirimetamin-sulfadoksin dibandingakan pirimetaminsulfadoksin sendiri menunjukkan bahwa kombinasi klorokuin dan pirimetamin-

sulfadoksin lebih efektif dalam menghilangkan parasit dalam darah dan lebih cepat menghilangkan demam dibandingkan pirimetamin-sulfadoksin sendiri pada penderita malaria falciparun tanpa komplikasi.

Oleh: Syarif Hidayatullah

(08.064)

Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang Jl.Barito No 5 Malang November 2009


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis bisa menyelesaikan tugas makalah Farmasi Klinik yang berjudul Interaksi Obat Antimalaria dengan baik dan tepat waktu. Disusunnya makalah ini bertujuan sebagai tugas akhir semester tiga mata kuliah Farmasi Klinik. Penulis berharap supaya penulisan makalah ini bisa menambah pengetahuan mahasiswa dalam ilmu Farmasi Klinik serta bisa memberi motivasi kepada mahasiswa untuk menjadi mahasiswa yang lebih kreatif, inovatif dan bersemangat tinggi dalam menuntut ilmu. Di dalam penyusunan makalah Farmasi Klinik ini penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Tuhan YME atas rahmat dan petunjuk-Nya 2. Orang tua yang selalu memberi bimbingan dan motivasi 3. Bapak Rudy Mardianto S.Si.,Apt. selaku dosen farmasi klinik yang telah dan membimbing penulis 4. Teman-teman,serta pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah Farmasi Klinik ini. mendidik

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis ,penulis selalu mengharapkan dukungan,dorongan serta saran yang membangun agar tujuan penulisan makalah ini dapat

terlaksana dengan baik.Penulis juga meminta maaf apabila ada yang salah dalam penyusunan makalah ini baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Malang, November 2009 Penulis

Daftar Pustaka
Zein,Umar.Penanganan Terkini Malaria Falciparum Obat-obat Penting

You might also like