You are on page 1of 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tenaga kerja

Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.1 Sedangkan menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

2.2 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PHK merupakan akronim dari Pemutusan Hubungan Kerja. PHK sering kali menghantui para pekerja baik perusahaan di Indonesia maupun di seluruh dunia. Krisis ekonomi global yang pernah menghantam dunia memaksa para pengusaha untuk melakukan berbagai upaya penghematan yaitu salah satunya dengan PHK. PHK harus dilakukan sesuai syarat dan mekanisme yang telah ditentukan agar tidak ada pihak yang mengalami keterpurukan lebih dalam. PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Pengakhiran hubungan kerja yang dimaksud bukan hanya dikarenakan keinginan perusahaan saja, tetapi pengakhiran hubungan kerja karena keinginan pekerja pribadi juga disebut sebagai PHK. Masyarakat sering mengsalah-artikan pengertian PHK. Apabila mendengar kata PHK mayoritas orang akan berasumsi orang yang di-PHK telah melakukan kesalahan sehingga harus dipecat secara sepihak oleh perusahaan, padahal PHK tidak selalu terjadi karena adanya pemecatan tetapi bisa terjadi karena berbagai macam sebab. Oleh karena itu selama ini PHK selalu memiliki konotasi negatif dimata masyarakat khususnya di Indonesia. Bagi suatu perusahaan yang berada pada kondisi ekonomi kritis yang memaksa dilakukannya tindakan-tindakan efisiensi seperti, mengurangi produksi,menutup alokasi dana operasional yang dianggap tidak

mendesak serta perlu melakukan penjadwalan cicilan hutang dan obligasi hingga melakukan tindakan PHK. PHK atas kehendak perusahaan merupakan pilihan terakhir yang harus diperhitungkan matang-matang oleh perusahaan sebelum memutuskan. Selama masih bisa dilakukan upaya efisisensi yang lain, PHK tidak boleh dilakukan. Bentuk paling menghawatirkan dari sekian banyak upaya efisiensi adalah PHK. Hal itu dikarenakan PHK bersifat sangat sensitif dan berkaitan langsung dengan keberlangsungan hidup pekerja. PHK diatur oleh pemerintah dalam Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Bab XII pasal 150 sampai pasal 172. Undang-Undang No. 13 tahun 2003, menjelaskan bahwa PHK dapat terjadi karena berbagai macam sebab. Dijelaskan juga bahwa pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).

2.3 Kompensasi Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang, langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Kompensasi berbentuk uang, artinya kompensasi dibayar dengan sejumlah uang kepada karyawan bersangkutan. Kompensasi berbentuk barang, artinya kompensasi dibayar dengan barang. Kompensasi dibedakan menjadi dua yaitu kompensasi langsung (direct compensation) berupa gaji, upah, dan upah insentif; kompensasi tidak langsung (indirect compensation atau employee welfare atau kesejahteraan karyawan). a. Finansial terdiri dari 1. Langsung (upah, gaji, komisi, bonus) 2. Tidak langsung (Jaminan sosial, asuransi PHK, asuransi kesehatan, pensiun, pelayanan karyawan, uang tambahan misalnya uang resiko/bahaya, perbedaan shift. b. Nonfinansial terdiri dari 1. Pekerjaan (keberagaman keahlian, identitas tugas pentingnya tugas otonomi dan umpan balik)

2. Lingkungan pekerjaan (kebijakan, karyawan yang kompeten, teman kerja, symbol status, kondisi kerja yang nyaman, kefleksibelan tempat kerja)

Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti. Maksudnya, gaji akan tetap dibayarkan walaupun pekerja tersebut tidak masuk kerja. Upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja harian dengan berpedoman atas perjanjian yang disepakati membayarnya Upah insentif, adalah tambahan balas jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi standar. Upah insentif ini merupakan alat yang dipergunakan pendukung prinsip adil dalam pemberian kompensasi. Di samping upah, gaji dan insentif, kepada pekerja dapat diberikan rangsangan lain berupa penghargaan atau reward. Perbedaan antara insentif dan reward adalah insentif bersifat memberi motivasi agar pekerja lebih meningkatkan prestasinya, pada reward, pekerja lebih bersifat pasif. Atas prestasi kerjanya, atasan memberikan penghargaan tambahan lain kepada pekerja. Bentuk kompensasi lain berupa tunjangan, yang pada umumnya tidak dikaitkan dengan prestasi kerja. Tunjangan lebih banyak dikaitkan dengan pemberian kesejahteraan dan penciptaan kondisi kerja sehingga pekerja menjadi lebih merasa nyaman dan merasa mendapat perhatian atasan. Benefit dan Service adalah kompensasi tambahan (finansial atau nonfinansial) yang diberikan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan terhadap semua karyawan dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Seperti tunjangan hari raya, uang pensiun, pakaian dinas, kafetaria, mushala, olahraga, dan darmawisata. . Program kompensasi (balas jasa) harus ditetapkan atas asas adil dan layak serta dengan memperhatikan undang-undang perburuhan yang berlaku. Prinsip adil dan layak harus mendapat perhatian dengan sebaik-baiknya supaya balas jasa yang akan diberikan merangsang gairah dan kepuasan kerja karyawan. a. Asas Adil. Besarnya kompensasi yang dibayar kepada setiap karyawan harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, tanggungjawab, jabatan pekerja, dan memenuhi persyaratan internal konsistensi. Jadi adil bukan berarti setiap karyawan menerima kompensasi yang sama besarnya. Asas adil harus menjadi dasar penilaian, perlakuan, dan pemberian hadiah atau hukuman bagi setiap karyawan. Dengan asas adil akan tercipta suasana

kerja sama yang baik, semangat kerja, disiplin, loyalitas, dan stabilisasi karyawan akan lebih baik. b. Asas Layak dan Wajar. Kompensasi yang diterima karyawan dapat memenuhi kebutuhannya pada tingkat normatif yang ideal. Tolok ukur layak adalah relatif, penetapan besarnya kompensasi didasarkan atas batas upah minimal pemerintah dan eksternal konsistensi yang berlaku. Manajer personalia diharuskan selalu memantau dan menyesuaikan kompensasi dengan eksternal konsistensi yang sedang berlaku. Hal ini penting supaya semangat kerja dan karyawan yang qualified tidak berhenti, tuntutan serikat buruh dikurangi, dan lain-lain.

2.4 Landasan Hukum PHK Undang-undang yang mengatur pemutusan hubungan kerja adalah Undang-undang No. 12 tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan kerja di Perusahaan Swasta. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam undang-undang tersebut pada garis besarnya adalah : a. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala upaya, bahkan dalam beberapa hal dilarang. b. Karena pemecahan yang dihasilkan dalam perundingan antara pihak-pihak yang berselisih seringkali lebih dapat diterma oleh yang bersangkutan daripada penyelesaian yang dipaksakan oleh pemerintah maka dalam sistem undang-undang ini penempuhan jalan perundingan merupakan suatu kewajiban c. Bila jalan perundingan tidak berhasil atau tidak tercapai untuk mendekatkan kedua belah pihak, barulah pemerintah tampil dan campur tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh pengusaha. Bentuk campur tangan ini adalah pengawasan preventif yaitu tiap-tiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan ijin dari instansi pemerintah d. Pengawasan preventif ini diserahkan kepada Panitia Perselisihan Perburuhan dan panitia Penyelesaian Perselisihan Pusat e. Dalam undang-undang ini diadakan ketentuan yang bersifat formil, tentang tata cara memohon ijin, meminta banding terhadap penolakan ijin, dan seterusnya Daerah

f. Bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat dari tindakan pemerintah, maka pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban pekerja dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan / tempat kerja yang lain g. Bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja akibat modernisasi , otomatisasi, efisiensi yang disetujui oleh pemerintah mendapat perhatian sepenuhnya dengan jalan

mengusahakan secara aktif penyaluran tenaga kerja tersebut ke perusahaan / proyek lain Adapun prosedur pemutusan hubungan kerja menurut Undang-undang No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta adalah sebagai berikut : a. pertama-tama pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja ; b. apabila setelah diusahakan segala usaha dimana pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan , maka pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi pekerja yang ada di perusahaan tersebut atau dengan pekerja sendiri dalam hal pekerja tersebut tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi pekerja ; c. bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh ijin dari pemerintah ; d. Pemerintah menyelesaikan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial ; e. dalam hal pemerintah memberikan ijin, maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada pekerja yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lainnya ; f. terhadap penolakan pemberian ijin oleh pemerintah atau pemberian ijin dengan syarat dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan , baik pekerja maupun pengusaha atau organisasi pekerja dan organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding ; g. pemerintah menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam tingkat banding.

Selanjutnya pemerintah telah melengkapi aturan-aturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan menetapkan Kepmenaker No. Kep. 150 / Men. / 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubngan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian. Kemudian pemerintah juga menetapkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 76 / Men / 2001 tentang Perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 150 / Men./ 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Sehubungan dengan berlakunya Permenakertrans No. Kep. 78 / Men / 2001` mengalami beberapa kendala, antara lain tuntutan dari Serikat Pekerja yang tidak menghendaki berlakunya Permenakertrans yang dianggap merugikan pekerja, maka sebagai tindak lanjut diberlakukan kembali Kepmenaker No. Kep. 150 / Men. / 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Hak-hak pekerja atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian sebagaimana dimaksud diatas didasarkan pada ketentuan sebagai berikut : a. Jika PHK terjadi karena pekerja mengundurkan diri secara sepihak atas kemauan sendiri , maka pekerja yang bersangkutan hanya berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian ; b. Dalam hal PHK perseorangan terjadi bukan karena kesalahan pekerja tetapi pekerja dapat menerima PHK tersebut, maka pekerja berhak mendapatkan uang pesangon paling sedikit 2 (dua) kali sesuai ketentuan pasal 22 , uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 23 dan ganti kerugian sesuai pasal 24, kecuali kedua belah pihak menentukan lain : c. Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terusmenerus disertai bukti laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik paling sedikit 2 (dua) tahun terakhir, atau keadaan memaksa besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam pasal 22, 23, 24 kecuali kedua belah pihak menentukan lain dan

d. Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat efisiensi, maka pekerja berhak mendapat uang pesangon sebesar 2 (dua) kali sesuai dengan ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja sesuai dengan ketentuan pasal 23 dan ganti kerugian berdasarkan ketentuan pasal 24 , kecuali kedua belah pihak menentukan lain. Sebagai pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, mereka tetap berhak mendapatkan hak-hak mereka , yang terdiri dari : a.Uang Pesangon Yang besarnya paling sedikit adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Masa kerja kurang dari 1 tahun , 1 bulan upah ; Masa kerja 1 tahun atau l ebih tetapi kurang dari 2 tahun , 2 bulan upah ; Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun , 3 bulan upah ; Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun , 4 bulan upah ; Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun , 5 bulan upah ; Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun , 6 bulan upah ; Masa kerja 6 tahun atau lebih , 7 bulan upah.

b. Uang Penghargaan Masa Kerja Yang besarnya adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun , 2 bulan upah ; Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun , 3 bulan upah ; Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah ; Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun , 5 bulan upah ; Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah ; Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun , 7 bulan upah ; Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah ; Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.

c. Uang Ganti Kerugian Ganti kerugian ini meliputi hal-hl sebagai berikut : 1. ganti kerugian untuk istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; 2. ganti kerugian untuk istirahat panjang bilamana di perusahaan yang bersangkutan berlaku peraturan istirahat panjang dan pekerja belum mengambil istirahat itu menurut

perbandingan antara masa kerja pekerja dengan masa kerja yang ditentukan untuk dapat mengambil istirahat panjang ; 3. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ketempat dimana pekerja diterima kerja ; 4. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja, apabila masa kerjanya memenuhi syarat untuk mendapatkan uang penghargaan masa kerja ; 5. Hal-hal lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat.

You might also like