You are on page 1of 99

Hamsi Pramono

INDONESIA

WEAK BY DESIGN

DIRANCANG UNTUK
LEMAH

Peringatan Penulis:

Jangan mengendarai Mobil (Apalagi Motor) ketika sedang membaca buku ini karena akan
berakibat fatal pada kesehatan dan keutuhan fisik anda.
1

۞ SEKAPUR SIRIH ۞

Saya bukanlah seorang penulis profesional. Isi dari buku ini adalah pengembangan
pemikiran pribadi saya yang berlatar belakang enterpreneurship di berbagai sektor swasta
dan saya tuangkan dalam tulisan yang jauh dari keindahan dan ilmu sastra. Saya lebih
menitik-beratkan penulisan ini pada esensi masalah-masalah yang saya pilih karena
mudah dilihat dan allternatif solusi penyelesaian masalah yang mungkin terdengar bodoh
atau terlalu sederhana tetapi menurut saya masih lebih baik daripada solusi yang
kompleks dan super canggih tetapi pada kenyataannya tidak dapat dijalankan..

Saya memaparkan masalah dari kacamata naratif dengan tujuan memberikan alur yang
lebih mudah dicerna oleh semua lapisan masyarakat tanpa membebani dengan angka dan
grafik. Walaupun demikian semua pembahasan dalam tulisan saya dapat dikembangkan
menjadi suatu langkah konkret yang dilengkapi dengan data kuantitatif maupun kualitatif
untuk merancang strategi yang lengkap dengan parameter hingga dapat terukur. Bila
diinginkan oleh para petinggi negeri ini pun, saya akan melakukannya dengan gratis!!
(zero cost). Tentunya dengan syarat perjanjian bahwa para pengambil keputusan dalam
manajemen negara ini sungguh-sungguh bertekad menjalankannya dan tentunya suatu
komitmen kesungguhan harus dituangkan secara tertulis dalam perjanjian.

Saya berharap agar para pemimpin dan calon pemimpin bangsa kita tergugah dengan
tulisan ini, karena saya yakin bahwa Indonesia yang dulu pernah disegani dan dipandang
sebagai salah satu negara kuat memang memiliki kekuatan. Indonesia saat ini berada
pada kondisi lemah, tetapi bukan karena secara natural lemah melainkan akibat salah
rancang (weak by design not weak by nature).

Tanpa harus saling tuding siapa yang melemahkan dan siapa yang berjasa dalam
membawa negara ini menjadi lebih baik dan lebih buruk, penulis berharap agar para
pemimpin dan calon pemimpin bersedia duduk di lantai kemelaratan bersama rakyat dan
bersama-sama memikirkan dan bertindak secara nyata mencari solusi-solusi cerdas demi
kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
2

Jangan sampai status kemerdekaan penuh yang telah diraih oleh Indonesia berubah
menjadi slogan dan kelak dikenal sebagai bangsa merdeka yang terjajah. Ibarat satu
keluarga yang menempati sebuah rumah besar tetapi tidak bisa duduk di kursi sendiri
tanpa ijin dari ketua RT/RW.

Saya yakin bahwa negara ini tidak kekurangan orang cerdas, pemikir, dan sosok-sosok
idealis. Saya pun mengetahui bahwa hal-hal yang saya paparkan dalam tulisan ini
bukanlah pemikiran baru, karena apa yang saya tuangkan ini didasari oleh pengalaman
pribadi, hasil diskusi, pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang up to date, dan
kesedihan mendalam atas perpecahan yang terjadi di berbagai pelosok negeri tanpa henti.

Apa yang memberi warna berbeda antara tulisan saya dengan keluh-kesah mungkin
adanya dasar keyakinan saya bahwa permasalahan yang timbul di negara ini terletak pada
rancangan sistem yang melemahkan manajemen negara. Selanjutnya, dalam setiap bagian
tulisan saya menyampaikan beberapa perumpamaan dan juga alternatif pemecahan
masalah (walaupun terkadang pemecahan yang saya utarakan adalah alternatif yang tidak
lazim).

Bila ada pihak baik pribadi maupun institusi yang tersinggung atau tidak sependapat
dengan tulisan ini, saya dengan rendah hati mohon maaf dan sebagaimana telah saya
ungkapkan diatas, tulisan ini adalah pengembangan pemikiran pribadi saya dan bagian
dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang.

Penulis,

Hamsi Pramono
25 Mei 2008
3

۞ DAFTAR ISI ۞

1. Fakta Indonesia di Masa Sekarang (1998 – 2008)………………………………….


2. Fakta Indonesia di Masa Lalu ……………...………………………………………
3. Kelemahan Manajemen…………………………………………………………….
4. Rancangan Sistem Multi Partai…………………………………………………….
5. Bendera Merah Putih Yang Terlupakan………………..…………………………..
6. Tidak Ada Sistem Indentitas Warga Negara Yang Terintegrasi……………………
7. Target Subyek Pajak Yang Sangat Minim……………….…………………………
8. Gaji dan Insentif Wakil Rakyat Yang Tinggi………….………………...…………
9. Lemahnya Sistem Penerimaan Pegawai Negeri Sipil………………………………
10. Pusat Pemerintahan dan Pusat Bisnis di Satu Kota………..……………………….
11. Kebijakan Hutang Luar Negeri………………………………..……………………
12. Alokasi Anggaran Pembangunan Daerah Tanpa Kendali Distribusi……..………...
13. Subsidi Yang Salah Sasaran…………...……………………………………………
14. Lemahnya Budaya Maintenance………………………………………..…………..
15. Menyerahnya Investor Asing………………………………….……………………
16. Pelecehan Harga Diri Bangsa Dengan Ijin Pengiriman TKW…………………….
17. Ekonomi Biaya Tinggi Akibat Retribusi Liar………………………………………
18. Persepsi Kemerdekaan Yang Salah Kaprah………………………...………………
19. Kekuatan Era Orde Baru Dalam Menjaga Kestabilan……...………………………
20. Hukum Warisan Penjajah………………………..…………………………………
21. Indonesia Bangkit, Antara Slogan dan Kenyataan………..………………………..
22. Reinkarnasi Sumpah Pemuda………………………………………………………
23. Peran Kesultanan Dalam Manajemen Negara………………………..…………….
24. Antara Kisah Kehancuran dan Bulan-Bulanan Bangsa Lain………….……………
25. Bangkit Dengan Idealisme dan Kekuatan Sosial………………………..………….
26. Perbaikan Bukanlah Tujuan……………………….….….…………………………
27. Memaklumi Ketidakmampuan…………………………...…………………………
28. Bertindak Reaktif Bukan Bertindak Preventif………….….……………………….
29. Eksekusi Kasus Korupsi Yang Tidak Tegas…………….….………………………
4

30. Belajar Dari Alam, Proses Regenerasi…………………………..………………….


31. Peran Orang Tua sebagai Model Kepemimpinan ……….…………………………
32. Manajemen Perusahaan sebagai Pola Manajemen Negara…………………………
33. Merebut Hati Rakyat & Mengembalikan Kepercayaan Kepada Pemerintah………
34. Idealisme Terpimpin………………………………………………………………..
5

1. Fakta Indonesia Masa Kini (1998 – 2008)

Saya ingat pada sebuah film barat, ada suatu konteks dimana nama Indonesia muncul.
Indonesia dipadankan dengan kata “chaos” atau kacau. Ini mungkin tidak berarti apapun
karena hanya sebuh film yang bersifat menghibur (entertaining). Tetapi bagi saya film
tersebut sangat berkesan. Walaupun film itu telah berlalu selama kurang lebih 5 tahun,
adegan tersebut terekam di kepala saya walaupun saya lupa judul film garapan
Hollywood itu.

Saya sangat senang bila ada sebuah film barat yang melibatkan Indonesia dalam cerita
atau hanya sekedar menyebut nama Indonesia atau terkadang hanya menyebut salah satu
daerah di Indonesia seperti Jakarta, Borneo, Sumatera dan Bali. Mendengar atau melihat
nama Indonesia di film Barat membuat saya merasa Indonesia telah menjadi bagian dari
dunia global yang akrab di belahan dunia lain. Dibandingkan dengan negara-negara Asia
lain seperti Jepang, Thailand, Malaysia dan Singapura, Indonesia adalah nama yang
paling jarang disebut (setidaknya itulah yang kerap saya alami dalam dunia perfilman –
sebagai penonton tentunya).

Sungguh membuat saya terhenyak ketika Indonesia dipadankan dengan kata chaos atau
kekacauan. Film adalah suatu industri yang luar biasa dan jangkauannya sangat luas ke
seluruh dunia. Sebuah film box office Hollywood dapat menghasilkan puluhan hingga
ratusan milyar rupiah dalam waktu 1 bulan. Sungguh suatu media propaganda yang
efektif. Bayangkan bila sebuah film box office menyandingkan Indonesia dengan kata
negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dengan 2 hal. Pertama, kata negatif tersebut
memang sudah menjadi pendapat umum tentang Indonesia. Kedua, bagi yang belum
mengenal Indonesia atau hanya sekedar pernah mendengar nama Indonesia, akan
terafirmasi bahwa Indonesia memang identik dengan kekacauan. Sehingga negative
publication ini akan menjadi konsumsi jutaan penonton di seluruh dunia.

Dalam suatu kesempatan berbincang-bincang dengan seorang wanita berkebangsaan


Jerman yang bersuamikan orang Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa pandangan
6

masyarakat Jerman secara umum telah berubah tentang Indonesia. Dulu (sekitar 15 – 25
tahun yang lalu) kebanyakan masyarakat Jerman berpendapat bahwa Indonesia adalah
suatu negara yang dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sangat antusias
untuk mencari informasi tentang Indonesia, bahkan saling bercerita dan berbagi
pengalaman yang menyenangkan sehingga timbul suatu positif publication dari para turis
Eropa, terutama yang berkebangsaan Jerman.

Di masa sekarang, sebagian besar dari masyarakat Jerman berpendapat bahwa Indonesia
bukanlah negara yang berpenduduk ramah, bahkan cenderung tidak bersahabat. Situasi
keamanan yang mencemaskan dan berbagai hal negatif lainnya telah melekat menjadi
suatu name tag baru bagi Indonesia di mata masyarakat internasional.

Menurut saya, pendapat atau persepsi masyarakat sipil asing di luar negeri adalah
persepsi paling jujur bila kita ingin membuat sebuah pooling tentang apa Indonesia di
mata internasional. Lain halnya dengan pendapat pemerintah yang memang terbelenggu
oleh koridor hubungan diplomatik, sehingga jarang sekali kritik secara eksplisit akan
disampaikan terhadap negara lain.

Hal tersebut diatas adalah kesimpulan sederhana dari pengamatan saya. Bagaimana
dengan pendapat anda?

Dalam hal kehidupan sehari-hari, saya merasakan bahwa hidup di masa 10 tahun terakhir
ini sungguh berat. Berat dalam arti sulitnya mendapatkan peluang usaha sebagai seorang
enterpreneur dan beratnya persaingan akibat sentralisasi pasar dan persaingan di Jakarta
sebagai pusat ekonomi Indonesia. Begitu luar-biasanya kemajuan di Jakarta dibandingkan
daerah lain di Indonesia sampai saya beberapa kali mendengar kawan berkelakar bahwa
Jakarta ini bukan Indonesia.

Secara langsung maupun tidak langsung, saya merasakan memang kita (terutama yang
hidup di Jakarta) sudah menjadi masyarakat yang apatis, pesimis, dan egois. Perasaan
tidak aman di jalan-jalan di malam hari, atau frustrasi yang sudah menjadi rutinitas akibat
7

kemacetan lalu lintas, tekanan persaingan dan banyak hal lain telah mempengaruhi
kharakter dasar kita yang tadinya dikenal sebagai bangsa yang ramah oleh bangsa lain
menjadi individu-individu yang tidak bersahabat.

Perekonomian Indonesia pun mengalami degradasi luar biasa. Peningkatan inflasi jauh
lebih kuat dibandingkan dengan peningkatan pendapatan masyarakat pada umumnya,
sehingga daya beli otomatis menurun, daya saing (kemampuang melakukan up grade)
semakin menurun. Kegiatan usaha yang tadinya mampu meningkatkan taraf hidup
menjadi sesuatu yang sifatnya hanya untuk bertahan hidup (survival based).

Apa yang terjadi bila kelas ekonomi menengah yang mulai berkembang dan tersebar ke
seluruh penjuru tanah air ini tidak mampu lagi bertahan dan turun ke kelas ekonomi
bawah? Apa pentingnya mempertahankan kesuburan kelas ekonomi menengah (middle
class economic society)?

Saya berpandangan bahwa salah satu indikator kestabilan ekonomi dan sosial adalah
subur dan berkembangnya lapisan masyarakat kelas menengah. Kelas menengah inilah
yang menjadi katalisator antara kelas bawah dan kelas atas. Penyeimbang antara kekuatan
ekonomi masyarakat dan kelemahan ekonomi masyarakat.

Menurut saya, bila dominasi kekuatan sosial berada di lapisan ekonomi rendah maka
kestabilan sistem pemerintahan berada di area siaga, dan biasanya kekuatan sosial ini
diimbangi oleh dominasi kekuatan ekonomi di lapisan ekonomi atas, dan melemahnya
kekuatan ekonomi dan sosial di kelas menengah. Dominasi kekuatan sosial kelas bawah
ini paling mudah terdeteksi dari maraknya aksi demonstrasi yang mengusung topik
penurunan harga kebutuhan pokok.

Sebaliknya, bila kekuatan sosial berada di kelas menengah, bisa diikuti oleh kekuatan
ekonomi di kelas menengah atau di kelas atas tetapi dengan kendali yang stabil sehingga
kekuatan sosial model inilah yang menurut saya paling ideal untuk dicita-citakan oleh
sebuah pemerintahan.
8

Bagaimana dengan kekuatan kelompok ekonomi kelas atas? Walaupun memiliki


kekuatan ekonomi, menurut saya kelompok ini tidak dapat diharapkan untuk dapat
menghasilkan spread effect peningkatan ekonomi. Hal ini diakibatkan terutama oleh dua
hal: Pertama adalah kondisi bahwa jumlah masyarakat yang berada di lingkaran ekonomi
kelas atas hanya sedikit; dan kedua adalah fakta bahwa batasan konsumsi individu
mengakibatkan sebagian besar kekayaan tersebut masuk dalam kategori investasi baik
dalam bentuk saham, tabungan, properti atau barang konsumsi sekunder & tersier lainnya
yang tidak memiliki efek maksimal terhadap ekonomi aktif yang dapat memacu
pertumbuhan perekonomian dan mengurangi kemiskinan.

Bila manajemen negara mampu menciptakan iklim yang menyuburkan jumlah


masyarakat di kelompok ekonomi menengah dengan penyebaran yang merata berarti
secara global telah terjadi proses perbaikan ekonomi dan biasanya diikuti dengan
penurunan tingkat kemiskinan, stabilitas sosial, dan tentunya ini merupakan kondisi ideal
yang kondusif untuk dunia investasi dan perkembangan usaha.

Berbicara tentang dunia politik Indonesia di masa sekarang, mungkin saya perlu menulis
di satu buku khusus tentang hal yang ini karena begitu banyak fakta yang dapat diulas
dan begitu banyaknya input yang tidak dapat dimuat dalam 1 bagian tulisan ini.

Dalam suatu kesempatan, saya berdiskusi mengenai masalah politik Asia dan terutama
Indonesia dengan seorang kolega bisnis dari Singapore. Beliau mengutarakan pendapat
yang saya rasa cukup akurat dan sepaham dengan pendapat kebanyakan masyarakat kita
pula, yaitu: “sungguh disayangkan, Indonesia sempat mempunyai momentum untuk
melakukan reformasi besar-besaran di seluruh sektor kehidupan bernegara, tetapi
momentum tersebut terlewatkan begitu saja karena kelengahan akibat suka cita
berlebihan (ephoria) atas kebebasan yang tidak tersistem”.

Selain mengamati pendapat dari masyarakat kita, sayapun berusaha untuk mendapatkan
masukan dari masyarakat international karena menurut saya kehidupan bernegara berarti
9

tidak lepas dari pandangan negara lain terhadap negara kita. Pendapat jujur tanpa embel-
embel kepentingan politik merupakan media bagi manajemen negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk bercermin dan melakukan introspeksi.

Penguasaan elit politik terhadap kendali politik dalam negeri tidak berarti apapun atau
cenderung mengarah pada dominasi kekuatan tanpa kemampuan bila mengabaikan
pentingnya kehandalan dalam dunia politik luar negeri.

Tetapi pendapat saya secara garis besar tentang politik di Indonesia adalah suatu hal yang
sungguh melelahkan untuk dilihat dan dibahas. Melelahkan bukan karena kemalasan atau
ketidakpedulian, tetapi lebih didasari oleh fakta bahwa banyak para pemikir yang telah
menuliskan pandangan-pandangan luar biasa sebagai masukan untuk perbaikan bagi
dunia politik di Indonesia tetapi pada akhirnya hanya menjadi bagian kecil dari sobekan
koran bekas yang dijual kiloan atau bernasib menjadi bungkus gado-gado.

2. Indonesia in Memory
Kita begitu gemilang di masa lalu. Hampir di semua sektor kehidupan bernegara,
Indonesia bisa sejajar dan disegani oleh dunia internasional. Mulai dari sektor politik
internasional dengan paham gerakan non-blok, masuk dalam jajaran elit negara penghasil
minyak, prestasi di bidang olah raga yang gemilang, dan masih banyak lagi rentetan
prestasi hingga dijuluki sebagai macan asia di masa tersebut.

Saya pernah membaca di salah satu surat kabar nasional, begitu gemilangnya gaung nama
Indonesia di masa tersebut, hingga di era 1990-an ada ekspedisi Indonesia ke daerah
terpencil Tibet, disambut dengan pertanyaan, “Presiden negara anda adalah Soekarno?”.
Apa artinya? Kehebatan Indonesia didengar gaungnya hingga remote area yang nun jauh
di negara lain, yang memiliki akses informasi sangat terbatas dengan dunia luar pada
masa itu.
10

Kekayaan alam Indonesia sungguh luar biasa, walaupun telah digerus dalam masa
penjajahan yang panjang tetap saja belum habis hingga sekarang. Kekayaan hasil laut
yang tidak terkelola baik dan masih menyimpan potensi devisa yang luar biasa, hutan
yang dilindungi dari penebangan dan investasi yang bersifat destruktif, kekayaan
tambang yang terjaga di bumi bagian timur, dan masih banyak lagi hingga Indonesia
mendapat julukan sebagai mutiara kathulistiwa.

Keragaman budaya yang eksotik dipadukan dengan kharakter yang bersahabat membuat
Indonesia tersohor sebagai negara tujuan wisata yang melegenda. Bahkan banyak mantan
prajurit jaman penjajahan kembali ke Indonesia sebagai turis atau investor karena
kecintaannya pada keindahan Indonesia.

Memang patut kita bersyukur atas kekayaan tersebut diatas. Kondisi Indonesia secara
natural sudah sangat indah dan luar biasa, yang diperlukan (setidak-tidaknya) adalah
menjaga keutuhan kekayaan ini.

Menjaga dalam arti mengambil kekayaan alam dalam proporsi yang tidak merusak, tidak
terfokus pada satu sumber daya alam, dan melakukan regenerasi kekayaan alam yang
dapat diperbaharui, Misalnya selektif dalam penangkapan ikan, tidak mengambil ikan
yang masih dalam usia pertumbuhan (benih), menanam (reboisasi) pohon sebagai
komoditi kayu, tidak menebang pohon remaja yang belum cukup umur, dan seterusnya.
Dalam hal kekayaan alam, yang perlu kita lakukan adalah menjaga, bukan membangun,
apalagi merusak.

Agar tidak salah persepsi bahwa pernyataan tersebut mengesampingkan pentingnya


pembangunan, perlu disampaikan bahwa pernyataan diatas dapat pula dibahasakan
dengan kalimat yang berbeda, yaitu: “jangan bermimpi untuk membangun bila tidak bisa
menjaga”.

Ibarat tubuh kita yang harus dijaga dari penyakit, berarti kita harus memilih makanan
yang baik, menghindari atau beradaptasi dengan cuaca dan lain sebagainya agar kita
11

dapat membangun tubuh kita dengan olah raga. Kita tidak dapat berolah raga dalam
keadaan sakit.

Mari kita bandingkan dengan beberapa negara Afrika yang secara geografis sudah tidak
menguntungkan akibat kondisi tanah, cuaca, dan demografis sosial yang semakin tidak
menguntungkan akibat kuatnya pertikaian kesukuan hingga mengakibatkan kerusakan
masal. Negara-negara tersebut tidak pernah kuat dan inilah yang saya maksud dengan
weak by nature. Berbeda dengan Indonesia yang pernah kuat dan dikenal sebagai negara
yang disegani, bila sekarang kita lemah, inilah kondisi yang disebut weak by design.

Weak by nature dapat diatasi dengan rancangan pembangunan yang konsisten dan
dukungan penuh pemerintahan dari sisi alokasi dana maupun kebijakan yang kondusif.
Sebagai contoh adalah Dubai. Dubai adalah salah satu kota termaju di dunia saat ini.
Dubai telah menjadi mutiara di tengah gersangnya padang pasir. Tetapi, seindah apapun
rancangan manusia, suhu panas menyengat dan kenyataan bahwa Dubai adalah kota
kering tidak dapat dipungkiri. Walaupun demikian, Dubai adalah suatu contoh
keberhasilan tekad untuk mengubah kelemahan menjadi kekuatan.

Kemerdekaan Indonesia adalah suatu transformasi yang dibangun oleh mental dan
pikiran rakyat terpilih, para pemimpin dan pejuang yang berkharisma. Walaupun
memang banyak pihak yang membantu, tetapi tanpa kekuatan mental dan pikiran,
idealisme yang kokoh dan berani bercita-cita, mustahil kita dapat merdeka.

Mari kita fokus pada mental (hati) dan akal (pikiran). Apa yang membuat pendahulu kita
memiliki kekuatan yang mampu merubah kelemahan menjadi kekuatan? Suatu kenyataan
yang tak dapat dipungkiri pula bahwa tokoh yang sangat menonjol di masanya menjadi
sosok yang diagungkan, begitu besarnya kepercayaan dan kekaguman masyarakat kita
terhadap para tokoh pemimpin kita di masa lalu hingga wibawa yang terpancar membuat
banyak orang rela mengorbankan nyawa demi keselamatan beliau-beliau yang telah
mendahului kita.
12

Apa yang membedakan tokoh-tokoh yang berperan dalam manajemen negara di masa
lalu dan masa kini? Begitu pahit dan berbahayanya kondisi politik dan keamanan di masa
lalu hingga menjerumuskan salah satu tokoh pemimpin kita pada suatu pernyataan yang
mematikan mekanisme regenerasi, yaitu: pengangkatan diri menjadi presiden seumur
hidup. Lalu apa yang membedakan presiden dengan raja?

Hal tersebut diatas dihentikan oleh suatu peristiwa sejarah yang dikenal dengan G30SPKI
dan diakhiri dengan “Supersemar” yang konon dokumen bersejarah tersebut hingga kini
tidak ditemukan alias hilang (luar biasa). Kemudian terjadilah masa pemerintahan baru
yang sebenarnya tidak berbeda dengan penerapan sistem presiden seumur hidup dalam
kemasan demokrasi ala orde baru.

Mari kita belajar dari masa lalu dan masa sekarang. Sebenarnya, menurut pendapat saya,
semua masa yang telah kita lalui dari sejak jaman kemerdekaan hingga sekarang, kita
melupakan 1 hal yang paling fundamental, yaitu rancangan manajemen negara.
Rancangan ini berarti sistem, dan sistem berarti konsistensi yang memungkinkan
perubahan untuk maju.

Betul! Rancangan manajemen negara belum pernah dibuat atau dilupakan. Mengapa
demikian? Karena kita begitu terkesimanya dengan kompetensi individual, kekaguman
pada sosok pemimpin yang serba bisa dan bersinar, menyelamatkan bangsa dari
keterpurukan. Bukankah hal ini mirip dengan dongeng kepahlawanan? Menurut saya, itu
adalah suatu kondisi yang menyederhanakan permasalahan karena kemalasan untuk
berpikir.

Indonesia sebenarnya memiliki kharakter kerajaan, ini adalah suatu kharakteristik


banyaknya rumpun dan daerah di Nusantara sebelum terbentuknya Indonesia akibat
penjajahan yang meluas. Lalu apakah Indonesia mungkin terbentuk bila sistem kerajaan
tetap dipertahankan? Jawabannya tentu tidak. Karena bila bisa, sudah dari dulu kerajaan-
kerajaan kecil melebur menjadi satu kerajaan besar (bukan tunduk akibat penjajahan).
13

Saya memang bukan ahli sejarah, tetapi saya dapat menganalisa fakta. Penjajahan jaman
kolonial Belanda sesungguhnya adalah blessing in disguise bila kita menyadarinya. Di
satu sisi memang Belanda telah mengambil keuntungan hasil bumi, di lain sisi Belanda
juga memberikan contoh sistem yang luar biasa efektif hingga dapat menguasai kerajaan-
kerajaan kecil. Belanda mengajarkan strategi aliansi dan pengelompokan kelas. Belanda
membawa panduan hukum kolonial (yang menguntungkan penguasa tentunya) dan
hebatnya masih dipakai hingga sekarang oleh negara merdeka Republik Indonesia.

Coba kembali kita tengok sejarah, sebenarnya ada salah persepsi tentang penjajahan
dalam pengajaran sejarah (setidaknya itu yang saya alami). Saya mendapat pengajaran
dari guru-guru sejarah bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 3 ½ abad. Luar
biasa. Tapi lebih luar biasa lagi, setelah saya baca referensi sejarah dengan lebih teliti,
ternyata kita dijajah VOC (sebuah Perusahaan Dagang yang berdomisili di Belanda).
Contoh – mungkin dapat saya padankan dengan sebuah PD Pasar Jaya yang datang ke
sebuah negara yang menyenangkan dan menjajahnya. PD Pasar Jaya bukan Indonesia. Itu
hanya sebuah perusahaan. Hingga akhirnya cakupan wilayah yang luas membuat VOC
memerlukan dukungan pemerintah Belanda atas pendudukannya di Indonesia. Sebuah
perusahaan dagang dapat menguasai wilayah seluas Indonesia, itu adalah hal yang
mustahil dilakukan tanpa strategi, sistem, rancangan dan cita-cita yang hebat.

Indonesia memang bukan tipikal negara agresor sebagaimana kebanyakan negara-negara


Eropa, tetapi ini bukan berarti bahwa bangsa Indonesia harus bersifat permisif dan pasif
terhadap apapun yang terjadi pada dirinya. Ini telah dibuktikan dengan kuatnya dukungan
terhadap kemerdekaan Indonesia melalui forum-forum internasional.Para negarawan
Indonesia di masa itu adalah negosiator dan politikus handal berkaliber internasional.

Potensi itu tidak hilang dan tidak bisa hilang, yang ada adalah terbelenggunya potensi-
potensi mulia tersebut dalam sistem yang bobrok. Sistem yang terbentuk tanpa kesadaran
tujuan dan kemudian menjadi sistem yang ala kadarnya dan tambal sulam. Seumpama cat
yang ditumpahkan di atas kanvas dibandingkan dengan cat yang dikuaskan di atas kanvas
secara sadar. Bila saya ingin menggambar seekor kucing dengan cara menumpahkan cat,
14

tentunya bukan gambar kucing yang tercipta. Mungkin cacing atau mungkin hanya
sekedar tumpahan cat tanpa makna. Tetapi, sejelek-jeleknya saya menggambar kucing
dengan kuas, jadilah gambar kucing, karena dengan sadar saya goreskan kuas sesuai
rancangan saya.

3. Kelemahan Manajemen
Akar dan asal-muasal status weak by design adalah kelemahan manajemen. Manajemen
negara yang begitu kompleks karena ukuran dan variable yang harus diurus sangat besar.
Tetapi janganlah kita lupa bahwa sebesar atau serumit apapun, manajemen adalah suatu
prinsip dasar yang harus benar dari awal atau sejak rancangan. Rancangan ini dimulai
dari inti terkecil yang kemudian tumbuh secara simultan dan sistemik menjadi besar
dengan kekuatan simpul hirarki dan kendali manajemen. Termasuk di dalam manajemen
adalah fungsi plan, do, action, check (PDAC) untuk menuju pertumbuhan yang
sustainable dan simultan.
Diagram 1.1 : Plan – Do – Check – Action Cycle

Saya mengibaratkan dengan seorang penembak jitu yang membidik sasaran sejauh 500
meter. Mungkinkah? Mungkin. Saya kenal dengan seorang mantan marinir
berkebangsaan Amerika Serikat yang pernah menembak rusa dari jarak sekitar 500 meter.
Semakin jauh sasaran berarti semakin besar tingkat kesulitan. Kesulitan pertama adalah
pemilihan jenis senapan, jenis peluru, jenis teropong. Kesulitan kedua adalah pengalaman
15

dalam memperhitungkan gaya gravitasi, hambatan angin, dan arah angin. Kesulitan
ketiga adalah keahlian teknis, termasuk posisi menembak, posisi membidik, dan
ketepatan dalam menentukan momentum tembak.

Perumpamaan tersebut diatas menggambarkan suatu tujuan harus dilengkapi dengan


sistem, dan sistem tersebut meliputi perangkat, keahlian, momentum, pengendalian,
kemampuan memilih sasaran, dan sebagainya. Dalam hal ini, kemampuan, keahlian, atau
perangkat bukanlah tujuan, tetapi suatu kondisi tanpa syarat harus dipenuhi sebelum
dapat dikatakan “sistem telah sempurna untuk mencapai tujuan”.

Manajemen negara memiliki dasar manajemen dengan perumpamaan diatas. Kondisi


seperti kestabilan politik (termasuk kedewasaan individu dalam berpolitik) adalah suatu
kondisi mutlak yang harus ada sebelum dapat mencapai tujuan. Kestablilan ekonomi,
kestabilan sosial, dan sebagainya adalah faktor yang saling terkait dalam sistem
manajemen negara dan saling mempengaruhi dengan intensif.

Kekuatan saling mempengaruhi antar faktor-faktor dalam manajemen inilah yang


memerlukan urgent adjustment hingga tercapai keseimbangan atau kestabilan. Saya pun
senang membayangkan manajemen negara sebagai sebuah pesawat dengan 2 mesin di
sayapnya. Negara adalah pesawat, tetapi tidak dapat terbang tanpa kedua mesin ini
berfungsi dengan baik. Satu mesin adalah ekonomi, dan mesin yang lain adalah politik.
Kondisi ekonomi yang buruk akan menjatuhkan kestabilan politik, demikianpun
sebaliknya. 1998 adalah salah satu contoh era dimana situasi politik begitu rapuh hingga
dengan pemberitaan bahwa presiden batuk saja sudah cukup untuk menurunkan indeks
bursa saham. Sedangkan situasi ekonomi yang membahayakan situasi politik pun sedang
kita alami saat tulisan ini masih dalam masa penyelesaian.

Bila saya diminta untuk memilih mana yang harus diperbaiki dahulu, jawabannya adalah
politik, karena perekonomian tidak dapat berjalan tanpa kebijakan, dan kebijakan adalah
salah satu produk dari pemerintahan yang tidak bisa lepas dari permasalahan politik.
Apalagi dengan banyaknya partai seperti saat ini.
16

Setelah manajemen ini dapat dilaksanakan dengan baik, kita pun belum bisa bersenang
diri karena ini baru menyentuh 50% dari manajemen negara, yaitu manajemen internal.
Manajemen eksternal adalah 50% sisanya yang harus ditempuh.

Tanpa menjaga keutuhan manajemen internal negara, jangan bermimpi untuk dapat
membangun manajemen eksternal negara atau hubungan diplomatik yang win-win
position. Saya ibaratkan seperti burung yang terbang, walaupun sama-sama terbang, beda
drajat antara elang terbang dan bebek terbang, karena yang satu statusnya sebagai
pemangsa, yang satunya sebagai mangsa.

Menurut pandangan pribadi saya, manajemen internal negara Indonesia berada dalam
status siaga, karena begitu banyak sektor kunci yang belum atau bahkan tidak dipikirkan
dengan serius untuk dirubah. Perubahan ini termasuk memeperbaiki yang masih bisa
diperbaiki dan berani membuang fungsi manajemen yang bersifat destruktif atau tidak
memberikan nilai tambah.

Melakukan perubahan pun harus dengan strategi dan sosialisasi hingga tidak
menimbulkan masalah sosial. Apa yang terjadi ketika pengumuman pembubaran salah
satu departemen di era pemerintahan masa lalu sudah cukup menjadi pengalaman pahit.
Sehingga dalam hal mengatasi masalah ini diperlukan suatu keahlian conflict
management.

Suatu tindakan anarkis sebagai refleksi kekecewaan banyak kelompok masyarakat pun
sudah pada ambang batas yang tidak dapat ditoleransi. Hanya ada 2 solusi yang menurut
saya efektif untuk dilakukan. Yang satu mengandalkan keahlian manajemen, yang
lainnya adalah mengandalkan kekuasaan pemerintahan. Manapun yang mampu dilakukan
oleh manajemen negara itulah yang harus dilakukan karena bila ketidak-mampuan atau
17

sikap acuh terhadap potensi kekerasan dibiarkan terus-menerus, kekerasan akan menjadi
budaya dan sulit untuk dihapuskan.

Sebagai contoh lain, bila suatu tanah kosong yang kemudian ditempati oleh 1 atau 2
keluarga (bangunan liar) kemudian dibiarkan, maka tidak lama akan muncul pemukiman
liar di tanah kosong tersebut. Apa yang terjadi bila ini dibiarkan berlarut-larut dan
kemudian setelah ada rencana pembangunan baru dilakukan penggusuran? Masalah
sosial akan timbul dari suatu hal yang semestinya tidak perlu ada bila penanganan
langsung dilakukan sebelum kesalahan menjadi suatu kebiasaan, dan kebiasaan menjadi
bias pembenaran.

Saya berpendapat bahwa sistem manajemen di sektor swasta saat ini jauh lebih maju
dibandingkan sistem manajemen pemerintahan. Walaupun tidak dapat dibandingkan
sepenuhnya apple to apple, kemampuan manajemen pemerintahan untuk mengakomodir
pertumbuhan bisnis dan sektor swasta dapat dikategorikan lamban dan apatis.

Hal tersebut diatas pun hanya dapat diatasi oleh 2 cara. Sebelum saya lanjutkan, saya
ingin me-refresh suatu pokok masalah bahwa untuk dapat mencapai tujuan, kondisi yang
harus ada adalah kestabilan. Yaitu kestabilan antara politik dan ekonomi. Bukan
kemajuan di salah satu bidang dengan meninggalkan bidang yang lainnya. Untuk
memastikan tercapainya efek positif yang saling mempengaruhi antara politik dan
ekonomi, segala barrier atau bottle neck harus dieliminir.

Kembali kepada 2 cara yang saya maksud diatas adalah melakukan perlambatan di
bidang ekonomi (terutama dengan melakukan hambatan impor atas barang-barang
konsumsi) sambil berusaha melakukan identifikasi terhadap barrier dan bottle neck
antara hubungan politik dan ekonomi. Atau cara lainnya adalah melakukan reformasi
sistem politik dengan berani dan terukur.

Berdasarkan prinsip manajemen perusahaan, yang terpenting dalam manajemen yang


efisien dan efektif adalah manajemen yang ramping dan memiliki sistem yang baik.
18

Sistem manajemen yang baik adalah sistem yang terbuka terhadap perubahan tanpa
mengorbankan hasil atau prestasi yang telah dicapai dan terukur (dalam suatu mekanisme
parameter yang jelas) untuk dapat menjadi input langkah penyempurnaan sistem secara
continuous. Kemudian, sistem inipun memiliki kemampuan mengidentifikasi masalah
dengan cepat (sense of crisis) dan memberikan solusi mengatasi masalah dengan cepat
pula.

Hal tersebut diatas baru menyentuh sistem atau kerangka kerja, sedangkan
pelaksanaannya tentunya membutuhkan keahlian dan konsistensi. Konsistensi ini sangat
penting untuk ada dan dilindungi. Mengapa dilindungi? Karena kerap terjadi bahwa
perubahan atau pergantian pimpinan atau pengambil keputusan dalam fungsi-fungsi
manajemen negara akan merubah haluan upaya perbaikan yang telah dirintis di era
sebelumnya.

Upaya melindungi suatu proyek perbaikan infrastruktur yang memakan waktu cukup
lama misalnya, dapat dilindungi kelangsungannya dengan peraturan pemerintah. Hal ini
untuk menghindari penghentian proyek perbaikan pada saat masa jabatan dalam instansi-
instansi terkait diganti karena usainya masa jabatan.

Dengan demikian, di semua lapisan pemerintahan, mulai dari pemerintahan pusat sampai
pemerintahan daerah perlu membuat rencana pembangunan jangka pendek dan rencana
pembangunan jangka panjang. Alokasi anggaran pembangunan yang tersisa pun dapat
dialokasikan untuk tahun depan sebagai penambah anggaran baru yang dipergunakan
untuk operasional proyek jangka panjang.

Siapakah yang seharusnya duduk di titik-titik pengambilan keputusan dalam lingkaran


manajemen negara? Tentunya orang yang memiliki kapasitas ilmu terkait, bukan
menduduki jabatan karena suatu kesepakatan politik, dan bukan karena kekerabatan atau
hutang budi, apalagi karena hutang uang.
19

Erat kaitannya dengan masalah hutang budi dan hutang uang adalah kebijakan beasiswa
yang disponsori oleh negara asing.Memang harus saya akui bahwa dunia pendidikan di
Indonesia ini dipandang tertinggal oleh banyak pihak. Tetapi berbicara soal cita-cita
bangsa Indonesia untuk memajukan pendidikan di Indonesia, bagaimana mungkin cita-
cita itu terlaksana dengan mencetak pemimpin-pemimpin negara yang made in Amerika,
atau made in UK? Begitu parahkah nasionalisme kita hingga calon-calon pengambil
keputusan pun harus diambil dari lulusan-lulusan luar negeri (terutama yang
mendapatkan beasiswa dari negara lain).

Tidak percayakah kita bahwa kandidat-kandidat calon pemimpin akan dapat memimpin
bangsa ini dengan modal pendidikan di dalam negeri? Apakah takut merasa terhina di
dunia internasional? Atau tidak bisa berbahasa inggris hanya karena tidak sekolah di luar
negeri? Sungguh kasihan negeri Indonesia tercinta bila terus menerus terbelunggu oleh
rancangan sistem seleksi pemimpin yang tidak percaya pada kualitas lulusan lembaga
pendidikan di dalam negeri.

Apakah saya antipati pada lulusan luar negeri? Tentu tidak, karena memang dalam
beberapa hal, kita membutuhkan input dari institusi pendidikan luar negeri untuk
melakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan dalam negeri. Tetapi, tentunya saya
berpendapat bahwa input yang terbaik adalah melalui jalur hubungan institusi pendidikan
ke institusi pendidikan. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas pengajar, bukan
mencetak politikus berpendidikan asing.

Di masa lalu memang kita membutuhkan politikus, teknokrat dan ekonom berpendidikan
luar negeri karena belum terbentuknya institusi pendidikan di dalam negeri sampai
jenjang tertinggi. Tetapi saat ini, sebagai contoh adalah Universitas Indonesia, Institut
Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, dan Universitas Gajah Mada (dan beberapa
institusi lain yang tidak saya sebutkan satu-persatu) telah memiliki kualitas internasional.
Yang dibutuhkan adalah kepercayaan dari masyarakat kita dan dari para perancang
sistem manajemen negara untuk memanfaatkan secara optimal para lulusan-lulusan
terbaik dalam negeri.
20

Percayalah pada produk negara Indonesia, dimulai dari produk kualitas sumber daya
manusia hingga produk yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia. Pengalaman saya
terkait dengan kecintaan suatu negara terhadap produk dalam negerinya pernah saya lihat
di kedutaan besar Korea dan Jepang yang masing-masing menggunakan semaksimal
mungkin produk-produk dari dalam negeri mereka sendiri hingga lulusan-lulusan
universitas dalam negeri mereka.

Untuk dapat melakukan perbaikan, tentunya kita mesti memulai dengan percaya. Marilah
kita percaya, bahwa kita telah memiliki kualitas pendidikan yang setara dengan kualitas
pendidikan internasional. Berilah kesempata pada kandidat-kandidat terbaik produk
bangsa sendiri untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam sistem manajemen negara.

Selain kualitas yang sudah tidak perlu diragukan, kita akan lebih terjamin bebas dari
politik hutang budi (dan mungkin hutang uang) dari propaganda beasiswa asing.

4. Rancangan Sistem Multi Partai


Saya sudah tidak tau lagi berapa jumlah partai di Indonesia sekarang. Mungkin bagus
juga kalau saya mendirikan partai Warung Buncit Merdeka (salah satu nama daerah di
Jakarta Selatan tempat saya dibesarkan), atau partai Masyarakat Mall Bersatu (karena
dengan minimnya area publik saya seringkali terpaksa membawa anak saya ke mall
Pondok Indah untuk bermain).

Hal tersebut diatas adalah satiran yang biasa saya sampaikan pada kawan-kawan bila
sudah bicara soal partai politik. Menurut pendapat saya, maraknya partai politik di tanah
air tercinta ini adalah suatu produk kebebasan yang kebablasan. Beda tipis antara bebas
dan bablas, yang satu bermakna positif yang satu bermakna negatif.
21

Sungguh saya sayangkan bahwa rancangan sistem multi partai ini baik disadari atau tidak
disadari telah memecah belah persatuan bangsa. Tidak berbeda dengan banyaknya suku
yang mengibarkan bendera masing-masing pada jaman sebelum sumpah pemuda.

Banyak pemikiran para idealis yang hanya dapat disalurkan melalui jalur partai. Menurut
pandangan saya, secerdas dan seidealis apapun seorang tokoh yang terbelenggu dalam
sistem multi partai tidaklah dapat berperan banyak bagi negara ini terkait dalam koridor
manajemen bernegara. Hal ini diakibatkan oleh tujuan dari keberadaan atau dibentuknnya
partai tersebut.

Tujuan dari partai secara sederhana adalah meraih suara pemilih sebanyak mungkin.
Secerdas apapun para tokoh partai, tidak lepas dari usaha bagi-bagi kaos gratis bergambar
logo partai, usaha sms promosi partai untuk meraih simpatik, usaha sablon bendera
partai, dan segala sesuatu yang berbau lambang-lambang partai. Saya yakin bahwa bila
seluruh lambang partai dikumpulkan di seluruh Indonesia ini, jumlahnya lebih banyak
daripada jumlah Bendera Merah Putih (tidak termasuk gambar bendera yang terdapat di
buku tulis jaman saya duduk di bangku SD).

Bila kita berbicara mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat dan berorganisasi, saya
menyarankan siapapun untuk kembali melihat rumusan manajemen yang baik (menurut
teori saya sendiri tentunya). Yaitu “Sistem yang terbuka terhadap perubahan tanpa
mengorbankan hasil atau prestasi yang telah dicapai”. Hasil yang saya maksud disini
khususnya adalah manajemen yang lebih ramping. Ramping berarti efisien, simple but
effective.

Berbicara mengenai probabilita atau kemungkinan merestrukturisasi 2 atau 3 partai pun


lebih mudah daripada merestrukturisasi banyak partai. Proses penjaringan kaderpun akan
semakin sengit sehingga memunculkan kader-kader pejuang yang kenyang dengan
pengalaman organisasi yang berbobot.
22

Mungkin ada diantara para pembaca yang dapat menyebutkan nama negara dengan
puluhan partai dan dapat maju menjadi negara yang kuat dan bangsa yang dihormati?
Selain negara Indonesia tentunya. Saya pribadi lebih setuju dengan manajemen negara
dengan motor 2 partai. Satu partai berfungsi sebagai controller atau pengawas
pemerintahan beserta seluruh kebijakannya, dan partai yang satunya sebagai pelaksana
pemerintahan.

Penerapan 2 partai telah terbukti solid dan efektif dalam pengelolaan manajemen negara.
Satu syarat yang harus diingat bahwa militer dan institusi negara lain harus netral berada
di bawah kendali pemerintah. Para pemimpin, calon pemimpin dan para pembaca
sekalianlah yang dapat menilai apakah ini suatu angan-angan kosong yang tidak
mungkin, atau suatu cita-cita yang dapat dan harus segera dilaksanakan demi keutuhan
bangsa.

Saya mempunyai usulan lain, yang mungkin akan dianggap ide nyeleneh lain yang bisa
jadi merupakan mission impossible.

Bagaimana cara memberdayakan banyak partai untuk kepentingan bangsa Indonesia,


demi kemajuan negara Indonesia, dan tidak menyia-nyiakan potensi tokoh-tokoh
pemimpin partai yang kita hormati? Yaitu dengan cara merubah pola pemilihan suara.

Indonesia sekarang telah dapat memilih presiden secara langsung dan ini adalah suatu
terobosan yang menyegarkan di tengah kemelut dunia politik Indonesia yang beginilah
adanya.

Satu terobosan terkait dengan manajemen multi partai adalah melakukan grouping /
pengelompokan berdasarkan konsep yang ditelurkan oleh partai – partai terkait. Apa
maksudnya?

Sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa partai – partai akan berusaha meraih suara
pemilihan terbesar dengan cara mencari tokoh yang dipandang dapat meningkatkan
23

jumlah perolehan suara dan mengumbar program dan janji yang seringkali hanya berupa
idealisme yang tidak terukur dan bahkan cenderung menyederhanakan masalah.

Hasil dari tindakan diatas oleh partai – partai politik adalah antara lain recruitment artis
atau pemain sinetron, film, penyanyi yang cukup dikenal oleh masyarakat. Hal ini
sungguh merupakan suatu kemunduran dan pembodohan dalam kehidupan bernegara.
Bukan karena status mereka sebagai artis tetapi mereka tidak kompeten, tetapi justru
karena penekanan atau konsentrasi seleksi adalah pada figur tokoh, bukan pada konsep
pemikiran. Mungkin dapat saya bahasakan dengan cara yang kurang lebih seperti ini:
Bila kita memilih sesuatu, tentunya harus mempertimbangkan fungsi dan kemasan.
Kemasan tentunya dapat dengan mudah terefleksikan melalui populeritas individual.
Bagaimana dengan fungsi? Fungsi dalam arti kualitas ilmu bernegara, berpolitik,
berkomunikasi, dan sebagainya tidak dapat dilihat hanya dengan menampilkan tokoh
yang tampan, cantik, bersuara merdu, murah senyum dan sebagainya. Fungsi hanya dapat
dilihat dengan suatu dialog 2 arah antara para kandidat dan juga antara kandidat dan
calon pemilih.

Sadarkah kita, apa yang terjadi bila fenomena sistem kaderisasi yang menonjolkan tokoh
terus berlangsung? Pembodohan masyarakat terkait dengan pendewasaan kehidupan
bernegara! Ya, pembodohan dengan membiaskan gambaran bahwa masalah negara yang
begitu rumit dan luas dapat terselesaikan oleh partai – partai yang diwakili oleh artis –
artis sinetron yang belum teruji kemampuannya melalui dialog berkonteks masalah –
masalah manajemen negara.

Kembali kepada usulan mengenai manajemen multi partai, saya mengusulkan


penggunaan parameter konsep / ide yang dituangkan dalam proposal manajemen negara
dalam waktu 5 tahun, proposal itu ditulis dalam format yang baku dalam waktu tahunan,
lengkap dengan rencana cadangan bila rencana atau konsep utama tidak dapat
dilaksanakan oleh karena satu atau lain hal.
24

Kedua, mencantumkan parameter yang akan digunakan untuk mengukur keberhasilan


atau kegagalan konsep yang diajukan.

Ketiga, menandatanganan pakta kesepakatan atas konsekuensi dari tanggung jawab yang
terkait dengan jabatan yang diperoleh bila konsep / ide tersebut yang memenangkan suara
mayoritas.

Keempat, mengelompokkan konsep yang 80% komposisinya memiliki kesamaan dengan


ide partai lain. Partai-partai ini dimasukkan ke dalam 2 atau 3 kubu gabungan (maksimal
sekali 4 kelompok partai dengan konsep sejenis)
.
Kelima, mengatur porsi internal dari masing-masing kubu hingga muncul 1 orang
kandidat yang dianggap terbaik mewakili kubu masing-masing untuk meraih posisi
puncak. Sistem ini diterapkan juga untuk pemilihan kandidat-kandidat pimpinan pada
setiap strata.

Tentunya ide diatas memerlukan pembahasan dan penjabaran mendetail, tetapi menurut
saya pribadi ide tersebut bukanlah suatu angan-angan kosong. Bila perbedaan tidak dapat
disatukan, maka pengelompokan bukan merupakan suatu pantangan.

Bila di 5 tahap tersebut diatas dapat dijalankan, yang intinya adalah penekanan pada
penyusunan proposal pengelolaan negara dan peleburan (kolaborasi) partai-partai, maka
Indonesia tercinta ini telah membuat sebuah terobosan baru yang mungkin pertama kali
di dunia dalam sejarah manajemen negara. Inilah nyawa dari Sumpah Pemuda, persatuan,
persatuan, dan persatuan untuk menjadi kuat.

Kolaborasi antar partai akan mengarahkan partai-partai untuk fokus pada persamaan dan
tidak selalu melihat dan mengumbar perbedaan. Pasti, saya katakan sekali lagi pasti, akan
terdapat benang merah persamaan visi yang justru akan menyatukan partai-partai.
25

Tanpa perlu menghilangkan identitas partai, akan muncul 2 kelompok besar yang
merupakan kumpulan partai, dan sesungguhnya, telah terjadi 2 kekuatan fungsi partai
yaitu: peraih suara terbanyak sebagai pihak yang menjalankan pemerintahan, dan pihak
yang lebih sedikit suara pemilihnya sebagai controller (oposisi) yang bertugas
mengawasi jalannya pemerintahan yang sesuai garis dasar rencana pembangunan yang
telah diprogramkan oleh koalisi partai yang meraih suara terbanyak.

Dengan demikian, saya berpendapat bahwa: “bila identitas individu (partai) tidak dapat
dihapuskan, maka sangat indah bila perbedaan tersebut dirangkum menjadi suatu karya
yang bermanfaat”.

Disinilah diuji kedewasaan para pengambil keputusan, para pemimpin, dan individu-
individu yang memiliki peran kunci dalam dunia politik. Bila memang ketulusan tujuan
sebuah partai adalah untuk kebaikan negara kesatuan republik Indonesia, maka tidak ada
alasan bagi partai-partai yang memiliki kesamaan visi untuk tidak bergabung. Mereka
harus bergabung demi kebaikan bangsa, demi perjuangan bangsa, demi perbaikan sistem
manajemen negara yang merupakan syarat mutlak untuk menaikkan derajat bangsa
Indonesia.

Masalah selanjutnya yang timbul tentunya sistem pemilihan pengurus dari koalisi partai.
Nah, saya ada ide aneh lainnya yang tentunya bukan hal mustahil untuk dilaksanakan. Ide
ini dibagi menjadi 2 tahap.

Pertama, masing-masing partai memilih kandidat terbaiknya untuk dilakukan debat


terbuka terkait dengan topik yang aktual terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi
proposal final manajemen pemerintahan (untuk koalisi partai peraih suara terbanyak,
yang akan menjalankan pemerintahan). Di lain pihak, koalisi partai-partai yang menjadi
pengawas pun melakukan hal yang sama terkait dengan topik pengawasan jalannya
manajemen pemerintahan yang dipimpin oleh koalisi partai peraih suara mayoritas.
26

Kedua adalah, sistem eliminasi kandidat dengan sistem gugur pada ajang one on one
open debate. Pemenangnya ditentukan dengan voting internal koalisi partai terkait.
Hingga akhirnya ditentukan 1 pemenang yang akan memimpin koalisi partai, dan
kepengurusan koalisi tentunya akan diisi oleh figur-figur terbaik dari masing-masing
partai.

Bila tahap pelaksanaan sistem pemilihan diatas dapat dilaksanakan, saya sudah dapat
membayangkan luar biasanya demokrasi yang sehat dan diisi oleh suatu dialog cerdas
antar para pemimpin. Pemimpin yang tidak berani tampil di depan umum, atau pemimpin
yang hanya mampu membacakan teks pidato tentunya akan mengalami rintangan yang
berat. Inilah proses pembelajaran bahwa dunia internasional memerlukan pemikiran
cerdas, spontan, dan lugas yang merupakan kemampuan dasar seorang pemimpin sebagai
kunci manajemen negara yang handal dalam manajemen negara dan hubungan
internasional.

Demikian pula untuk fungsi oposisi, seorang sosok pemimpin cerdas dan kritis akan
muncul dari sistem debat terbuka. Dengan penerapan sistem ini, politik uang tidak akan
dapat diterapkan dengan gamblang karena pengawasan jalannya proses pendewasaan
kehidupan politik ini akan diawasi langsung oleh rakyat melalui liputan-liputan langsung
debat terbuka. Kapasitas seorang pemimpin akan langsung terlihat, kejanggalan pun akan
langsung terlihat oleh rakyat sehingga kewibawaan adalah taruhan yang harus
diperjuangkan dan dipertanggung-jawabkan.

Perbedaan antara angan-angan dan cita-cita adalah sikap mental. Diperlukan pengorbanan
ego yang besar dari para pemimpin dan calon pemimpin, karena dengan perampingan
manajemen berarti banyak kursi yang harus dirumahkan sehingga banyak pejabat partai
yang akan menjadi komentator atau sekadar menjadi moderator di acara kelurahan
setempat.

5. Bendera Merah Putih yang Terlupakan


27

Salah satu hal yang menjadi pengamatan saya sejak lama, mungkin telah dimulai sejak
sebelum munculnya banyak partai di negeri tercinta ini adalah, saya jarang melihat
bendera Indonesia. Lebih ironisnya lagi, mendekati masa kampanye partai, seluruh
jalanan penuh dengan bendera partai, tetapi bendera Merah Putih dapat dihitung dengan
jari.

Tentu saja pernyataan saya diatas tersebut dapat mengundang suatu kritik yang mungkin
bersifat argumentatif atau bahkan difensif. Saya membayangkan komentar-komentar
seperti “jarang liat? Liatnya ke laut sih!” Atau hal-hal senada yang kerap kali dilontarkan
sebagai reaksi yang disampaikan pihak-pihak yang tersinggung.

Tentunya hari peringatan nasional dan wilayah-wilayah kantor pemerintahan,


departemen, gedung-gedung perkantoran adalah bukan area yang saya bicarakan disini.
Saya membicarakan suatu awareness yang timbul atas stimulasi visual yang
berkesinambungan. Sama halnya dengan sebaran iklan rokok di seluruh sudut kota dan
daerah, sehingga membuat kita selalu teringat akan merk rokok tertentu. Saya ingin
menekankan pentingnya awareness yang harus ditimbulkan terkait dengan eksistensi
bendera Merah Putih diatas semua simbol-simbol kelompok.

Saya berharap para pembaca dengan semangat positive thinking bersama-sama dengan
saya mencoba mengingat kembali. Pada saat kita berangkat kerja ke kantor, atau mungkin
pergi berlibur ke daerah-daerah di Indonesia, berapa kali kita melihat bendera Indonesia
berkibar? Bila kita mungkin melihat bendera partai tertancap dan berkibar sepanjang
jalan, cobalah untuk menghitung dan membandingkan jumlah bendera partai dan jumlah
bendera Indonesia pada kesempatan lain kita berpergian.

Sampai kapankah pembodohan masyarakat melalui cara-cara yang disebut sebagai pesta
demokrasi terus berlanjut? Saya katakan sebagai pembodohan masyarakat karena agenda
kampanye selalu diwarnai oleh obral kaos berwarna dan berlambang partai, disertai
bendera partai. Apa hubungannya dengan demokrasi?
28

Bukankah semestinya demokrasi itu tidak meninggalkan identitas bangsa? Bila yang
dikatakan sebagai pesta demokrasi adalah menggantikan kibaran bendera Merah Putih
dengan dominasi kibaran bendera partai untuk beberapa hari, apalagi untuk jangka waktu
bertahun-tahun, maka demokrasi telah disalah-artikan menjadi suatu promosi perpecahan
yang sebenarnya justru mendegradasi arti demokrasi dalam konteks Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Saya mengibaratkan Negara Indonesia sebagai sebuah keluarga yang memiliki puluhan
anak (dalam bentuk partai-partai). Memahami, mengerti, dan mengatur 1 atau 2 anak
dalam keluarga dan puluhan anak tentu membutuhkan penanganan yang berbeda.
Perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan, saling mempengaruhi akan terjadi, perasaan
cocok dan ketidak cocokan pun bukan suatu hal yang baru. Tanpa rancangan sistem
manajemen yang kuat, proses pengambilan keputusan yang melibatkan partisipasi aktif
semua anak-anak ini tidak akan berjalan baik, apalagi mengharapkan kualitas keputusan
yang diambil.

Untungnya, negara memiliki bendera sebagai simbol negara. Dimanapun kita berada
selama di wilayah negara Indonesia, Merah Putih benderanya. Apapun suku dan rasnya,
selama warga negara Indonesia, Merah Putih benderanya.

Saya ingin menonjolkan bahwa memanajemen persamaan-persamaan dalam perbedaan


adalah suatu hal yang penting. Melakukan propaganda atas kesamaan simbol, tujuan, dan
idealisme akan menimbulkan efek yang kondusif dan mengesampingkan perbedaan.
Mengapa demikian? Karena itulah sifat dasar dari manusia yang sesungguhnya. Manusia
akan berinteraksi dengan cara mencari persamaan-persamaan.

Contoh lain, bila saya baru mengenal anda, tentunya saya akan memulai pembicaraan
dengan menanyakan tempat tinggal, pekerjaan, mungkin alamat kantor, status menikah,
jumlah anak, dan sebagainya. Saya yakin hampir semua orang akan melakukannya
karena ini adalah hukum alam bagi interaksi seseorang. Tujuan dari pertanyaan-
pertanyaan ini adalah mencari persamaan untuk dikembangkan sebagai suatu bahan
29

pembicaraan untuk mencari suatu “chemistry” persamaan. Ini sangat penting untuk ada
dalam suatu hubungan.

Dalam konteks bahasan kita disini, yaitu bendera Merah Putih. Bendera Merah Putih
adalah perjuangan panjang leluhur kita untuk menyatakan dan mempertegas persamaan
kita dengan bangsa-bangsa merdeka lain di dunia. Adalah suatu kenyataan yang sangat
aneh bila kita menyatakan bangga sebagai negara yang merdeka tetapi tidak menghargai
bendera Merah Putih saat “pesta demokrasi” atau saat-saat acara partai berlangsung.

Begitu sulitkah untuk mengeluarkan peraturan bahwa setiap bendera organisasi baik
partai atau institusi non partai berkibar di wilayah negara Indonesia, harus didampingi
dengan bendera Merah Putih di posisi yang lebih tinggi. Bila ada 1 juta bendera partai
berkibar maka jadilah 1 juta bendera Merah Putih berkibar diatas bendera partai.

Bila ada suatu kelompok atau partai berkeberatan atas peraturan tersebut diatas atas
alasan apapun, apalagi bila beralasan bahwa akan membengkakkan anggara partai akibat
penambahan bendera, lebih baik oknum tersebut melakukan introspeksi atas
keikhlasannya dalam memperjuangkan kepentingan negara, atau melakukan introspeksi
atas rasa kebangsaannya. Mengapa? Karena para pemimpin dan pengurus partai adalah
calon-calon pemimpin dan pengurus negara yang harus memprioritaskan kepentingan
Negara Indonesia secara keseluruhan, bukan kepentingan partai dan kelompoknya yang
meraih suara sekian persen.

Apa pentingnya kebijakan ini? Ini adalah untuk menyadarkan para punggawa-punggawa
partai bahwa kelompoknya adalah hanya sebagian kecil dan tidak terpisahkan dari
wilayah Merah Putih, dan apapun tindakan yang diambil oleh partai-partai ini harus
tunduk pada kepentingan Negara Indonesia.

Dengan kata lain, jangan remehkan kekuatan bendera Merah Putih. Kita telah belajar dari
sejarah bahwa darah telah tertumpah dan nyawa para pejuang melayang demi
menurunkan bendera asing dan mengibarkan bendera Merah Putih. Memang terdengar
30

seperti puisi klise, tetapi itulah kenyataannya. Bendera Merah Putih telah menjadi suatu
afirmasi persamaan dalam perjuangan di seluruh daerah.

Nah…sekarang justru orang-orang yang merasa sebagai bangsa Indonesia dan telah
merdeka justru dengan bangga mengibarkan bendera kelompoknya masing-masing dan
lupa sama sekali dengan Merah Putih. Apa yang terjadi? Apakah para pengambil
keputusan partai yang berjanji untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia lupa
pada sejarah? Lupa pada betapa pahitnya perjuangan mengibarkan bendera Merah Putih
tanpa kebebasan?

Bendera atau simbol adalah salah satu bentuk identitas yang tertua dalam sejarah
perjuangan kelompok-kelompok untuk eksis. Lalu, bila kita telah mengibarkan 1 bendera
kesatuan, mengapa mesti memunculkan bendera-bendera lain dengan meninggalkan
bendera kesatuan. Ingatlah bahwa tujuan dari terbentuknya partai bukan kekuasaan.
Memang benar bahwa kekuasaan adalah media menuju perjuangan (dan pendapatan)
yang lebih besar. Tetapi bila perjuangan untuk menuju kekuasaan harus melalui proses
menyakiti kelompok lain, melakukan fitnah, black campaign atau negative campaign,
melakukan kekerasan, merusak mental dengan strategi serangan fajar, politik bagi-bagi
uang. Maka kekuasaan telah disalah artikan sebagai suatu posisi yang nikmat untuk
mengeruk keuntungan dari fasilitas sebagai penguasa.

Yang diperlukan bangsa Indonesia ini bukanlah penguasa. Yang diperlukan adalah
pemimpin yang mengerti bahwa kuasa adalah amanah atau tanggung jawab. Menjadi
pemimpin yang diberi kuasa oleh rakyat berarti membela keutuhan negara yang dipimpin
bukan mementingkan kepentingan kelompok. Berani mendobrak sistem yang salah dan
membuat rancangan sistem yang jelas yang dapat membedakan antara kepemimpinan
untuk kepentingan bangsa dan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Bila hal tersebut diatas terlalu sulit untuk dibaca apalagi untuk dicerna, maka saya
berharap kita bersama-sama; saya dan para pembaca, untuk mulai merenungkan dan
31

merencanakan bagaimana cara mensosialisasikan ide bahwa bendera Merah Putih harus
mendominasi di wilayah Negara Indonesia.

Bendera Indonesia yang berkibar di seluruh penjuru negeri kita akan mengharukan dan
membangkitkan kembali ingatan kita akan perjuangan para leluhur. Saya yakin seyakin-
yakinnya, bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membuat dan mengibarkan jutaan
bendera Merah Putih tidak akan lebih mahal dibandingkan biaya yang dikeluarkan partai-
partai saat ini. Biaya tersebut tidak sebanding dengan kebangkitan mental persatuan
bangsa yang kini telah carut-marut akibat rancangan sistem yang melemahkan bangsa
Indonesia.

Saran saya pada para pendiri partai, belajarlah dari sejarah, sebelum memberikan janji.
Seperti telah saya sampaikan diatas, “jangan bermimpi untuk membangun bila tidak bisa
menjaga”. Apa yang perlu dijaga? Jagalah agar bendera Merah Putih tetap berada diatas
bendera kelompok.

6. Sistem Identitas Warga yang terintegrasi


Sistem manajemen pendataan kependudukan kita adalah sistem kependudukan yang
desentralisasi. Desentralisasi yang diterapkan ini adalah termasuk desentralisasi database
dan bersifat data standar, yaitu; alamat, tanggal lahir, agama, status menikah.

Apa kelemahan penerapan sistem identitas tersebut diatas? Pada saat penyebaran
penduduk dan aktifitas lintas daerah semakin intens maka terjadilah kendala-kendala
administratif. Misalnya seorang penduduk ber-KTP Lampung pada saat tinggal di pindah
domisili harus dilakukan administrasi ulang yang juga termasuk penggantian KTP karena
KTP yang bersangkutan bukan KTP DKI Jakarta.

Atau kasus yang lebih ekstrim adalah suatu hal yang dialami oleh satu teman saya saat
naik angkutan umum. Kendaraan umum yang ditumpangi dihadang oleh beberapa orang
pemuda yang melakukan sweeping KTP, ternyata mereka mencari orang-orang dari
32

daerah tertentu untuk “digebuki” akibat salah satu rekan mereka bermasalah dengan
orang dari daerah yang mereka cari. Mereka berniat untuk melampiaskan dendam pada
siapapun yang di KTP tertera kelahiran atau domisili dari daerah yang mereka cari.

Bukankah hal tersebut diatas juga telah menjadi faktor yang mempertegas perbedaan-
perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia? Apa kepentingannya untuk
menuliskan segala hal yang bersifat pribadi seperti status kawin atau tidak kawin, agama,
dan lain sebagainya? Seingat saya, sewaktu saya berpacaran sampai menikah tidak
pernah mertua saya atau calon mertua meminta KTP saya untuk difoto-copy. KTP
diperlukan pada saat pengurusan hal-hal yang bersifat administratif pemerintah atau
perusahaan. Mulai dari melamar pekerjaan hingga mengurus kartu-kartu lain yang terkait
dengan status sebagai warga negara.

Dengan fakta diatas, sebenarnya KTP Nasional adalah identitas yang seragam di semua
daerah. Kedua, pembatasan informasi yang juga berfungsi untuk melindungi si pemilik
identitas dari tindakan kekerasan atau pelanggaran hak asasi akibat perbedaan suku,
agama, dan ras (SARA). Ketiga adalah perluasan fungsi KTP dari sekedar kartu yang
menunjukkan sebagai warga negara menjadi kartu yang multi fungsi. Jadi, KTP dapat
digunakan sebagai integrated national identity card.

Beberapa fungsi yang dapat disatukan dalam KTP ini adalah antara lain; fungsi identitas
jaminan sosial (termasuk data status pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan), fungsi
identitas pajak (Nomor Pokok Wajib Pajak), fungsi identifikasi perpindahan domisili, dan
sebagainya. Satu hal yang penting adalah, kartu ini harus berskala nasional, dijamin
kesetaraannya berlaku di manapun selama berada di wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia.

Apa pentingnya sistem identitas warga yang terintegrasi? Mahal? Pasti! Suatu perbaikan
yang signifikan perlu biaya, tetapi bukanlah biaya yang sia-sia seperti pembangunan tiang
pancang monorail di Jakarta yang tidak ada keretanya sampai saat tulisan ini dibuat. Di
saat menikmati kemacetan tidak jarang saya membayangkan alangkah indahnya bila tiang
33

pancang mono rail itu dijadikan sangkar burung perkutut, atau mungkin juga untuk
memberikan efek jera pada penjahat kerah putih, kurung saja di tiang-tiang yang masih
lengkap dengan besi-besi panjangnya (Hahaha…guyon lho).

Perlu diingat bahwa salah satu fungsi manajemen yang baik (lagi-lagi menurut saya
pribadi) adalah fungsi “plan” sebelum masuk ke fungsi “do”. Jangan terburu-buru
bertindak demi mengejar batas waktu tahun anggaran dan mengorbankan matangnya
perencanaan.

Sistem identitas warga yang terintegrasi tidaklah jauh berbeda dengan KTP (Kartu Tanda
Penduduk). Bedanya adalah, KTP ini diintegrasikan dengan data base Pajak, Jaminan
Sosial, Kepolisian, dan beberapa fungsi lain yang lebih tepat bila dibahas oleh para pakar
dibidang pendataan kependudukan dan Information Technology.

Tujuan dari sistem ini adalah untuk menjamin hak sekaligus kewajiban semua warga
negara Indonesia yang sudah cukup umur (17 tahun) atau dibawah umur tetapi sudah
menikah. Sedangkan untuk penduduk di bawah umur tentunya belum memiliki KTP,
kecuali bila sistem ini diintegrasikan pula dengan data base Imigrasi, sehingga siapapun
yang telah memiliki passport mendapatkan pengecualian untuk memiliki KTP
terintegrasi.

Dengan diterapkannya sistem terintegrasi tersebut, data survey akan selalu up to date
(setidaknya cita-citanya demikian) dan bila diperlukan data demografis akan dapat
diakses dengan cepat dengan sistem komputerisasi. Apakah hanya negara maju yang
dapat menerapkan sistem ini? Tentu tidak. Yang diperlukan adalah para pengambil
keputusan yang mau berpikir dan berpikiran maju demi kepentingan negara.

High cost dalam upaya survey dapat dikurangi secara signifikan, ditambah pula dengan
kecepatan dan ketepatan data yang terkumpul, sehingga biaya yang dikeluarkan dengan
perancanaan dan kontrol yang matang akan menghasilkan suatu sistem yang berfungsi
dengan efektif dan efisien untuk memantau masalah-masalah yang terkait dengan
34

identitas penduduk, misalnya untuk menghindari kesimpang-siuran dalam penerapan


sistem turunan. Contohnya seperti sistem distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang
sampai menelan korban jiwa.

Beberapa contoh National Identity Card yang saya lihat di beberapa negara, ternyata
tidak mencantumkan informasi-informasi yang bersifat personal. Informasi seperti
alamat, agama, status menikah. Satu hal lagi yang luar biasa, di era pemerintahan
sebelum masa reformasi, telah terjadi praktek diskriminasi yang sistematis, yaitu
penandaan dengan kode nomor yang berbeda untuk warga negara keturunan.

Dari beberapa pejabat yang berbaik hati untuk berbagi informasi kepada saya di masa
lalu, dia menjelaskan bahwa spasi setelah titik di deretan nomor KTP menunjukkan
bahwa si pemilik identitas itu adalah warga negara keturunan. Apa perlunya penandaan
ini? Tentunya bukan hak saya untuk menjawab karena saya bukan bagian dari pengambil
keputusan di manajemen negara, apalagi di masa pemerintahan yang lalu.

Berdasarkan fakta dan contoh diatas, saya menilai bahwa sistem KTP kita berasal dari
suatu rancangan yang antara lain dimaksudkan untuk melakukan praktik diskriminasi.
Tentunya, karena selain penandaan yang menunjukkan pemegang KTP tersebut memiliki
keturunan ras yang ditargetkan untuk ditandai, ada pula informasi tentang agama yang
juga merupakan obyek monitoring.

Sebagai catatan, sayapun tidak pernah diminta KTP bila masuk mesjid. Jadi fungsi
pencantuman agama dalam KTP sudah tidak up to date lagi dengan cita-cita persatuan
bangsa yang mengedepankan persamaan dalam satu wadah negara kesatuan republik
Indonesia.

Apakah KTP ini merupakan suatu permasalahan yang remeh dan tidak penting? Suatu
negara yang besar, maju, dan cerdas, tentunya memiliki sumber daya yang kuat. Tidak
menunggu permasalahan menggunung untuk melakukan tindakan penyelesaian masalah.
35

Tetapi justru berusaha melakukan tindakan preventif agar permasalahan tidak timbul.
Saya berpendapat bahwa KTP kita masih harus disempurnakan.

Sayapun telah melihat beberapa KTP dari daerah lain, dan tentunya mencantumkan
lambang daerah (propinsi) masing-masing. Apa yang terjadi? Mengapa hal-hal seperti ini
dianggap kecil dan tidak penting? Masalah persamaan hak tidak terjamin dengan adanya
pembedaan kartu identitas penduduk, dan terlebih lagi, masalah integrasi data yang tidak
pernah dirintis sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan data kependudukan
selalu saja timbul, terutama di kota padat penduduk seperti Jakarta.

Lalu bagaimana identifikasi dapat dilakukan dengan sistem Identitas Penduduk


Terintegrasi dapat dilakukan? Kode digital adalah jawabannya. Dengan penerapan kode
ini, data demografis penduduk dapat diakses oleh seluruh pemerintahan daerah di
Indonesia dengan kode yang tepat. Perancangan sistem data base yang aman pun
diperlukan. Efektifitas sistem terintegrasi ini sangat ampuh untuk mengidentifikasi
masalah, mulai dari pelacakan sidik jari dengan kecepatan yang luar biasa hingga
pengecekan golongan darah dan catatan kriminal yang bersangkutan.

Sebagai contoh keberhasilan penerapan sistem identitas penduduk terintegrasi adalah di


Amerika Serikat. Walaupun banyak pihak yang antipati terhadap negara adidaya ini, saya
berpendapat bahwa kebaikan adalah suatu nilai yang universal. Bila suatu sistem
administrasi ini terbukti fungsional, efektif, dan dapat diterapkan, mengapa tidak dicoba
untuk diancang untuk keperluaan negara kita.

Kita harus belajar dan mulai berani bertekad, kalau negara lain bisa, negara kita juga
pasti bisa! Kesepakatan-kesepakatan dan ikatan-ikatan yang terkait dengan hutang budi
atau hutang uang kita kepada negara lain harus dapat kita kendalikan hingga tidak
menghentikan kita untuk melakukan perbaikan sistem.

Saya yakin bahwa banyak negara yang ingin melihat Indonesia maju. Banyak negara
yang ingin para pengambil keputusan dan simpul-simpul manajemen negara kita bersih
36

dan bebas dari politik uang sehingga akselerasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
dapat berjalan lancar.

Menurut saya, ada batasan psikologis dimana sistem yang melemahkan negara tidak
dapat ditoleransi lagi sehingga akan muncul suatu usaha-usaha untuk merubah arah grafik
menjadi suatu pergerakan yang positif. Saya berkeyakinan bahwa negara Indonesia akan
mampu dan akan memiliki sistem yang kuat, termasuk sistem administrasi kependudukan
tentunya.

7. Target Subyek Pajak yang Sangat Minim


Pajak sebagai tulang punggung pendapatan negara di luar sektor BUMN dan devisa
adalah suatu instrumen yang harus mendapatkan prioritas. Hukum perpajakan yang dapat
memahami kebutuhan industri dan investasi akan menjadi suatu sumber pendapatan yang
dapat diandalkan untuk usaha-usaha pembangunan di seluruh wilayah negara kesatuan
republik Indonesia.

Target pembangunan yang merupakan tujuan dari distribusi pajak pendapatan pun
memerlukan perombakan sistem sehingga tidak muncul lagi kisah pemborosan atau salah
sasaran pembangunan. Misalnya kisah kemegahan kompleks perumahan pejabat daerah
yang menggunakan alokasi dana pembangunan daerah. Apa yang dipikirkan oleh pejabat
daerah tersebut ya? Luar biasa…

Bagaimana dengan reformasi hukum pajak? Sebenarnya negara Indonesia adalah negara
dengan ribuan potensi wisata (walaupun tidak diolah secara profesional). Mungkin justru
begitu banyaknya potensi wisata kita sehingga justru tidak mendapatkan porsi promosi
yang baik. Hebatnya, walaupun tidak tersentuh oleh manajemen profesional, wilayah
Indonesia secara natural sudah indah adanya dan sangat menarik. Kondisi cuaca
Indonesia yang stabil sepanjang tahun dan hanya memiliki 2 musim, memungkinkan kita
untuk tinggal di manapun di wilayah Indonesia. Kelemahan justru terjadi di infrastruktur
yang semestinya telah disentuh oleh pembangunan dari hasil pajak. Tetapi sebelum
37

menyimpang lebih jauh, saya ingin memfokuskan kondisi demografis Indonesia dan
kaitannya dengan potensi investasi.

Banyak orang asing yang ingin menikmati tinggal di Indonesia dalam jangka waktu yang
cukup lama. Bahkan ada beberapa yang ingin menjadi warga negara Indonesia. Saya
mengetahui hal ini terkait dengan pengalaman saya di bidang jasa hukum dan konsultan
developer untuk properti investasi asing. Lalu apa hambatan terkait dengan pajak yang
dialami oleh potensi devisa ini?

Hambatannya adalah, tidak sensitifnya hukum pajak negara Indonesia untuk


mengakomodasi peluang ini. Tingkat pembebanan pajak yang tinggi di beberapa negara
akibat kemajuan ekonomi yang pesat di negara bersangkutan telah menjadi sesuatu yang
unfavorable bagi banyak warga asing. Mereka ingin tinggal di negara yang nyaman dan
menikmati hasil kerja (uang) mereka. Tentunya, dengan kebijakan pajak yang dapat
melihat peluang ini, kita dapat mengundang banyak investor baik itu dalam bentuk
penanaman investasi usaha atau uang pribadi yang dibawa oleh orang-orang asing yang
ingin tinggal di Indonesia dan menikmati hidup dengan nyaman (sebagaimana diterapkan
oleh Singapore dan Malaysia).

Penetapan insentif pajak bagi orang asing yang ingin menetap di Indonesia baik
sementara ataupun dalam jangka panjang akan menjadi instrumen yang menarik untuk
dikembangkan. Pendapatan devisa akan meningkat bila kebijakan untuk mengakomodasi
potensi asing ini didukung oleh reformasi pajak, dan diikuti oleh reformasi sistem
imigrasi dan sistem kepemilikan properti (baik hak guna pakai atau hak milik) oleh
investor.

Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pajak world wide income yang juga
diadaptasi oleh Amerika Serikat. Luar biasa. Mengapa luar biasa? Amerika Serikat
adalah negara adidaya dan merupakan magnet para imigran profesional yang tertarik
dengan kemegahan fasilitas di negara tersebut. Sistem world wide income adalah cara
38

penghitungan pajak yang memperhitungkan penghasilan warga negara asing yang tinggal
atau bekerja di Indonesia dalam suatu kurun waktu tertentu.

Terkait dengan ribuan daerah wisata di Indonesia yang menjadi magnet para turis asing
bahkan warga negara asing yang ingin menetap dan ”membawa koper uangnya” ke
Indonesia, penerapan sistem world wide income ini justru menjadi anti magnet. Saya
berkesempatan berdiskusi dengan seorang konsultan pajak yang berusaha
memperjuangkan dan menjelaskan duduk persoalan dan imbas kebijakan pajak yang
unfavorable ini kepada para anggota dewan terkait, dari raut ekspresi wajahnya saya
sudah tidak tega untuk menanyakan detail perjuangannya yang tidak membuahkan hasil
positif.

Selain masalah sistem world wide income diatas, dalam hal pendapatan negara melalui
sektor pajak tentunya tidak ketinggalan masalah perluasan subyek pajak. Selain masalah
kebocoran yang bukan wewenang, hak, dan kewajiban saya untuk merabanya, hal
perluasan subyek pajak adalah faktor penting yang harus dilaksanakan. Mengapa? Karena
konsentrasi subyek pajak yang berdasarkan pendekatan perusahaan, industri, perbankan,
dan pekerja (karyawan) belum menyentuh banyak potensi subyek pajak.

Hal tersebut diatas akan sangat terbantu oleh penerapan sistem identitas warga yang
terintegrasi. Peningkatan pendapatan pajak melalui kenaikan tarif bukanlah suatu strategi
terbaik, walaupun itu merupakan strategi yang lebih mudah dibandingkan dengan
perluasan cakupan subyek pajak. Mengapa hal ini menjadi penting? Usaha meningkatkan
pendapatan pajak dapat dilakukan dengan 3 hal.

Pertama adalah dengan meningkatkan tarif pajak yang besarannya tergantung dari
pertimbangan institusi terkait. Bila pemerintah melakukan strategi peningkatan
pendapatan pajak dengan jalan ini, akibat terhadap industri dan usaha adalah negatif,
karena akan timbul biaya tambahan yang tidak memiliki nilai ekonomis bagi sektor
usaha. Tidak memiliki nilai ekonomis karena jumlah kenaikan hampir dapat dipastikan
39

tidak akan diimbangi dengan perbaikan fasilitas publik yang terkait langsung dengan
usaha tersebut, sehingga terjadi defisiensi pengeluaran.

Saya teringat berita di akhir tahun lalu tentang rusaknya jalan yang merupakan akses
satu-satunya menuju daerah industri di daerah Jakarta Utara. Setelah melakukan
permohonan perbaikan yang tidak kunjung mendapatkan jawaban, akhirnya perusahaan-
perusahaan yang memiliki kepentingan atas jalan tersebut secara kolektif mengumpulkan
dana perbaikan dan melaksanakan perbaikan atas fasilitas umum yang merupakan
tanggung jawab pemerintah.

Apa yang terjadi adalah suatu gambaran bahwa pajak yang dipungut tidak didistribusikan
untuk kegiatan perbaikan yang bersifat darurat (urgent). Lambannya reaksi manajemen
negara terhadap upaya recovery infrastruktur atas permintaan si wajib pajak ternyata
seperti seseorang yang berteriak ke arah lembah dan gaung terdengar kemana-mana tanpa
mendatangkan jawaban apalagi upaya perbaikan.

Kedua adalah dengan cara menutup pos-pos kebocoran, baik dari sisi institusi pemungut
pajak, maupun dari sisi subyek pajak yang melakukan manuver-manuver pengurangan
pajak secara ilegal. Bila cara ini ditempuh oleh pemerintah, akibat terhadap dunia usaha
adalah positif. Tidak ada biaya tambahan yang timbul tetapi penghasilan pajak
pemerintah menjadi utuh (bukan bertambah) akibat perbaikan sistem pengendalian pajak,
dan memang strategi ini harus dijalankan demi kemajuan negara Indonesia.

Kebocoran pos-pos perpajakan adalah suatu gambaran lemahnya rancangan manajemen


negara yang terkait dengan sistem pemungutan pajak. Tetapi saya percaya bahwa upaya
perbaikan terus diupayakan oleh para pengambil keputusan manajemen negara.

Ketiga adalah dengan cara perluasan subyek pajak. Strategi ini adalah strategi lanjutan
yang dapat diterapkan setelah strategi kedua, yaitu penutupan pos-pos kebocoran telah
dilakukan dengan baik. Kembali kepada quote saya diatas, “jangan bermimpi untuk
membangun bila tidak bisa menjaga”. Apa yang dijaga? Uang rakyat yang disalurkan
40

untuk kemajuan negara melalui institusi pajak, melalui mekanisme dan kendali yang
dilakukan oleh institusi dan aparat pajak.

Perluasan subyek pajak terkait erat dengan sistem pendataan penduduk terintegrasi.
Dengan memanfaatkan sistem integrasi data penduduk dengan sistem pajak, manajemen
negara akan mampu mendeteksi potensi subyek pajak dengan target yang spesifik. Bila
hal ini dapat dilakukan, maka kesamaan kewajiban telah melangkah maju dan tentunya
kewajiban manajemen negara yang berada dalam fungsi pemerintahan untuk menjamin
kesamaan hak pembangunan terkait dengan kesetaraan kewajiban atas pajak.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah subsidi silang pajak yang memungkinkan
percepatan pemerataan pembangunan daerah. Subsidi silang yang saya maksud disini
bukan sistem subsidi silang biasa, melainkan menerapkan sistem penetapan pungutan
pajak yang disesuaikan dengan bidang industri dan daerah. Misalnya: penetapan pajak
tinggi di Jakarta, tetapi memberikan dispensasi pajak untuk industri sejenis di daerah.
Penetapan rate ini dapat disesuaikan setiap akhir tahun pajak dengan jaminan
pemberlakuan rate pajak yang tetap untuk jangka waktu tertentu, misalkan 5 tahun pajak
bila pelaku usaha melakukan registrasi industri untuk daerah tertentu pada tahun pajak
tersebut.

Dengan cara penetapan pungutan pajak berbeda, kita dapat “menggiring” investasi
domestik maupun internasional ke target daerah yang ingin dikembangkan oleh negara.

Hanya bila amanah (kepercayaan) dapat dipegang oleh institusi terkait maka strategi
ketiga patut dilaksanakan. Selanjutnya, hanya bila strategi kedua dan ketiga telah
dilaksanakan, maka strategi pertama layak untuk dilakukan dengan alasan krisis yang
hanya dapat diatasi dengan pendapatan pajak atau peningkatan dari status negara miskin
menjadi menjadi status negara kaya bila rakyat telah mampu membayar pajak (makmur)
keseluruhan.

8. Gaji dan Insentif Wakil Rakyat yang Tinggi


41

Dari mulai menjadi bahan pembicaraan hingga menjadi basi, topik gaji, insentif, dan
fasilitas wakil rakyat yang begitu fantastis (terutama di pusat pemerintahan) tetap saja
tinggi walau diterpa badai kritik pedas dan aksi demo dari berbagai lapisan masyarakat.

Seandainya kekuatan manajemen negara tercinta ini sekokoh kekuatan standar paket gaji
dan insentif wakil rakyat untuk terus bertahan tentunya negara ini sudah keluar dari krisis
ekonomi tidak lama setelah masa reformasi digulirkan.

Sekali lagi saya utarakan, bahwa hal tersebut terjadi karena rancangan sistem manajemen
negara yang tidak kondusif. Siapapun yang duduk di kursi perwakilan akan menerima
fasilitas dan penghasilan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Idealisme dari seorang individu wakil rakyat dihadapkan pada rancangan sistem yang
tidak memungkinkan tegaknya idealisme. Saya sangat setuju dengan pernyataan seorang
sahabat dari salah satu mantan anggota dewan perwakilan rakyat yang mundur akibat
sudah tidak dapat menerima dengan akal sehat dan hati yang bersih atas kehancuran
sistem dalam institusi tersebut. Beliau telah meninggal akibat kecelakaan dan sempat
ramai diberitakan oleh media masa. Pernyataan seorang sahabat beliau melalui telewicara
di salah satu stasiun televisi swasta mengatakan bahwa, “kesalahan beliau adalah menjadi
orang jujur di tempat yang salah”.

Saya memaknai pendapat tersebut sebagai opini masyarakat atas kerusakan sistem di
sebuah institusi terhormat.

Saya tidak ingin membahas siapa yang bertanggung jawab atas pemborosan akibat
kenaikan penghasilan yang luar biasa bagi para wakil rakyat. Yang ingin saya
pertanyakan adalah apa dasar penetapan gaji, insentif, dan fasilitas dengan nilai yang
begitu fantastis. Belum pula ditambah dengan perangkat seperti laptop yang over spec
bagi seorang wakil rakyat yang tidak bergerak di bidang animasi video atau design, atau
apapun yang memerlukan laptop high end.
42

Saya pernah mendapatkan email mengenai komentar beberapa pejabat daerah atas
keberadaan “email” yang membuat saya geli, dan itu menggambarkan betapa buruknya
kualitas seorang pemimpin daerah, saya memberikan penekanan pada kata “pemimpin”.
Salah satu komentar yang tidak bisa lepas dari kepala saya adalah: “saya dulu memang
punya email, tetapi sudah saya jual karena rasanya kurang nasionalis”. Saya yakin ada
diantara pembaca yang pernah mendapatkan email mengenai dialog ini.

Walaupun selingan diatas bukanlah sosok yang menggambarkan kualitas anggota dewan,
tetapi bila saya diberi mandat untuk mewawancarai para anggota dewan yang
mengajukan pembelian laptop dengan spesifikasi high end, mungkin pembaca akan
tertawa seharian mendengar hasil wawancara saya.Bahkan untuk istilah high end pun
belum tentu dapat dimengerti.

Apakah para pengambil keputusan telah sedemikian percayanya bahwa rakyat begitu
bodoh sehingga tidak akan muak melihat strategy money politic dengan berbagai skema
yang disahkan?

Saya percaya bahwa para tokoh pemikir dan para idealis masih ada di bumi pertiwi ini.
Masih ada wakil rakyat yang mau duduk sama melarat dengan rakyat yang diwakilinya.
Sayapun percaya bahwa tidak sulit mencari 1500–3000 orang idealis dan berkemampuan
untuk melakukan pengawasan melalui kursi wakil rakyat, dan bersedia duduk di kursi
perwakilan dengan standar gaji UMR (Upah Minimum Rata-rata) dan tanpa fasilitas,
kecuali kursi, ruang rapat, ruang kantor, dan sekedar konsumsi waktu rapat. Kebahagian
yang tulus terbayarkan dengan kemajuan dan kemakmuran rakyat yang diwakili. Kalau
diperlukan dapat dibuat asrama yang berada di 1 kompleks dengan gedung perwakilan
untuk menghemat ongkos, dan dana pembangunan dapat diperoleh dari menjual aset dan
fasilitas rumah anggota dewan yang tersebar di Jakarta yang sebenarnya banyak pula
tidak ditempati oleh anggota dewan yang bersangkutan, bahkan beberapa sudah beralih
fungsi menjadi ”kos-kosan”.
43

Penurunan gaji dan insentif anggota dewan perwakilan ke titik terendah harus dilakukan
untuk mengembalikan fungsi wakil rakyat yang berjuang untuk kepentingan rakyat dan
menjalankan fungsi kontrol pemerintahan. Bila wakil rakyat ingin mendapatkan gaji lebih
besar maka mereka harus memperjuangkan kenaikan UMR. Petetapan sanksi yang berat
pun harus dilakukan untuk menjaga kualitas dan idealisme para wakil rakyat yang
terhormat.

Uang adalah suatu alat yang sebenarnya dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun
keburukan. Akibat dari fungsi ini, uangpun dapat membawa dampak buruk maupun
dampak baik. Itu semua adalah tergantung dari cara pengelolaannya. Saat ini, krisis
kepercayaan terhadap institusi DPR/MPR sudah sedemikian mengkhawatirkan, salah
satunya adalah masalah korupsi yang tentunya komoditasnya adalah uang. Apa yang
terjadi bila uang menjadi “racun” yang mencemari kredibilitas institusi yang mulia ini?
Obatnya adalah dengan cara mengurangi supply uang secara drastis. Hal ini sangat logis
dan tidak mengada-ada. Contohnya, bila seorang pasien menderita sakit parah dan harus
menjalani opname, maka akan diwajibkan untuk berpuasa sebelum dilakukan
pemeriksaan (dalam rangka penyembuhan penyakit).

Bila fungsi uang sebagai imbalan telah melemahkan kekuatan sistem manajemen negara
dalam fungsi kontrol atau pengendalian yang dalam hal ini lebih spesifik adalah fungsi
anggota dewan perwakilan rakyat, maka saya ibaratkan sebagai sistem jalur pipa air yang
dialiri oleh air panas. Bila pipa ini bukan pipa khusus yang dirancang dapat dialiri oleh
air panas, maka pipa ini akan bocor hampir di semua simpul dan keberadaan sistem pipa
ini tidak memberikan fungsi yang optimal.

Yang harus dilakukan dalam kasus perumpamaan diatas adalah menghentikan aliran air
panas dan melakukan penggantian sistem pipa yang lebih kuat dan sesuai dengan
fungsinya. Demikian pula dalam hal sistem manajemen negara yang khususnya adalah
dewan perwakilan rakyat. Aliran uang harus dihentikan hingga ke titik minimal dan
mulai lakukan restrukturisasi mulai dari sistem pengambilan keputusan hingga ke
44

penetapan sanksi pemecatan bagi anggota dewan perwakilan rakyat yang cenderung tidak
mau memperbaiki diri dan memperbaiki sistem internal mereka.

Dengan melakukan penurunan gaji dan insentif, secara otomatis pun akan menjadi filter
atas partai-partai yang tidak memiliki visi untuk berjuang demi rakyat. Karena esensi dari
penurunan gaji dan insentif hingga titik terendah tidak mengurangi otorita seorang
anggota dewan dalam melontarkan suara-suara kritis, tidak pula mengurangi fungsi
anggota dewan dalam menjalankan tugasnya. Partai-partai yang saling cakar untuk
menempatkan wakilnya di kursi anggota dewan mungkin akan berpikir berkali-kali untuk
mengeluarkan dana yang fantastis karena institusi dewan perwakilan tidak lagi menjadi
ladang mencari uang.

Lalu bagaimana keberhasilan anggota dewan dalam menjalankan tugasnya dapat


memberikan reward bagi mereka? Anggota dewan sebagaimana fungsinya mewakili
rakyat dan daerah adalah pemimpin dari sekelompok massa atau daerah yang memiliki
potensi dan sumber daya. Bagaimana dapat menjadi anggota perwakilan bila ia tidak
mengetahui apa potensi, kelemahan, dan siapa yang diwakili? Seorang anggota dewan
harus membuka jalur komunikasi aktif dengan konstituennya. Tentunya diperlukan
rancangan sistem yang memungkinkan lancarnya komunikasi ini dan juga
memungkinkan identifikasi konstituen dari seorang wakil rakyat.

Dengan sistem komunikasi aktif, anggota dewan adalah bagian dari potensi dan sumber
daya konstituennya, dan dengan sistem reward tidak langsung, anggota dewan akan
menerima reward hanya bila membawa hasil kemajuan bagi konstituennya. Dalam
praktiknya akan timbul koalisi-koalisi untuk menyederhanakan pola pengambilan
keputusan dan memperbesar peluang keberhasilan perjuangan. Hal ini akan menyatukan
suara-suara di institusi tersebut dan menghasilkan argemen-argumen cerdas yang
kondusif. Mengapa demikian? Karena satu-satunya jalur yang dihalalkan bagi anggota
dewan untuk mendapatkan reward atau hasil dari keberadaannya sebagai anggota dewan
adalah melalui suksesnya perjuangan untuk membawa kemajuan konstituennya (daerah
yang diperjuangkan).
45

Saya pribadi berpendapat bahwa kursi wakil rakyat memang bukanlah posisi untuk
mencari uang, sehingga siapapun yang duduk di kursi perwakilan memang telah mampu
menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya tanpa mengandalkan uang rapat, gaji, dan
insentif terkait dengan tugas dan fungsinya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat.

Kondisi terburuk dalam suatu sistem adalah disaat fungsi pengendalian kehilangan
fungsinya. Bayangkan apa yang terjadi bila kita mengendarai mobil atau motor tanpa
rem. Segala sesuatu yang fatal dapat terjadi. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat
dapat terjadi. Pemborosan anggaran dan salah sasaran adalah hal yang biasa dan tidak
lagi mengundang pertanyaan karena siapapun yang bertanya dan publikasi kritik seolah
berjalan sendiri tanpa ada kekuatan sosial untuk melakukan koreksi.

Bukti bahwa telah hilangnya fungsi pengendalian dalam tatanan sistem manajemen
negara kita adalah dengan ketidak-pekaan institusi negara terhadap kritik dan kegeraman
masyarakat yang termasukpula para konstituen para anggota dewan perwakilan rakyat.

Duduk di kursi dewan adalah amanah yang tidak dapat dibeli dengan uang dan gaji, tetapi
perjuangan yang tulus dan iklas tanpa iming-iming gaji tinggi dan berbagai fasilitas. Bila
posisi terhormat ini dapat diusik dengan kucuran uang, maka habislah tatanan manajemen
negara ini, karena fungsi kontrol atau pengendalian yang diluar pemerintahan telah
kehilangan fungsinya.

9. Lemahnya Sistem Penerimaan Pegawai Negeri Sipil

Sungguh berharga pengalaman saya mengikuti proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CNPS), suatu status abdi negara yang dulu pernah menjadi suatu prestise di masa-masa
awal kemerdekaan.
46

Saya terkesima dengan begitu besarnya jumlah pelamar dengan perbandingan kasar 1:100
(1 posisi 100 pelamar), dan saya mendengar dari beberapa teman bahwa di beberapa
departemen rasionya lebih fantastis lagi.

Yang saya alami adalah pengalaman berada di dalam lingkaran pemborosan akibat tidak
profesionalnya proses seleksi calon pegawai negeri sipil yang merupakan salah satu
bagian penting dari manajemen negara yang baik. Seperti telah saya sampaikan diatas
bahwa sistem manajemen yang baik menurut saya haruslah dilaksanakan dengan benar
sejak awal.

Bagaimana mungkin pemerintah membenarkan tindakan untuk melakukan tes tertulis


dengan rasio 1:100, bayangkan pemborosan yang terjadi akibat pelaksanaan tes tersebut.
Akumulasi pengeluaran dari 99% pelamar yang tidak mendapatkan posisi, biaya siluman
yang muncul dalam proses penerimaan (sekali lagi, yang bukan wewenang, hak,
kewajiban, dan tanggung jawab saya untuk meraba).

Mungkin saya salah, tetapi menurut saya, tes tertulis dengan rasio 1:100 tidak mungkin
dilakukan oleh manajemen swasta karena dari sudut pandang efisiensi dan efektifitas
sangat jauh dari sasaran. Kecuali bila memang hal ini dimaksudkan untuk show of force
atas kesetaraan kesempatan dan proses yang transparan.

Hal yang tidak membuat saya kalah kagum adalah materi soal ujian. Salah satu soal
pilihan ganda yang masih terhujam di benak (akibat kekaguman saya) adalah “sebutkan
nama planet terluar di tata surya kita”. Luar biasa, padahal saat itu saya melamar untuk
posisi akuntan.

Kejadian tersebut diatas belum menutup kisah kekaguman saya. Kebetulan, saya
berkenalan dengan seorang peserta tes tertulis yang pada saat tes duduk berjauhan dari
saya dan lokasinya cukup ”strategis” karena jauh dari posisi pengawas. Seusai tes,
dengan bahagia dia menyampaikan kepada saya bahwa soal tes telah dia kerjakan
seluruhnya dengan sempurna karena ternyata soal tes sama persis dengan soal tahun lalu,
47

dan dia mendapatkan seluruh jawaban dari teman di sebelahnya yang kebetulan bawa
soal dan jawaban tahun lalu. Luar biasa. Padahal, soal tersebut datang dalam amplop
tertutup dibawah pengawalan polisi, lengkap dengan seremoni pembukaan amplop coklat
bersegel diangkat setinggi-tingginya agar seluruh peserta tes dapat melihat hebatnya
kerahasiaan soal tersebut.

Pikiran saya menerawang, apakah kualitas dari PNS yang dijaring dengan sistem yang
luar biasa ini benar-benar unggulan? Mungkin iya. Tetapi mungkin pertanyaan yang lebih
berkualitas adalah: apa korelasi praktis antara CPNS dengan planet Pluto?

Beberapa pengalaman saya diantara banyak pengalaman lain yang “mengagumkan”


mungkin dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kualitas yang terkait dengan
pentingnya planet Pluto dalam penjaringan CPNS di negeri ini.

Pertama, pengalaman saya terkait dengan cita-cita saya untuk mengadakan pembangkit
listrik skala kecil untuk lingkup desa, karena banyak daerah yang belum tersentuh oleh
jaringan listrik walaupun negara Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad.

Dengan penuh semangat saya mencari informasi melalui internet dan mendapatkan apa
yang saya inginkan. Sebuah rancangan turbin kecil yang mampu menghasilkan listrik
untuk keperluan sederhana sebuah desa. Rancangan ini dilengkapi dengan gambar dan
kontak personal bila tertarik untuk membeli mesin tersebut. Berhubung informasi ini saya
dapat dari website resmi salah satu lembaga (atau lebih tepat satu-satunya lembaga)
penelitian di Indonesia, maka saya hubungi nomor yang tercantum.

Setelah berkali-kali menghubungi dan akhirnya tersambung, di seberang saya disambut


oleh suara seorang laki-laki yang saya curigai adalah petugas kebersihan, karena dia sama
sekali tidak mengerti apa yang saya bicarakan. Ditambah pula saya harus 3 kali
menunggu lebih dari 5 menit saat dia mencari orang yang dapat merespon keinginan
saya. Setelah penantian yang cukup aneh tersebut (bagi saya), dia kembali ke saluran
telepon dan mengatakan “besok telpon lagi aja ya pak”. Luar biasa…
48

Hal tersebut terjadi pada saat jam kantor di hari kerja yang normal. Mungkin karena saat
itu sedang hujan deras jadi ada sedikit gangguan teknis pada sumber daya manusia di
instansi tersebut?!

Kedua, pengalaman yang sebenarnya dialami oleh istri saya. Kembali berawal dari situs
resmi sebuah instansi yang melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Setelah
mendapatkan informasi terkait mengenai prosedur pengajuan aplikasi warga negara, dia
memutuskan untuk menghubungi nomor yang tertera di situs resmi tersebut (lebih dari
satu nomor).

Setelah perjuangan yang cukup alot untuk tersambung ke salah satu nomor diatas,
direspon oleh seorang yang mengatakan bahwa ternyata nomor itu adalah nomor telepon
toko besi. Istri saya berusaha meyakinkan lagi apakah nomor yang ditekan sudah benar
dengan menyebutkan nomor yang tertera pada website kepada orang yang menjawab
sambungan telepon tersebut, dan nomor tersebut memang benar. Itu adalah toko besi.
Ada 2 kemungkinan atas kejadian diatas. Pertama, mungkin institusi tersebut telah salah
memasukkan nomor telepon ke website yang dapat diakses dari seluruh dunia tersebut,
atau, mungkin instansi tersebut memang melakukan perluasan pelayanan dengan menjual
besi sebagai itikad mulia untuk dapat menjadi instansi yang mandiri?

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh istri saya tentunya menelepon nomor yang lain
yang juga tercantum di situs tersebut, dan tersambung! Hebat sekali. Dijawab dengan
suara ramah suara seorang ibu yang menyambut pertanyaan mengenai biaya dan jangka
waktu prosedur resmi pengurusan kewarga-negaraan. Jawabannya adalah: “orangnya
tidak di tempat bu…”, lalu dengan sikap persistance, istri saya terus berusaha
mendapatkan jawaban yang diinginkan, lalu orang tersebut minta waktu beberapa saat
dan terdengar suara dia berbicara dengan orang lain di dekatnya, lalu kembali berbicara
di telepon, “wah, gak bisa tuh bu…orangnya gak di tempat…apa gak main aja ke sini bu
biar lebih enak?” (benar-benar inilah jawaban yang diterima).
49

Dengan nada keras istri saya meminta keseriusan orang tersebut dan akhirnya orang yang
pada awalnya terdengar berbicara dengan si penerima telpon pertama pun mengambil alih
pembicaraan, diawali dengan, “ibu…gak main aja ke sini bu? (benar-benar orang inipun
menggunakan istilah “gak main aja ke sini bu”). Setelah argumen yang cukup panjang,
akhirnya orang tersebut memberikan jawaban yang diharapkan oleh istri saya yang
sebenarnya hanya membutuhkan waktu kurang dari 1 menit untuk dijawab.

Memang saya pernah mendengar istilah “kalau bisa diperlambat kenapa harus
dipercepat” tetapi saya tidak menyangka bahwa motto tersebut memang sudah benar-
benar mendarah-daging dalam benak individu-individu yang menjadi sendi manajemen
negara di negeri ini.

Keengganan departemen untuk melakukan reformasi internal baik diakibatkan oleh


kebijakan yang memang tidak memungkinkan adanya perbaikan ataupun akibat
keengganan yang dipicu oleh kekhawatiran timbulnya gejolak seperti demonstrasi atau
pengaduan ke komnas HAM, dan sebagainya kelak akan menjadi bumerang bagi
eksistensi departemen terkait.

Pada kenyataannya memang telah terjadi kemerosotan profesionalisme dan kemerosotan


mental yang hebat dan mengakibatkan perlambatan operasional pelayanan hampir di
semua sendi manajemen negara.

Saya telah melihat, bagaimana kondisi kerja di departemen yang dipenuhi tumpukan
dokumen di hampir semua meja dalam satu ruang dan orang-orang tidak ada yang berada
di mejanya tetapi melakukan ritual merokok dan ngobrol di salah satu pojokan.
Tumpukan dokumen saja sudah merupakan indikasi produktifitas yang terhambat dan
sudah merupakan lampu kuning bila hal tersebut terjadi di manajemen perusahaan
swasta, ditambah pula dengan ritual “arisan, ngobrol dan merokok”.

Kembali kepada planet Pluto, saya berpendapat bahwa manajemen instansi pemerintah
yang terefleksikan pada kinerja departemen telah rusak dan perlu perbaikan yang cepat.
50

Disinilah diperlukan pemimpin yang memiliki sense of crisis atas kondisi ini.
Sebagaimana telah saya sampaikan bahwa manajemen yang baik harus dilakukan dengan
benar sejak awal.

Dalam hal ini, awal dari perbaikan manajemen departemen adalah dengan proses seleksi
yang profesional dan serius. Apa gunanya soal seleksi CPNS dikawal oleh polisi bila
soalnya sama dengan soal tahun lalu? Atau soalnya tidak memiliki korelasi dengan
kompetensi yang ingin dimiliki oleh departemen terkait? Apa pula yang mendasari sistem
ujian tertulis dengan rasio yang tidak masuk akal dan cenderung merupakan pemborosan?

10. Pusat Pemerintahan dan Pusat Bisnis di Satu Kota


Siapa diantara pembaca yang belum pernah dipusingkan oleh arus lalu lintas yang macet
total akibat demo? Bagi yang belum pernah dan ingin merasakan, saya sarankan untuk
sering-sering lewat jalan Gatot Subroto, depan gedung MPR/DPR, atau lewat di jalan
MH. Thamrin, Bundaran HI, atau lewat di dekat istana Negara, jalan Merdeka Barat.

Apa yang terjadi bila pusat pemerintahan dan pusat bisnis berada di satu kota? Ada
saatnya kekacauan dan tentunya pemborosan akibat kemacetan tidak teratasi. Protes yang
ditujukan kepada pemerintah dan dilakukan dengan aksi demonstrasi akan melumpuhkan
moda transportasi dan tentunya mempengaruhi kinerja bisnis dan ekonomi. Jakarta
adalah contoh kesalahan manajemen pemerintahan dalam hal pengaturan pusat bisnis dan
pusat pemerintahan.

Sentralisasi kedua fungsi tersebut selain akan saling mempengaruhi dengan sangat
intense, juga mengakibatkan semakin parahnya konsentrasi perputaran uang dan ekonomi
yang terpusat pada ibukota.

High cost economy dari sektor transportasi tidak dapat dihindarkan akibat kemacetan
yang terjadi setiap hari kerja, ditambah dengan buruknya infrastruktur dan pembangunan
51

yang tidak seimbang tanpa mempertimbangkan keseimbangan sehingga masalah banjir


yang menjadi momok di ibukota seolah tidak menjadi prioritas dan dibiarkan berlalu
seiring dengan berakhirnya musim hujan. Perlambatan demi perlambatan yang
terakumulasi bertahun-tahun mengakibatkan kita mengalami ketertinggalan dibandingkan
sebagian besar perekonomian tetangga kita.

Hal yang dapat dilakukan adalah pemekaran wilayah, tetapi sepengetahuan saya, hal ini
pun akan menuai protes dari wilayah sekitar Jakarta. Salah satu langkah berani yang
dapat dilakukan pemerintah adalah memberikan kemudahan bagi investor lokal atau
asing untuk membuka usaha di daerah. Tentunya target list daerah perlu dirundingkan
dengan matang, dan jangan lupa bahwa sebelum daerah tersebut dimasukkan dalam target
list investasi, fungsi kontrol di daerah tersebut harus direstrukturisasi sehingga mampu
mengakomodir kepentingan investasi dan melakukan distribusi hasil investasi dengan
baik.

Kemudahan ini tidak cukup hanya dengan tax holiday (bebas pajak untuk masa tertentu)
yang standar telah dilakukan dimanapun. Tetapi harus dilakukan dengan tindakan yang
lebih agresif, misalkan dengan penyediaan lahan secara gratis. Gratis? Ya, seperti hal
yang diceritakan oleh teman saya yang berkunjung ke Cina dengan investor asal
Indonesia. Proses 1 hari untuk ijin, tanah gratis untuk hak pakai (bukan untuk dimiliki),
dan mengharuskan pemberdayaan penduduk setempat sebagai pekerja. Berapa lama
proses perijinan investasi asing di Indonesia? Maaf, saya malu untuk menjawab
pertanyaan tersebut, mungkin lebih baik menghubungi instansi terkait.

Kembali ke ibukota kita tercinta, pemusatan bisnis dan pemerintahan di Indonesia telah
menjadi magnet bagi banyak pendatang hingga masalah kepadatan penduduk menjadi
topik serius yang tidak dapat diatasi oleh Jakarta. Pemukiman liar tidak dapat dihindari
karena minimnya jumlah aparat dan ketidak tegasan manajemen kependudukan sejak
awal. Tingginya tingkat kriminalitas dan potensi konflik tersebar di seluruh penjuru
ibukota karena tidak terkendalinya kepadatan penduduk, yang otomatis meningkatkan
tingkat stress dan sensitifitas penduduk.
52

Salah satu ide yang mungkin akan dianggap sebagai ide nyeleneh, adalah dengan
pemaksaan percepatan pembangunan dengan cara melakukan relokasi pusat
pemerintahan secara berkala (misalkan per 25 tahun atau 5 kali periode pemilu).
Mengapa ini mungkin dilakukan?

Hal tersebut diatas sangat mungkin dilakukan karena adanya kecanggihan sistem
komunikasi yang saat ini sudah diterapkan di Indonesia, mulai dari teknologi komunikasi
VSAT hingga mobile teknology, mulai dari teleconference hingga broad band dan high
speed data transfer. Hingga saat ini tempat fisik bukanlah suatu kendala berarti bagi
operasional pemerintahan. Berkaitan erat dengan hal ini tentunya kita tidak bisa tidak
(harus) melirik kepada permasalahan penguasaan perusahaan telekomunikasi di Indonesia
yang sebenarnya juga termasuk dalam kategori mempengaruhi hajat hidup orang banyak
(warga negara Indonesia tentunya). Siapa ya sosok pemimpin yang mempunyai ide maha
gemilang untuk menjual kepemilikan saham perusahaan telekomunikasi kepada pihak
asing? Tidak lupa juga, siapa ya atau institusi apa ya yang meluluskan ide untuk menjual
perusahaan telekomunikasi tersebut? Walaupun kepemilikan tidak berpindah secara
keseluruhan tentunya, tetapi apakah kendali masih di tangan anak negeri ini?

Menurut pendapat saya, alternatif melakukan relokasi fisik pusat pemerintahan (ibu kota)
perlu dilakukan demi percepatan pembangunan daerah. Hal ini dapat hampir dipastikan
akan efektif untuk mempercepat memperbaiki ketertinggalan terkait dengan fasilitas
protokol dan standar internasional yang harus diadakan untuk mengikuti domisili
pemerintahan pusat demi kelancaran jalannya pusat pemerintahan.

Mengapa bukan pusat bisnis yang dipindahkan? Karena kekuatan ekonomi akan
cenderung ingin untuk mendekati kekuasaan. Setidaknya itulah yang saya amati terjadi di
negeri ini. Sehingga, bila yang dilakukan adalah relokasi pusat bisnis, sebenarnya tidak
akan terjadi perbaikan apapun, karena spread effect pusat bisnis tidak akan sedahsyat
spread effect relokasi pusat pemerintahan.
53

Lalu bagaimana mekanisme penentuan daerah tujuan relokasi pusat pemerintahan? Hal
ini dapat dilakukan dengan sistem tender / lelang terbuka yang dapat diikuti oleh 5 pulau
terbesar dengan harapan spread effect pembangunan yang lebih luas. Syarat lain demi
keadilan adalah, pusat pemerintahan tidak boleh berada di 1 pulau yang sama untuk
periode yang berikutnya. Dengan cara ini, walaupun mayoritas perputaran uang ada di
Jakarta, Jakarta tidak dapat mendominasi pusat pemerintahan untuk periode selanjutnya.

Mungkinkah ide nyeleneh ini dilaksanakan? Mana yang lebih nyeleneh antara ide ini
dibandingkan dengan ketertinggalan mayoritas wilayah negara Indonesia yang demikian
luas dan berkonsentrasi hanya di Jakarta dan pulau Jawa pada umumnya? Ledakan
pembangunan dan konsentrasi uang di pulau Jawa akan menjadi bumerang bagi negara
Indonesia bila hal ini tidak segera diatasi. Bahkan mungkin, Indonesia telah masuk ke
daftar negara-negara yang ter-aneh di dunia akibat begitu hebatnya konsentrasi
pembangunan di satu titik (ibukota negara).

Masalah demonstrasi dan kadang kala promosi produk dari suatu merk dagang tertentu di
Bundaran Hotel Indonesia, suatu ikon ibu kota yang seringkali diabadikan dan
dipromosikan juga merupakan suatu fenomena yang mengherankan bagi saya. Mengapa
seringkali demonstrasi terkonsentrasi di sana? Bukankah demonstrasi semestinya hanya
terkonsentrasi di instansi terkait dengan konteks demonstrasi?

Mulai dari masalah korupsi, kenaikan harga BBM, masalah perburuhan, semua
melakukan konsentrasi aksi demo di bundaran Hotel Indonesia. Apa yang terjadi bila hal
tersebut selalu dibiarkan? Semakin tercemarnya kota Jakarta dari identitas kota bisnis.
Apakah saya anti demonstrasi atau demokrasi? Semoga tidak. Mengapa saya katakan
demikian? Karena saya yakin, bahwa banyak yang terusik dengan terhentinya aktifitas
akibat kemacetan luar biasa akibat aksi demo, belum lagi bila berubah menjadi aksi
anarkis seperti pembakaran mobil oleh kelompok orang yang merasa dirinya sebagai
MAHA-siswa. Kalau memang demokrasi seperti ini yang diharapkan oleh masyarakat,
dengan tegas saya mengatakan bahwa saya anti dengan demokrasi semacam itu.
54

Para demonstran telah membuktikan bahwa mereka tidak memiliki kepekaan sosial yang
sebenarnya ini pula yang menjadi masalah di manajemen negara ini, yaitu para
pengambil keputusan yang tidak peka dengan suara masyarakat. Lalu mengapa para
demonstran melakukan aksi demo dengan tidak memperhatikan kepentingan umum yang
berkepentingan untuk mencari nafkah? Kemacetan yang sudah cukup parah di ibu kota
ditambah dengan aksi demo yang tidak pada tempatnya dan tidak memperhatikan
kepentingan umum telah menjadikan aksi demo sebagai refleksi bahwa masyarakat
secara sadar atau tidak sadar juga bertanggung jawab atas kemerosotan kualitas
pemimpin yang menjadi bagian dari manajemen kekuasaan.

Memang secara teori suatu sumbatan aspirasi perlu didobrak dengan tekanan yang
mungkin diekspresikan melalui bentuk demonstrasi yang tidak jarang diwarnai dengan
atraksi emosional dan destruktif. Usaha provokasi terhadap pihak kepolisian yang
menjadi barisan depan (pagar hidup) membendung aksi demonstrasi menjadi sasaran
kekerasan yang dilakukan oleh para demonstran. Lupakah kita bahwa polisi sebagai alat
negara dalam konteks menjaga ketertiban umum bukan musuh dari masyarakat.
Mengutip sebuah pepatah modern yang pernah tenar, yaitu: Polisi juga manusia, punya
hati dan juga bisa emosi.

Saya ingin mengajak para pembaca sekalian, dalam mengutarakan suatu pendapat,
walaupun kita yakin sebenar-benarnya bahwa yang kita sampaikan itu adalah suara
rakyat, janganlah bersikap berlebihan. Bagaimana caranya kita untuk tetap dapat bersikap
wajar? Ingatlah bahwa polisi, mahasiswa, pemimpin, tentara atau siapapun juga, mereka
adalah bagian dari masyarakat. Kita semua punya saudara, bapak, ibu, teman, sahabat
yang berada di posisi-posisi tersebut. Sebelum melakukan tindakan apapun, tidak ada
salahnya bila kita tempatkan posisi kita di posisi mereka. Sebagai mahasiswa, berpikirlah
(berandai-andai) bila kita adalah polisi yang ditugaskan tanpa syarat dari pagi hingga
petang menjadi pagar hidup, menghadapi pandangan marah para demonstran dan
beresiko menjadi korban kekerasan atau bahkan terseret dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia. Pikirkanlah juga bila kita adalah anak atau kerabat dekat dari polisi yang
bertugas, kerabat yang berdoa di rumah semoga tidak terjadi suatu hal yang buruk.
55

Demikian pula dengan polisi, bagaimana bila anak dari kalian yang mendapatkan
perlakuan kasar berlebihan dari polisi? Tidak jarang saya melihat di televisi, liputan
bagaimana seonggok demonstran yang sudah terkulai karena terkena satu kali pukulan
mendapatkan tendangan dan bogem dari rekan-rekan polisi yang lain yang geram
termakan emosi.

Ingat, ini adalah masalah sistem. Baik polisi, mahasiswa, partai, atau kelompok
masyarakat manapun merupakan bagian dari kesalahan dan juga sekaligus korban dari
kesalahan sistem manajemen negara. Jangan lupa, berdoa menurut kepercayaan masing-
masing, terkadang kita lupa bahwa kita ini manusia yang terdiri dari jiwa dan raga.
Kebutuhan jiwa kitapun seringkali terlupakan oleh kelelahan dan kebutuhan fisik.
Kelelahan mental telah menjadikan kita lupa bahwa kita semua memiliki jiwa yang
mencintai ketentraman, kedamaian, persahabatan. Jiwa kita mencintai hubungan
harmonis antar sesama, melewati segala batasan dan bendera kelompok.

11. Kebijakan Hutang Luar Negeri


Indonesia ini banyak hutangnya, belum lagi bila ditambah bunga dan perjanjian
kesepakatan yang menempel pada hutang tersebut. Tapi kenapa ada institusi dan atau
pengambil keputusan yang masih bersikap seperti negara kaya? Contohnya masalah gaji
perwakilan rakyat yang melebihi angka standar gaji expatriate Indonesia di luar negeri
untuk level manajer. Belum lagi ditambah jumlah pensiun yang harus dibayarkan.

Hal yang memperparah recovery hutang luar negeri ini adalah tingginya level konsumsi
barang luar negeri kita yang sudah bukan lagi menjadi rahasia. Seolah kecintaan kita pada
produk impor telah menjadi suatu kutukan bagi negeri ini. Mulai dari kendaraan
bermotor, komputer, alat komunikasi hingga makanan.

Di jalan-jalan negeri ini, dominasi kendaraan bermotor dari Jepang sudah merupakan
pemandangan yang lumrah, saya selalu membayangkan bahwa andaikan Indonesia adalah
56

satu-satunya pasar kendaraan bermotor dari Jepang, itupun sudah cukup membuat Jepang
sebagai raksasa otomotif.

Saya ingat ada terobosan sebuah mobil hasil karya anak bangsa yang tidak bertahan lama.
Mungkin karena bentuknya yang (maaf) tidak masuk akal untuk diserap pasar sehingga
produk itu hanya diluncurkan untuk menjadi topik lelucon masyarakat sebelum akhirnya
diputuskan untuk tidak dilanjutkan.

Angan-angan alih teknologi dari Korea atau Jepang pun hanya berawal dari janji dan
akhirnya berujung pada pemakaian komponen lokal yang sebenarnya jauh dari harapan
masyarakat kita untuk memiliki industri kendaraan bermotor yang solid dan berkualitas
internasional. Lalu hingga kapan manajemen negara ini memiliki kepekaan dan
keberanian yang cukup untuk melakukan tekanan dan kebijakan yang tidak kalah gertak
dari sepak terjang janji-janji perusahaan asing? Tentunya, seperti kata pelawak senior kita
yang agak sedikit saya plesetkan, ”masalahnya…kembali ke hutang!!”

Saya menyukai sebuah tema yang diangkat oleh salah seorang mantan petinggi di negeri
ini yang saya duga bermaksud untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Beliau
mengangkat tema untuk mencintai produk petani Indonesia, menyampaikan pesan segar
untuk membeli produk petani Indonesia dan mengutarakan kenyataan bahwa produk
pertanian Indonesia adalah salah satu yang terbaik di dunia.

Sebagai intermezo, tahukah para pembaca bahwa proses pembuatan tahu, kopi toraja, dan
beberapa produk asli Indonesia sudah dipatenkan oleh negara lain? Belum lama
berselang, saya juga berkesempatan mendapat informasi dari seorang pensiunan pejabat
negara yang kebetulan satu kelompok pengajian di bulan Ramadhan tahun ini. Beliau
mengungkapkan kegeramannya atas pendaftaran HAKI atas 800 desain kerajinan perak
asal Bali. Tambahan lainnya, pendaftaran hak paten (temuan) di Indonesia per tahun tidak
lebih dari 300 pendaftaran, sedangkan di Singapore, negara yang berpenduduk tidak lebih
banyak dari jumlah penduduk Jakarta, sekitar 30.000 paten didaftarkan per tahun.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Tidak lain daripada lemahnya sistem manajemen negara.
57

Beliau (Bapak pensiunan pejabat diatas) juga menceritakan sedikit sejarah terkait dengan
otoritanya menentukan arsitek dan kontraktor pembangunan suatu gedung di masa
jabatannya, dimana beliau menetapkan bahwa arsitek dan kontraktor ditunjuk harus anak
bangsa, lulusan universitas tanah air (saat itu di tahun 70an). Lucunya, justru beliau
ditentang oleh atasannya dengan alasan bahwa kita (bangsa Indonesia belum mampu
untuk membangun gedung diatas 8 tingkat). Beliau mempertahankan keputusannya
dengan suatu pernyataan bahwa kitapun dulu tidak punya pengalaman merdeka tetapi toh
kita bisa merdeka. Di akhir cerita, beliau menegur atasannya dengan pernyataan bahwa
”anda belum siap merdeka!”. Ya, suatu kalimat yang mungkin masih up to date untuk
kita pertanyakan kembali kepada kita semua, apakah kita sudah siap merdeka? Siapakah
orang yang siap merdeka? Orang yang siap merdeka adalah orang yang berani
memperbaiki kesalahan, walaupun kesalahan tersebut sudah menjadi beban yang luar
biasa berat, perjuangan tentunya tidak dilakukan secara individu. Saya yakin, kekuatan
dan kecerdasan masyarakat yang terbelenggu saat ini sudah siap untuk melakukan
perbaikan atas kesalahan – kesalahan dari orang – orang yang tidak siap merdeka.

Kembali kepada salah satu fungsi manajemen versi saya, yaitu kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah dengan cepat (sense of crisis), benar-benar banyak pihak yang
tidak memandang hutang ini sebagai masalah serius.

Sebagai sebuah negara yang merdeka, hutang adalah kewajiban yang harus dibayar baik
dengan uang maupun dengan kesepakatan. Apa yang terjadi bila negara tidak mempunyai
cukup uang untuk menebus hutang tersebut? Negara melalui perwakilannya yang
terhormat akan mengemis untuk minta pengahapusan, pemotongan, keringanan bunga,
atau perpanjangan waktu. Bila ada istilah white colar crime (penjahat kerah putih),
mungkin seharusnya ada juga istilah white colar beggar (pengemis kerah putih).

Apakah kita ingin dihormati atau dikasihani pada saat memohon kepada negara pemberi
hutang? Mungkin para pemimpin negara kita tercinta ingin mendapatkan keduanya, tetapi
kalau menurut pandangan saya pribadi, hormat dan kasihan memiliki deskripsi yang
58

berbeda, yang satu dapat dilakukan dengan pandangan mata lurus ke depan dan perasaan
sederajad, yang lainnya dapat dilakukan dengan pandangan mata tertunduk ke lantai dan
perasaan rendah diri (bila masih tau diri).

Saya berpendapat bahwa membiarkan negara Indonesia berada terus dalam keadaan
berhutang adalah suatu kejahatan nasional tersirat yang luar biasa karena menjatuhkan
martabat bangsa di mata dunia internasional dan mungkin dapat dikategorikan sebagai
tindakan subversif karena terkait dengan pencemaran nama baik bangsa.

Dalam sepak terjang bisnis, kita mengenal istilah “tidak ada yang gratis di dunia” atau
“kencing saja harus bayar” dan motto-motto sejenis yang intinya adalah jangan berharap
keikhlasan walaupun judulnya hibah, bantuan, pinjaman lunak dan sebagainya.

Sence of crisis akan menggunungnya hutang negara harus ditimbulkan mulai dari lapisan
masyarakat terkecil hingga puncak pimpinan negara. Mengapa? Karena ini adalah
masalah nasional yang bersumber mulai dari pola konsumsi hingga kebocoran anggaran
negara. Kesadaran nasional bahwa kita negara yang saat ini miskin tentunya akan
mengingatkan kita pada pepatah “bagai ayam kelaparan di lumbung padi”. Kesadaran
bahwa kita miskin secara nasional seharusnya akan mempengaruhi pola konsumsi dan
sikap yang lebih kritis dalam mengantisipasi kebocoran anggaran.

Menjamurnya produk dan merek luar negeri seharusnya menjadi suatu pemandangan
yang aneh karena secara nasional, daya beli masyarakat kita sungguh terbatas dan
menyedihkan. Menjamurnya merek luar negeri dengan harga yang tinggi merupakan
cermin terjadinya kesenjangan sosial yang sebenarnya gap dari kesenjangan sosial itu
dapat diarahkan untuk memacu produktifitas dalam negeri dengan cara menerapkan
kebijakan yang berpihak pada produk dan merek dalam negeri. Misalnya, penerapan
pajak berlipat untuk setiap produk luar negeri atau bea masuk tinggi. Memang sudah agak
terlambat, karena Indonesia sudah berada di era perdagangan bebas dan terikat pada
perjanjian perdagangan bebas, sehingga pilihan-pilihan kita sebagai negara merdeka yang
sebenarnya tidak merdeka dalam mengambil keputusan-pun semakin terbatas.
59

Nah, apakah para pemimpin, calon pemimpin, dan para pembaca sekalian masih percaya
bahwa kita masih merdeka penuh? Andalah yang menilai. Sebagai contoh, apakah
referendum atas propinsi Timor adalah keikhlasan para pemimpin Negara Indonesia atau
merupakan suatu tekanan politik akibat belenggu hutang yang luar biasa?

Hanya sebagai selentingan buah pemikiran untuk kita semua. Lebih indah mana:
menyewakan 1 pulau di Indonesia yang tidak terurus dalam jangka panjang, mungkin 25
atau 50 tahun dengan status hak pakai daratan untuk membayar hutang, atau melepaskan
1 propinsi menjadi negara merdeka untuk mendapatkan hutang tambahan dengan syarat
mengikat jangka panjang?

Hong Kong adalah salah satu kisah sukses penyewaan pulau yang dilakukan negara Cina.
Saat ini Hong Kong menjadi magnet pariwisata Asia dan merupakan pusat bisnis
kawasan Asia. Apa yang ditakutkan oleh para pengambil keputusan negeri ini terkait
dengan penyewaan pulau? Karena sesungguhnya bila kita khawatir pada integritas bangsa
yang terusik, penyewaan pulau sama sekali berada di luar konteks terusiknya integritas
bangsa. Integritas bangsa kita sudah hancur oleh issue korupsi yang menempatkan
Indonesia di urutan negara teratas di Asia untuk urusan yang satu ini. Belum lagi masalah
ketidak-stabilan politik yang tidak berujung dan masalah kebijakan investasi yang tidak
jelas. Hutang negara pun sudah menjadi bagian dari pendiskreditan integritas bangsa.
Jadi, sekali lagi saya menanyakan kepada para pakar dan para pembaca sekalian, apa
yang ditakutkan sehingga suatu solusi strategis ini tidak dapat dilaksanakan?

Masih ada beberapa alternatif lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi hutang luar
negeri secara signifikan, tentunya dengan cara membayar. Bagaimana cara
membayarnya? Beberapa diantaranya adalah reformasi kebijakan investasi, imigrasi,
pajak luar negeri, dan beberapa alternatif lain yang saya berharap (dan sesungguhnya
bukan harapan yang berlebihan) untuk dapat dilaksanakan.
60

12. Anggaran Pembangunan Daerah Tanpa Kendali Distribusi


Saya sudah banyak mengunjungi daerah-daerah di Indonesia, terutama di Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa. Pemborosan alokasi pembangunan terlihat di sebagian besar daerah.
Terutama terkait dengan fasilitas pejabat, mulai dari rumah dinas senilai milyaran
(beberapa diantaranya pernah diliput di media elektronik), mobil dinas berkapasitas
mesin besar, pembuatan Gapura dan pagar yang megah, dan lain sebagainnya. Dilain
pihak, pembangunan yang sifatnya infrastruktur dilakukan secara asal-asalan dan tidak
terencana. Umur yang pendek (kualitas buruk) dan fungsi yang tidak tepat adalah hasil
langsung yang dapat terlihat.

Semua berorientasi pada pengadaan proyek dan melakukan mark-up untuk menghalalkan
penghasilan bagi pelaksana proyek yang tidak lain adalah pribadi-pribadi yang
mempunyai hubungan dekat atau komitmen dengan pengambil keputusan untuk
melakukan bagi hasil.

Bila anggaran pembangunan daerah diserahkan secara utuh kepada daerah tanpa acuan
proporsi atau diberi acuan proporsi tetapi tanpa kendali, ini sama saja dengan
menyamaratakan kemampuan semua kemampuan pengambil keputusan di daerah setara
dengan daerah maju di Indonesia.

Perlu diingat bahwa banyak daerah di Indonesia yang tergolong daerah tertinggal dan
memiliki sumber daya tanpa pendidikan yang mencukupi. Apakah ini berarti daerah
tersebut tidak dapat maju? Bila perlakuan yang pukul rata tersebut dilakukan tentunya
daerah tersebut tidak akan maju. Mengapa demikian? Karena wawasan (visi) untuk
melakukan pembangunan terencana yang membuat suatu daerah dapat menjadi daerah
yang berkemampuan swadaya diperlukan pendidikan, pelatihan, dan diatas semuanya
adalah jiwa kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan rakyat.

Pendidikan dan pelatihan tidak perlu diartikan sebagai studi banding ke berbagai daerah
di Indonesia, atau ke luar negeri yang menghabiskan anggaran. Perlu ditekankan adalah
jiwa kepemimpinan yang berpihak pada rakyat. Sulitnya, justru mereka yang memiliki
61

kualitas kepemimpinan yang memenuhi syarat untuk memimpin bangsa ini memilih
untuk tidak terjun ke dalam sistem yang memang berantakan sehingga posisi-posisi
strategis dalam manajemen negara ini tidak lepas dari komitmen untuk bagi-bagi porsi
yang akhirnya menumpulkan idealisme para pemimpin.

Bila hal tersebut diatas terjadi, tidaklah lain akibat kesalahan manajemen pemerintahan
yang tidak terintegrasi antara pusat dan daerah. Secara struktur organisasi memang
merupakan suatu kesatuan, tetapi tidak menyentuh esensi permasalahan, yaitu
pemerataan pembangunan bagi sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat.

Perlu dipahami oleh seluruh penyelenggara manajemen negara di tingkat daerah bahwa
kepemimpinan yang juga berarti kekuasaan adalah suatu tanggung jawab yang memiliki
ukuran. Tanggung jawab untuk memajukan daerah yang dipimpinnya.
Tanggung jawab untuk memilih tim manajemen yang kuat dengan mekanisme yang
benar dan jujur demi kepentingan yang seluas-luasnya untuk rakyat.

Satu hal lagi yang membuat saya kagum adalah kebijakan bahwa anggaran tahunan
sebisa mungkin harus dihabiskan, karena bila tidak habis akan hangus. Ini adalah suatu
proses yang tidak mendidik karena melepaskan anggaran ke daerah tanpa panduan
pembangunan yang detail akan mengakibatkan pembangunan yang tidak tepat sasaran
dan berkiblat pada pendekatan anggaran.

Mungkin saya terlalu naif bila berpendapat bahwa lebih baik kelebihan anggaran dari
suatu daerah yang tidak terpakai dapat diakumulasikan ke anggaran daerah yang sama
untuk tahun berikutnya sehingga dapat dilakukan kegiatan pembangunan yang lebih
besar. Ini adalah prinsip sederhana dari menabung, yaitu menunda konsumsi untuk
manfaat yang lebih besar di masa yang akan datang.

Peran manajemen pemerintah pusat adalah di fungsi kontrol dan pendampingan teknis
perencanaan pembangunan, mulai dari usulan proyek, fisibility study, rancangan,
pengawasan proses seleksi pelaksana pembangunan, hingga pelaksanaan suatu proyek..
62

13. Subsidi yang Salah Sasaran


Alasan saya memasukkan topik subsidi dalam bahasan ini karena subsidi adalah salah
satu jalan pintas yang sifatnya survival based (dilakukan untuk bertahan). Ibaratnya
seorang anak yang belum berpenghasilan diberikan subsidi berupa uang jajan. Tetapi
masuk akalkah bila uang jajan tersebut diberikan kepada anak yang sudah beranjak
dewasa dan mampu mencari penghasilan sendiri? Atau sampai dewasa terus-menerus
disubsidi hingga tidak merasa perlu untuk mencari penghasilan sendiri.

Saya berpendapat bahwa kebijakan subsidi yang diawali pada jaman sulitnya
perekonomian Indonesia di era awal kemerdekaan ini semestinya sudah ditinggalkan
sejak lama. Alasan pertama bahwa keterbatasan kemampuan manajemen negara untuk
menanggung beban konsumsi rakyat. Alasan kedua adalah tidak menyelesaikan masalah
jangka panjang karena adanya subsidi justru membiaskan masalah sesungguhnya, yaitu
rendahnya daya beli masyarakat. Alasan ketiga, salah sasaran, subsidi yang berbasis pada
obyek (komoditi atau barang) semestinya diubah menjadi subsidi yang berbasis pada
subyek (individu yang membutuhkan). Dengan demikian, keadilan lebih dapat
dilaksanakan, yaitu, subsidi hanya untuk rakyat yang tidak berdaya beli, bukan untuk
rakyat yang memiliki daya beli.

Cara yang dapat dilakukan tentunya bukan dengan cara pendataan konvensional,
walaupun apa boleh buat baru cara inilah yang dapat dilakukan. Tetapi, dikemudian hari
cara yang menurut saya tepat adalah dengan Sistem Identitas Warga Negara yang
Terintegrasi (Sistem Identitas Terintegrasi Indonesia) – ini hanya contoh nama yang saya
buat supaya enak disingkat, “SITI” (mohon maaf bila ada kesamaan nama dengan
individu-individu yang bernama Siti).

Dengan memiliki SITI, setiap warga bisa diidentifikasi kemampuan ekonominya dari
input manual yang di-up date setiap perpanjangan SITI. Perpanjangan SITI pun tidak
perlu dengan penggantian kartu setiap tahun, tapi cukup dengan sistem elektronik
63

sehingga bila habis masa waktunya, akan dikirim surat peringatan untuk segera
memperpanjang SITI sebelum batas akhir konsekuensi SITI tidak dapat digunakan untuk
mendapatkan fasilitas sebagai warga negara.

Dalam suatu kesempatan khotbah tarawih, saya mendengar penceramah menyampaikan


suatu kalimat yang saya yakin sudah diketahui oleh kebanyakan orang tetapi jarang
direnungkan lebih dalam. Yaitu: ”Suatu hasil yang baik dapat diraih dengan adanya suatu
proses yang sejak awal dimulai dengan baik”. Lanjutannya adalah, ”Proses yang sudah
dimulai dengan baik pun belum tentu dapat membuahkan hasil yang baik, apalagi proses
yang dimulai dengan asal-asalan”.

Korelasi antara kutipan mengenai suatu proses dan hasil yang saya sampaikan diatas
dengan bahasan kita adalah proses yang dimulai dari sistem alur informasi dan hasil dari
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Bila kita melihat secara harafiah, bantuan langsung tunai (BLT) adalah suatu eksekusi
pertolongan pertama dari pemerintah yang mungkin memang terbaik dilaksanakan.
Tetapi pernahkan terpikirkan mengapa opsi-opsi untuk melakukan pemberian bantuan itu
begitu sempit, dan bahkan pilihan yang dianggap terbaik oleh pemerintahpun tidaklah
luput dari kekacauan administrasi yang tidak saja menimbulkan kasus di kalangan oknum
pelaksana pemberian bantuan, tetapi juga menimbulkan korban jiwa akibat tidak
terorganisirnya sistem pemberian bantuan.

Masih erat terkait dengan bahasan mengenai SITI (Sistem Identitas Terintegrasi
Indonesia), perbaikan harus dilakukan dari hulu menuju hilir. Sistem alur informasi ke
para pengambil keputusan dalam manajemen pemerintahan dan pengawas manajemen
pemerintahan harus diperbaiki dengan segera sebelum menimbulkan kerusakan yang
lebih parah.
64

14. Lemahnya Budaya Maintenance


Apa yang terjadi bila mesin yang kita beli dalam kondisi baru tetapi tidak pernah dirawat
kondisinya. Hanya dipakai sampai rusak, atau dirawat dengan spare part imitasi atau
rekondisi. Hancurlah mesin tersebut sebelum habis estimasi masa pakai.

Minimnya budaya maintenance jelas terlihat di beberapa gedung instansi pemerintah


yang buruk tampilan luarnya, dan jorok di bagian dalamnya. Tidak semua memang, tapi
banyak. Tidak percaya? Saya ajak saudara sekalian untuk berjalan-jalan melintas jalan
Gatot Subroto, HR. Rasuna Said dan Sudirman, bila ada gedung yang tidak terawat
mungkin seperti cat mengelupas, kaca buram, atau retak-retak, gedung-gedung milik
siapakah itu?

Bagaimana potret bandara internasional kita sebagai salah satu cermin koridor negeri ini
di mata internasional. Seperti kata pepatah, pandangan pertama tak terlupakan.
Bagaimana dengan hirupan napas pertama di area parkir bandara yang semerbak dengan
bau pesing?

Bila manajemen bandara merasa keberatan untuk membersihkan area parkir secara rutin
apakah tidak berlebihan bila dibuatkan toilet umum di area parkir? Hal ini mungkin tidak
penting bagi para pengambil keputusan manajemen, tetapi 100 atau mungkin 1000
masalah tidak penting yang terakumulasi telah menodai gambaran keindahan negara
Indonesia.

Saya pernah mengalami beberapa kali dengan sangat terpaksa harus menggunakan toilet
bandara di daerah, yang sebenarnya juga merupakan koridor-koridor masuknya
pelancong atau para expatriate ke Indonesia. Luar biasa memalukannya. Toilet yang tidak
ada kuncinya sehingga menyulitkan kita untuk buang air besar karena harus menahan
pintu dengan tangan, tidak ada air, tidak ada keran air, tidak ada sabun, dan sebagainya.
65

Semasa saya sering berpergian ke daerah, saya selalu mengantongi rokok, bukan untuk
merokok, tetapi untuk mencuci tangan saya bila keadaan mendesak. Setidaknya saya
telah menemukan fungsi rokok yang tidak merusak kesehatan ya? Hehe..

Belum lama waktu berselang saat saya mulai menulis buku ini, seorang figur politik
meninggal dan konon akibat motor besar yang dikendarainya terperosok di lubang
jalanan. Sungguh melelahkan menunggu perbaikan infrastruktur dilakukan di negara ini,
di ibukota pun sudah parah apalagi di daerah yang jauh dari ibukota ya?

Saya pernah mendapatkan kesempatan berbincang-bincang dengan seorang turis asal


New Zealand sewaktu saya di Amerika. Luar biasa apa yang saya dengar. Jalanan yang
sebegitu mulusnya bagi saya saat di Amerika dikomentari dengan kekecewaan dari si
turis. Dia berkata bahwa kualitas kondisi jalan di negaranya masih jauh lebih baik.
Apakah ini akan menjadi angan-angan atau akan menjadi cita-cita yang dapat
diwujudkan, andalah yang dapat menjawabnya.

Bila anda berksempatan naik Bus way, cobalah perhatikan kondisi prasarana penunjang
dan jalur bus way. Beberapa hal yang telah saya lihat dan rasakan adalah: pintu otomatis
halte bus way rusak, sehingga membahayakan penumpang yang menunggu datangnya
bus way di depan pintu terbuka. AC dan Televisi di halte yang dulu sempat ada sudah
menghilang entah kemana. Plat bordes jalur penyeberangan banyak yang terangkat. Jalan
lintas bus way rusak hingga kalau saja bus itu bisa menangis tentunya bus transjakarta
tersebut sudah kehabisan air mata. Getaran yang luar biasa tersebut tentunya juga
memperpendek usia bus itu sendiri. Jalur pemisah berupa blok beton yang terlepas dan
dibiarkan menjuntai ke jalur mobil pribadi. Hampir saja saya pernah menabrak blok
beton yang terlepas di malam hari karena tidak terlihat, harap maklum, ada blok beton
yang dicat kuning tapi ada juga yang dibiarkan polos.
66

15. Menyerahnya Investor Asing


Salah satu indikasi berhasilnya sistem manajemen negara adalah dengan harumnya aroma
investasi asing di negara tersebut. Investasi asing dapat masuk bukan dengan paksaan,
tetapi dengan bujukan dan komitmen. Bujukan dan komitmen yang bagaimanakah yang
menggiurkan bagi pihak asing untuk menanamkan modal dan secara otomatis
menciptakan lapangan kerja?

Bujukan berupa kemudahan proses melakukan investasi, rendahnya biaya tenaga kerja
(buruh), rendahnya pajak investasi dan kompensasi waktu, efektifitas investasi dengan
produktifitas yang tinggi, dan sebagainya.

Sedangkan untuk komitmen, tentunya adalah suatu konsistensi untuk menjaga bujukan
yang awalnya diberikan menjadi janji yang dipenuhi, bukan iming-iming yang
membuahkan penyesalan bagi investor.

Bagaimana dengan manajemen serikat pekerja di Indonesia? Apakah telah dikelola secara
profesional, dan secara obyektif dapat mempertahankan keseimbangan antara
kepentingan investor dan kepentingan buruh?

Konsistensi Serikat Buruh dalam menempuh jalur hukum bukan jalur kekerasan seperti
tindakan anarkis dan pemaksaan kepada anggotanya untuk melakukan demonstrasi, tidak
jarang kita lihat aksi kekerasan dan intimidasi dilakukan oleh sekelompok orang kepada
kelompok lainnya yang tidak mau melakukan mogok kerja. Sungguh menyedihkan,
karena perserikatan dan persekutuan yang sebenarnya merupakan benteng perjuangan
buruh tidak dikelola secara profesional melainkan dikuasakan kepada para preman
berseragam.

Kenapa saya katakan pemaksaan demonstrasi? Karena saya pernah merasakan bekerja di
lingkungan pabrik dan mengalami beberapa kali peristiwa demonstrasi yang sebenarnya
tidak dikehendaki oleh sebagian besar buruh. Pemaksaan dilakukan oleh oknum-oknum
buruh yang pernah dikenakan sanksi oleh perusahaan investor karena performa yang
67

buruk atau kesalahan-kesalahan yang teridentifikasi dengan jelas. 500 orang buruh
diintimidasi oleh sekitar 40 orang buruh yang bermasalah dengan perusahaan.

Dimana posisi manajemen negara terkait dengan usaha mempertahankan keseimbangan


antara kepentingan investor dan kepentingan buruh? Apakah keluhan buruh yang
melakukan tindakan merugikan investor dapat dibenarkan atas nama serikat dan undang-
undang perlindungan buruh? Sedalam apakah manajemen negara mampu
mengidentifikasi masalah internal perburuhan sebelum mengidentifikasi sumber
masalah?

Apa peran manajemen negara dalam hal meningkatkan produktifitas buruh? Apakah
menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada pihak investor? Atau secara berkala
melakukan standarisasi dan perbaikan demi menjaga kualitas buruh sehingga memiliki
daya saing dibandingkan buruh negara lain. Mungkin para pengambil keputusan dalam
manajemen negara telah lupa atau tidak tahu bahwa sesungguhnya buruh lokal itu telah
secara langsung bersaing secara global dengan buruh-buruh dari negara lain.

Kualitas buruh dan tenaga kerja di Indonesia harus ditata secara serius agar mempunyai
nilai jual yang menarik bagi investor.

16. Pelecehan Harga Diri Bangsa Dengan Ijin Pengiriman TKW


Sudah berapa kali kita dengar peristiwa yang mengenaskan, mulai dari penyiksaan,
bunuh diri, pemerkosaan yang menimpa saudara-saudara kita kaum perempuan yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri.

Saya tidak tau apa dasarnya para pengambil keputusan dalam manajemen negara ini tidak
melakukan penghentian pengiriman tenaga kerja wanita ke negara asing, yang sudah
bukan rahasia lagi bahwa seringkali mengalami pelecehan, penganiayaan, dan
perbudakan!
68

Itu hanya kasus, memang betul. Tetapi anda akan berpendapat berbeda bila hal tersebut
menimpa diri anda sendiri atau kerabat dekat anda. Yang ingin saya sampaikan adalah
jangan hanya melihat kasus ini dari sudut pandang kuantitatif, rasio antara kasus dan
tidak kasus. Tetapi harus ada suatu mekanisme penghukuman secara administrasi negara
terhadap organisasi pengelola mulai dari hulu hingga hilir yang dapat berakibat pada
pencabutan ijin.

Suatu mekanisme sanksi penting untuk diadakan dan saya ingin menekankan adalah
bukan diada-adakan, tetapi benar-benar ada dan berjalan, tidak dapat dibayar dengan
uang. Dengan mekanisme sanksi ini, organisasi pengirim pembantu yang diperhalus
dengan kata-kata ”Tenaga Kerja Wanita” harus memiliki perwakilan di negara tujuan
yang bertujuan untuk melakukan kunjungan berkala, wawancara, meminta masukan dari
pekerja maupun yang memberi kerja, memberi kesempatan para pekerja untuk
menghubungi keluarganya melalui sambungan telepon, dan sebagainya. Tujuannya
adalah tindakan preventif atau pencegahan agar kejadian-kejadian buruk tidak terus
menerus menimpa kaum pekerja yang dengan sangat terpaksa harus ke luar negeri
mencari nafkah karena pemerintah kita sudah lepas tangan dan pikiran atas bagaimana
mereka bisa mencari penghasilan di negeri Indonesia tercinta ini. Apakah anda berpikir
mereka senang berada jauh dari sanak keluarga tercinta bila bukan karena himpitan
ekonomi?

Apakah atas dasar uang lalu kita merasa benar dengan mengirimkan mereka dan
memberikan julukan pahlawan devisa? Bukankah sudah hakikatnya bahwa perempuan
harus dilindungi? Tidak dapatkah sistem manajemen negara ini menempatkan nyawa dan
keselamatan para tenaga kerja wanita Indonesia sebagai alasan utama bahwa kebijakan
pengiriman TKW ini sudah tidak layak lagi untuk dilanjutkan.

Hal kedua yang terkait dengan pengiriman TKW adalah semakin terpuruknya harga diri
bangsa akibat melakukan supply atas permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah,
dengan harga rendah, dan bisa direndahkan dengan siksaan, kurungan, siraman air panas,
setrikaan, dan bahkan perkosaan.
69

Indonesia dikenal sebagai negara miskin, dan ini dibuktikan benar oleh para pengambil
keputusan negara dengan kebijakan supply perempuan Indonesia ke negara asing dengan
bekal perlindungan hukum yang lemah.

Bercermin pada manajemen keluarga, apakah orang tua mengijinkan anak perempuannya
bekerja di tempat yang asing dan berpotensi membuat celaka anak tersebut? Atau lebih
baik orang tua banting tulang dari pagi hingga pagi lagi berpikir keras dan bertindak
untuk memberikan penghidupan pada anak perempuannya sampai titik darah
penghabisan.

17. Ekonomi Biaya Tinggi akibat Retribusi Liar


Mengapa muncul retribusi liar? Menurut saya ini adalah bukan masalah oknum. Ini
adalah masalah manajemen yang tidak menjaga keseimbangan dan transparansi dan
dengan sengaja mengijinkan praktek pungutan liar.

Bagaimana dengan adanya pungutan liar (pungli) yang sudah begitu mendarah daging di
seluruh kegiatan ekonomi negara ini? Mulai dari parkir hingga bandara. Hal ini diakui
atau tidak diakui memang telah ada dan memberatkan bagi para pelaku usaha. Salah satu
penyebab high cost ekonomi ini dilakukan baik oleh oknum dari manajemen negara
maupun oleh sesama rakyat yang mendapatkan dukungan dari oknum-oknum.

Sudah sering kali diberitakan tentang mogoknya para supir angkot yang menuntut
ditindaknya para pelaku pungutan liar. Mereka tidak sanggup menanggung biaya
operasional dan mencapai target setoran kepada pemilik kendaraan dengan maraknya
pungutan liar. Saya pun mendapatkan masukan tentang pungutan liar hampir di setiap pos
pemeriksaan pelabuhan sehingga menyebabkan banyak biaya-biaya yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan kepada para pemilik usaha.

Mengapa hal-hal tersebut diatas tidak dapat diatasi? Hal ini tentunya terkait dengan
sistem distribusi atau alokasi pendapatan usaha dari pos-pos manajemen negara. Kita
tidak bisa menyalahkan siapapun pelaku tindakan ini sebelum sistem manajemen terkait
70

dirancang ulang. Karena siapapun yang duduk di posisi terkait tidak bisa lepas dari
praktik distribusi (pajak liar) yang sudah menjadi sistem karena kebiasaan.

Sebenarnya prinsip pemberantasan korupsi di negara ini yang mengacu pada oknum
tanpa melakukan pembenahan sistem manajemen adalah suatu perjalanan tanpa ujung.
Seperti bunyi slogan di salah satu televisi swasta yang kurang lebih berbunyi:
“ingat…kejahatan juga terjadi akibat adanya kesempatan”.

Nah…”kesempatan” dalam konteks diatas adalah celah-celah kelemahan sistem


manajemen. Ibaratnya bila kita menaruh makanan di teras rumah lalu di pagi hari kita
menemukan kenyataan bahwa makanan tersebut hilang. Lalu setelah melakukan
pelacakan kita menemukan fakta bahwa kucing yang suka duduk-duduk di seberang
rumah adalah oknum yang bertanggung jawab atas hilangnya makanan tersebut. Lalu kita
kurung kucing tersebut. Apakah ini suatu urutan pemecahan masalah yang benar?
Apakah setelah kucing tersebut kita kurung lalu kita akan aman untuk menaruh makanan
kita di teras rumah?

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa rancangan sistem manajemen negara ini rapuh
di banyak sektor sehingga muncul bentuk-bentuk retribusi liar mulai dari kasta terendah,
“pak ogah” di pengkolan dan putaran jalan hingga kasta tertinggi, pencurian uang
memanfaatkan sistem, misalnya sistem pembulatan perbankan (pembulatan angka sen
mulai 3 digit dibelakang koma).

Lalu apa fungsi transparansi? Fungsi transparansi adalah erat kaitannya dengan fungsi
kontrol. Semakin transparan alur uang, semakin mudah terdeteksi bila terjadi
penyimpangan, sehingga kontrol sosial (laporan masyarakat) berdasarkan perhitungan
yang dapat dipahami masyarakat dan kontrol manajemen dapat berfungsi dengan
konstan. Apakah ini hanya sekadar teori kosong atau sesuatu yang dapat dilaksanakan?
Saya berharap bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang berpendapat bahwa
perbaikan ini sangat mungkin dilakukan.
71

18. Persepsi Kemerdekaan Yang Salah Kaprah


Apakah arti kemerdekaan bagi anda? Memang secara status negara Indonesia tercinta
telah merdeka. Lalu apakah dengan kemerdekaan maka hidup kita terjamin sejahtera?
Tentu tidak. Kemerdekaan tanpa pembangunan adalah ibarat tempayan tanpa air. Kita
hidup dari air bukan dari tempayan.

Menurut pendapat saya, kemerdekaan adalah wadah untuk dapat dilaksanakannya


pembangunan. Seperti tempayan yang menjadi wadah air. Apakah relevan bila kita
dengan bangga menyebarkan berita bahwa kita punya tempayan, padahal kita tidak
mempunyai air?

Memang suatu perumpamaan yang hiperbolik diatas saya lontarkan sebagai pemicu kita
untuk berdiskusi lebih dalam tentang arti kemerdekaan. Bagaimana bila pembangunan
dilakukan secara tidak merata? Atau bagaimana bila hasil pembangunan dinikmati lebih
banyak oleh negara asing? Ibaratnya kita punya tempayan, tetapi pada saat tempayan kita
penuh air, air di dalamnya itu sudah menjadi hak orang lain, sehingga kita Cuma
berstatus pemilik tempayan tanpa memiliki isinya, mungkin hak guna kemerdekaan
(HGK) istilah kerennya, bukan status hak milik kemerdekaan (HMK).

Kenapa saya katakan sebagai HGK, karena sebagian besar hasil pembangunan (termasuk
hasil kekayaan alam laut dan tambang) telah terikat dengan kontrak dengan negara asing
atau terjarah tanpa dapat dideteksi. Terkait dengan kebijakan hutang luar negeri
manajemen negara kita tercinta, bargaining power kita sungguh telah dilemahkan dengan
status hutang.

Kemerdekaan adalah wadah bagi manajemen negara untuk melaksanakan pembangunan,


yang tujuannya adalah kesejahteraan rakyat melalui peningkatan daya beli masyarakat.
Daya beli yang terarah akan memperkuat berbagai sektor kehidupan secara simultan,
72

yaitu bila diarahkan pada konsumsi produk yang dihasilkan dari sumber daya dalam
negeri.

Jadi bagi saya, kemerdekaan semestinya memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar
hiasan lampu berbentuk ondel-ondel, umbul-umbul atau melingkari pohon di jalan
dengan lampu warna-warni terutama yang dimulai pada 17 Agustus.

19. Kekuatan Era Orde Baru Dalam Menjaga Kestabilan


Era Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966 sungguh merupakan era yang kontroversial
menurut pandangan saya. Era ini pernah dicintai, dibanggakan, dibenci, sekaligus dicaci-
maki.

Dalam hal regenerasi, menurut saya, era orde baru tidak dapat dijadikan rujukan apalagi
sebuah panutan. Tetapi dalam hal kemampuan menjaga kestabilan selama 32 tahun,
sungguh merupakan hal yang luar biasa.

Berprinsip pada ilmu manajemen yang baik (versi saya lagi tentunya), rancangan sistem
manajemen yang baik harus dimulai dengan benar sejak awal. Lalu mengapa masa
manajemen pemerintahan orde baru dapat bertahan hingga 32 tahun dengan pemerintahan
yang relatif stabil.

Ini adalah strategi sederhana sekaligus efektif, tetapi bila kebablasan yang terjadi adalah
kehancuran, dan memang akhirnya terjadi kekacauan. Strategi itu saya namakan “Strategi
Injak Kaki”.

Strategi Injak Kaki ini sangat efektif dalam menjaga kestabilan. Mulai dari kestabilan
politik sampai kestabilan harga. Lalu apakah efek jangka panjangnya? Saya beranggapan
bahwa salah satu akibat jangka panjangnya adalah tidak meratanya pembangunan.
Mengapa demikian?
73

Pada prinsipnya, politik injak kaki ini mengandalkan pada individual control (individual
power) sehingga salah satu kelemahan terbesar politik ini adalah tidak mampu
menjangkau area yang luas. Area ini bisa berarti sektor ekonomi, politik, dan juga
termasuk area luas daerah. Maka apa cara yang digunakan untuk tetap dapat menjalankan
strategi ini dengan efektif? Tentunya pengendalian arus uang, dengan mengendalikan
arus uang, semua kebijakan pembangunan dikendalikan dari pusat pemerintahan. Bila
suatu daerah ingin maju tentunya harus menuruti semua kemauan pusat, termasuk
memenangkan suara pemilu untuk kelompok partai tertentu.

Saya ingat pernah mengendarai mobil ke Jawa Tengah di tahun 1990-an, luar biasa,
semua rumah, tembok, bahkan pohon dicat dengan warna kuning! Apa ya maksudnya?
Ada lagi pengalaman saya, sewaktu saya berkunjung ke rumah teman di daerah pinggiran
Jakarta, saya heran dengan kondisi jalan yang halus, tiba-tiba putus di tengah dan
berlanjut dengan jalan kasar dan tidak diaspal. Teman saya tersebut menjelaskan
alasannya. Di RT tetangga, suara pemilu dimenangkan oleh partai yang bukan diinginkan
pemerintah. Sedangkan di wilayah RT tempat teman tinggal teman saya, partai politik
yang suka melihat pohon berwarna kuning tersebut meraih suara menang mutlak.

Hal tersebut diatas adalah fenomena yang terlihat di perkotaan, dan tentunya pola yang
sama diterapkan di seluruh pelosok tanah air. Era tersebut sungguh suatu jaman
keemasan bagi pedagang cat dan kain berwarna kuning.

Contoh lain adalah sektor pertanian. Harga jual produk tani yang dipatok rendah
mengakibatkan sektor pertanian meranggas hingga lama kelamaan para petani
meninggalkan lahan pertanian dan beralih profesi menjadi buruh dan pedagang. Di era
yang sudah memasuki tahap perdagangan bebas, sisa peninggalan strategi injak kaki telah
mengakibatkan tertinggalnya hampir seluruh sektor kehidupan Indonesia dibandingkan
dengan negara luar, jangankan dibandingkan dengan status negara maju, dengan negara
tetangga yang dulu mulai sama rendah pun, sekarang mereka sudah berdiri dan kita
mungkin masih dalam posisi duduk.
74

Mengapa negara tidak memberikan wewenang kepada asosiasi-asosiasi sesuai dengan


sektornya masing-masing untuk menentukan standar harga nasional? Tentunya dengan
catatan bahwa persaingan bebas telah terlaksana, sehingga produk barang dan jasa dari
luar pun dapat bersaing dengan produk dan jasa lokal. Persaingan sempurna yang
mengacu pada harga dan kualitas dapat terjadi. Bila persaingan bebas belum mungkin
dilaksanakan maka pemerintah berfungsi sebagai pesaing dari berbagai industri swasta,
yaitu dengan memajukan industri-industri milik pemerintah, termasuk BUMN yang
berkualitas internasional. Tentunya bukan dengan cara menjual kepemilikan BUMN
kepada pihak asing.

Siapa yang diuntungkan bila kita mempunyai sektor industri dan jasa yang kuat?
Tentunya para produsen dan pemberi jasa lokal yang diuntungkan karena memiliki
kelebihan dari sisi pengenalan market lokal dan biaya efisien karena domisili langsung
berada di dalam negeri. Masyarakat dan konsumen pun diuntungkan dengan
mendapatkan produk berkualitas dengan harga yang bersaing.

20. Hukum Warisan Penjajah


Para pembaca sekalian, sudah berapa tahun berselang sejak Indonesia menyatakan
sebagai bangsa yang merdeka? Sudah lebih dari ½ abad bukan? Tetapi kenapa Kitab
Undang-Undang dan Peraturan Republik Indonesia masih menggunakan acuan hukum
peninggalan Belanda? Engelbrecht adalah salah satu koleksi wajib kantor hukum di
Indonesia. Dari namanya saja saya berani bertaruh bahwa banyak bahasa belanda di
dalamnya, dan saya pasti menang karena istri saya punya 1 buku tersebut terbitan tahun
1960.

Mungkin terlalu sulit untuk para pemikir dan ahli hukum Indonesia untuk membuat
rancangan hukum yang asli karya bangsa Indonesia. Atau mungkin juga diperlukan
anggaran hingga trilyunan untuk membuatnya. Atau, bisa juga tetap digunakan karena
undang-undang dan peraturan tersebut dirancang sedemikian rupa memang untuk
75

melemahkan bangsa, mengapa melemahkan bangsa? Karena porsi pengendalian dan


pelaksanaan negara dipegang oleh kendali pemerintah dan partai, yang notabene,
pemerintah adalah kumpulan partai. Jadi apa kesimpulannya? Hukum yang diterapkan
adalah hukum yang menguntungkan pemerintah, karena pemerintah pun berperan sebagai
penguasa.

Apa yang terjadi bila manajemen negara ini membuat suatu pengumuman di seluruh
media cetak dan elektronik bahwa negara Indonesia akan membuat kitab undang-undang
dan peraturan baru yang asli karya bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, dan untuk
kemajuan negara Indonesia? Lalu diikuti dengan kebijakan untuk menerima semua
masukan secara langsung dari rakyat melalui surat, dengan format yang diatur negara
tentunya untuk memberikan input bagi proses rancangan kitab tersebut.

Kalau saya pribadi melihat dan mendengar pengumuman tersebut diatas, tentu akan
menangis penuh haru bahwa akhirnya para pengambil keputusan dalam manajemen
negara bersikap sebagai pemimpin bangsa yang merdeka. Berani mengambil resiko demi
kemajuan dan kesetaraan negara Indonesia dalam hubungan internasional.

21. Indonesia Bangkit – Antara Slogan dan Kenyataan


Sungguh lucu para pengambil keputusan dalam manajemen negara ini. Beberapa waktu
lalu sebelum saya mulai menulis buku ini, mulai gencar slogan “Indonesia Bangkit!!” di
media cetak dan elektronik, lengkap dengan deretan pemuda pemudi yang dianggap
berprestasi sebagai bintang iklan, atau bintang slogan lebih tepatnya.

Saya justru berpendapat bahwa bila harus ada slogan yang dipromosikan oleh para
pemimpin, mungkin lebih tepat bila slogan tersebut berbunyi “Indonesia tabah!” atau
“Indonesia berdoalah!” Karena hanya dengan keajaiban dari Tuhan lah maka para
pemimpin dan calon pemimpin, baik pemimpin partai, maupun pemimpin pemerintahan,
serta pemimpin-pemimpin rakyat yang duduk di kursi wakil rakyat mau duduk di lantai
kemelaratan bersama rakyat.
76

Satu analogi sederhana bahwa bila seseorang hendak menolong tentunya harus memiliki
satu kepedulian. Bagaimana bisa menolong bila tidak peduli? Kepekaan adalah awal
menuju kepedulian, apakah perlu kepekaan dan kepedulian tersebut dipamerkan? Tidak
perlu. Saya sangat yakin bahwa rakyat kita, saudara-saudara kita di tanah air ini tidak
bodoh. Kita rakyat dapat membedakaan antara kepalsuan dengan kepedulian. Kita dapat
membedakan antara kepedulian pura-pura di masa menjelang pemilihan suara dengan
kepedulian yang tulus.

Kepedulian yang tulus, hanya dengan cara inilah baru Indonesia bisa bangkit. Pada saat
rakyat terharu karena pemimpinnya tidak bergelimangan harta, tetapi justru miskin
semiskin miskinnya seperti rakyat yang terbengkalai. Ibaratnya manajemen rumah
tangga, seorang ayah akan rela tidak makan asal anaknya bisa makan, demikianlah
seharusnya para pemimpin dan pengambil keputusan dalam manajemen negara
memperlakukan rakyat Indonesia yang tercinta.

Malukah para pengambil keputusan dalam manajemen negara bila bergaji rendah, tidak
menggunakan mobil ber-CC besar dan mewah, atau tinggal di rumah dinas yang ala
kadarnya layaknya rumah sederhana? Bila memang itu pengorbanan untuk
membangkitkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, maka Indonesia, berdoalah!
Semoga keajaiban dari Tuhan benar-benar ada dan menggetarkan hati para pemimpin dan
calon pemimpin bangsa ini.

Saya membayangkan bila seorang pejabat setingkat menteri negara mau naik bus trans
jakarta, antri bersama para pekerja dan berdesakan di dalam bus bersama para pengguna
bus lainnya. Bukankah katanya, bus trans jakarta ini merupakan sarana transportasi yang
nyaman, dan bebas macet tentunya karena ada jalur nya sendiri yang diambil sebagian
besar dari jalur jalan yang sudah ada. Sungguh indah rasanya bisa pulang ke rumah dan
bercerita kepada anak di rumah, ”nonk...tadi papa satu bis dengan pak / ibu menteri
lho...!”
77

22. Reinkarnasi Sumpah Pemuda


Masih ingat Sumpah Pemuda? Sadarkah para pemimpin, calon pemimpin, para pembaca
sekalian bahwa itu adalah salah satu bentuk keajaiban dari Tuhan. Ya, keajaiban tidak
perlu turun langsung dari langit, keajaiban dapat diciptakan dengan niat yang tulus dan
tekad yang bulat.

Mengapa itu merupakan keajaiban? Karena puluhan (atau ratusan?) utusan dari berbagai
daerah di seluruh Nusantara bersumpah bahwa mereka adalah satu bangsa, satu bahasa,
dan satu tanah air.

Apa yang menyatukan daerah-daerah di masa lalu adalah suatu perasaan haus akan
sesuatu, yaitu haus akan kemerdekaan. Pada saat itu, kesadaran timbul bahwa hanya
dengan meleburkan diri menjadi 1 maka seluruh daerah akan memiliki suatu rancangan
manajemen yang solid untuk menentang manajemen penjajahan, yaitu manajemen yang
lebih maju pada saat itu dan pada akhirnya justru menyebabkan bersatunya seluruh
daerah-daerah yang tadinya terpecah dan menjadi Indonesia di masa kini.

Sebenarnya, saat sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan “reinkarnasi” sumpah
pemuda. Mengapa? Karena Indonesia sekarang pun adalah pecahan dari banyak partai
yang membawa bendera kelompoknya masing-masing. Saat ini manajemen penjajahan
telah menjelma dalam sosok yang lebih ganas. Sosok musuh yang tidak dapat dilihat
dengan mata, tetapi dapat dirasakan desakannya yang akan mengancam kehidupan
bernegara. Musuh yang harus ditaklukkan itu adalah “Persaingan Global”.

Persaingan global tidak akan memuntahkan peluru timah panas untuk membunuh rakyat.
Tetapi Persaingan Global akan memakan apapun yang tidak siap. Persaingan global tidak
dapat ditentang karena merupakan dari sistem manajemen yang lebih maju dan telah
dirancang untuk mengakses seluruh negara dan akan menguntungkan bagi negara yang
maju dan siap.
78

Di sinilah semestinya alarm sense of crisis meraung dengan sekeras-kerasnya. Kebijakan


untuk menaikkan harga bahan bakar minyak adalah suatu kebijakan yang sangat tidak
populer, sangat dihindari, sangat ditakuti oleh pengambil keputusan di negeri ini, bahkan
ditahan sekuat-kuatnya seperti yang dilakukan oleh pemerintahan masa lalu. Tetapi saat
ini, pemerintah kurang beruntung. Cengkraman persaingan global tidak dapat dihindari
terus menerus bahkan oleh pemerintah. Persaingan Global dirancang untuk menjadi
semakin kuat secara organik. Suatu rancangan yang akan memenangkan negara industri
dan negara-negara yang produktif, bukan hanya sekedar menjadi penjual bahan mentah
dan bahan baku.

23. Peran Kesultanan Dalam Manajemen Negara


Saya berpendapat bahwa Sejarah rakyat Indonesia sesungguhnya berakar pada peran-
peran kesultanan di masa lalu. Wibawa warisan kesultanan di masa lalu masih mengakar
pada masyarakat setempat.

Di masa pemerintahan lalu, keberadaan Kesultanan cenderung disegani sekaligus


dibatasi. Ada kekhawatiran akan kuatnya pengaruh kesultanan pada rakyat hingga
membangkitkan perlawanan atas penyimpangan-penyimpangan. Bila ini memang saatnya
slogan “Indonesia bangkit” dikumandangkan, tentunya tidak terkecuali pula dengan
kebangkitan semua sendi masyarakat, termasuk memasukkan kesultanan-kesultanan yang
ada di penjuru negara ini untuk kembali mengumandangkan persatuan.

Tidak berlebihan memang bila ada kekhawatiran bahwa semangat kedaerahan justru akan
berujung pada perpecahan. Tetapi saya mengajak semua elemen masyarakat dan pembaca
untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Saat ini negara Indonesia telah
terpecah menjadi banyak kelompok partai yang tidak lagi mengenal garis batas
demografis, demikian pula ancaman Persaingan Global yang tidak mengenal garis batas
dalam pergerakannya. Justru mengembalikan ketahanan daerah sebagai bagian dari
kekuatan manajemen negara akan menghambat gerak Persaingan Global, memberi waktu
79

hingga kita dapat terus-menerus melakukan penyempurnaan atas kemampuan bersaing


negara Indonesia tercinta.

Sungguh ironis bahwa jajaran para pahlawan di masa perlawanan terhadap penjajah yang
banyak diantaranya dipimpin oleh para bangsawan kesultanan, justru di masa
kemerdekaan ini peran kesultanan dipandang sebelah mata dan hampir tidak memiliki
peran dalam manajemen negara.

Apakah wibawa kesultanan yang telah berada di Nusantara sejak sebelum sejarah bangsa
ini dimulai harus melebur dalam partai-partai untuk bisa masuk kedalam sistem
manajemen negara? Sayang sekali bila itu yang terjadi. Sungguh suatu kesalah-pahaman
yang semakin parah atas esensi manajemen negara.

Bagaimana bentuk peran kesultanan dalam manajemen negara tentunya perlu dirumuskan
dengan seksama. Karena tujuan yang ingin dicapai adalah persatuan dan bukan
perpecahan. Maksudnya adalah untuk memperkuat ketahanan dan kemampuan, bukan
justru melemahkan dan membingungkan.

24. Antara Kisah Kehancuran dan Bulan-Bulanan Bangsa Lain


Tahukah para pembaca bahwa jumlah devisa negara Indonesia jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah uang milik salah satu (hanya satu) universitas swasta
terkemuka di Amerika Serikat. Hal tersebut hanya untuk memberi gambaran seberapa
besar (atau mungkin kecil?) kita di mata sebuah negara adidaya.

Kehancuran bangsa akan terus terjadi baik disadari maupun tidak, baik terlihat maupun
tidak. Hal ini dimulai dari sikap mental yang salah. Salah karena menganggap bahwa kita
tidak mempunyai teknologi dan keahlian untuk mengolah sumber daya sehingga
membutuhkan, atau bahkan lebih dari membutuhkan tetapi sangat tergantung pada negara
lain untuk dapat mengambil sumber daya alam tersebut.
80

Hal tersebut diatas diperparah dengan perjanjian yang cenderung merugikan negara entah
disengaja atau tidak, tetapi komposisi pembagian dan keterlibatan manajemen lokal
dalam pengelolaan sumber daya benar-benar tidak menguntungkan negara Indonesia.

Sikap mental yang tidak percaya diri tersebut berbuah pada afirmasi bahwa pendidikan di
luar negeri adalah suatu prestise dan lebih baik dari kualitas pendidikan di dalam negeri.
Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri ada benarnya. Benar bahwa kualitas
pendidikan di luar negeri secara mayoritas lebih baik dari sebagian besar kualitas
pendidikan di Indonesia.

Tetapi yang menjadi persoalan serius adalah cara menyikapi kondisi tersebut diatas.
Ketimbang berusaha mati-matian memperbaiki kualitas pendidikan di dalam negeri,
justru individu-individu yang memiliki potensi dan kualitas kepemimpinan dikirim ke
luar negeri untuk belajar.

Lupakah kita bahwa manusia adalah mahluk yang paling adaptif di dunia. Dengan
pendidikan di luar negeri, terjadi perubahan pandangan dan persepsi atas tata negara dan
idealisme. Kembali ke negara Indonesia sebagai produk didikan asing dan berusaha
menerapkan ilmu dan konsep idealisme asing ke dalam ranccangan manajemen negara di
Indonesia.

Tanpa bermaksud untuk terdengar anti pendidikan luar negeri, saya berpendapat bahwa
yang terbaik adalah mengembangkan konsep pendidikan dalam negeri.

Jadi intinya adalah, apa yang baik dari luar, kita bawa dan kembangkan di dalam negeri.
Sikap mental untuk membangun institusi yang kuat sehingga mampu memberikan
pelayanan yang berkualitas internasional untuk sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.
Sikap mental untuk membangun di dalam negeri ini bila dikembangkan ke sektor-sektor
lain tentunya akan memacu pertumbuhan produktifitas melalui perkembangan sektor
industri.
81

Memang kita pernah mempunyai industri pesawat terbang, yang konon pernah dibarter
dengan ketan dengan Thailand. Itupun merupakan pengalaman berharga bagi manajemen
negara ini, yaitu agar perencanaan selalu menapak pada kemampuan dan bergerak maju
terkendali dan bukan pada menapak pada angan-angan dan kemampuan negara lain.

25. Bangkit Dengan Idealisme dan Kekuatan Sosial


Menurut pendapat saya, bungkamnya idealisme individu baik disengaja atau tidak
disengaja merupakan sebuah indikasi degradasi kebangsaan yang harus diatasi dengan
segera dan serius.

Bagaimana dengan pengembangan komunikasi dua arah antara para pimpinan


manajemen negara dengan masyarakat menggunakan media elektronik seperti televisi
dan radio? Apakah cukup dengan SMS kepada presiden dan dibalas dengan pesan
jawaban otomatis?

Idealisme masyarakat memang tersalurkan melalui media cetak dan elektronik, tetapi
tanpa komunikasi 2 arah yang nyata, seolah pemikiran-pemikiran tersebut hilang ditelan
waktu dan tidak mengubah apapun. Tidak ada komitmen perubahan yang dapat dipegang,
bahkan tidak ada kepastian apakah ada diantara para pengambil keputusan dalam
manajemen negara memperhatikan pemikiran-pemikiran ideal tersebut.

Dua hari yang lalu saya tidak sengaja mendengar salah satu sosok mantan presiden yang
menyampaikan pidato dengan berapi-api mengutarakan hal-hal yang up to date, termasuk
kenaikan harga BBM, dan sebagainya. Lalu saya teringat pada cerita teman saya, saat
menyampaikan presentasi di suatu perusahaan multinasional, di akhir presentasi dia
mendapatkan komentar singkat dari CEO perusahaan tersebut, “there’s a different
between looks good and being good”. Teman sayapun menyadari bahwa dia terlalu fokus
pada cara penyampaian dan sibuk dengan cara memenangkan perhatian audience, tetapi
melupakan esensi kualitas presentasi yang disampaikan.
82

Idealisme memang bagus, tetapi bila dikemas dalam wacana yang salah tentunya
idealisme akan menjadi satir dan bahkan menjadi konyol. Kapasitas seorang idealis tanpa
kemampuan untuk memikirkan aplikasi dalam realitas adalah tidak lebih dari sekedar
komentator. Apa beda komentator dan idealis? Komentator tidak mampu merubah
apapun karena dia hanya melihat untuk menceritakan apa adanya.

Sedangkan seorang idealis adalah ibarat seorang pelatih profesional. Pada saat dia
mengutarakan pendapat kepada tim yang dilatih, dia mengutarakan mendapat untuk
memperbaiki performa dari anak didiknya.

Sudah saatnya bagi masyarakat untuk lebih selektif dan jeli dalam mengamati dan
memilih pemimpinnya. Apakah pemimpinnya seorang komentator atau seorang idealis?
Bila mendapat kesempatan untuk berdialog baik secara terbuka atau tertutup, tanyalah
kepada beliau-beliau para pemimpin dan calon pemimpin. Tanyalah dengan kritis,
bagaimana beliau yang terhormat akan merealisasikan janjinya?

Bila ada calon pemimpin yang berusaha menarik simpati masyarakat dengan janji-janji
untuk menaikkan pendapatan rakyat, tanya bagaimana dia akan melakukannya? Bila
jawabannya adalah nanti akan dikoordinasikan dengan instansi terkait, atau sekadar
mengatakan bahwa dia punya tim yang kuat untuk merealisasikannya, lebih baik anda
tinggal pulang saja. Pemimpin tanpa konsep yang riil adalah instrumen berbahaya yang
akan menggerus produktifitas apapun yang dipimpinnya.

Dengan berpikir dan bertindak kritis, berarti kita telah sadar akan pentingnya kekuatan
sosial. Kekuatan sosial hanya dapat terbentuk dengan adanya kesadaran untuk berpikir,
berpikir, dan berpikir. Ibaratnya 3 kali berpikir untuk 1 tindakan yang berkualitas jauh
lebih baik hasilnya daripada 10 tindakan yang dilakukan oleh seorang pengambilan
keputusan bermental komentator.
83

26. Perbaikan Bukanlah Tujuan


Saya memiliki sebuah mobil yang saya gunakan untuk melaksanakan kegiatan sehari-
hari. Mobil tersebut memiliki misi untuk mengantar saya kemanapun saya inginkan.
Sehingga, menurut saya tujuan sebuah mobil saya tersebut adalah untuk mengantarkan
saya menuju destinasi yang saya inginkan.

Apa yang terjadi bila mobil saya tersebut kehabisan bensin, atau mobil tersebut rusak
sehingga mogok? Saya perlu mengisi bensin atau memperbaiki mobil itu tentunya. Tetapi
janganlah disalah artikan bahwa tujuan dari mobil tersebut adalah untuk mengisi bensin
dan untuk diperbaiki. Karena tujuan dan fungsi mobil tersebut tidaklah berubah walaupun
dalam keadaan rusak atau baik.

Yang ingin saya sampaikan adalah, bila perbaikan tidak kunjung selesai, atau selesai
dalam waktu yang lama, berarti kita tidak akan pernah mencapai tujuan kita yang
sebenarnya.

Performa yang optimal adalah suatu keharusan atau syarat mutlak untuk mencapai tujuan.
Ini adalah penegasan terhadap pernyataan saya sebelumnya, “jangan bermimpi untuk
membangun bila tidak bisa menjaga”.

Suatu manajemen negara harus memiliki dead line atau time target untuk penyelesaian
setiap masalah. Selanjutnya, penyelesaian masalah ini harus dan tidak bisa tidak harus
dicapai dengan cara apapun. Bagaimana cara mencapai target tersebut? Yaitu dengan
memastikan bahwa hanya orang-orang terbaik, berkualitas dan kompeten untuk
menempati posisi pengambilan keputusan dalam melakukan restrukturisasi manajemen.

Apa yang terjadi bila perbaikan mobil yang rusak diserahkan kepada tetangga sebelah
rumah karena kita sering parkir di depan rumah dia, lalu dibantu oleh ipar kita karena dia
ikut “nomboki” uang muka mobil itu, dan dibantu pula oleh anjing tetangga karena anjing
ini lucu, bisa disuruh mengambil perkakas yang dibutuhkan dan bisa menjadi hiburan
saat memperbaiki mobil itu?
84

Perumpamaan yang hiperbolik diatas adalah usaha saya untuk menggugah kesadaran para
pembaca yang juga merupakan pemimpin dan calon-calon pemimpin. Yaitu kesadaran
bahwa untuk melakukan perbaikan tidak bisa terlalu lama. Setiap tambahan waktu yang
diperlukan untuk memperbaiki masalah akan menjadi beban tambahan bagi sumber daya
yang ada, bila berlangsung terus akan menjadi kondisi yang kronis, membuat frustrasi
dan melelahkan. Baik bagi jajaran manajemen negara, maupun bagi rakyat yang
dipimpin.

27. Memaklumi Ketidakmampuan


Sikap memaklumi ketidakmampuan adalah suatu kelemahan dalam sistem manajemen
yang biasanya terjadi akibat tidak ada pembatasan antara hubungan pribadi dan hubungan
profesional.

Begitu pentingnya hal ini hingga di banyak perusahaan ada peraturan bahwa tidak boleh
ada hubungan darah atau pernikahan dalam suatu departemen yang sama atau bahkan
dalam perusahaan yang sama. Peraturan ini bertujuan untuk tidak memberi tempat pada
ketidakmampuan. Kesalahan dan ketidak becusan dalam melaksanakan tugas harus ada
konsekuensi, karena begitu sakralnya tugas negara yang harus dijalankan, tidak ada kata
tidak mampu dalam sistem. Inilah yang menyebabkan adanya budaya mundur dari
jabatan sebelum waktunya di beberapa negara maju baik di Asia maupun di belahan
benua lain.

Berlebihankah bila saya berpendapat bahwa sepatutnya seorang pemimpin departemen


dalam manajemen negara yang telah dipandang gagal dalam melaksanakan tugasnya,
sudah semestinya diberhentikan dan tidak diberi tempat dalam kabinet. Bukan justru
diberi posisi lain, karena jabatan pimpinan bukanlah suatu peran yang membutuhkan
kemampuan meng-iya-kan apapun kata atasan, atau suatu posisi yang tidak dapat
digantikan karena kesepakatan politik. Para pengambil keputusan di dalam manajemen
negara adalah orang-orang yang berkemampuan, idealis, sistematis, dan berani. Berani
85

untuk lurus dalam menjaga amanah sebagai pemimpin, berani mengakui kesalahan,
berani mengakui ketidak-mampuan, berani mundur dari jabatan tanpa takut disebut
sebagai orang yang gagal atau pengecut.

Disini pula terlihat kelemahan sistem banyak partai, karena pembagian porsi kabinet yang
mengikuti komposisi hasil pemilihan suara terbanyak mengakibatkan terkungkungnya
pilihan-pilihan. Terbatasnya kesempatan untuk secara leluasa memilih individu yang
berkualitas, karena ada batasan bahwa individu yang dipilih mengikuti komposisi suara,
walaupun mungkin kapasitas individu di partai tersebut tidak tepat dengan jabatan yang
akan diembankan kepadanya, tetapi apa boleh buat, asal bisa senyum, membaca, dan
sekadar mengikuti kesepakatan yang telah ditetapkan maka jadilah.

Dengan sikap mental yang memaklumi ketidakmampuan, secara sadar atau tidak sadar
tujuan manajemen negara telah berubah. Manajemen negara bukan lagi ditujukan untuk
kemajuan negara, tetapi ditujukan untuk membagi porsi kekuasaan dalam kurun waktu
tertentu! Memberikan kesempatan bagi perwakilan partai-partai terpilih untuk merasakan
nikmatnya fasilitas jabatan dalam manajemen negara.

28. Bertindak Reaktif Bukan Bertindak Preventif


Salah satu ciri pengambilan keputusan yang didasari oleh kepanikan atau keterbatasan
(bisa keterbatasan waktu, kemampuan, atau bentuk-bentuk keterbatasan lain) adalah
bertindak reaktif, bukan bertindak preventif.

Hal tersebut diatas juga terkait dengan kharakter komentator sebagaimana telah saya
bahas sebelumnya. Keputusan yang diambil sebagai reaksi terhadap suatu kejadian
adalah keputusan yang cenderung tanpa perencanaan matang. Sifatnya adalah
memadamkan masalah yang timbul dengan secepatnya atau dengan cara apapun yang
biasanyapun akan menimbulkan ekses atau akibat lanjutan lain.
86

Tindakan preventif biasanya jauh lebih berkualitas, walau kadang kurang dihargai
karenan membutuhkan rentang waktu untuk terbukti sebagai suatu keputusan yang benar.
Hal lain yang juga penting adalah, untuk dapat mengambil tindakan preventif, dibutuhkan
seorang pengambil keputusan yang sensitif dalam mengidentifikasi masalah, berani
mengutarakannya, dan mampu mencetuskan solusi yang akurat. Tidak kalah pentingnya
adalah kemampuan menegosiasikan atau meyakinkan tim pengambil keputusan hingga
keputusan preventif dapat dilaksanakan.

Saya ibaratkan seperti orang yang mengendarai mobil atau motor, kita harus melihat ke
depan, ke belakang (melalui kaca spion) dan kesamping. Dengan kata lain kita harus
waspada mengamati semua arah. Ditambah pula kita harus memperhatikan kondisi
permukaan jalan dan panel-panel di mobil atau motor untuk memastikan kendaraan
dalam kondisi baik (tidak kekurangan bensin, tidak over heat, dan sebagainya). Lebih
rumit lagi bila mengendarai mobil dalam konteks balapan jarak jauh atau cross country
yang terkadang membutuhkan seorang navigator handal untuk memastikan jalur yang
diambil adalah benar.

Pada prinsip dasar yang paling sederhana, orang yang mengemudikan mobil atau motor
telah mampu mengambil tindakan preventif, karena dia bisa memutuskan untuk
menambah atau mengurangi kecepatan, belok dan menikung melihat kondisi di jalanan.
Untuk dapat melakukan itu semua, si pengemudi mesti memiliki kemampuan dasar dan
kendaraan perlu memiliki indikator-indikator yang diperlukan.

Hal yang serupa dalam bentuk yang jauh lebih kompleks adalah manajemen negara.
Kemampuan para pengambil keputusan dapat disandingkan dengan kemampuan dasar
untuk dapat menggunakan dan mengartikan indikator-indikator dalam pemerintahan.
Lalu indikatornyapun harus dilengkapi, bila rusak harus diperbaiki, bila indikator
pengenalan masalah telah sempurna, baru masalah dapat diidentifikasi dengan tepat dan
keputusan dapat diambil.
87

Sehingga langkah selanjutnya berdasarkan prioritas adalah: Penempatan individu yang


tepat yang berkemampuan untuk mengidentifikasi indikator-indikator manajemen negara
yang rapuh dan rusak, atau bahkan belum ada tapi ternyata sangat diperlukan. Kedua
adalah menggunakan indikator-indikator manajemen negara yang telah disempurnakan
untuk mengenali masalah manajemen negara. Yang ketiga adalah menjabarkan masalah
dan menetapkan solusi pemecahan masalah dan pengaturan time frame atau target jangka
waktu penyelesaian masalah. Keempat adalah mulai mengeksekusi solusi tersebut dalam
pengendalian intensif sehingga bila ada masalah turunan yang timbul dapat diatasi
dengan cepat. Kelima memastikan bahwa fungsi pengendalian berjalan efektif dan target
waktu dapat terlaksana dengan jalan apapun tanpa kompromi.

29. Eksekusi Kasus Yang Tidak Tegas


Salah satu indikasi rusaknya sistem manajemen negara adalah ketidak-tegasan eksekusi
kasus. Ketidak-tegasan ini dapat terjadi baik akibat dari intervensi dari luar maupun
intervensi dari dalam negeri. Yang lebih parahnya lagi adalah intervensi uang.

Saya berpendapat bahwa hampir semua materi di dunia ini memiliki 2 sisi, karena
demikianlah adanya hukum alam. Mulai dari sudut pandang (yang sifatnya suatu
pemikiran) sampai ke kekuasaan, uang, dan sebagainya. Itulah kenyataan bahwa segala
sesuatu dapat digunakan untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Itulah yang saya
maknai dengan free will (kebebasan memilih). Bahwa kebebasan itu akan menebarkan
pilihan-pilihan untuk melakukan sesuatu yang baik atau sesuatu yang tidak baik.

Bila tatanan manajemen negara kita lemah, dan cenderung dimotori oleh pengambil
keputusan yang lambat dalam menentukan pilihan (melihat situasi dulu) atau bahkan
lemah dalam memilih, maka kekuatan-kekuatan di luar tatanan manajemen negara akan
masuk dan mengambil alih pilihan tersebut sehingga mengambil alih esensi dalam
pengambilan keputusan.
88

Misalnya: Penyelesaian kasus terorisme yang berlarut-larut ditambah pula dengan


eksekusi yang berlarut-larut. Atau daftar panjang eksekusi hukuman mati yang tidak
dilaksanakan, keengganan untuk memberikan shock therapy pada kasus-kasus korupsi,
dan sebagainya. Bagaimana pula dengan kasus penangkapan seorang ustadz kondang
yang sarat politik, atau penangkapan seorang tokoh masyarakat yang membela merah-
putih di bumi Timor-Timor.

Kita sungguh telah menjadi lemah akibat ketidak-tegasan dalam penyelesaian kasus-
kasus yang berlarut-larut. Masih ingatkah para pembaca bagaimana gemparnya
masyarakat yang dihebohkan dengan jatuhnya hukuman 3 bulan kurungan untuk seorang
buruh yang didakwa mencuri sendal? Bagaimana dengan jatuhnya putusan denda dan
ganti uang kerugian atas korupsi yang nilainya jauh dibawah angka korupsi?

30. Belajar Dari Alam, Proses Regenerasi


Bila kita lebih peka pada apa yang diajarkan oleh alam, semestinya tidak ada alasan atas
kegagalan manajemen negara. Salah satu hal yang dapat kita amati dengan mudah adalah
proses regenerasi yang melekat pada hukum alam.

Tidak perlu jauh-jauh, saya ingin mengajak pembaca mengamati pohon pepaya yang
tumbuh dari hari ke hari. Tidak perlu menginap di dekat pohon pepaya sampai berbulan-
bulan (bisa menimbulkan salah sangka terhadap pembaca – dikira jin penunggu pohon
pepaya). Kita cukup melihatnya secara berkala dari hari ke hari. Amatilah bahwa pohon
pepaya bertambah tinggi, dan seiring dengan tumbuh tingginya pohon pepaya, daunnya
akan gugur 1 dan akan muncul batang pohon baru yang lebih tinggi sebagai
penggantinya. Apa yang terjadi bila seluruh batang daun dan daun pepaya utuh sejak
awal tumbuh hingga menjadi tinggi? Mungkin pohon pepaya tersebut tidak akan pernah
tumbuh tinggi dan mati akibat begitu banyaknya daun untuk diberi makan.

Berdasarkan perumpamaan di atas, adalah sesuatu yang tidak bijaksana untuk


mengembangkan banyak partai dalam manajemen negara, ibaratnya daun yang memang
89

secara hakiki akan mencari jalan untuk tumbuh dan bekembang lebih besar, partai-partai
akan berusaha mencari cara untuk memperoleh suara yang lebih besar dan bila tidak
cukup ruang untuk tumbuh tidak ada cara lain kecuali dengan mengintervensi partai lain.
Sehingga konflik berkesinambungan antar partai (bahkan dalam 1 partai yang sama)
menjadi bagian yang mengisi kehidupan manajemen negara.

Demikian pula dengan usaha yang tidak serius untuk merampingkan manajemen negara,
kita ibaratkan seperti pohon tumbuh yang perlu dipotong beberapa bagiannya untuk
memberi ruang bagi tunas-tunas baru muncul, demikian pula halnya dengan proses
regenerasi yang diperlukan dalam manajemen negara.

Kita seharusnya telah belajar dari pahitnya berada dalam kepemimpinan tokoh yang
sedemikian kokoh menempati posisinya selama 32 tahun. Begitu kokohnya sehingga
muncul mata uang bergambar beliau, bisnis yang menggurita ke mana-mana, dan pihak-
pihak yang diinjak kakinya demi menghentikan proses regenerasi dalam manajemen
negara.

Kita seharusnya dapat belajar dari alam dan lebih bersikap bijaksana….

31. Peran Orang Tua Sebagai Model Kepemimpinan


Saya ingin mengajak para pembaca, para pemimpin dan calon pemimpin, yang juga
mungkin berperan sebagai orang tua dalam rumah tangga. Memimpin keluarga, berusaha
keras memenuhi kebutuhan keluarga, bertugas mendidik anak dan banyak lagi tanggung
jawab yang terkait dengan peran sebagai orang tua. Tetapi yang ingin saya garis bawahi
adalah hubungan antara orang tua dengan anak dalam keluarga.

Salah satu ilustrasi; apa yang terjadi bila orang tua membiarkan anaknya menderita dan
resah kelaparan sedangkan orang tua berkecukupan. Mempunyai perusahaan besar, dapat
berpergian ke luar negeri berulang kali, dan memiliki rumah yang megah? Sungguh
ironis. Perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan para pengambil keputusan dalam
90

manajemen negara yang tidak peduli pada kondisi rakyat. Tidak memberdayakan
kekayaan yang dimiliki negara untuk kepentingan rakyat dan hanya mementingkan ego
dan kepuasan pribadi, walau terkadang orang tua tidak menyadari bahwa tindakannya
sungguh menyakitkan si anak.

Peran orang tua dalam memberikan pendidikan, memberikan nafkah, hingga memberikan
support hingga anak mampu berdiri dan mandiri adalah peran yang tidak ubahnya
merupakan peran manajemen negara dalam konteks hubungan pemerintah dengan rakyat
yang dipimpin.

Pertama adalah peran orang tua untuk sadar bahwa memimpin seorang anak dan
mengawal hingga mandiri adalah tugas yang memerlukan perhatian serius baik secara
fisik (termasuk materi) dan mental (termasuk kemampuan). Peran pemerintah pun adalah
memimpin rakyat dan mengawal untuk menjadi mandiri dalam mendapatkan
penghidupan yang layak, ini berarti penyediaan lapangan kerja, fasilitas pendidikan, dan
sebagainya. Sebagaimana layaknya orang tua terhadap anak, setidak mampunya atau
semiskin-miskinnya sebuah keluarga, tentunya orang tua akan berjuang keras agar
anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak, dan orang tua tidak akan meminta
bayaran dari anaknya (setidaknya inilah yang normal berlaku sepengetahuan saya).

Kedua adalah peran orang tua untuk bersikap adil terhadap anak-anaknya (bila lebih dari
satu). Keadilan sungguh sulit diterapkan tanpa adanya sikap mengesampingkan
subyektifitas dari orang tua. Adil dengan ilmu pun akan berbeda hasilnya dengan adil
dengan hitungan matematis. Apakah bila 20 tahun lalu seorang anak diberi uang jajan
Rp1000,- lalu di masa sekarang anak diberi uang dengan jumlah yang sama berarti
keadilan telah ditegakkan? Itulah kebodohan berkedok keadilan. Sama halnya dengan
mengetahui bahwa daya beli masyarakat tidak berubah sejak 10 tahun yang lalu tetapi
harga kebutuhan pokok dinaikan dengan alasan penyesuaian seharusnya memang
dilakukan sejak dulu dan memang seharusnya harga sama dengan standar internasional.
Sungguh suatu kebodohan berkedok keadilan menurut pandangan saya.
91

Ketiga adalah peran orang tua untuk tegas dalam mendidik anak. Tegas dalam arti tidak
menghabiskan waktu untuk memenuhi kemanjaan dan kemalasan si anak. Bila memang
orang tua memandang jalan yang terbaik telah diambil, maka tidak ada kata kompromi.
Tetapi yang harus dipikirkan dengan kritis adalah cara memberikan pengertian kepada
anak sehingga anak tumbuh menjadi orang yang kritis dan mengambil keputusan dengan
pertimbangan logika yang jelas, bukan dengan aksi menunjukkan status sebagai orang tua
yang berkuasa penuh dan mengharuskan anak untuk menurut tanpa syarat. Hal ini sama
kondisinya dengan cara penyampaian kebijakan yang tidak populer. Sosialisasi tidak
dapat diabaikan untuk mempertahankan keutuhan dan kestabilan dalam negara.

Brdasarkan contoh-contoh diatas, setidaknya ada 3 peran orang tua yang memiliki
korelasi kuat dengan pola manajemen negara, yaitu: Pentingnya kesiapan sumber daya
dan keahlian dalam memimpin; pentingnya keadilan yang cerdas dalam memimpin; dan
pentingnya ketegasan serta sosialisasi cerdas atas penerapan kebijakan.

Dapat dicoba dan berani bercita-cita untuk berhasil…atau abaikan demi mempertahankan
prinsip “nasi sudah menjadi bubur”?

32. Manajemen Perusahaan Sebagai Pola Manajemen Negara


Siapa bilang mengelola negara itu susah? Wong yang ndak sampai kuliah saja bisa jadi
wakil rakyat dan presiden. Bahkan ijasah SMU pun dapat dibeli (guyon lho…) hehehe...

Saya berpendapat, sungguh berat manajemen negara. Apalagi negara Indonesia.


Bayangkan, Indonesia terdiri dari kumpulan daerah yang dulunya adalah kerajaan
terpisah, bahkan ada yang dulunya berperang. Peninggalan sejarah tersebut terlebur
menjadi satu karena adanya satu musuh bersama, yaitu bangsa asing yang datang
menjajah. Negara Indonesia adalah negara kepulauan, yang berarti biaya transportasi jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang non kepulauan. Masalah pemerataan
pembangunan pun menjadi masalah karena pada kenyataannya memang hambatan
masalah transportasi merupakan masalah serius dalam mencapai populasi yang tersebar.
92

Apa yang harus dilakukan? Tentunya bukan dengan menyerahkan pengambilan


keputusan manajemen negara kepada individu yang tidak mempunyai kepekaan (apalagi
keahlian) terhadap masalah dan kendala yang lekat dengan usaha memberikan
kesejahteraan kepada rakyat.

Suatu masalah yang mungkin sejak jaman kemerdekaan tidak pernah terpecahkan
tentunya memerlukan pendekatan yang berbeda. Memerlukan shock therapy dan kegilaan
dalam interpretasi yang positif adalah ide yang mungkin dipandang mustahil dilakukan
karena tidak pernah dilakukan sebelumnya, tetapi selama ide tersebut dapat terukur atau
dapat disusun parameternya, mengapa tidak?

Manajemen Perusahaan yang kerap kali penuh dengan kejutan dan kontroversi terkadang
menghasilkan inovasi manajemen yang mampu melejitkan perusahaan hingga mampu
keluar dari keterpurukan. Sejarah perusahaan lokal dan internasional yang
direstrukturisasi dengan terobosan manajemen sudah bukan cerita baru dan dapat
ditemukan referensinya di internet maupun di toko-toko buku. Mulai dari General
Electric yang direstrukturisasi oleh Jack Welch hingga Bank Niaga dan Garuda Indonesia
yang digarap oleh Robby Djohan.

Lalu mengapa tidak melakukan terobosan dalam manajemen negara? Sesuatu yang
selama ini kerap dilakukan oleh banyak perusahaan. Pada saat pendekatan birokrasi dan
politik tidak dapat mencapai hasil yang optimal dalam menghadapi masalah.

Bagaimana dengan terobosan yang sebenarnya bukan terobosan. Apa itu? Contohnya,
slogan satu perusahaan BUMN yang tidak perlu saya sebutkan pasti pembaca bisa
menebak...slogannya ”Pasti Pas”. Sungguh geli saya mendengarnya...pasti pas koq
bangga? ”harus pas” itu suatu kewajiban, bila tidak pas ada hukumnya, penipuan atau
penggelapan. Kalau ”Pasti Lebih” nah itu baru pas untuk dislogankan. Hehehe...
93

33. Merebut Hati Rakyat dan Mengembalikan Kepercayaan


Kepada Pemerintah

Berbicara kepercayaan berarti tidak bisa tidak kita berbicara tentang perasaan. Orang
dapat saling bunuh karena perasaan tersinggung atau dendam, tetapi juga dapat saling
melindungi karena perasaan cinta dan belas kasih.

Berbicara tentang perasaan berarti berbicara tentang hati. Karena hati tidak terukur
dalamnya, kekuatan datang dari hati, yaitu kolaborasi antara pengalaman hidup dan
kharakter yang matang. Sehingga keputusan yang baik atau burukpun dipengaruhi oleh
baik atau buruknya hati.

Tanpa dukungan rakyat, pemerintahan tidak akan pernah menyentuh esensi manajemen
negara, yaitu berjuang untuk kesejahteraan dan keadilan rakyat Indonesia, tanpa kecuali,
dimanapun.

Perebutan tampuk pemerintahan tidak jelas arahnya dan membuat frustasi rakyat karena
siapapun pemimpinnya, pil pahit kebijakkannya. Kenapa demikian? Banyak sebab.
Diantaranya adalah high cost birocracy yang sungguh-sungguh telah meracuni
pemerintahan dengan sangat parah.

Tingginya biaya operasional pemerintahan tidak menyentuh esensi biaya yang


diperuntukkan bagi pembangunan, hal ini terbukti dengan rasio pembangunan dan biaya
yang tidak seimbang.

Hal kedua adalah pemanfaatan hak rakyat untuk pembangunan fasilitas infrastruktur yang
tidak gratis, misalnya pembangunan bus way yang mengambil porsi jalan yang sudah
ada, bukan melakukan pembangunan jalur baru, atau hanya dilakukan kompensasi
pelebaran jalan atau penghilangan batas jalur cepat dan jalur lambat. Hal ini diperparah
pula dengan ketidak tegasan peraturan, sehingga keberadaan bus transjakarta tidak
94

diimbangi dengan penghapusan bus reguler secara berkala sehingga seluruh jalan
didominasi oleh bus.

Sampai kapan pemerintah sebagai ujung tombak manajemen negara akan berputar-putar
pada rancangan manajemen negara yang semakin melemahkan negara ini? Saya yakin
bahwa baik pemerintah, institusi terkait, rakyat dan semua elemen bangsa Indonesia
adalah korban. Sehingga ini bukanlah suatu materi untuk saling tuding tetapi untuk
menyadari bahwa semua elemen negara Indonesia tercinta saat ini telah melemah dengan
sangat cepat dan berada dalam kondisi kritis.

Tetapi, saya berpendapat bahwa justru di saat kritis inilah kemampuan untuk bangkit
berada dalam kapasitas yang optimal. Dengan penanganan yang tepat, kita dapat
mengulang sejarah dunia yang takjub melihat keberhasilan negara Cina mereformasi
kekuatan ekonomi hingga diprediksi akan menjadi kekuatan adidaya baru.

Hanya dengan 1 cara kebangkitan ini dapat dilaksanakan, yaitu dengan merebut hati
rakyat dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah. Bagaimana caranya?
Tentunya dengan penuh kearifan, lebih bijaksana bagi pemerintah sebagai ujung tombak
manajemen negara dan yang memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan, untuk
bersama dengan rakyat duduk di lantai kemelaratan. Leburkan kebanggaan dalam
keikhlasan untuk berjuang sebagai rakyat, bukan sebagai birokrat. Berani bercita-cita
menjadi melarat bukan jadi konglomerat, demi merebut hati rakyat dan tidak dikenang
sebagai penjahat.

Saya percaya bahwa setetes air mata keikhlasan dari pemimpin yang sedih karena
memikirkan rakyat yang dipimpinnya akan membangkitkan seribu hati rakyat untuk
berjuang bersama sang pemimpin.
95

34. Idealisme Terpimpin

Satu hal yang ingin saya sampaikan mengenai kondisi demokrasi di Indonesia saat ini,
yaitu: kita belum siap. Tetapi apakah kondisi ini membuat kita menyerah? Rakyat
Indonesia adalah seperti anak yang baru beranjak dewasa dan merupakan murid baru di
dunia global. Cara pemberian pengertian, pengajaran, pembekalan kepada seluruh lapisan
masyarakat memerlukan bukan hanya kecerdasan dan kepakaran pemimpin dalam
manajemen negara, tetapi juga memerlukan kepekaan dan ketegaran dalam memimpin.

Menjadi pemimpin itu pahit. Kenapa pahit? Karena menjadi pemimpin negara sama
dengan menjadi kepala rumah tangga. Pada saat anak kita lapar, tidak mungkin kita
berfoya-foya dalam kelimpahan makanan. Demikian pula seharusnya para pemimpin
dalam manajemen negara.

Sikap acuh pada aset negara (atau dalam bahasa saya adalah berfoya-foya) terbukti
dengan lemahnya kontrol negara terhadap hukum yang merupakan payung kendali atas
segala hal dalam aspek kehidupan manajemen negara. Ibaratnya sebuah keluarga yang
memiliki uang berkelimpahan, terkadang takabur dan tidak mengontrol keuangan
keluarga, demikian pula yang terjadi di negara kita, yang anehnya, justru ini terjadi di
negara kita yang sebenarnya tidak memiliki banyak uang.

Sayapun ingin mengkoreksi beberapa pihak, terutama para guru akademis dan pemimpin
kita yang saya hormati terkait dengan pernyataan dan penanaman bahwa Indonesia kaya
raya. Hal ini membiaskan akar permasalahan yang mungkin akan terbawa hingga dewasa,
mengapa? Karena belum semuanya disampaikan dengan benar.

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Ibarat seorang anak kecil yang
memiliki kecerdasan (IQ tinggi), tetapi pada kenyataannya IQ tinggi baru merupakan
sebagian modal yang tidak ada artinya tanpa latihan dan pembelajaran. Indonesia Raya
memang kaya raya, tetapi tanpa pengelolaan dan pengendalian yang kuat, sama saja
96

dengan memberi makan tikus dan membiarkan penjarahan yang sama saja artinya dengan
menjadikan negara kita tercinta sebagai bulan-bulanan pencuri lokal dan internasional.

Indonesia adalah negara besar, ini sangat benar, tetapi berbeda antara besar secara
demografis dengan besar sebagai suatu bangsa. Bagaimana mungkin kita merasa sebagai
bangsa yang besar dengan status 10 besar negara terkorup, negara yang tidak stabil, tidak
adanya penegakan hukum, dan masih banyak lagi rentetan afirmasi negatif yang telah
melekat di benak masyarakat internasional.

Masih segar dalam ingatan saya kasus Ahmadiah yang ramai menjadi issue pro dan
kontra di seluruh lapisan masyarakat kita dan berujung pada kerusuhan di Monumen
Nasional dan SK 3 Menteri. Sungguh membuat saya heran, karena mungkin sistem SK 3
menteri untuk suatu issue nasional ini hanya ada satu-satunya di Indonesia. Apa isi dari
SK tersebut merupakan suatu fenomena tersendiri karena menurut pandangan saya
pribadi adalah suatu cermin ketakutan kalau bukan ketidak-mampuan para pengambil
keputusan dalam manajemen negara untuk mengendalikan konflik dengan cepat, atau
mungkin memang tidak pernah memahami manajemen konflik.

Rentetan kekecewaan saya diatas tidaklah lain daripada suatu keluh kesah yang juga
dirasakan oleh banyak kalangan dalam masyarakat kita. Saya sungguh sedih dengan
kenyataan diatas dan saya merindukan masa-masa Indonesia dikenal sebagai macan Asia
di semua bidang kehidupan negara.

Dapatkah Indonesia kembali menjadi macan Asia? Sangat bisa. Dalam waktu yang
mungkin sama cepatnya dengan negara Cina mereformasi perekonomian nasionalnya dan
menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia saat ini. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan memperkenalkan, memahami, menjalankan “Idealisme yang


terpimpin”. Benda apa lagi ini? Ini bukan suatu hal yang baru dalam sejarah bangsa
Indonesia. Bila dahulu kita mengenal demokrasi terpimpin yang sebenarnya justru
97

menjadi belenggu bagi kebebasan bermasyarakat khususnya dalam kehidupan politik,


Idealisme terpimpin adalah kendali dalam kebebasan menyampaikan pendapat.

Kendali dalam menyampaikan pendapat adalah salah satu cermin kepribadian dewasa dan
kecerdasan suatu bangsa. Kendali ini tidak hanya diharapkan dari satu sisi, tetapi harus
dijalankan oleh 2 sisi, yaitu pemerintah (manajemen negara) dan yang diperintah (rakyat
– manajemen sosial).

Menelaah kembali pada bahasan saya diatas mengenai fungsi Kesultanan. Kesultanan
dapat diberdayakan sebagai salah satu fungsi manajemen sosial yang dapat diterapkan
dalam penyaluran idealisme. Apakah pemerintah harus takut pada kebangkitan kekuatan
kesultanan? Ya, pemerintah harus takut! Karena distribusi kekuatan dalam arti
mengimbangi manajemen negara dengan manajemen sosial akan menghasilkan suatu
konsekuensi yaitu pemerintah harus lebih cerdas dalam menjalankan pemerintahan.

Saat tulisan ini berlangsung, heboh pemberitaan mengenai kemarahan mahasiswa yang
diekspresikan dengan pembakaran mobil plat merah dan lagi-lagi perusakan pagar
kompleks DPR. Tidak tahukah mahasiswa bahwa negara telah menghabiskan milyaran
rupiah untuk memagari “rumah rakyat” agar rakyat tidak dapat lagi masuk ke dalam
kompleks tersebut dan merubah kompleks DPR/MPR tersebut menjadi BPR “Benteng
Perwakilan Rakyat”?

Di editorial pagi saya mendengar bahasan bahwa hal tersebut adalah ekspresi kemarahan
mahasiswa akibat tersumbatnya kejujuran, keterbukaan, arus komunikasi antara
pemerintah sebagai fungsi manajemen negara dan mahasiswa sebagai bagian dari
manajemen sosial.

Memimpin suatu idealisme, berarti memerlukan sosok-sosok pemimpin yang cerdas,


peka, dan berani. Tetapi tentunya tidak dapat hanya mengandalkan pimpinan tertinggi
atau hanya mengandalkan para menteri. Kecerdasan dan kepekaan ini perlu dibangkitkan
atau diseleksi mulai dari tingkat pengurus RT sampai dengan Presiden. Mulai dari
98

pemimpin partai yang jumlahnya puluhan sampai dengan para wakil rakyat yang
jumlahnya ribuan.

Masih segar dalam ingatan saya, heboh ijasah SMA palsu yang terbongkar di kalangan
pejabat dan wakil rakyat, atau gelar MM dari institusi abal-abal yang mungkin singkatan
dari Mas Mas (MM)?! Hahaha…

Itulah cermin kecerdasan para pengambil keputusan dalam manajemen negara yang
seharusnya mendapatkan hukuman berat, bukan hanya sekedar penataran, teguran atau
pemberhentian. Kebohongan terencana terhadap sistem manajemen negara yang telah
dirancang oleh para pelaku dalam manajemen negara itu sendiri adalah suatu keburukan
yang tidak dapat ditolerir karena merupakan sendi-sendi kelemahan yang akan
menghancurkan sistem dan juga fungsi kepemimpinan.

Akhir kata, saya ingin mengajak para pemimpin dan calon pemimpin untuk kembali ke
rakyat. Kembali ke rakyat. Kembali ke rakyat. Menjadi pemimpin adalah suatu tanggung
jawab yang dahsyat dan memiliki konsekuensi dunia dan akhirat, setidaknya itulah yang
saya yakini.

You might also like