You are on page 1of 15

MAKALAH

FIQIH
Tentang
TRANSAKSI

JASA

H TING G OLA I IL EK

AR BIYAH S UT YE M

B KH
URH ANUD DI

P AR IAM A N

Oleh :
KELOMPOK.10

AYU SARTIKA RAHMI BAMBANG SUYITNO WINDA SAFITRI

DOSEN PEMBIMBING SUDIRMAN S.Ag

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH SYEKH BURHANUDDIN PARIAMAN TAHUN 2013

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya diserahkan kepada Allah SWT yang telah mensyaratkan hukum Islam kepada umat manusia. Shalawat dan salam, semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa syariat Islam untuk diimani, dipelajari, dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam makalah ini dibahas tentang persoalan-persoalan yang berkenaan dengan hubungan antar manusia. Dalam makalah kali ini pemakalah membahas tentang Ijarah dan Ariyah serta permasalahannya. Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan dan untuk itu semoga pembaca memaklumi, dan mohon maaf ada kesalahan penulisan/ kata dari pemakalah semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua amin.

Pariaman, 5 Mei 2013

penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................... BAB I PENDAHULUAN a. Latar belakang ............................................................................. BAB II PEMBAHASAN A. Ijarah( sewa- menyewa dan upah) ............................................... 1. pengertian .................................................................................. 2. Dasar Hukum Ijarah ................................................................... 3. Rukun dan Syarat Ijarah ............................................................. 4. Upah dalam Pekerjaan Ibadah ................................................... 5. Pembayaran Upah dan Sewa ..................................................... 6. Menyewakan Barang Sewaan ................................................... 7. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah .......................................... 8. Pengembalian Sewaan ............................................................... BAB III PENUTUP a. Kesimpulan ................................................................................ DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Dunia Islam seringkali ditandai masalah-masalah dalam syariat Islam, mulai dari beribadah sampai ke hukum jual beli dan Muamalah dalam hal ini pemakalah membahas tentang Ijarah dan Ariyah, Ijarah adalah sewa menyewa sedangkan Ariyah adalah pinjaman. Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali mendengar kata sewa-menyewa, dan pinjam meminjam. Bagaimana hukum keduanya menurut agama kita Islam, dan apa ada masalah lain yang berhubungan dengan itu. Sebagai umat Islam tentu kita harus lebih paham secara mendalam dan rinci lagi tentang permasalahan-permasalahan Ilmu Fiqh ini.

BAB II PEMBAHASAN B. Ijarah( sewa- menyewa dan upah) 9. pengertian Sebelum dijelaskan pengertian sewa-menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafii, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah yaitu mujir dan mustajir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Antara sewa dan upah juga ada beda makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti Seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal untuk kuliah, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti Para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya)satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah. Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah Al-iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagi berikut: 1) Menurut Hanafiyah bahwa ijarah ialah:

Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan 2) Menurut Malikiyah bahwa ijarah ialah:

Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan 3) Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah:

Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui itu 4) Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syaratsyarat tertentu.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, dterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah: Menjual Manfaat Menjual tenaga atau kekuatan 1. Dasar Hukum Ijarah Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah Alquran, Al-Sunnah dan Al-Ijma. Dasar hukum ijarah dalam Alquran adalah:

Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka (At-Thalaq:6)

salah seorang dari wanita berkata: Wahai bapakku, ambillah dia sebagai pekerja kita karena orang yang paling baik untuk dijadikan pekerja adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya (Al-Qashash:26) Dasar hukum ijarah dari Al-Hadis adalah:

berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering (Riwayat Ibn Majah)

berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu(Riwayat Bukhari dan Muslim)

dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Landasan Ijmanya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap. 2. Rukun dan Syarat Ijarah Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah adalah sebagi berikut: 1) Mujir dan mustajir , yaitu orang yang melakukan akad sewamenyewa atau upah-mengupah. Mujir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, mustajir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mujir dan mustajir adalah baligh, berakal,cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah Swt. Berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (An-Nisa:29)

2) Shighat ijab kabul antara mujir dan mustajir, ijab kabul sewamenyewa misalnya: Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00 maka mustajir menjawab Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari. Ijap kabul upahmengupah misalnya seorang berkata, Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00, kemudian mustajir menjawab Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan. 3) Ujrah,disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah. 4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikejarkan dalam upahmengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini. Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya. Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewamenyewa). Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh)menurut Syara bukan hal yang dilarang (diharamkan). Benda yang disewakan disyaratkan kekal ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad. 3. Upah dalam Pekerjaan Ibadah Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, dan membaca Alquran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak

dari yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut karena Rasullah Saw bersabda:

Bacalah olehmu Alquran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu

Jika kamu mengangkat seseorang menjadi muadzdzin, maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah. Perbuatan seperti adzan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Alquran, dan zikir tergolongperbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah. Menurut Mazhab Hanbali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan azan,qamat,mengajarkan Alquran,fiqh,hadis,badal hadis dan puasa qadhaa adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh upah dari pekerjaanpekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih, seperti mengajarkan Alquran, hadis dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub. Mazhab Maliki, Syafii dan Ibn Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula. 4. Pembayaran Upah dan Sewa Hak menerima upah bagi mustajir adalah sebagi berikut. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, berasalan kepada hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah Saw. Bersabda:

berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewa berlansung.

5. Menyewakan Barang Sewaan Mustajir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak disawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul mustajir kedua, maka kerbau itupun harus digunakan untuk membajak pula.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mujir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari akelalaian mustajir maka yang bertanggung jawab adalah mustajir itu sendiri, misaknya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karenan disimpan bukan pada tempat yang layak. 6. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut. 1) Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa; 2) Rusaknya barang yang disewakan, sperti rumah menjadi runtuh; 3) Rusaknya barang yang diupahkan (majur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan; 4) Terpenuhinya manfaat yang di akadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesanya pekerjaan. 5) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, sperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri , maka ia boleh memfasakhkan sewaan itu. 7. Pengembalian Sewaan Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahkanterimakannya, seperti barang titipan. 10. ARIYAH (PINJAMAN) 1. Pengertian Pinjaman atau ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah,ariyah ada beberapa pendapat a. Menurut Hanafiah, ariyah ialah:

memilikan manfant secara cuma-cuma b. Menurut Malikiyah, ariyah ialaha:

memilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan c. Menurut Syfiiah, ariyah ialah:

kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

d. Menurut Hanabilah, ariyah ialah:

kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari pinjaman atau yang lainnya. e. Ibnu Rifah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah:

kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan. f. Menurut al-Mawardi, yang dimaksud dengan ariyah ialah: memberikan manfaat-manfaat g. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti. Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli diatas, kiranya dapat dipahami bahwa meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ariyah tersebut sama. Jadi, yang dimaksud ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah. 2. Dasar Hukum Ariyah Menurut Sayyid Sabiq, tolong-menolong (ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:

dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosaatau permusuhan.(Al-Maidah:2) Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Alquran, landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadis, dalam landasan ini, ariyah dinyatakan sebagai berikut:

sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu. (dikeluarkan oleh Abu Dawud)

siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka Allah akan membayarnya, barangsiapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya (Riwayat Bukhari) 3. Rukun dan Syarat Ariyah Menurut Syafiiah, rukun ariyah adalah sebagai berikut. a. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkatasaya utangkan benda ini kepada kamu dan yang menerima berkata. saya mengaku berhutang benda kepada kamu. Syarat benda ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli. b. Muir yaitu orang yang mengutangkan(berpiutang) dan mustair yaitu orang menerima utang. Syarat bagi muir ialah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi muir dan mustair adalah: Baligh, maka batal ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy; Berakal, maka batal ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila; Orang tersebut tidak di mahjur (dibawah curatelle), maka tidak sah ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.

c. Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu: Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ariyah yang materiya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara seperti meminjam benda-benda najis. 4. Pembayaran Pinjaman Orang utang wajib dibayar sehingga berdosalaha orang yang tidak mau membayar hutang, bahkan melalaikan pembayaran hutang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulullah bersabda: Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya (Riwayat Bukhari dan Muslim). 5. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama pinjaman berlansung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.

6. Tanggung Jawab Peminjam Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang berlebihan, karena Rasulullah Saw. Bersabda:

Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan. (Dikeluarkan al-Daruquthni)

7. Tatakrama Berutang Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinajm-meminjam atau utang-piutang tentang nila-nilai sopan santun yang terkait didadalamnya, ialah sebagai berikut. a. Sesuai dengan QS Al-Baqarah:282, utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dengan pihak berutang disaksikan dengan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang laki-laki dengan dua orang saksi wanita. b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya. c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya. d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.

DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi, Haji. Fiqh Muamalah. Ed.I,Cet.S-Jakarta:Rajawali Pers,2010 www.fiqhmuamalah.com

You might also like