You are on page 1of 8

PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM Nama Mahasiswa : Moch.

Riza NRP : 3112 207 816 Dosen : Rina Hartati Mulyono, SH. Program Magister Manajemen Aset Infrastruktur Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK : Menurut Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, pembebasan lahan setidaknya memiliki dua elemen penting. Unsur-unsur ini adalah: pertama, regulasi dan definisi "kepentingan umum" dan kedua, kekhawatiran tentang kompensasi kepada pemegang hak atas tanah. Aturan dan definisi "kepentingan umum" dalam peraturan-peraturan tersebut ditentukan oleh daftar ketentuan yang terlalu sempit. Selain itu, jenis dan jumlah kompensasi ditentukan melalui penyelesaian damai berdasarkan harga valuasi seperti yang diusulkan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T). KATA KUNCI : Pengadaan Tanah, kepentingan umum, ganti rugi.

1.

PENDAHULUAN Telah disadari bahwa pembangunan tidak saja ditujukan pada hal-hal yang bersifat phyisic, tetapi juga tujuan yang bersifat non physic. Amartya Sen, pemenang Nobel Bidang Ekonomi, seperti yang dikutip oleh Zulkieflimansyah mengatakan bahwa pembangunan pada hakekatnya bukanlah sebuah proses yang semata bertujuan untuk meningkatkan tersedianya sumberdaya masyarakat, tapi ditujukan pada pemberdayaan dan pengembangan kemampuan masyarakat. Dalam konteks yang agak berbeda juga dapat dilihat dalam tujuan pembangunan nasional yang diarahkan pada pencapaian masyarakat yang adil dan makmur. Kemakmuran berdimensi phisikbiologis dan bersifat ekonomis, seperti yang dikemukakan oleh Richard Postner bahwa sebagai konsep ekonomi, kemakmuran akan banyak berurusan dengan hal-hal yang bersifat kebendaan dan kekayaan materiil, sedangkan keadilan lebih bersifat psyikologis dan subyektif. Pembangunan yang bertujuan physic, dalam artian meningkatkan kemakmuran dan atau kesejahteraan masyarakat luas, dapat dilakukan dengan melakukan pembangunan infrastruktur, yang antara lain dilakukan dengan pembuatan jalan (raya) baru, peningkatan kualitas dan kelas jalan (raya), pembangunan pasar, pelabuhan, jaringan telekomunikasi, dan lain sebagainya. Tersedianya infrastruktur yang memadai akan dapat menggerakkan roda perekonomian lebih optimal yang berpengaruh pada peningkatan pendapatan serta pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan dan atau kemakmuran masyarakat. Terkait dengan hal ini, Pemerintah sangat concern dengan pemenuhan infrastruktur ini dengan memberikan prioritas pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur kepada para investor baik yang bermodal nasional maupun modal asing. 1

Menteri Sri Mulyani (waktu itu sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dalam infrastructure Summit, tanggal 17 18 Januari 2005 mengemukakan bahwa strategi pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan di Indonesia terdiri dari 3 (tiga) bagian. Pertama, kebijakan yang diarahkan pada investasi sektoral yang lebih menguntungkan secara komersial. Termasuk dalam kebijakan ini adalah pembangunan jalan tol, air, sanitasi, pelabuhan, dan telekomunikasi. Kedua, memfokuskan sumber daya pada sektor yang tidak menguntungkan secara komersial seperti jalan raya dan investasi khusus untuk membantu rakyat miskin dan komunitas-komunitas yang tempat tinggalnya jauh. Ketiga, secara aktif menjembatani kesenjangan infrastruktur publik dan swasta, sehingga perlu disiapkan sejumlah peraturan untuk menghapus hambatan dan meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam investasi pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan oleh Pemerintah, maka perolehan tanah untuk pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan lewat lembaga pengadaan tanah, yaitu setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah secara musyawarah dengan memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Secara normatif, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dijumpai dalam berbagai peraturan, yaitu Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 jo Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menggantikan peraturan sebelumnya yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993. Sebagai peraturan pelaksanaannya telah dibuatkan Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 3 Tahun 2007 yang menggantikan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994. Adanya pengaturan tersebut, selain mengatur tentang prosedur juga pada dasarnya memberikan kewenangan kepada para pihak (pemohon, pemegang hak atas tanah, Panitia Pengadaan Tanah, serta pejabat terkait) untuk melaksanakan pengadaan tanah dalam rambu atau bingkai hukum yang sudah ditentukan. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku akan dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang melanggar hukum dan karenanya dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Diberlakukannya peraturan hukum tersebut di atas, tidak serta menyebabkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum berjalan lancar tanpa hambatan. Beberapa kasus menunjukkan adanya kendala yang dapat menyebabkan terganggunya pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Di Jawa Timur dapat dijumpai beberapa kasus pengadaan tanah yang pelaksanaannya terhambat, yaitu pembangunan jalan yang melintasi jalur selatan Provinsi Jawa Timur, pembangunan jalan tol Waru Juanda, pembangunan jalan atau lintas timur Surabaya sebagai jalur penghubung ke Jembatan Suramadu. Tidak atau belum adanya kesepakatan tentang bentuk dan atau besar ganti kerugian seringkali menjadi pemicu bagi pemegang hak atas tanah untuk tidak bersedia melepaskan hak atas tanahnya. Tidak adanya kesediaan untuk melepaskan hak atas tanah ini menyebabkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dapat diteruskan. Dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan membahas isu hukum yang terkait dengan pengaturan kepentingan umum dalam pengadaan tanah di Indonesia, serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan bentuk dan besar ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 2. KEPENTINGAN UMUM DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 65 TAHUN 2006 Secara teoritik, doktrin kepentingan umum (Public Purpose Doctrine) disampaikan oleh Michael G Kitay. Beliau mengemukakan bahwa untuk menentukan kepentingan umum dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penyusunan pedoman umum (General Guide) dan ketentuan-ketentuan daftar (list provision). Dalam model General Guide, Negara hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum. Negara tidak perlu secara eksplisit mengatur dan atau menentukan dalam 2

peraturan perundangundangannya tentang bidang kegiatan apakah yang disebut dengan kepentingan umum. Penentuan apakah kegiatan itu terkualifikasi sebagai kepentingan umum atau tidak menjadi kewenangan pengadilan. Pengadilanlah yang akan memutus secara kasuistis apakah kegiatan itu masuk sebagai kegiatan (pengadaan tanah) untuk kepentingan umum, tentunya dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang terkait tidak saja kepentingan pemegang hak atas tanah, tapi juga kepentingan pemohon. Negara yang menggunakan model General Guide ini adalah India dan Amerika Serikat. Di India, kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan oleh putusan pengadilan sebagai bidang-bidang kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, seperti yang dikemukakan oleh Prakash Anggarwala, antara lain : seed multiplication farm (ladang pembibitan), quarter for municipal servant (pusat-pusat bagi pegawai pemerintah, misal pusat pendidikan dan latihan), roads (jalan-jalan), house sites for poor people (tapak rumah untuk orang miskin), serta house for government people (rumah-rumah untuk pegawai pemerintah). Model yang kedua (list provision) yaitu model dimana Negara mengidentifikasi dan menentukan dalam peraturan perundangannya kegiatan apa saja yang dapat dikatagorikan sebagai kepentingan umum. Dalam praktik, kedua cara itu sering ditempuh secara bersamaan. Negara dalam peraturan perundangannya selain menyatakan bahwa pengadaan tanah itu dibutuhkan untuk kepentingan umum, juga kemudian menyusun daftar bidangbidang kegiatan (list provision) yang dapat dimasukkan dalam lingkup kepentingan umum. Penyusunan list provision ini dapat dilakukan secara luas (boarder), sempit (narrower), dan campuran (composite). Penyusunan secara luas jika dalam bidang-bidang kegiatan tersebut ditentukan dalam peraturan perundangan secara garis besar, tanpa rincian, sehingga memungkinkan setiap orang melakukan interpretasi bahwa kegiatannya masuk kategori kepentingan umum (lihat Pasal 18 UUPA). Penyusunan secara sempit dilakukan, jika bidangbidang kegiatan untuk kepentingan umum tersebut sudah diatur sedemikian rinci, sehingga tidak memungkinkan adanya interpretasi atau munculnya bidang kegiatan baru sebagai bidang kepentingan umum di luar yang sudah ditentukan dalam peraturan perundangan (lihat Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005). Sedangkan model campuran dilakukan apabila setelah rincian bidang-bidang kegiatan kepentingan umum diatur dalam peraturan perundangan, masih membuka kemungkinan munculnya rumusan baru tentang bidang kegiatan kepentingan umum melalui penetapan dan atau keputusan penguasa/Pemerintah (lihat Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Keppres No. 55 Tahun 1993).

Keberadaan Pepres No. 65 Tahun 2006 bukanlah untuk mencabut atau menggantikan keberadaan Perpres No. 36 Tahun 2005, tetapi sekedar mengubah dan atau menyempurnakannya. Dengan demikian, materi yang diatur dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan materi yang diatur dalam Perpres No. 65 Tahun 2006. Dalam Pasal 2 Perpres No. 65 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengadaan tanah dapat dilakukan baik untuk kepentingan umum maupun selain untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak, sedangkan yang untuk selain kepentingan umum dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh para pihak yang bersangkutan. Walaupun Perpres No. 65 Tahun 2006 menyebut adanya dua macam pengadaan tanah, yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan selain untuk kepentingan umum, pemberlakuan Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 hanya berlaku bagi pengadaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum, pelaksanaannya dengan menggunakan prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permeneg Agraria/Kepala BPN) No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi serta Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal. Mengingat prosedur yang diatur dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 hanya berlaku bagi pengadaan tanah untuk kepentingan umum, kiranya perlu dipahami tentang pengertian kepentingan umum menurut ketentuan ini. Pengaturan dan pengertian kepentingan umum dalam pengadaan tanah sebelum dapat dilihat dalam Keppres No. 55 Tahun 1993. Pasal 1 angka 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat (huruf tebal dari penulis). Kata sebagian besar ini mempunyai makna dan ruang lingkup yang tidak menjangkau semua masyarakat, masih ada sebagian masyarakat yang tidak ikut atau tidak bias menikmati hasil atau fasilitas yang dihasilkan dari pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kata umum dalam kepentingan umum menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 bermakna general dan bukan bermakna universal. Ini berbeda dengan makna kepentingan umum yang ada dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 yang memberi makna kepentingan umum dalam artian universal, seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 nya dengan uraian kepentingan umum sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat (garis bawah dari penulis). Kepentingan umum dalam arti general maupun 3

dalam arti universal masih dapat dipersoalkan menyangkut pembuktian secara empiris tentang kebenaran pengadaan tanah yang dilakukan itu benar-benar untuk kepentingan sebagian atau seluruh lapisan masyarakat. Tidak jarang yang terjadi justru sekedar strigma bahkan manipulasi terhadap kepentingan umum dalam kegiatan pengadaan tanah. Pengaturan kepentingan umum dalam Pasal 1 angka 3 Perpres No. 36 Tahun 2005, dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari pengaturan Pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006 yang menentukan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut harus dilaksanakan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Lebih lanjut, pengertian Pemerintah diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 yang keberadaannya merupakan peraturan pelaksana dari Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 menentukan bahawa instansi Pemerintah adalah Lembaga Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan bidang kegiatan yang masuk dalam kategori pengadaan tanah untuk kepentingan umum, adalah bidangbidang yang meliputi : a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah) saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lainlain bencana; e. tempat pembuangan sampah; f. cagar alam dan cagar budaya; g. pembangkit transmisi, distribusi tenaga listrik. Seperti yang diuraikan di atas, bahwa keberadaan Perpres No. 65 Tahun 2006 ditujukan untuk menyempurnakan materi yang diatur dalam Perpres No. 36 Tahun 2005. salah satu materi tersebut adalah pengaturan kepentingan umum yang ada dalam Pasal 5 nya. Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 mengatur bahwa pembangunan untuk kepentingan umum, jika dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi 21 bidang pembangunan yang terdiri dari : a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api ( di atas tanah, di ruang atas tanah ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. rumah sakit umum atau pusat kesehatan masyarakat;

d. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; e. peribadatan; f. pendidikan atau sekolah; g. pasar umum; h. fasilitas pemakaman umum; i. fasilitas keselamatan umum; j. pos dan telekomunikasi; k. sarana olah raga; l. stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya; m. kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan Bangsa Bangsa, dan lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa; n. fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; p. rumah susun dan rumah sederhana; q. tempat pembuangan sampah; r. cagar alam dan cagar budaya; s. pertamanan; t. panti sosial; u. pembangkit transmisi, distribusi tenaga listrik. Dari pengaturan yang ada dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 36 Tahun 2005 menunjukkan bahwa subyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah Pemerintah (baik Pusat maupun Daerah) tanpa mempersoalkan apakah kegiatan tersebut mendatangkan atu berorientasi pada pencarian keuntungan atau tidak. Kalau hal ini yang menjadi kriteria, Sri Hajati memprediksi kemungkinan yang timbul adalah : 1. Pemerintah atau Pemerintah Daerah setelah memperoleh tanah-tanah hak kemudian mengalihkan tanah-tanah hak tersebut kepada pihak lain (perusahaan swasta); 2. Pihak perusahaan swasta dapat memperoleh tanah dengan berlindung di balik kepentingan umum; 3. Perusahaan swasta dapat memanfaatkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk memperoleh tanah guna kepentingannya. Berbeda halnya pengaturan kepentingan umum dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 yang memasukkan unsur tidak mencari keuntungan sebagai bagian elemen yang harus ada dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, selain subyeknya adalah Pemerintah. Secara lengkap Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum adalah kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut : a. jalan umum, saluran pembuangan air; 4

b. waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnyatermasuk saluran irigasi; c. rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat; d. pelabuhan atau bandar udara atau terminal; e. peribadatan; f. pendidikan atau sekolahan; g. pasar umum atau pasar Inpres; h. fasilitas pemakaman umum, fasilitan keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain bencana; i. pos dan telekomunikasi; j. sarana olah raga; k. stasiun penyiaran radio, televisi serta sarana pendukungnya; l. kantor Pemerintah; m. fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Ditegaskan sekali lagi disini bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut Keppres No. 55 Tahun 1993, tidak saja mendasarkan pada subyek pelaksana dan pemilik sarananya, yaitu Pemerintah, tetapi juga memperhatikan peruntukan dari kegiatan tersebut yang tidak boleh berorientasi pada pencarian atau pencapaian keuntungan. Berbeda dengan apa yang diatur dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 yang mengatur bahwa pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum cukup hanya mendasarkan pada subyeknya saja (Pemerintah), tanpa mensyaratkan apakah kegiatan itu untuk mendapatkan keuntungan atau tidak. Jika dibandingkan dengan pengaturan kepentingan umum yang ada dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 dengan Keppres No. 55 Tahun 1993, nampaknya penegertian dan pengaturan kepentingan umum yang ada dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 jauh lebih mendekati rasa keadilan masyarakat, karena menempatkan posisi Pemerintah sebagai public service, karenanya pengadaan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah dengan maksud untuk mencari keuntungan (profit oriented) tidak dapat dikategorikan sebagai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 3. GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (Undangundang Pokok Agraria/UUPA) memberikan pengakuan kepada individu untuk berkedudukan sebagai subyek hak atas tanah. Oleh karena itu, pada individu atau perorangan dimungkinkan untuk memperoleh atau mendapatkan hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut tidak bersifat absolut, tetapi mempunyai fungsi sosial, seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 UUPA. Menurut Penjelasan Umum Angka II Nomor 4 UUPA disebutkan bahwa fungsi

sosial dari hak atas tanah mempunyai arti sebagai berikut : 1. tidak dibenarkan bahwa tanahnya akan dipergunakan (tidak dipergunakan) 2. semata-mata untuk kepentingan pribadinya; 3. penggunaannya tidak boleh menimbulkan kerugian bagi masyarakat; 4. penggunaannya harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya; dan penggunaannya tidak saja bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemegang haknya, tapi juga bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Jika kemudian hak atas tanah tersebut dihadapkan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, maka hak atas tanah perorangan tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja tapi harus mendapatkan ganti rugi. Sejalan dengan itu, Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan mendasarkan prinsip penghormatan pada hak atas tanah. Prinsip penghormatan tersebut dilakukan dengan memberikan pengaturan pada bentuk dan besar ganti rugi serta prosedur atau musyawarah dalam menentukan bentuk dan besar ganti rugi. Dengan demikian, pemberian ganti rugi pada pengadaan tanah sebagai suatu hal yang harus ada, pengadaan tanah tanpa pemberian ganti rugi sama halnya melakukan confiscation. Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai peran yang sangat penting. Tanah tidak saja dibutuhkan sebagai tempat tinggal, tapi juga sebagai tempat untuk lapangan pekerjaan dalam menunjang kehidupan keluarganya. Ketika tanah-tanah tersebut terkena pengadaan tanah, kiranya pemberian ganti rugi harus dengan memperhitungkan dan atau mempertimbangkan kelanjutan usaha atau pekerjaan yang sudah ia tekuni. Sebab, kalau tidak pengadaan tanah tidak dapat meningkatkan kesejahteraan, tapi justru sebaliknya akan mendtangkan nestapa bagi dirinya, berupa kemiskinan. Ambil contoh seorang petani yang memiliki sawah, ketika sawahnya terkena pengadaan tanah untuk pembangunan jalan, maka ketika menerima ganti rugi yang tidak memadai untuk membeli sawah pengganti, saat itu pula usaha atau pekerjaan yang ia tekuni dan kuasai akan terancam. Oleh karena itu, pemberian ganti rugi pada pengadaan tanah tidak saja ditujukan pada kerugian secara fisik saja berupa tanah dan hak atas tanahnya, tapi juga harus pula ditujukan pada kerugian yang bersifat non fisik, seperti hilangnya sumber pendapatan, hilangnya akses atas pelayanan publik (yang semula dekat sekolah, pasar, rumah sakit, setelah tanahnya terkena pengadaan tanah, dan harus pindah, semuanya jadi jauh). Terkait dengan hal ini, Schenk ketika membicarakan persoalan pencabutan hak hak atas tanah (onteigening) menyatakan bahwa pemberian ganti rugi yang harus diberikan, sepenuhnya meliputi : 5

1. setiap kerugian sebagai akibat langsung dari pencabutan hak yang harus diganti sepenuhnya; 2. kerugian disebabkan sisa yang tidak dicabut haknya menjadi berkurang nilainya; 3. kerugian karena tidak dapat mempergunakan benda tersebut, atau karena kehilangan penghasilan; 4. kerugian karena harus mencari tempat usaha lain sebagai penggantinya. Senada dengan Schenk, Boedi Harsono berpendapat bahwa kebijakan mengenai pemberian ganti rugi sebenarnya tidaklah terbatas pada penggantian nilai tanah, bangunan, dan tanamtanaman, tetapi juga seharusnya meliput penilaian kerugian yang bersifat immaterial dan kerugian yang timbul, seperti kegiatan usahanya, akibat perpindahan ke tempat lain, jumlah pelanggan dan keuntungan yang berkurang. Ganti rugi dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 jo Perpres No. 36 Tahun 2005 menyatakan sebagai penggantian terhadap kerugian baik yang bersifat fisik dan atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Dengan ganti rugi semacam ini diharapkan kepada mereka yang terkena pengadaan tanah tidak jatuh dan terperosok pada kemelaratan. Kata kunci (key words) dari pengertian ganti rugi di atas tanah adalah pertama, bahwa pemberian ganti rugi tidak saja ditujukan pada kerugian fisik, tapi juga non fisik. Hanya saja Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 serta Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007, tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang apa yang dimaksudkan dengan kerugian non fisik dan bagaimana menetapkan besarnya ganti rugi yang bersifat non fisik. Hal ini nampak dalam pengaturan yang ada pada Pasal 12 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk : a. hak atas tanah; b. bangunan; c. tanaman; dan d. benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, tanpa menyebut adanya pemberian ganti rugi non fisik. Disini menampakan bahwa pengaturan pengadaan tanah yang menyangkut pemberian ganti rugi non fisik bersifat inkonsistensi. Kedua, pemberian ganti rugi diorientasikan pada peningkatan kehidupan sosial ekonomi. Orientasi pemberian ganti rugi pada peningkatan kehidupan sosial ekonomi ini akan dipengaruhi pada tata cara penghitungan atau penilaian ganti rugi. Bentuk ganti rugi, seperti yang ditentukan dalam Pasal 13 Perpres No. 65 Tahun 2006 dapat berupa : a. uang dan atau; b. tanah pengganti; dan atau c. Pemukiman kembali; dan atau d. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, dan huruf c; e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Belajar dari pengalaman negara lain, Adrian Sutedi mengungkapkan prinsip-prinsip dasar ganti rugi yang dapat dijadikan pedoman, yaitu : 1. Harga pasar yang layak (fair market value), yakni pemanfaatan yang tertinggi dan terbaik, seperti yang terungkap dalam kasus Shoemaker vs US (1983), dan Riley vs DC Development Land Agency (1957); 2. Doktrin fasilitas pengganti, yakni memberikan tanah pengganti apabila pemilik tanah sukar memperoleh tanah pengganti karena harga tanah pengganti mahal, seperti pada kasus US vs 50 acres of Land (1954), dan kasus Tulsa vs Mingo School District (1976); 3. Prinsip Keadilan. Mengingat ganti rugi itu selalu dalam bentuk uang, kiranya dalam proses musyawarah perlu disampaikan pada mereka yang terkena proyek pengadaan tanah untuk dapat memilih dan menyepakati macam-macam bentuk ganti rugi yang ditawarkan. Jika pilihan bentuk ganti rugi tersebut jatuh pada ganti rugi berupa uang. Besarnya uang ganti rugi akan didasarkan pada perhitungan atau penilaian. Pasal 15 Perpres No. 65 Tahun 2006 menentukan bahwa dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan pada : 1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh Panitia; 2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan; 3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. Dari ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa peran dari Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah hanya bertugas khusus terhadap tanah saja, sedangkan untuk bangunan dan tanaman, penilaiannya melalui penaksiran dari perangkat daerah yang terkait. Lembaga Penilai Harga Tanah seharusnya merupakan lembaga yang independen serta memiliki kompetensi di bidangnya, dan menurut Pasal 25 ayat (2) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 harus mendapat lisensi dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Mengingat Lembaga Penilai tersebut tidak selalu ada pada setiap daerah, maka daerah-daerah yang belum memiliki Lembaga Penilai, penilaian harga tanah dilakukan oleh Tim Penilai Harga Tanah. Keanggotaan Tim Penilai Harga Tanah menurut Pasal 26 ayat (2) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 terdiri dari : 1. unsur instansi yang membidangi bangunan dan atau tanaman; 6

2. unsur instansi pemerintah pusat yang membidangi pertanahan nasional; 3. unsur instansi Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; 4. ahli atau orang yang berpengalaman sebagai penilai harga tanah; 5. akademisi yang mampu menilai harga tanah dan atau bangunan dan atau anaman dan atau bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah; serta tidak menutup kemungkinan (apabila diperlukan) ditambah unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tugas dari Tim ini menurut Pasal 28 ayat (2) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 adalah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variabelvariabel sebagai berikut : 1. lokasi dan letak tanah; 2. status tanah; 3. peruntukan tanah; 4. kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada; 5. sarana dan prasarana yang tersedia; dan 6. faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah. Hasil penilaian dari Tim Penilai Harga Tanah ini diserahkan pada Panitia Pengadaan Tanah untuk digunakan sebagai dasar musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemilik tanah. Dengan demikian, hasil penilaian dari tim penilai tersebut hanya berkedudukan sebagai pedoman semata dan tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak (instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dan pemilik tanah). Hasil dari tim penilai baru mempunyai kekuatan mengikat para pihak kalau para pihak sudah menyepakati dalam proses musyawarah yang difasilitasi dan dipimpin oleh Panitia Pengadaan Tanah. Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi, dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besranya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. Kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi yang dihasilkan dalam musyawarah ini yang dipergunakan sebagai dasar dan pedoman dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi. Musyawarah dianggap telah mencapai kesepakatan, menurut Pasal 34 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 jika paling sedikit 75 % (tujuhpuluh lima persen) dari luas tanah yang diperlukan pembangunan telah

diperoleh atau jumlah pemilik tanah telah menyetujui bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Untuk pemilik tanah yang belum menyepakati, Panitia Pengadaan Tanah mengupayakan musyawarah kembali sampai tercapai kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Jika dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi yang telah disepakati tadi, ternyata kemudian sebagian dari pemilik tanahnya tidak diketemukan, maka ganti rugi yang menjadi hak orang tersebut dititipkan (konsinyasi) di Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, konsinyasi dalam pengadaan tanah menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 semestinya hanya dapat dilakukan jika sebelumnya telah terjadi kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi. Konsinyasi yang dilakukan karena belum terjadi kesepakatan, tidak boleh dilakukan dan merupakan bentuk perbuatan melanggar hukum serta tidak mengindahkan penghormatan terhadap hak atas tanah. Konsinyasi ini dalam pengaturan Pasal 37 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 yang mengatur pengadaan tanah yang lokasi pembangunannya tidak dapat dialihkan dengan kriteria seperti yang diatur dalam Pasal 38 nya, yaitu 1. berdasarkan aspek historis, klimatologis, geografis, geologis dan topografis tidak ada di lokasi lain; 2. dipindahkan ke lokasi lain memerlukan pengorbanan, kerugian dan biaya yang lebih atau sangat besar; 3. rencana pembangunan tersebut sangat diperlukan dan lokasi tersebut merupakan lokasi terbaik dibandingkan lokasi lain atau tidak tersedia lagi lokasi yang lain, dan/atau 4. tidak di lokasi tersebut dapat menimbulkan bencana yang mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat yang lebih luas. Untuk menjamin obyektifitas dalam menentukan apakah pengadaan tanah itu telah memenuhi (salah satu) syarat seperti yang diuraikan di atas, harus dilakukan oleh lembaga yang independen untuk mencegah penetapan yang bersifat sepihak. Lembaga tersebut bias saja diserahkan pada pengadilan yang dalam penetapannya, sebelumnya dapat mendengar dan mempertimbangkan pendapat dan keterangan para pihak serta saksi-saksi yang memiliki kompetensi di bidangnya. Terhadap pengadaan tanah yang lokasinya tidak dapat dipindahkan, musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besar ganti rugi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus duapuluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama. Apabila waktu yang ditentukan tersebut melampaui, dan belum juga diketemukan kesepakatan, Panitia Pengadaan Tanah membuat Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi. Jika pemilik tanah 7

berkeberatan, maka Panitia Pengadaan Tanah memerintahkan agar instansi Pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan ganti rugi ke Pengadilan Negeri (konsinyasi) yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah bagi pelaksanaan pembangunan. Jadi jelas bahwa dalam pengadaan tanah seperti ini (pengadaan tanah terhadap lokasi pembangunannya yang tidak dapat dipindahkan), konsinyasinya dilakukan tanpa adanya kesepakatan. Semestinya konsinyasi yang demikian ini tidak boleh atau tidak perlu dilakukan, mengingat tindakan tersebut merupakan bentuk represi kepada pemilik tanah, terlebih lagi Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 telah memberikan pengaturan jika tidak terjadi kesepakatan dalam penentuan bentuk dan besar ganti rugi dapat diselesaikan lewat mekanisme pencabutan tanah seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada di Atasnya. Pasal 18 dan Pasal 19 Perpres No. 36 Tahun 2005, Pasal 18 A seperti yang ditambahkan oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, serta Pasal 42 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 mengatur bahwa usulan pencabutan hak atas tanah dilakukan jika proses musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengalami dead lock (jalan buntu) serta lokasi pembangunan yang bersnagkutan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain. Dengan demikian, mekanisme pencabutan hak atas tanah bersifat ultimum remidium, hanya akan dipergunakan kalau semua jalan musyawarah sudah tertutup. Dalam pemcabutan hak atas tanah, tetap diwajibkan adanya pemberian ganti rugi. Hanya saja ganti rugi dalam pencabutan hak atas tanah ini bersifat sepihak, tanpa melalui proses musyawarah, dan karenanya penentuan dan penetapan ganti rugi melalui Keputusan Presiden. Karena bersifat sepihak, jika ada pihak yang berkeberatan dengan besar ganti rugi yang sudah ditetapkan, pada yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum dalam bentuk pengajuan banding kepada Pengadilan Tinggi. Upaya banding yang diajukan ini tidak dapat menunda pelaksanaan pencabutan hak atas tanah. 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan a. Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang ada dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 berbeda dengan kepentingan umum yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993. pengaturan yang ada dalam Perpres tidak mensyaratkan adanya prinsip non profit orientation (tidak berorientasi pada pencapaian keuntungan), sehingga bisa jadi tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah yang mencari keuntungan dapat dipahami sebagai tindakan yang berdasar pada kepentingan umum sepanjang bidang-bidang

yang dilakukan sesuai dengan Pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006. b. Penentuan bentuk dan besar ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dilakukan melalui proses musyawarah. Jika bentuk dan besar ganti ruginya berupa uang, maka musyawarah tentang besar ganti rugi harus didasarkan pada hasil dari lembaga/tim penilai. Khusus terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain, konsinyasi terhadap ganti rugi dapat dilakukan pada mereka yang berkeberatan dengan besar ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah. 4.2 Saran a. Pengaturan terhadap pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang ada dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 perlu ditinjau kembali, mengingat kata kepentingan umum semestinya menempatkan Pemerintah selaku public service, sehingga prinsip non profit orientation harus menjadi syarat yang mutlak dalam pengaturannya. b. Semestinya konsinyasi atas ganti rugi hanya dapat dilakukan, jika penentuan bentuk dan besar ganti rugi dilakukan lewat musyawarah. Dengan demikian, konsinyasi seperti yang diatur dalam Pasal 10 Perpres No. 65 Tahun 2006 harus ditinjau kembali.

DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Hotmatua Daulay (ed), Membangun SDM dan Kapabilitas Teknologi Umat, ISTECS, Jakarta, 2001. Lord Loyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, ELBS, London, 1985. Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta, 2005. Palrindungan, A.P., Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undangundang Pokok Agraria), Mandar Maju, Bandung, 2001. Sihombing, BF, Pergeseran Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan Swasta (Studi Kasus Pengaturan Pemilikan, Penguasaan Tanah di Provinsi DKI Jakarta), Disertasi, Universitas Indonesia, 2004. Sri Hajati, Beberapa Catatan Mengenai Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, Majalah YURIDIKA, Volume 20 No. 5, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, September 2005. Sitorus dan Dayat Lombang Oloan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, cet. Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004. Zulkieflimansyah, Pembelajaran Teknologi dan Sistem Inovasi : Sebuah Uraian Teoritis, Dalam Hotmatua Daulay (ed.), Membangun SDM dan Kapabilitas Teknologi Umat, ISTECS, Jakarta, 2001.

You might also like