You are on page 1of 3

Nurul Hanifah Putri Sosiologi Pembangunan Non reguler 4825127020 Filsafat

Angklung Sebagai Alat Musik Tradisional


Belum dapat dipastikan kapan alat musik angklung ditemukan, namun di perkirakan telah ada sejak zaman Noelitikum (Abstrak). Angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda abad ke-12 sampai abad ke-16. Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi sebagai makanan (Ontologi/Ada). Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (Pikiran). Angklung salah satu alat musik tradisional yangsudah dikenal di beberapa negara yang berkaitan dengan cic-ciri filsafat yaitu (Universal), angklung merupakan alat musik multitonal atau yang sering disebut bernada ganda dan merupakan alat musik tradisional Jawa barat (Sistematis/beraturan). Alat musik ini dibunyikan dengan cara digoyangkan karena dengan menggoyangkan angklung akan terjadi getaran akibat benturan badan pipa bambu yang menghasilkan getaran nada yang bisa dirasakan dengan panca indra (Onotologi). Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik angklung adalah bambu hitam dan bambu putih (Ada/fisik). Tiap nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar (Susunan Onotologi yaitu bergerak). Di Serang, angklung jenis ini dianggap sebagai alat musik sakral (Pikiran) yang digunakan saat mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah penyakit. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu (Integral) angklung terhubung dari suatu masalah ke masalah yang lain sehingga saling mengikat satu sama lain. Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi (Transenden). Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur (Roh). Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang

kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung (Integral). Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang (Universal). Beberapa jenis angklung yang sering dijumpai antara lain :

Angklung Kanekes yang berada di daerah Kanekes. Angklung ini digunakan untuk ritual padi dan acara adat (Metafisika).

Angklung Dogdog Lojor yang berada di daerah masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun. Angklung ini digunakan untuk ritual padi, yang pada dasarnya benda memiliki substantif (Metafisika).

Angklung Gubrag yang berada di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan menanam padi, mengangkut padi, dan menempatkan ke lumbung dapat dilihat (Panca Indera).

Angklung Bedeng yang terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut Buncis yang berada di Baros, Arjasari, Bandung.

Hal lain yang penting adalah: * Pengembangan intelegensi (Logis). * Kreativitas, disiplin (Pikiran). * Sarana penyaluran emosi, ekspresi untuk kebahagian dalam bermain musik (Terarah). * Serta melatih koordinasi gerak tubuh saat mengikuti irama musik dala rangka pengembangan syaraf psikomotorik (Pikiran). * Lebih jauh, melalui kesenian tradisional diharapkan akan dapat merangsang idealisme dan minat generasi muda terhadap eksistensi kesenian tradisional Sunda dan pelestarian lingkungan hidup (Empirisme).

Ada pun cara pembuatan angklung sangat mudah, dan hanya membutuhkan bahan yang

sederhana yaitu bambu sebagai bahan dasar membuat angklung (Kongkret) yang nyata. Bahan Pembuatan Angklung Tidak semua bambu sida digunakan untuk membuat angklung, biasanya untuk mencari kualitas bambu yang baik para pembuat angklung menggunakan bambu hitam yang dalam bahasa Sunda disebut Awi (Integral). Untung menebang bambu haruslah yang berumur sekitar 4 tahun dan ditebang pada musim kemarau agar tidak lembab, sehingga menghasilkan bunyi angklung yang baik (Sistematis). Jadi jangan sembarang memilih bambu untuk membuat angklung (Pikiran manusia yang sistematis). Cara Membuat Angklung Untuk cara membuat angklung pemotongan bambu hitam yang digunakan untuk membuat angklung adalah 2 jingkal tangan orang dewasa mulai dari permukaan tanah (Integral), setelah itu bambu disimpan secara berdiri sampai kering. Setelah bahan pembuat angklung itu kering, bambu diasapi dengan api agar bambu betul - betul kering dan semakin nyaring (Sensation mendengar). Setelah itu bambu siap dipotong, semakin kecil ukuran bambu semakin nyaring bunyinya dan sebaliknya(Penyebab Final secara empiris oleh Aristoteles). Setelah memotong-motong bambu sesuai nada yang diinginkan maka susunlah bambu tersebut secara simetris (Kegunaan Filsafat), maka angklung sudah dapat digunakan. tiap angklung memiliki bunyi yang berbeda yang terdiri dari beberapa nada (Panca indera). Angklung & Character Building Angklung dari sekian pesona dan daya tariknya, memiliki efek samping lain yang baik pula karena beberapa manfaat nyatanya (Kongkret) adalah: Melalui kesenian angklung, diharapkan akan dapat menumbuhkan nilai-nilai baik yang terdapat didalamnya, terutama dalam character-buliding, seperti: Kerja sama, Gotong Royong, Disiplin, Kecermatan, Ketangkasan, Tanggung jawab dan lain-lain (Kebijaksanaan).

You might also like