You are on page 1of 18

TAFSIR TEMATIK (Mengukur relevansi tafsir tematik sebagai rekomendasi metode penafsiran kontemporer)

Mengkaji berbagai jenis literatur keislaman memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang muslim. Terlebih lagi al-Qur'an yang merupakan poros dari segala ilmu yang ada di bumi ini. Al-Qur'an dengan segala keindahannya, keistimewaannya, kemu'jizatannya, keunikannya serta kesuciannya ternyata tak hanya benda "jamid" yang hanya bisa di lihat dan di baca. Al-Qur'an mempunyai berjuta-juta rahasia serta ke-mukjizat-an, yang hanya akan kita pahami jika kita mau memahami dan mempelajarinya lebih dalam. Tafsir, merupakan salah satu cara untuk kita bisa melihat apa makna yang terkandung dalam kitab kamil (al-Quran) ini. Karena tafsir yang merupakan sebuah disiplin inti dalam khazanah keilmuan Islam adalah sebuah alat interpretasi untuk menguak esensi implisit dari ayat-ayat qur'aniyah. Sebagaimana maklum, bahwa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab dengan bentuk sastra yang mengungguli nilai sastra yang berkembang pada masyarakat Arab ketika itu, al-Qur'an mempunyai nilai estetika yang tinggi dan disempurnakan juga dengan kelebihannya dalam segi linguistik yang diindikasikan oleh kekayaan bahasanya dimana pada tiap katanya tidak hanya mempunyai satu makna. Dalam al-Qur'an banyak dijelaskan tentang aturan-aturan yang bisa dijadikan pijakan dalam hidup manusia, seperti dasar-dasar akidah, hukum-hukum sosial kemasyarakatan, pemikiran dan lain-lain. Namun disisi lain, Allah tidak menjamin terperincinya masalahmasalah tersebut diatas dalam al-Qur'an. Maka bukan hal yang aneh lagi jika kita menemukan lafadz singkat tapi terhimpun banyak makna. Selain itu, al-Qur'an tidak tersusun secara sistematis serta tidak diturunkan sesuai dengan komposisi kronologisnya. Bahasa al-Qur'an juga banyak yang mengandung majaz ataupun metafor-metafor sehingga kita akan

mengalami kesulitan untuk memahaminya dengan pembacaan yang sederhana. Nah, disinilah posisi urgensi tafsir itu ditunjukkan. Tafsir menjadi komponen yang sangat penting dalam memahami ayat-ayat qur'aniyah yang maknanya tidak tersajikan secara eksplisit. Dari sinilah kemudian banyak sekali penafsiran terhadap al-Qur'an muncul. Tafsirtafsirpun semakin berkembang. Dan dalam perkembangannya, pengetahuan seputar metodologi tafsir pun tak terelakkan. Sedangkan untuk mengetahui metodologi itu sendiri kita perlu mengarahkan fokus kita pada sisi historis tafsir tersebut. Namun agaknya penulis tidak perlu memaparkan kembali tentang historisitas munculnya tafsir, sebab poin ini telah banyak disinggung dalam makalah-makalah sebelumnya. Berbicara tentang tafsir, kita perlu mengetahui beberapa klasifikasi bahasan teknis dalam menafsirkan al-Qur'an. Misalnya, bentuk-bentuk tafsir, metodologi serta corakcoraknya yang semakin banyak bermunculan dan berkembang dewasa ini. Kita mengenal ada tiga bentuk dalam tafsir, diantaranya adalah tafsir bi al-ma'tsur, tafsir bi al-ra'yi dan tafsir isyari. Kemudian dari segi metode, metodologi tafsir dibagi menjadi empat macam, yang terdiri dari: metode analitik (tahlili) metode global (ijmali), metode komparasi (muqarin), dan metode tematik (maudhu'I). Dalam usaha interpretasi ayat al-Qur'an, seorang mufasir tidak bisa dihindarkan dari sifat subyektif, yang artinya setiap mufasir mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya aliran sektarian atau corak-corak penafsiran yang digunakan oleh para mufasir saat ini. Seperti misalnya pendekatan linguistik murni ataupun dilihat dari bingkai sastranya, sufistik, fiqih, ilmiah/saintifik, filsafat dan teologi. Salah satu metode tafsir yang terbilang laris dipakai oleh para ulama klasik adalah metode tahlili atau analitik, dimana penafsiran dilakukan dengan mengikuti sistematika ayat dalam Al-Qur'an (dari awal sampai akhir). Namun ternyata banyak kelemahan yang

ditemukan didalamnya, salah satunya adalah kebingungan dalam memahami maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an. Dari sinilah akhirnya muncul sebuah metode baru yaitu metode tematik yang seakan menjadi problem solving untuk masalah-masalah tersebut.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas seputar tafsir Tematik dengan menampilkan uraian historisitas kemunculannya yang dilanjutkan dengan definisi serta bentuk dan langkah-langkah yang digunakan, perbedaanya dengan metode lain yang menyangkut kelebihan serta kekurangannya dan yang terakhir adalah nilai relevansi tafsir tematik sebagai metode penafsiran masa kini.

II. HISTORISITAS MUNCULNYA TAFSIR TEMATIK Sejak masa kodifikasi tafsir, metode yang sering digunakan oleh para mufasir (yang sementara diduga dimulai oleh al-Farra') dalam usaha interpretasi al-Qur'an adalah metode analitik (tahlili). Dibanding metode yang lain, semisal muqarin atau ijmali, metode ini masih menempati posisi teratas sebagai metode yang laris digunakan oleh para mufasir klasik. Sebab dua metode diatas dirasa kurang relevan untuk digunakan, mengingat terlalu singkatnya uraian yang dihasilkan. Seperti metode Ijmali, metode ini memang cukup bisa mempermudah pemahaman -masyarakat awam khususnya- mengenai maksud dari redaksi yang ada dalam mushaf dengan mengandalkan uraian globalnya. Namun, dari situ pulalah kelemahan metode ini tampak. Penjelasannya yang terlalu singkat membuatnya tidak bisa menguak makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an. Demikian juga metode muqarin yang sempat dikembangkan oleh Abu Bakar al-Baqillani.

Metode tahlili adalah metode penafsiran al-Qur'an yang dilakukan dengan memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan sistematika yang ada didalamnya. Maksudnya adalah, penafsiran dilakukan secara beruntun ayat demi ayat, kemudian surat demi surat hingga akhir berdasarkan susunan yang ada dalam mushaf. Metode ini menitikberatkan pada pembahasan kata dan lafadz, menyibak arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju serta kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I'jaz, balaghah, dan estetika bahasa, juga menjelaskan esensi yang dapat diambil dari ayat, misalnya hukum fiqih, dalil syar'i, arti secara etimologi, norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, umumnya para mufasir menggunakan metode ini disebabkan oleh keinginan kuat mereka untuk menunjukkan kemukjizatan yang ada dalam alQur'an. Seperti halnya Ibrahim bin Umar Al-Biqai (809-885 H), beliau lebih memilih metode analitik dalam menjelaskan korelasi antar ayat dalam al-Qur'an. Namun ternyata korelasi yang dimaksud disini adalah korelasi yang mengusung sistematika ayat dan surat dalam mushaf, karena dari sinilah beliau mencoba menguak kemukjizatannya. Selain itu, beliau juga bermaksud menunjukkan nilai estetika al-Qur'an dengan menelaah sebab pemilihan redaksi serta penggabungan ayat yang satu dengan yang lainnya.

Pun Al-Syatibi, beliau lebih menyukai metode analitik. Sebab menurut beliau meski dalam satu surat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut mempunyai korelasi yang kuat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga ketika menyajikan interpretasi ayat, hendaknya mufasir tidak hanya memperhatikan bagian awal saja tetapi juga bagian akhir secara keseluruhan. Sebab, jika hanya memperhatikan satu masalah atau bagian tertentu saja, ditakutkan maksud dari ayat-ayat yang lain akan terabaikan.

"Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir", demikian kata Al-Syathibi. Masih banyak sekali para mufasir yang memanfaatkan metode ini, diantaranya adalah, tafsir al-thabary, tafsir ibn Katsir, Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Kendati demikian, seiring dengan maraknya mufasir yang menonjolkan kelebihankelebihan metode ini, ternyata metode tahlili juga mempunyai beberapa kelemahan yang bisa mempengaruhi implementasi dari ayat-ayat qur'aniyah yang ada. Misalnya, keterputusan tema yang sama dalam berbagai surat, sehingga satu tema berpotensi melumpuhkan kesatuan tema yang ada pada bagian sebelumnya, hal ini disebabkan oleh pemaparan tiap tema yang dilakukan secara parsial. Kemudian kelemahan yang dinilai paling mendasar adalah metode semacam ini dirasa kurang relevan dengan perkembangan sosial masa kini. Dengan wujudnya yang berjilid-jilid menjadikan salah satu kendala bagi orang yang ingin membaca serta mendalaminya. Kuantitas yang begitu banyak serta dibarengi dengan bahasannya yang bersifat teoretis ternyata kurang bisa menyentuh berbagai problema yang ada dalam masyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat para pembaca putus asa.

Berangkat dari pemikiran seperti ini, rupanya para ulama mencoba untuk mencari sebuah solusi guna mengatasi masalah diatas, dengan berusaha membuat sebuah harmonisasi antara ayat al-Qur'an dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Disinilah akhirnya metode

tematik dihadirkan untuk menyempurnakan metode tahlili. Ternyata munculnya ide seperti ini menuai banyak respon positif dari kalangan para mufasir.

III. TAFSIR TEMATIK Tafsir Tematik adalah metode tafsir yang berusaha menggali isi al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat tertentu yang mempunyai kesatuan maksud dan bersama-sama membahas topik/judul tertentu kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan masa turunnya dan selaras dengan sebab-sebab turunnya. Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut berikut penjelasan, keterangan serta korelasinya dengan ayat-ayat yang lain, istinbat al-hukm itu dilakukan.

Dari definisi diatas, Dr. Jum'at Ali Abdul Qadir mengungkapkan bahwa tafsir tematik tidak bisa diartikan dengan menggunakan arti tafsir secara terminologi. Sebab tafsir tematik tidak mencakup seluruh ayat-ayat yang ada dalam al-Qur'an, melainkan hanya mengambil pokok pembahasan tertentu untuk ditelaah lebih dalam.

Perwujudan ide ini dalam bentuk satu kitab tafsir dipelopori oleh Syeikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut. Pada tahun 1960, beliau berhasil menerbitkan kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Karim. Disinilah beliau menerapkan metode tematik ini. Berawal dari sini pulalah, semakin lama metode ini semakin berkembang dengan cepat. Dengan mengambil satu tema, yang dilanjutkan dengan menelisik lebih jauh tentang masalah itu melalui himpunan ayat-ayat quraniyah yang mempunyai keterkaitan erat, metode ini dinilai mampu menampilkan sebuah materi yang lebih spesifik dan efisien. Metode tematik tidak hanya

menginduksi makna-makna yang terkandung dalam teks saja, karena disana ada semacam pembacaan realita, sehingga konklusi yang dihasilkan tampak lebih mudah dicerna oleh kalangan masyarakat dari berbagai strata. Selain itu, metode ini bisa digunakan oleh seseorang sebagai dalil atas argumentasi mereka bahwa al-Qur'an sejalan sengan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Contoh tafsir model ini antara lain, Muqawwimat al-Insaniyah fi al-Qur'an karya Ahmad Ibrahim, al-Riba fi al-Qur'an oleh Abu al-A'la al-Maududy atau al-Aqiqah fi alQur'an milik Abu Zahra, dan lain sebagainya. Di Mesir sendiri, metode ini dicetuskan pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, ketua jurusan tafsir fakultas ushuluddin universitas al-Azhar sampai tahun 1981. Rupanya langkah ini menarik perhatian banyak pihak, bahkan beberapa dosen di universitas tersebut telah berhasil mengeluarkan karyakarya ilmiahnya dengan bentuk yang sama. Diantaranya, Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah yang menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat AlQur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-Quran. Ada dua bentuk metode penafsiran tematik: (1) Penafsiran satu surat dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema sentral surat tersebut, kemudian menghubungkan ayat-ayat yang beraneka ragam itu satu dengan lain dengan tema sentral tersebut. (2) Menghimpun ayat-ayat al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat alQuran (sedapat mungkin diurut sesuai dengan masa turunnya, apalagi jika yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema

atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penafsiran dalam satu kesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban al-Quran menyangkut tema (persoalan) yang dibahas.

Dalam menghimpun ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang diajukan, beberapa ulama menekankan bahwa tidak harus mengumpulkan seluruh ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut. Mereka berpendapat, ketika ayat-ayat yang terkumpul disinyalir keras bisa mewakili maksud dari satu tema, maka tidak perlu/harus mengumpulkan ayat-ayat yang lain untuk menjelaskannya.

Langkah-langkah dalam penerapan metode tematik: Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk bisa menerapkan metode tematik atau maudhu'i, seperti halnya yang dipaparkan oleh seorang guru besar pada fakultas ushuluddin al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy dalam bukunya yang bertajuk Al-Bidayah fi altafsir al-maudhu'i, yang diterbitkan pada tahun 1977. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik). b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut. c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya. d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).

f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan. g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan. Perbedaan metode tematik dengan model penafsiran yang lain a) Tematik vs Analitik Dua metode ini jelas sangat berbeda. Hal ini tampak sekali pada langkah-langkah yang digunakan oleh tiap-tiap metode, yang mana metode analitik dilakukan dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan susunan redaksinya dalam mushaf. AlQurthuby misalnya, dalam tafsir al-jami' li ahkam al-Qur'an nya yang tersusun sebanyak sebelas jilid berikut fihris nya, beliau menjabarkan tiap kata yang ada dalam al-Qur'an secara sistematis dari awal surat (al-Fatihah) sampai pada akhir surat (al-Nas). Beliau juga lebih menonjolkan maksud dari penggunaan redaksi, korelasi dari ayat satu dengan yang lainnya, serta kemu'jizatan al-Qur'an. Salah satu sample konkretnya adalah penjabarannya tentang ayat "kursy". Dalam menafsirkan ayat yang terdiri dari sepuluh kalimat ini, pemahaman linguistik menjadi sasaran utama. Seperti kata () , beliau menjelaskan tentang apa makna dari kata tersebut, kedudukan, serta alasan Allah memilih dua redaksi diatas mengingat banyak sekali padanan kata yang dimiliki oleh tiap kata dari bahasa Arab. Selain itu, kita bisa menyimak penjelasannya mengenai korelasi antara ayat tersebut dengan kalimat sesudahnya () , atau antara ( ) dengan ( ) . Beliau juga mencoba menguraikan alasan Allah mengakhiri ayat tersebut dengan

menyebutkan dua sifat wajib-Nya ) . Begitulah al-Qurthuby menerapkan metode tahlili ini.

Tidak demikian dengan tematik, metode ini lebih menitikberatkan pada satu tema pokok yang kemudian dikolaborasikan dengan ayat-ayat qur'aniyah. Sehingga bahasan lebih terfokus pada tema tersebut bukan pada dimensi yang lain dari tiap ayat. Salah satu contohnya bisa kita lihat pada kitab tafsir "Cahaya al-Qur'an" yang merupakan terjemahan dari kitab Qabasun min Nur al-Qur'an karya Muhammad Ali alShabuny atau al-Bayan Tafsr ayt fi Ahkm min al-Qur'an milik Rawai', yang khusus membahas tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum, dan shafwa al-Tafasir (Tafsir-tafsir pilihan). Komposisi kitab Cahaya al-Qur'an terdiri dari surat al-Baqarah sampai al-An'am. Disini Ali al-Shobuny mengklasfikasikan ayat dalam sub-sub tertentu sesuai dengan tema yang terkandung di dalamnya. Dalam surat al-Baqarah misalnya, menurut beliau substansi surat ini lebih banyak berkutat pada penetapan-penetapan hukum syar'i seperti puasa, haji, jihad dan lain sebagainya, hal ini disebabkan oleh kedudukannya sebagai ayat madaniyah yang lebih menitikberatkan pada petunjuk, pengarahan dan penetapan syari'at. Atau dalam surat Ali 'imran, yang mana terdapat dua poin penting disana. Pertama, menjelaskan tentang akidah Islam yang beruhubungan dengan keesaan, kebesaran serta kekuasaan Allah Swt. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya ayat-ayat ilahiyah. kedua, berbicara tentang syari'at khususnya yang berkaitan dengan jihad fi sabil al-Allah. Disini al-Shobuny menuangkan interpretasinya secara gamblang dengan menggunakan metode maudhu'i dan metode yang diterapkan oleh beliau termasuk dalam kategori tematik bentuk pertama.

Untuk bentuk kedua yaitu menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang dibahas. Disini tentunya seorang mufasir harus menentukan terlebih dahulu tema yang akan dikajinya, baru kemudian dikolaborasikan dengan dalil-dalil qur'aniyah. Pembahasan tentang riba misalkan, maka mufasir harus mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai keterkaitan dengan tema tersebut, lalu diikuti dengan konklusi serta solusi yang ditawarkan. Atau didahului dengan pembacaan realitas, yang artinya mufasir mencari satu tema yang "up to date" di perbincangkan dalam masyarakat saat ini. Seperti masalah perempuan, kepemimpinan, etika dalam bermu'amalah atau yang lainnya.

Jika metode analisis lebih mengarahkan eksploitasi ayatnya pada berbagai segi seperti linguistik, i'jaz, estetika dan lain sebagainya, maka metode tematik melakukan sebaliknya. Cakupan teknis metode ini tidak berkutat pada makna kosakata atau dari segi estetikanya (kecuali hanya sebatas yang dibutuhkan dalam pembahasan pokoknya), namun substansi berikut konklusi lah yang menjadi sasaran utama. Oleh sebab itu, seringkali tafsir yang memakai metode tematik bisa menuntaskan masalah-masalah yang ada dalam al-Qur'an. Hal ini dikarenakan pembahasan yang ada dalam tafsir tahlili lebih diarahkan pada pembahasan ayat secara independent, yang mengakibatkan terabaikannya ayat lain yang masih mempunyai keterkaitan. b) Tematik vs Komparasi Metode komparasi yang familiar dengan sebutan tafsir muqarin adalah metode yang ditempuh dengan cara mengkomparasikan atau membandingkan ayat-ayat al-Qur'an dengan al-Qur'an ataupun sunah yang mempunyai kesamaan redaksi namun substansi yang diusung berbeda, ataupun sebaliknya redaksi berbeda namun substansi hampir sama, serta membandingkan tafsir atau pendapat ulama yang berhubungan dengan interpretasi ayat al-

Qur'an. Mufasir yang menempuh metode ini, misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Ta'wil Dalam mengkomparasikan ayat-ayat al-Qur'an, umumnya para mufasir hanya menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan kandungan pada tiap-tiap ayat tersebut. Seperti perbedaan yang antara surat al-A'raf ayat 12 dengan surat Shad ayat 75 berikut ini: Surat al-A'raf ayat 12 Allah berfirman," apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) diwaktu aku menyuruhmu?" Iblis menjawab,"saya lebih baik daripadanya; engkau ciptakan saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah. Shad 75 (Allah berfirman,"hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyomobongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?")

Seperti yang tampak jelas dari dua ayat diatas. Keduanya mempunyai redaksi yang sedikit berbeda, namun substansi yang dibawa sama yaitu sama-sama menjelaskan tentang kesombongan Iblis yang tidak mau mengikuti perintah Allah untuk berdujud kepada nabi Adam. Sama halnya perbedaan yang terjadi antara surat al-Anfal ayat 10 dengan surat Ali Imran ayat 126 sebagai berikut:

Surat Al- anfal ayat 10 (dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana). Ali imran 126 (dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira (bagi kemenanganmu), dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang maha Perkasa lagi maha Bijaksana). Selain menyajikan komparasi antara ayat dengan ayat, tafsir muqarin ini juga membandingkan tafsir dan pendapat ulama yang berhubungan dengan interpretasi ayat. Seperti halnya perbedaan antara al-Qurthuby, Imam Baihaqy dan Imam al-Kalby yang berbeda dalam mengartikan kata ( )dalam ayat kursy. Al-Qurthuby mengartikan kata tersebut dengan "mengatur atau mengurusi (makhluknya) secara terus-menerus", sedangkan makna yang ditawarkan oleh Imam Baihaqy adalah "yang tidak tidur", lain halnya yang diungkapkan oleh Imam al-Kalby, beliau mengatakan al-qoyyum berarti "yang tidak ada permulaannya". Nah dari sinilah biasanya seorang mufasir akan menarik sebuah kesimpulan mengenai interpretasi ayat-ayat tersebut. Tentu saja tafsir model ini berbeda dengan tafsir tematik. Cakupan makna yang dirangkum dalam tafsir komparasi terbilang lebih sempit dari pada metode tematik. Hal ini disebabkan oleh penjelasan mufasir komparasi yang berputar pada pembahasan redaksional

saja. Sementara tematik, selain menghimpun ayat-ayat yang mempunyai relasi dengan tema, mencari sinonim-sinonimnya, juga mencoba menelaah kandungan-kandungan ayatnya. c) Tematik vs Global Metode global (Ijmali) adalah metode penafsiran yang mencoba menguak makna alQur'an secara singkat dan global. Dalam metode ini, sisitematika yang digunakan sama dengan metode tahlili. Imam Jalaluddin al-Sayuthi adalah salah satu imam yang masyhur menerapkan metode ini dalam kitabnya Tafsir al-Jalalain. Keistimewaan metode ini ada pada kemudahan dalam pemahamannya, hanya saja interpretasi yang dihasilkan lebih singkat dan belum sampai pada analisis yang lebih detail, sehingga tidak bisa membawa esensi al-Qur'an secara komprehensif. Disini pulalah letak perbedaan antara tafsir tematik dan tafsir global. Selain uraiannya yang terlalu singkat, metode inipun terkesan membingungkan sang pembaca. Hal ini dikarenakan susunannya yang sama dengan metode tahlili, yaitu dari awal hingga akhir surat. Lain halnya dengan tematik yang lebih mengedepankan tema yang diangkat dalam bahasannya. Selain lebih terfokus pada poin sasarannya, uraian yang dipaparkan pun lebih jelas dan mengena dalam masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. IV. MENGUKUR NILAI RELEVANSI TAFSIR TEMATIK. Setelah sedikit uraian yang menjelaskan tentang sosio-historis serta sisi intern tafsir tematik (bentuk-bentuk, langkah-langkah, perbedaan dengan model penafsiran yang lain, dan lain sebagainya) diatas, sudah sewajarnya pertanyaan seputar relevansi atas aplikasi tafsir tematik dalam kondisi masyarakat saat ini masuk dalam list perbincangan kita. Menghadapi kondisi sosial masyarakat saat ini, sepertinya tafsir yang dilakukan secara tematik mempunyai peran penting sebagai salah satu media masyarakat dalam

memahami makna-makna yang ada pada kalam Allah Swt. Telah maklum, bahwa salah satu urgensitas tafsir adalah sebagai media dalam mengartikulasikan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia. Selama ini, tafsir yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat adalah tafsir dengan metode analitik yang bersifat teoretis. Namun, kondisi sebagian besar masyarakat yang cenderung bersikap pragmatis, seakan menuntut mereka untuk bisa mendapatkan sesuatu secara instant. Sehingga bisa disimpulkan bahwa masyarakat tidak menginginkan teori, mereka hanya butuh pemahaman (terhadap suatu ayat) yang telah sampai pada tataran praktis. Menurut sebagian ulama, munculnya tafsir tematik mampu menjadi sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan yang berkembang dalam masyarakat masa kini. Dibanding tiga metode yang lain, metode ini dinilai paling relevan untuk diaplikasikan sebagai rekomendasi metode tafsir kontemporer. Umumnya, masyarakat (awam khususnya) mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan tafsir dengan model yang lain. Tahlili misalkan, tafsir ini lebih menitikberatkan pada penafsiran yang bersifat teoretis, sehingga bisa dibilang hanya orang-orang tertentu yang memiliki kapabilitas dalam bidang itulah yang dapat memahami kandungan al-Qur'an, bahkan tak jarang kita menemukan orang yang bersikap apriori dalam memahami al-Qur'an lebih mendalam. Lain halnya dengan tafsir tematik yang memang mempunyai jangkauan bahasan lebih spesifik dan aplikatif. Metode tematik bisa dibilang mampu "membumikan al-Qur'an". Dalam arti, mampu menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur'an mudah diserap oleh masyarakat dari kalangan manapun. Hal ini bisa kita lihat dari langkah awal ketika mufasir tematik menetapkan permasalahan yang akan dibahas. Mufasir tematik tidak akan sembarangan mengambil tema sebagai sasaran bahasannya, karena pembacaan realitas akan dilakukan terlebih dahulu sebelum menetapkan pokok bahasan tersebut. Selain itu, mufasir tematik juga harus mempelajari kondisi sosio historis masyarakat dengan memperhatikan

masalah yang sedang berkembang saat itu, sehingga tema yang diangkat bisa diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh mereka. Seperti masalah riba, perempuan, etika bermuamalah, musyawarah, ibadah dan lain sebagainya. Selain itu, tafsir tematik tidak hanya mengkorelasikan antara ayat dengan ayat. Karena dalam penerapannya, mufasir tematik juga berusaha mengkolaborasikannya dengan disiplin keilmuan yang lainnya seperti sains, teologi dan sebagainya. Selain itu, mufasir tematik juga mampu menyusun sistematika penulisan secara apik untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum. Maka tak heran jika kita temukan puluhan lebih tafsir-tafsir yang menggunakan metode ini beredar di pasaran. Namun di sisi lain, ternyata tidak semua ulama mengamini metode ini. Ada juga yang berusaha mengkolaborasikan dua metode sekaligus yaitu tahlili dan maudhu'i. Pak Chodjim misalnya, beliau dikenal sebagai penulis buku-buku best seller seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar dan sekarang sedang menulis tafsir al-Qur'an. Menurut beliau, dalam alQur'an terdapat ayat-ayat yang sifatnya mutasyabih dan itu berarti antara satu surat dengan surat lainnya mempunyai korelasi yang kuat. Sehingga jika kita ingin memahami isi al-Qur'an secara komprehensif, maka kita harus menafsirkannya menurut sistematika dalam mushaf. Namun, ketika menafsirkan satu tema dalam satu surat, maka beliau akan menarik ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tersebut untuk kemudian dibahas lebih lanjut. V. EPILOG Upaya untuk menafsirkan al-Qur'an memang selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring meningkatnya progresifitas pemikiran manusia, saat inipun banyak sekali bermunculan model-model tafsir dengan beraneka pendekatan yang digunakan. Kendati demikian, sebenarnya mereka mempunyai kesamaan orientasi, yaitu upaya

membumikan al-Qur'an. Para mufasir selalu berusaha sebisa mungkin mentransfer values alQur'an sehingga benar-benar mampu menjadi pijakan hidup bagi manusia. Tafsir tematik salah satunya, metode ini mucul dengan tujuan untuk memudahkan para pembaca dalam memahami isi al-Qur'an sekaligus mengaplikasikannya. Namun, hal ini tentunya harus didukung dengan adanya tafsir tematik yang ideal, yang mana mengharuskan mufasirnya benar-benar memperhatikan langkah-langkah yang harus diambil sebelum mulai menginterpretasikan ayat-ayat tersebut. Tafsir tematik dinilai relevan untuk disajikan kepada masyarakat masa kini. Hal ini disebabkan oleh pokok bahasan yang lebih terfokus pada satu tema yang menjadikan penafsiran itu bersifat spesifik dan mudah dicerna. Demikianlah sedikit uraian yang bisa penulis sampaikan tentang tafsir tematik berikut perangkat-perangkat serta nilai relevansinya. Semoga makalah sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.

BIBLIOGRAFI Maarif, Ahmad Syafii dan Tuhuleley, Said, Al-Qur'an dan tantangan Modernitas. Yogyakarta: SIPRESS, cet. II, 1993. Abdul Qadir, Jum'at Ali, Jalal al-fikr fi al-tafsir al-maudhu'I li al-ayat min al-dzikr. Cet I, 2001. Dr. al-Kholidy, Sholah Abdul Fattah, al-tafsir al-maudhu'i. Dar al-nafais, cet I, 1998. Muhammad Sholih, Abdul qadir, al-tafsir wal mufassirun fi 'asyr al-hadits. Dar al-Marefah, cet I, 2003. Terjemahan Eva F. Amrullah dari Hassan hanafi, "hal ladayna nazhariyah al-tafsir?" dalam Hassan Hanafi, Qadhaya Mu'asharah fi fikrina al-mu'ashir I, Cairo: Dar al-fikr al-'Arabi, 1976. Dr. Shihab, M Quraish, Membumikan al-Qur'an. Artikel yang berisi interview dengan Achmad Chodjim, Kita Selalu Butuh Tafsir yang sesuai Zaman. 25 Oktober 2006. Resensi buku Cahaya al-Qur'an yang diterjemahkan dari buku aslinya Qabasun min Nur alQur'an karya tafsir Muhammad Ali Ash-Shabuny. Pustaka al-kautsar, 2002. Artikel Suryaningsih, penafsiran "Khalifah" dengan metode tematik. 4 Desember 2006. Qashidi, Robith, makalah Menyelami Dunia Tafsir Elfani, Maramita, makalah interpretasi ayat Ilahiyah (dengan menggunakan pendekatan linguistik).

You might also like