You are on page 1of 4

KASUS POSISI

PUTUSAN No. 782 K/Pid.Sus/2008

1. Terdakwa I, Heni Dwi Cristina als

Kristin meminta kepada Maryati (saksi) agar

dicarikan tenaga kerja untuk dipekerjakan sebagai penjaga kedai di Malaysia. 2. Kemudian Maryati menawarkan pekerjaan tersebut kepada Mimin, Leni, dan Cici (saksi). Ketiganya kemudian bersedia. 3. Menurut Terdakwa I, semua kelengkapan administrasi akan diurus oleh Terdakwa I dan biaya perjalanan hingga Malaysia akan ditanggung dan nantinya akan dibayarkan dengan cara dipotong dari gaji perbulan. 4. Pada tanggal 6 Maret 2007, Mimin, Leni, dan Cici berangkat bersama Maryati dari Bandung menuju Batam, lalu di Batam mereka dijemput oleh saksi Herman Jaelani als Bang Jai, menuju Vila Muka Kuning Batu Aji Batam, tempat kediaman Heni Dwi Cristina als Kristin. 5. Pada tanggal 11 Maret 2007, Mimin, Leni, dan Cici menuju Kuala Tungkal untuk pembuatan paspor, ketiganya lalu menuju Tanjung Balai Karimun lalu dijemput oleh saksi Hernan Jaelani als Bang Jai kemudian menginap di Hotel dan bertemu dengan Rosalina Saragih als Merry (Terdakwa II). 6. Selanjutnya, Leni bersama dengan Rosalina Saragih als Merry berangkat menuju Malaysia dari Tanjung Balai Karimun. Mimin dan Cici kembali menuju Batam bersama dengan Hernan Jaelani als Bang Jai, lalu berangkat ke Malaysia lewat Batam. 7. Setibanya di Malaysia, Mimin dan Cici dibawa ke Kuala Lumpur menuju Cheras di Apartemen lantai 9. 8. Rosalina Saragih als Merry mengatakan bahwa Mimin, Leni, dan Cici memiliki hutang sebesar 160 Kong, dan harus membayarnya dengan melayani tamu lelaki sebanyak 100 kali. 9. Mimin, Leni dan Cici mengatakan tidak mau bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial. Heni Dwi Cristina als Kristin dan Rosalina Saragih als Merry merampas paspor ketiga

saksi yang juga sekaligus sebagai korban dan mengatakan apabila mereka hendak pulang, maka mereka harus membayar Rp7.000.000 sebagai pengganti uang perjalanan. 10. Mereka bertiga selalu diawasi hingga akhirnya pada suatu hari berhasil melarikan diri dan melapor ke Balai Polisi (Kantor Polisi) dan dijemput oleh Staf Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia.

ANALISA FAKTA Dalam kasus ini, dikatakan bahwa terdakwa Kristin dan Merry, melakukan penempatan Warga Negara Indonesia yaitu Mimin, Leni, dan Cici di luar negeri tanpa izin berupa SIPPTKI atau menempatkan mereka pada jabatan atau tempat pekerja yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan. Dalam dakwaan jaksa, telah diuraikan bahwa terdakwa, Kristin dan Merry, meminta kepada Mariati untuk dicarikan pekerja-pekerja untuk menjadi penjaga kedai di Malaysia. Kemudian, Mariati menawarkan pekerjaan kepada Mimin, Leni, dan Cici. Disini bukan korban yang datang kepada terdakwa untuk mencari pekerjaan, melainkan terdakwa yang mencari-cari pekerja melalui Mariati. Mariati hanya tahu terdakwa mencari pekerja untuk menjaga toko dan tidak dijelaskan apakah Mariati mengetahui tujuan lain yang dibuat terdakwa atau tidak. Pada tanggal 6 Maret 2007, Mimin, Leni dan Cici berangkat bersama Mariati dari Bandung menuju Batam menuju kediaman terdakwa Christine. Tanggal 11 Maret 2007, Mimin, Leni dan Cici, menuju Kuala Tungkal untuk membuat paspor. Di Tanjung Balai, mereka menginap di hotel dan bertemu terdakwa Merry. Kristin dan Heni adalah orang perorangan yang seharusnya dilarang untuk melakukan penempatan TKI di luar negeri. Terdakwa bukan PPTKIS dan bukan perwakilan PPTKIS. Jika mereka bukan PPTKIS maka itu adalah ilegal. Mereka tidak memiliki SIPPTKI yang sah. Tidak ada dalih yang bisa membenarkan mereka dapat melakukan penempatan tenaga kerja. Korban (Mimin, Leni, dan Cici) tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja, yang seharusnya ditempuh oleh seorang TKI yang akan ditempatkan di luar negeri. Mereka hanya

dibuatkan paspor, tidak ada pelatihan kerja yang membantu mereka meningkatkan skill. Selain bukan merupakan PPTKIS yang sah, terdakwa Kristin dan Meri tanpa melakukan pelatihan terlebih dahulu langsung mau menempatkan TKI untuk bekerja di luar negeri. Tidak ada latihan yang harus diikuti oleh Mimin, Lena, dan Cici padahal untuk dikirim bekerja ke luar negeri supaya pekerjaan nanti dapat dijalankan dengan baik, perlu ada pelatihan. Pendidikan dan pelatihan kerja ini seharusnya menjadi hal yang penting untuk mengembangkan potensi calon TKI. Kemudian, Leni bersama terdakwa Merry, menuju Malaysia dari Tanjung Balai sedangkan Mimin dan Cici bersama dengan Herman dari Batam menuju Malaysia. Korban diberangkatkan terpisah, ada yang dari Batam sama dari Tanjung Balai. Terlihat bahwa korban yang merupakan 3 perempuan ini diberangkatkan dengan motif tertentu sehingga tidak terlihat mencurigakan. Padahal dari hal tersebut, sudah jelas terlihat, perempuan semua yang akan dikirim. Tidak ada pendidikan dan pelatihan yang harus ditempuh. Dokumendokumen resmi yang dibutuhkan juga tidak ada. Sesampainya di Malaysia, Cici, Mimin dan Leni dibawa ke Kuala Lumpur menuju Cheras di Apartemen. Disana mereka disuruh oleh terdakwa Merry, melayani tamu laki-laki sebagai pembayaran utang sebanyak 150 Kong. Padahal, mereka tidak punya utang, itu hanya sebagai ganti ongkos. Harusnya mereka menjaga toko bukan melayani tamu laki-laki. Pembayaran ongkos tersebut dijanjikan dari pemotongan gaji mereka sebagai penjaga toko. Ternyata janji mereka tidak sesuai. Mereka bukannya bekerja di toko malah bekerja sebagai PSK. Mimin, Leni, dan Cici tidak mau meminta apa yang dilakukan terdakwa Merry dan Christine, Merry merampas paspor korban, dan mengatakan mereka harus membayar Rp 7.000.000,00 jika ingin kembali. Seharusnya, mereka tidak perlu membayar hal tersebut. Mereka sebagai pekerja berhak mendapat pekerjaan sesuai yang dijanjikan. Terkadang dengan dijanjikan segala hal yang enak-enak tentu TKI mudah terbujuk. Dalam kasus di atas, awalnya Mariati hanya mencari pekerja saja bagi terdakwa yang membutuhkan orang untuk menjadi penjaga toko. Dalam masalah penempatan TKI di luar negeri ini ada yang dari awal memang tidak baik contoh menjadi pelayan bar. Dalam kasus di atas, terdakwa sedari awal tidak menunjukkan tujuan yang tidak baik karena terdakwa hanya mencari pekerja melalui Mariati,

yang dibutuhkan untuk menjaga toko. Memang tidak dijelaskan bagaimana deskripsi pekerjaanya, hanya dijanjikan upah layak, prosedur mudah sampai akhirnya diketahui bahwa perempuan-perempuan tersebut ingin dijual ke luar negeri. Maka, berdasarkan analisa fakta tersebut, motif dari terdakwa sedari awal sudah salah karena ingin menempatkan TKI di luar negeri secara ilegal. Merry dan Kristin bukanlah PPTKIS yang bisa melakukan penempatan TKI di luar negeri. Tidak SIPPTKI yang dimiliki oleh terdakwa sehingga terdakwa mempekerjakan orang tanpa izin. Saat korban ingin kabur dan tidak mau melakukan pekerjaan asusila tersebut, korban dipaksa. Terdakwa merampas paspor mereka dan menahannya sampai akhirnya korban melapor dan tindakan ini diketahui oleh aparat. Perusahaan yang melakukan penempatan TKI di luar negeri harus memiliki SIPPTKI (Surat Izin Pelaksana Tenaga Kerja Indonesia). Yang sering menjadi masalah Perusahaan yang menjadi pelaksana penempatan TKI swasta seringkali memakai jasa calo. Bujuk rayu dengan janji-janji kepada para pencari kerja pada masa rekrut belum begitu terlihat. Pada masa tunggu baru dapat terlihat. Dari kasus di atas, terlihat pada masa tunggu ini perempuan semua, yang akan dikirim ke Malaysia perempuan semua berjumlah 3 orang. Dari hal tersebut dapat disinyalir adanya perdagangan orang, sekalipun dakwaan hanya mengenai maslaah penempatan tenaga kerja.

You might also like