You are on page 1of 16

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KERJA ENZIM ( PENGARUH SUHU DAN pH TERHADAP AKTIVITAS ENZIM) A. PELAKSANAAN PRAKTIKUM 1.

. Tujuan : Untuk mengetahu aktivitas enzim ( pengaruh suhudan pH ) 2. Hari, tanggal : selasa, 18 Mei 2010 3. Tempat : Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UNRAM

1. A. LANDASAN TEORI Saliva adalah cairan yang lebih kental daripada air biasa. Tiap hari sekitar 1-1,5 liter saliva dikeluarkan oleh kelenjar saliva. Kelenjar saliva yang utama adalah kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis. Selain itu juga ada beberapa kelenjar bukalis yang kecil (Ganong, 1995). Saliva juga merupakan sarana untuk mengekskresikan obat-obat tertentu (misalnya etanol dan morfin), ion-ion organik seperti K+, Ca2+, HCO3-, tiosianat (SCN-) serta yodium dan imunoglobin (IgA). (Murray, Granner, 1999).Nilai pH saliva biasanya berkisar sekitar 6,8, kendati dapat bervariasi pada salah satu dari kedua sisi netralitas tersebut. (Murray, Granner, 1999 ) Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH lingkungannya. Enzim dapat berbentuk ion positif, ion negatif atau ion bermuatan ganda ( zwitter ion ). Dengan demikian perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat. Disamping pengaruh terhadap struktur ion pada enzim, pH rendah atau tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan mengakibatkan aktivitas enzim ( poedjadi,1994 ) Katalisator mempercepat reaksi kimia, mengalami perubahan selama reaksi, tetapi berubah kembali kepada keadaan semula setelah reaksi-reaksi selesai. Enzim merupakan biokatalisator yang bekerja spesifik. Aktivitas katalis yang dimiliki enzim merupakan alat ukur yang selektif dan sensitif terhadap aktivitas enzim. Aktivitas enzim dapat diamati dari sisa substrat, pH, suhu, dan indikator. Aktivitas enzim dapat diamati dari sisa substrat atau produk yang terbentuk. Faktor yang mempengaruhi pengukuran aktivitas enzim antara lain konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH, dan indikator. Aktivitas enzim meningkat bersamaan dengan peningkatan suhu, laju berbagai proses metabolisme akan naik sampai batasan suhu maksimal. Prinsip biologis utama adalah homeostatis, yaitu keadaan dalam tubuh yang selalu mempertahankan keadaan normalnya. Perubahan relatif kecil saja dapat mempengaruhi aktivitas banyak enzim. Adanya inhibitor non kompetitif irreversibel dan antiseptik dapat menurunkan aktivitas enzim ( Hawab,2003 ) C. ALAT DAN BAHAN A. Alat

Spektrofotometer Tabung reaksi dan rak Beaker glass

Erlenmeyer Pipet volume Termometer Penangas air Pipet tetes Air es

Bahan:

Saliva Larutan pati Larutan Iodium Larutan dengan pH 3, 5, 9, dan 11

1. D. SKEMA KERJA 1. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim Air liur Encerkan Air liur encer

4 pasang tabung (0o, suhu ruang, 60o, 100o) Tabung uji + larutan pati 1 ml + liur encer 100X Keram 1 menit + 1 ml larutan iodine + 8 ml aquades Hasil blangko + larutan pati 1 ml + liur encer 200X Keram 1 menit + 1 ml larutan iodin + 8 ml aquades Hasil

1. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim Air liur

Encerkan Air liur encer

4 pasang tabung pH (3, 5, 9, 11) Tabung uji + larutan pati 1 ml dalam berbagai pH Keram pada suhu 37oC 5 menit + 200 ml liur encer + 1 ml larutan iodine + 8 ml aquades Hasil

Tabung uji + larutan pati 1 ml dalam berbagai pH Keram pada suhu 37oC 5 menit Keram 1 menit + 1 ml larutan iodine + 8 ml aquades Hasil Baca absorban pada 680 nm 1. E. HASIL PENGAMATAN 1. 1. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim No Cara kerja Hasil pengamatan A Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim

1 Liur diencerkan 100x 2 Tabung 1: 0oC Tabung B Tabung U 3 Tabung 2: suhu kamar Tabung B

Liur encer

Kurang bening dan endapan lebih sedikit Lebih bening dan endapan lebih banyak

Keruh putih, ada endapan putih didasar tabung Tabung U Lebih jernih, ada endapan putih didasar tabung

4 Tabung 3: 60oC Tabung B Tabung U 5 Tabung 4: 100oC Tabung B + iodium Tabung U + iodium Biru tua pekat Biru jernih Endapan putih, larutan ungu kehitaman Larutan bening kekuningan

Suhu 0oC Suhu ruang 60oC 100oC

A uji 0,07 0,082 0,1 1,064

A blangko 0,104 0.209 0,279 2,500

1. 2. Penagruh pH terhadap aktivitas enzim

No Cara kerja A Ph 3 1 Tabung B Panaskan 37oc

Hasil pengamatan

Terbentuk 2 fase: atas larutan bening, bawah endapan putih Larutannya berubah dari bening menjadi biru tua Tidak terjadi perubahan

+ Iodium

+ Air Suling 2 Tabung U Panaskan 37oc Pada larutan ada endapan yang melayang + air liur + Iodium Terdapat 3 lapisan, atas biru muda, tengah biru tua, dan bawah endapan. + Air Suling Larutan berubah menjadi biru tua, ada endapan putih melayang Terbentuk 2 fase: atas larutan bening, bawah endapan putih

pH 5 1 Tabung B Tabung U 2 pH 9 Tabung B Tabung U pH 11 1 Tabung B Tabung U

Wwarna ungu kehitaman dan terdapat endapan putih Endapan putih dan larutan bening sedikit kekuningandan terdapat warna ungu diantaranya

Terdapat 2 lapisan : atasnya larutan ungu kehitaman, bwahnya endapan putih Terdapat 2 lapisan: atasnya bening keunguan, bawah endapan putih

Terdapat 2 lapisan : atasnya larutan ungu kehitaman, bwahnya

endapan putih Terdapat 3 lapisan: dari atas samapi bawah berturut- turut yaitu: bening keunguan, biru keunguan, endapan putih

2 pH 3 5 9 11

A uji 2,470 0,165 0,107 0,087 1. a. ANALISIS DATA 2. 1. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim

A blangko 1,363 2,500 0,161 0,101

Suhu 0oC Suhu ruang 60oC 100oC

A uji 0,169 0,448 2,096 2,5

A blangko 0,122 0,363 1,009 1,736

A/menit (v) 0,047 0,085 0,997 0,764

1. 2. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim pH 3 5 9 11 A uji 2,5 2,5 2,5 0,14 A blangko 2,5 1,06 0,23 0,09 A/menit (v) 0 0,144 2,27 0,05

Kurva hbungan antara kecepatan reaksi enzim dengan suhu

Kurva hubungan antara kecepatan reaksi enzim dengan pH G. PEMBAHASAN Sumber enzim -amilase yang digunakan dalam penelitian ini adalah saliva. Secara umum enzim -amilase terdapat pada tanaman, jaringan mamalia, dan mikroba (Winarno, 1986)..sumber enzim tersebut memiliki karakteristik dan lingkungan kerja yang berbeda sehingga berbeda pula kemampuannya dalam menghidrolisis pati. Faktor faktor yang sangat penting dalam menentukan aktivitas enzimatik adalah suhu dan pH. suhu optimum enzim biasanya hampir sama dengan suhu organisme asal enzim tersebut.Yazid dkk (2006). Pada mamalia dan unggas, suhu tersebut berada di sekitar 37oC. Proses hidrolisis pati dengan sumber enzim -amilase dari pankreon juga dilakukan pada suhu 37-38o C, menyesuaikan suhu tubuh manusia. Sedangkan Pengaruh pH pada aktivitas enzim, Secara umum enzim -amilase bekerja optimal pada pH 6,6 (Guyton, 1997). Sebagai produk makhluk hidup, secara teori selalu ada kemungkinan dari pengaruh pH terhadap aktivitas biologis dari enzim Sadikin (2002). percobaan yang pertama kami lakukan adalah pegaruh suhu terhadap aktaivitas enzim. Sebelumnya kami mengumpulkan air ludah atau liur terlebih dahulu. Penambahan air liur pada pati di awal sebelum proses ini berfungsi sebagai enzim yang akan mengkatalisis proses hidrolisa senyawa pati, karena pada air liur terdapat enzim amylase yang akan mengubah amilum menjadi maltosa, dan pati merupakan amilum. Amylase pada air ludah ini juga sering disebut dengan enzim ptialin. Proses perubahan amilum menjadi maltosa merupakan hidrolisis. Bila amilum ditambahkan air liur (amilase) maka molekul-molekulnya akan terhidrolisis manjadi maltosa dengan BM 360 dan glukosa. Amilosa merupakan suatu polimer linear yang terdiri dari unit-unit D-glukosa dalam ikatan 1,4 glukosida. Berbeda dengan amilopektin, amilosa merupakan suatu polisakarida yang bercabang dan terdiri dari unit-unit D-glukosa dalam ikatan. Dari hasil percobaan pada suhu 0o C tejadi aktivitas enzim,yaitu ditandai dengan perubahan warna pada tabung uji dengan terbentuknya 3 warna,pada suhu ini seharusnya enzim berada dalam keadaan tidak aktif,sehingga keja enzim disini seharusnya sama sekali tidak ada. Hal ini juga sebenarnya dipengaruhi oleha faktior pengenceran,karena semakin tinggi pengenceran maka semakin menurun pula aktivitas enzim ( kecepatan reaksi enzim ). Selanjutnya dilakukan uji pada suhu ruang,aktivitas enzim pada suhu ini dapat dikatakan normal atau tidak terjadi perubahan warna,hal yang dapat mempengaruhi adalah kondisi lingkungan yang kadang tidak sesuai dengan suhu ruang ( 28o C ), kemudian pada suhu 60o c,sama halnya dengan suhu ruang tidak terjadi perubahan pada larutan. Pada kondisi ini sebagian enzim terdenaturasi. apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim akan berkurang dan kecepatan reaksinya pun akan menurun. Ini berarti pada suhu 60o C bukanlah temperatur yang optimal untuk membuat enzim amylase bekerja dengan baik dalam membantu reaksi hidrolisis Pada suhu yang lebih tinggi ( 100o C ), gerak termodinamik akan lebih meningkat sehingga benturan antar molekul akan lebih sering. Namun molekul protein juga mengalami denaturasi, sehingga bangun tiga dimensinya berubah secara bertahap. Akibatnya kompleks ES akan sukar terbentuk sehingga produk juga makin sedikit. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sampai batas optimum. Setelah melewati

suhu optimum, maka kecepatan reaksi enzimatik akan kembali menurun. Suhu optimum enzim amilase yang terdapat pada saliva adalah 37oC, sama dengan suhu normal tubuh. Suhu penangas air selama proses uji sebenarnya perlu dijaga agar tetap stabil pada kisaran 37-38o C.,sebab berpengaruh terhadap laju reaksi. Diluar suhu optimum laju reaksi enzimatis selalu lebih rendah, Makin besar perbedaan suhu reaksi dengan suhu optimum, makin rendah laju reaksi. Percobaan 2, yaitu Pengaruh pH pada aktivitas enzim, Secara umum enzim -amilase bekerja optimal pada pH 6,6 (Guyton, 1997). Sebagai produk makhluk hidup, secara teori selalu ada kemungkinan dari pengaruh pH terhadap aktivitas biologis dari enzim Sadikin (2002).Dalam lingkungan pH optimum, protein enzim mengambil struktur tiga dimensi yang sangat tepat sehingga ia dapat mengikat dan mengolah substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar pH optimum tersebut, struktur tiga dimensi enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan tepat di bagian molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnya proses katalisis berjalan tidak optimum. Dapat dilihat bahwa enzim amilase saliva memiliki pH optimal pada pH 7, Namun Pada kurva yang diperoleh melalui percobaan didapat pada pH 9, karena pada pH ini diperoleh aktivitas enzim yang tinggi (kecepatan reaksi enzimatik tinggi). Umumnya, kecepatan reaksi enzimatik meningkat hingga mencapai pH optimal dan menurun setelah pH lebih besar dari pH optimal. 3 dan 5, aktivitas enzim masih ada, tetapi kecil (ditunjukkan oleh kecepatan reaksi enzimatik yang kecil pula). Hal ini disebabkan pada pH kurang dari 4, enzim amilase saliva menjadi tidak aktif. Pada pH 9 dan 11, aktivitas enzim menurun karena telah terlewati pH optimal dari enzim tersebut.

H. KESIMPULAN

Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sampai batas optimum. Setelah melewati suhu optimum, maka kecepatan reaksi enzimatik akan kembali menurun. Suhu optimum enzim amilase salivarius adalah 37OC, sama dengan suhu normal tubuh. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sampai batas optimum. Setelah melewati suhu optimum, maka kecepatan reaksi enzimatik akan kembali menurun. Suhu optimum enzim amilase yang terdapat pada saliva adalah 37 oC, sama dengan suhu normal tubuh. Enzim memiliki aktivitas maksimal pada pH optimumnya (pH optimum enzim amilase saliva adalah 7. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas enzim. Berdasarkan kurva Enzim memiliki aktivitas maksimal pada suhu 60o C Berdasarkan kurva Enzim memiliki aktivitas maksimal pada ph 9

http://mirwanpho.wordpress.com/2010/12/21/biokimia/

Enzim (part2)
Selasa, 24 Januari 2012 | Ayun Laporan Praktikum Biokimia Umum Hari/tanggal : Selasa/30 November 2010 Waktu : 08.00 11.00 WIB PJP : Waras Nurcholis, M. Si Asisten : Syaefudin ENZIM 2 KELOMPOK 10 Randi Hadianta (G34090020) Yovita Sari (G34090028) Kurrataayun (G34090105)

DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

PENDAHULUAN Enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein yang berperan dalam aktivitas biologis. Enzim ini berfungsi sebagai katalisator dalam sel dan sifatnya sangat khas. Dalam jumlah yang sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan hasil reaksinya. Enzim akan kehilangan aktivitasnya karena panas, asam dan basa kuat, pelarut organik atau apa saja yang bisa menyebabkan denaturasi

protein. Enzim dinyatakan mempunyai sifat yang sangat khas karena hanya bekerja pada substrat tertentu (Aisjah 1986). Dalam mempelajari mengenai enzim, dikenal beberapa istilah diantaranya holoenzim, apoenzim, kofaktor, gugus prostetik, koenzim, dan substrat. Apoenzim adalah suatu enzim yang seluruhnya terdiri dari protein, sedangkan holoenzim adalah enzim yang mengandung gugus protein dan gugus non protein. Gugus yang bukan protein tadi dikenal dengan istilah kofaktor. Pada kofaktor ada yang terikat kuat pada protein dan sukar terurai dalam larutan yang disebut gugus prostetik dan adapula yang tidak terikat kuat pada protein sehingga mudah terurai yang disebut koenzim. Baik gugus prostetik maupun koenzim, keduanya merupakan bagian yang memungkinkan enzim bekerja pada substrat. Substrat merupakan zat-zat yang diubah atau direaksikan oleh enzim (Poedjiadi 2006). Fungsi penting dari enzim adalah sebagai biokatalisator, reaksi kimia secara kolektif membentuk metabolisme perantara sel, suatu bagian yang sangat kecil dari suatu molekul besar protein enzim sangat berperan untuk katalis reaksi. Bagian yang kecil ini dinamakan bagian aktif enzim. Aktivitas katalik enzim dapat ditentukan juga melalui struktur tiga dimensi molekul enzim tersebut. Enzim disini mempunyai peranan katalis dalam menurunkan aktivitas dari reaksi energi. Aktivasi dapat diartikan sebagai sejumlah energi atau kalori yang diturunkan oleh suatu mol zat pada temperatur tertentu untuk membawa molekul kedalam aktifnya atau keadaan aktifnya, menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan tetap tanpa mengubah besarnya tetapan seimbangnya, dan mengendalikan reaksi (Wirahadikusuma 1989). Enzim memegang peranan penting dalam berbagai reaksi dalam sel. Sebagai protein, enzim diproduksi dan digunakan oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi seperti konversi energi dan metabolisme pertahanan sel. Enzim amilase memiliki kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen. Molekul pati yang merupakan polimer dari alfa-Dglikopiranosa akan dipecah oleh enzim pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-1,6-glikosida (Hart 2003). Enzim amilase dapat diperoleh dari sekresi air liur atau saliva. Saliva adalah suatu cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri atas campuran sekresi dari kelenjar ludah besar dan kecil yang ada pada mukosa oral. Saliva dapat disebut juga kelenjar ludah atau kelenjar air liur. Semua kelenjar ludah mempunyai fungsi untuk membantu mencerna makanan dengan mengeluarkan suatu sekret yang disebut saliva (ludah atau air liur). Pembentukan kelenjar ludah dimulai pada awal kehidupan fetus (4 - 12 minggu) sebagai invaginasi epitel mulut yang akan berdiferensiasi ke dalam duktus dan jaringan asinar. Enzim amilase di dalam tubuh manusia sangat penting. Enzim amilase ikut bertanggung jawab menjaga kesehatan dan proses metabolisme di dalam tubuh. Kekurangan enzim amilase dapat menyebabkan tubuh mengalami gangguan pencernaan (maladigesti), yang selanjutnya menyebabkan gangguan penyerapan (malabsorpsi). Saliva merupakan cairan mulut yang kompleks terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada dalam rongga mulut. Saliva sebagian besar yaitu sekitar 90 persennya dihasilkan saat makan yang merupakan reaksi atas rangsangan yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan (Kidd 1992). Saliva terdapat sebagai lapisan setebal 0,1-0,01 mm yang melapisi seluruh jaringan rongga mulut. Pengeluaran air ludah pada orang dewasa berkisar antara 0,3-0,4 ml/menit sedangkan

apabila distimulasi, banyaknya air ludah normal adalah 1-2 ml/menit. Menurunnya pH air ludah (kapasitas dapar / asam) dan jumlah air ludah yang kurang menunjukkan adanya resiko terjadinya karies yang tinggi. Meningkatnya pH air ludah (basa) akan mengakibatkan pembentukan karang gigi. Saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan, membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair sehingga mudah ditelan dan dirasakan, membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman, mempunyai aktivitas antibacterial dan sistem buffer, membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase ludah) dan lipase ludah, perpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva, jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air dalam tubuh dan membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah) (Suharsono 1986). Setiap hari sekitar 1-1.5 liter saliva dikeluarkan oleh kelenjar saliva. Saliva terdiri atas 99.24% air dan 0.58% terdiri atas ion-ion Ca2+, Mg2+, Na+, K+, PO43-, Cl-, HCO3-, SO42, dan zat-zat organik seperti musin dan enzim amilase (ptialin). Saliva bersifat agak sedikit asam. Saliva mempunyai pH antara 5.75 sampai 7.05. Pada umumnya pH saliva adalah sedikit dibawah 7 (Aisjah 1986) TUJUAN Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui sifat dan susunan air liur, pengaruh pH pada aktifitas amilase air liur, serta mengetahui hidrolisis pati matang dan mentah oleh amilase air liur. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, gelas piala, pipet tetes, pipet volumetrik 5 mL, penangas air, kertas saring, karet penyumbat, tabung erlenmeyer, glass wool dan corong. Bahan praktikum yang digunakan adalah air saliva, kertas lakmus, kanji 1%, asam asetat, akuades, Na-Karbonat 0,1%, pereaksi iod, pereaksi Benedict, dan pH indikator. PROSEDUR PERCOBAAN Percobaan pertama dilakukan uji pengaruh pH pada aktifitas amilase air liur. Langkah pertama empat tabung reaksi disiapkan. Tabung pertama diisi dengan 2 ml HCl, tabung kedua diisi dengan 2 ml asam asetat, tabung ketiga diisi dengan 2 ml akuades, dan tabung keempat diisi dengan 2 ml Na2CO3 1%. Masing-masing tabung ditambah dengan 2 ml larutan kanji 1%, dan 2 ml air liur. Keempat tabung dikocok dengan baik dan diletakkan pada penangas air bersuhu 37C selama 15 menit. Selanjutnya keempat larutan yang telah dipanaskan dibagi menjadi masing-masing dua tabung. Setiap larutan dilakukan uji Benedict dan uji Iod. Percobaan kedua dilakukan hidrolisis pati matang oleh amilase air liur. Pada tabung diisi 3 ml larutan kanji 1% dan air liur yang telah disaring sebanyak 0,2 mL. Larutan tersebut dikocok dan dimasukkan ke penangas air bersuhu 37C. Setiap 1 menit dilakukan uji iod dengan memasukkan 1 tetes larutan tersebut ke porselen dan direaksikan dengan larutan iod encer.

Perbedaan warna yang timbul pada setiap menit dicatat. Ketika hasil uji Iod tidak menghasilkan reaksi positif lagi (titik akhromatik) larutan diuji dengan pereaksi benedict. Percobaan ketiga dilakukan hidrolisis pati mentah oleh amilase air liur. Percobaan ini dilakukan dengan memasukkan tepung pati secukupnya ke dalam tabung reaksi dan dicampurkan 5mL akuades. Larutan tersebut dikocok dan ditambahkan 10 tetes saliva. Setelah bercampur, larutan dipanaskan dengan penangas air pada suhu 37oC selama 20 menit. Selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring dan diambil filtratnya. Filtratnya dilakukan uji terhadap produksi hidrolisis pati oleh amilase seperti percobaan kedua. Perbedaan warna yang ditimbulkan saat uji Iod diamati setiap menit. Setelah diuji dengan iodium tidak bereaksi positif lagi, yaitu menjadi warna kuning (tidak ada perubahan warna atau adanya titik akromatik), larutan diuji dengan pereaksi Benedict. Kemudian hasilnya dibandingkan. HASIL PENGAMATAN Tabel 1. Pengaruh pH pada aktivitas enzim amilase Tabung ke1 2 3 4 pH 1 5 7 9 Uji Iod Hitam (+) Kuning muda (-) Bening keunguan (+) Bening keunguan (+) Uji Benedict Biru kehijauan (-) Kuning (++) Kuning hijau (+) Kuning hijau (+)

Gambar 1. Uji Iod pada pH berbeda.

Gambar 2. Uji Benedict pada pH berbeda.

Tabel 2. Hidrolisis pati oleh enzim amilase air liur Menit keUji Iod Uji Benedict

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Biru pekat Biru Biru Biru cerah Biru cerah Biru cerah Biru cerah Biru cerah Biru cerah Biru kemerahan Biru kemerahan Biru kemerahan Biru kemerahan Kuning Kuning Kuning agak tua Kuning kecokelatan

Hijau Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Biru kuning -

Gambar 3. Uji Iod menit ke-22.

Gambar 4. Uji Benedict pada menit ke-5

Tabel 3. Hidrolisis pati mentah oleh enzim amilase pada air liur Menit ke1 2 Uji Iod Ungu Ungu Uji Benedict Hijau Hijau kebiruan

3 4 5 6 7 8 9 10

Biru Biru Biru Biru cerah Biru cerah Biru kemerahan Biru kemerahan Kuning kehijauan

Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau kebiruan Hijau, ada endapan kuning

Gambar 5. Uji iod pada menit ke-10.

Gambar 6. Uji Benedict pada menit ke-10.

PEMBAHASAN Percobaan dilakukan dengan menguji enzim yang terkandung dalam air liur (saliva). Enzim berfungsi meningkatkan laju sehingga terbentuk kesetimbangan kimia antara produk dan pereaksi. Pada keadaaan kesetimbangan, istilah pereaksi dan produk tidaklah pasti dan bergantung pada pandangan kita. Dalam keadaan fisiologi yang normal, suatu enzim tidak mempengaruhi jumlah produk dan pereaksi yang sebenarnya dicapai tanpa kehadiran enzim. Jadi, jika keadaan kesetimbangan tidak menguntungkan bagi pembentukan senyawa, enzim tidak dapat mengubahnya (Salisbury dan Ross 1995). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim antara lain suhu , pH, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim dan zat-zat penghambat. Suhu berpengaruh terhadap fungsi enzim karena reaksi kimia menggunakan katalis enzim yang dapat dipengaruhi oleh suhu. Di samping itu, karena enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi dan bagian aktif enzim akan terganggu, sehingga konsentrasi dan kecepatan enzim berkurang. Kemudian pH berpengaruh terhadap fungsi enzim karena pada umumnya efektifitas maksimum suatu enzim pada pH optimum, yang lazimnya berkisar antara pH 4,5 8,0. Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah umumnya enzim menjadi non aktif secara irreversibel karena menjadi denaturasi protein. Kondisi pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim melalui pengubahan struktur atau pengubahan muatan pada residu yang berfungsi dalam pengikatan substrat atau katalis. Sebagai contoh, enzim bermuatan negatif (Enz-) bereaksi dengan substrat bermuatan positif (SH+) : Enz- + SH+ EnzSH. Pada pH yang rendah, Enz- mengalami protonasi dan

kehilangan muatan negatifnya (enzim dinetralisir) : Enz- + H+ EnzH. Sedangkan pada pH yang tinggi, SH+ mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positifnya (substrat dinetralisir) : SH+ S + H+. Karena (berdasarkan definisi) satu-satunya bentuk yang mengadakan interaksi adalah SH+ dan Enz-, nilai pH yang ekstrim (tinggi ataupun rendah) akan menurunkan kecepatan reaksi (Peodjiadi 2006). Enzim amilase saliva memiliki pH optimal pada pH 7, karena pada pH ini diperoleh aktivitas enzim yang tinggi (kecepatan reaksi enzimatik tinggi). Umumnya, kecepatan reaksi enzimatik meningkat hingga mencapai pH optimal dan menurun setelah pH lebih besar dari pH optimal. Hasil percobaan, pada pH 1 (uji Iod) dan pH 5 (uji benedict) aktivitas enzim masih ada, tetapi kecil (ditunjukkan oleh kecepatan reaksi enzimatik yang kecil pula). Hal ini disebabkan pada pH kurang dari 4, enzim amilase saliva menjadi tidak aktif. Menurut Amerongen (1991) amilase yang terdapat dalam saliva adalah -amilase liur yang mampu membuat polisakarida (pati) dan glikogen dihidrolisis menjadi maltosa dan oligosakarida lain dengan menyerang ikatan glikosodat (1 4). Amilase liur akan segera terinaktivasi pada pH 4,0 atau kurang sehingga kerja pencernaan makanan dalam mulut akan terhenti apabila lingkungan lambung yang asam menembus partikel makanan. Pada pH 1 diperoleh hasil positif pada uji iod dan hasil negatif pada uji benedict. Seharusnya hasil yang diperoleh uji iod dan uji benedict adalah negatif, sebab pada pH tersebut enzim amilase tidak aktif dan karbohidrat pun seharusnya terhidrolisis karena pemanasan dan pH yang sangat asam. Uji iod terhadap campuran saliva dan pati yang memiliki pH 5 menunjukkan warna kuning pudar yang menunjukkan hasil yang negatif. Hal tersebut dikarenakan pH yang digunakan terlalu rendah untuk kerja optimum enzim amilase pada saliva yang digunakan. Sementara pada pH 7 dan 9, uji ini memberikan reaksi yang positif. Hasil uji Benedict menunjukkan reaksi negatif pada pH 1 dan menunjukkan reaksi positif pada pH 5, 7, dan 9. Hal ini menunjukkan bahwa enzim amilase tidak bekerja pada pH yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi. Dari hasil uji Benedict ini warna kuning pekat dimiliki oleh tabung yang ber-pH 5. Oleh karena itu berdasarkan hasil percobaan pH optimum untuk aktivitas enzim amilase adalah pada pH 5. Padahal pada umumnya pH optimum saliva adalah mendekati 7. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan-kesalahan pada saat praktikum seperti faktor pemanasan yang tidak berjalan stabil pada suhu 37oC karena terputusnya aliran listrik. Faktor pengocokan yang kurang sempurna juga dapat mempengaruhi hasil ini. Selain itu, larutan dengan variasi pH yang dibuat pun tidak cukup akurat untuk dijadikan indikasi pengukuran laju reaksi optimum enzinm dengan variabel pH, karena pembuatan larutan pun masih dalam skala kualitatif bukan kuantitatif. Dalam saliva yang tidak dipanaskan, dihasilkan warna ungu yang makin lama makin jernih. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu optimum, enzim amilase dapat menjalankan fungsinya, mengubah amilum menjadi maltosa. Amilum dan dekstrin yang molekulnya masih besar dengan iodium memberi warna biru, dekstrin-dekstrin antaranya (eritrodekstrin) memberi warna coklat kemerah-merahan. Sedangkan dekstrin-dekstrin yang molekulnya sudah kecil lagi (akhrodekstrin) dan maltosa tidak memberi warna dengan iodium. Titik saat campuran tidak memberi warna lagi (jernih) disebut titik akromatik. Bila setelah uji iod tidak berwarna diadakan uji Benedict akan memberikan warna positif yang berwarna hijau. Pada uji benedict, teori yang mendarsarinya adalah gula yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas akan mereduksi ion Cu2+ dalam suasana alkalis, menjadi Cu+, yang mengendap sebagai Cu2O (kupro oksida) berwarna merah bata. Berikut reaksi yang berlangsung:

Gambar 7. Reaksi gula pereduksi Uji iod terhadap hidrolisis pati oleh amilase air liur mencapai titik akromatik pada menit ke22. Titik akromatik yaitu titik saat larutan uji dengan larutan iod menghasilkan reaksi negatif (pati sudah hilang). Sedangkan uji Benedict menunjukkan hasil yang positif. Percobaan hidrolisis pati mentah menunjukkan reaksi negatif untuk uji Benedict karena pati mentah lebih sulit dihidrolisis oleh amilase. Sedangkan pada uji iod hidrolisis pati mentah juga menunjukkan hasil yang positif. Titik akhromatik hidrolisis pati mentah adalah pada menit ke-10. Jika dibandingkan titik akhromatik hidrolisisnya, pati mentah lebih lambat mencapai titik akhromatik dibandingkan pada hidrolisis pati matang. KESIMPULAN Enzim amilase dapat bekerja optimal pada pH optimumnya, yaitu sekitar pada pH 7 dan sekitarnya. Enzim akan berkurang laju reaksinya atau akan rusak pada pH yang ekstrim, yang di bawah pH 4,0 dan di atas pH 10. Berdasarkan data yang diperoleh titik akhromatik pati matang lebih lambat (menit ke-22) dari pati mentah menit (ke-10). Hal tersebut dikarenakan pada pati matang dilakukan pengukuran tiap 5 menit sekali sedangkan pada pati mentah tiap 1 menit sekali. Jadi pada dasarnya yang lebih cepat adalah titik akhromatik pati matang. Enzim amilase juga diketahui lebih cepat menghidrolisis pati matang daripada pati mentah. DAFTAR PUSTAKA Aisjah Girindra. 1986. Enzim dalam Biokimia 1. Jakarta: Gramedia. Amerongen AVN. 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah : Arti Bagi Kesehatan Gigi. Surabaya : Gadjah Mada University Press. Hart H et al. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Jakarta : Erlangga Kidd BSJ. 1992. Dasar-dasar karies penyakit dan penanggulangannya. Jakarta: EGC. Poedjiadi A. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press Suharso M. 1986. Enzim dalam Biokimia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wirahadikusumah M. 1989. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. Bandung : Penerbit ITB.

You might also like