You are on page 1of 4

Perkembangan Penggunaan Aksara Pegon dan Melayu

Membedakan huruf Arab pegon dengan huruf Arab asli sangat mudah. M Irfan Shofwani dalam bukunya
Mengenal Tulisan Arab Melayu menerangkan bahwa penulisan Arab pegon menggunakan semua aksara
Arab Hijaiyah dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab yang telah
dimodifikasi.

Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf jati Arab Melayu yang berwujud aksara Arab serapan yang tak
lazim. Misalnya, untuk konsonan 'nga', Arab pegon menggunakan huruf 'ain' atau 'ghain' dengan tiga titik di
atasnya. Sedangkan, untuk konsonan 'p' diambil dari huruf 'fa' dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya.
Selain itu, huruf Arab pegon meniadakan syakal (tanda baca) layaknya huruf Arab gundul.

Namun, sumber lain menyebutkan, huruf Arab pegon hampir selalu dibubuhi tanda baca vokal. Ini berbeda
dengan huruf Jawi yang ditulis gundul (tanpa tanda baca). Bahasa Jawa memang memiliki kosakata vokal
yang lebih banyak daripada bahasa Melayu. Sehingga, vokal perlu ditulis untuk menghindari kerancuan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Syamsul Hadi
menjelaskan, kata 'pegon' berasal dari bahasa Jawa 'pego' yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan
bahasa Jawa. Hal ini, menurutnya, disebabkan banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan
menjadi aneh ketika diucapkan. Penje lasan itu diperkuat oleh Titik Pudji astuti dalam tulisan 'Aksara pegon:
Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa'. Menurutnya, teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab
disebut teks pegon yang artinya sesuatu yang berkesan menyimpang.

Lebih lanjut, ia mengatakan, penamaan ini mungkin disebabkan jumlah aksara yang diparalelkan dengan
aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa
dikatakan aneh, pego, dan menyimpang? Tentu saja karena bahasa Jawa lebih tepat jika ditulis dengan
aksaranya sendiri, yakni aksara Jawa.

Menurut Prof Syamsul Hadi, hampir semua khazanah keagamaan Jawa, yakni sastra suluk, kitab kuning,
terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan, ataupun jenis sastra berbentuk syi'iran, ditulis dengan Arab
pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon tidak terbatas saja pada khazanah naskah
keagamaan. Tetapi, huruf Arab pegon juga dipakai untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan
pesantren.

Seperti halnya yang terjadi di tanah Melayu, penulisan bahasa Jawa dengan huruf pegon tidak terbatas pada
khazanah naskah keagamaan, tetapi juga dipakai untuk penulisan pada umum nya, terutama di kalangan
pesantren. Dalam tulisan pegon juga dikenal jenisjenis naskhi, riq'i, dan tsulutsi. Selain ketiga jenis tulisan
itu, pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon gondhul (tak berharakat).

Huruf Arab Melayu


Drs UU Hamidy MA, staf pengajar pada Universitas Riau, dalam tulisannya mengenai naskah Arab Melayu
mengungkapkan bahwa para cendekiawan Riau sudah menggunakan huruf Arab Melayu untuk kegiatan
penulisan mereka sejak abad ke-19, yaitu tahun 1800-an. Huruf Arab Melayu dipakai secara penuh, seperti
dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-naskah yang mempergunakan huruf Arab Melayu dan angka-angka
Arab orisinal antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Kati -bin, serta Salasilah Melayu dan
Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair Abdul Muluk yang diperkirakan merupakan karya Raja
Zaleha dan Raja Ali Haji, Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani karya Raja Ali Kelana.

1
Naskah-naskah kuno Riau yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu memiliki halamanhalaman
kitab atau naskah yang tidak lagi menggunakan angka Arab orisinal (seperti angka-angka untuk halaman
Alquran), namun telah dimodifikasi menjadi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Naskah-naskah tersebut antara
lain adalah Babal Qawaid, Syair Sahimsah terjemahan Raja Haji Abdullah, Undang-Undang Polisi Kerajaan
Riau-Lingga, dan Kisah Iblis Menghadap Nabi Muhammad karya Muhammad bin Haji Muhammad Said.

Menurut Hamidy, ciri atau tandatanda huruf Arab Melayu yang dipergunakan pada masa itu agak berbeda
dengan huruf Arab Melayu yang dikenal sekarang. Dalam naskah Riau, sistem huruf Arab Melayu boleh
dikatakan sebagian besar memberi tanda saksi untuk tiap bunyi vokal, seperti bunyi a, i, u, (alif, waw, dan
ya). Sistem ini mempermudah cara membacanya dan kemungkinan salah baca menjadi lebih kecil.

Berbeda dengan sistem penulisan Arab Melayu sekarang yang hanya memberi saksi pada bunyi vokal pada
suku kata kedua dan suku terakhir pada setiap kata. Oleh karena banyak bunyi vokal yang dihilangkan,
sebuah kata bisa dibaca dalam beberapa kemung kinan bunyi vokal. Dalam sistem ini, bunyi (ucapan) kata
harus diperhitungkan dalam konteks kalimat.

Sistem penulisan Arab Melayu seperti dalam naskah-naskah lama Riau terus digunakan oleh para pengguna
bahasa Melayu di Semenanjung Malaka (sekarang bernama Malaysia), Singapura, dan Brunei Darussalam.
Suku tertutup diberi tanda dengan alif, wau, dan ya sehingga naskah lebih mudah dibaca. Meskipun
demikian, tambah Hamidy, beberapa pengarang Riau, seperti Haji Abdurrahman Siddiq dan Haji
Abdurrahman Yakub, tetap mempergunakan huruf Arab Melayu dengan angka Arab tanpa perubahan bentuk
sama sekali. Hanya Syair Hari Kiamat karya Tuan Guru Abdurrahman Siddiq yang memakai angka Arab
model Latin pada nomor halaman kitabnya.

Syamsul Hadi, dalam makalahnya yang berjudul 'Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indo ne
sia' menerangkan, pada naskah tulis an tangan, biasanya terdapat perbedaan penggunaan jenis-jenis huruf
Arab, yakni tulisan naskhi, riq'i, dan tsulutsi.

Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riq'i digunakan untuk penulisan
cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Mes -kipun kaidah baru
dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal ataupun konsonan pada
bahasa Arab dan Melayu, jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis tulisan baru model
Melayu. dia/rid/sya/berbagai sumber

Disiplin Ilmu dalam Naskah Melayu

Disiplin ilmu yang ditulis para ulama Nusantara tidak terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga disiplin
ilmu lainnya. Dr Kun Zachrun Istanti SU dalam 'Teks Melayu: Warisan Intelek Masa Lampau Indonesia-
Malaysia' mengklasifikasi bidang-bidang pengetahuan yang ditulis dalam naskahnaskah Melayu kuno di
antaranya adalah sejarah, sastra, ilmu tradisional, obat-obatan, dan perundangundangan.

Sejarah
Karya sastra sejarah Melayu ada berbagai macam, di antaranya Misa Melayu, Salasilah Melayu dan Bugis,
Hikayat Patanu, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Banjar, Silsilan Kutai, Tambo
Minangkabau, dan Hikayat Merong Mahawangsa. Karya-karya ini kaya akan pengetahuan tentang pikiran
dan keadaan susunan masyarakat Melayu pada zaman itu. Dalam Sejarah Melayu, tergambarkan adat raja-
raja, pantang larang, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang untuk rakyat. Dalam Sejarah Melayu, juga
digambarkan adanya penaklukan oleh Malaka dan hubungan negeri Malaka dengan Majapahit, Siam, dan
Cina.

Sastra kitab
Sastra kitab pada zaman kegemilangan Islam di Nusantara umumnya berisi ajaran agama Islam. Sastra
kitab dapat menjadi rujukan mengenai Islam bagi orangorang Melayu. Karena, pada waktu itu, masyarakat
Melayu masih sedikit yang memahami bahasa Arab. Kebanyakan sastra kitab ini merupakan terjemahan
atau hasil transformasi karya-karya Arab. Bidang pengetahuan yang terdapat dalam sastra kitab adalah ilmu
tauhid, fikih, hadis, dan tasawuf. Contoh sastra kitab adalah Shifa' al-Qulubkarya Nuruddin Arraniri
bertanggal 2 Ramadhan 1225 H (Senin, 1 Oktober 1810 M). Karya ini menerangkan pengertian kalimat
syahadat dan kepercayaan kepada Allah.

Ilmu tradisional
Karya sastra Melayu juga berisi ilmu tradisional yang berupa pengajaran, pemahaman, dan amalan secara

2
formal, misalnya ilmu bintang, ilmu ramal, tabir mimpi, dan firasat. Pembahasannya berkisar tentang
kedudukan bintang dan pengaruhnya terhadap kejadian alam dan kehidupan manusia, kepercayaan
terhadap kekuatan gaib dan benda-benda lain yang dihubungkan dengan penyakit dan amalan hidup,
kepercayaan terha dap tabir mimpi, dan firasat. Kepercayaan-kepercayaan ini diamalkan oleh masyarakat
Melayu masa lampau da lam kehidupan sehari-hari dan memengaruhi hidup mereka. Contoh karya sastra
Melayu yang berisi ilmu tradisional adalah Tabir Mimpi. Isinya tentang tafsir mimpi dan fatwa orang Melayu
masa lampau tentang alamat pergerakan bagian tubuh tertentu, waktu yang sesuai untuk bepergian, dan
tanda apabila ada binatang masuk ke rumah atau kampung pada hari tertentu.

Obat-obatan
Selain disiplin ilmu di atas, karya Melayu juga ada yang membahas masalah obat-obatan Melayu tradisonal.
Naskah seperti ini dikenal dengan nama Kitab Tib(obat, penyembuh), yang biasa digunakan sebagai
panduan untuk mengobati berbagai penyakit. Bahan dasar obat-obatan itu berasal dari sumber daya alam,
seperti flora dan fauna. Karya sastra dalam Kitab Tibtersebut antara lain tentang obat masuk angin, demam,
pilek, sakit kepala, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.

Kitab undang-undang
Kitab undang-undang dalam karya sastra Melayu ini berupa tata tertib dan adat istiadat Melayu yang
diwariskan secara turun-temurun. Karena itu, tak heran bila ada daerah-daerah tertentu yang mengedapan
hukum daerah (adat) dibandingkan hukum positif. Dan, bagi sekelompok masyarakat, bila sudah mematuhi
(menjalankan) hukum adat, tak perlu lagi menjalani hukum lainnya. rid

Persebaran Naskah Melayu Dari Indonesia ke Afrika hingga Eropa

Masuknya Islam ke Nusantara menandai peralihan dari tradisi lisan menjadi tulisan. Namun, sampai dengan
tahun 1500 M, tradisi penulisan dalam wujud teks belum dilakukan. Ide atau gagasan dan nilai-nilai masih
disampaikan secara lisan. Beberapa karya sastra yang kental dengan corak kelisanannya adalah tekateki,
peribahasa, pantun, dan mantra.

Setelah huruf Arab dikenal oleh masyarakat Melayu, barulah dimulai penulisan ilmu pengetahuan dengan
huruf Arab, terutama Arab Jawi. Hal ini mengindikasikan bahwa huruf Jawi ini berperan besar dalam
mengomunikasikan khazanah intelektual Muslim di Nusantara.

Naskah-naskah Melayu kuno menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara, seperti di Aceh, Minangkabau,
Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah
yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-
lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah,
Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.

Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak, karena didukung dengan hadirnya beberapa
percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga; Mathba'at al-Riauwiyah di
Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya
para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya pun menyebar hingga ke
berbagai daerah.

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya Melayu yang sudah dicetak. Apalagi, hampir
setiap saat, karya itu semakin banyak ditemukan. Namun, ada beberapa penelitian yang mencoba
mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan ada sekitar 4.000 buah
naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.

Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya
berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya
sampai pada angka 10 ribu.

Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah
Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria,
India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia,
Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

Intelektual perempuan
Yang menarik di antara karya-karya tersebut terdapat sejumlah penulis dari kaum perempuan. Raja Safiah
mengarang Syair Kumbang Menginderadan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bo doh.

3
Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji, seorang intelektual Melayu tersohor yang kita kenal
dengan karya besarnya Gurindam Dua Belas.

Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji itu
menulis Syair khadamuddin, Syair Seligi Tajam Bertimbal, Syamsul Anwar, dan Hikayat Shariful Akhtar.

Selain nama-nama tersebut, masih terdapat beberapa nama intelektual perempuan yang memiliki
kepedulian dalam pengembangan kesusastraan Melayu. Di antaranya adalah Salamah binti Ambar yang
menulis dua buku dengan judul Nilam Permatadan Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Ada pula
Khadijah Terung yang menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan. rid/berbagai
sumber

You might also like