You are on page 1of 3

Adapun perbedaan antara leukemia akut dan leukemia kronis adalah: Leukemia akut Leukemia kronis Umur Semua

umur Dewasa Onset penyakit Tiba-tiba Perlahan Perjalanan penyakit <6 bulan 26 tahun Sel leukemia Sel tidak matang Sel matang Anemia, trombositopenia Menonjol Ringan Jumlah leukosit Bervariasi Meningkat Pembesaran kelenjar Ringan Jelas Pembesaran limpa Ringan Jelas (Staf IKA, 2007)
D. Etiologi

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah: (Sudoyo, 2007) Radiasi ionik, orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mempunyai resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi LLA. Paparan benzene dengan kadar tinggi dapat menyebabkan aplasi sumsum tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia. Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia di atas 60 tahun Obat kemoterapi Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3 Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai resiko yang menningkat untuk menjadi LLA Dewasa ini, mutasi spontan telah menjadi hipotesis sebagai penyebab utama ALL pada anak. Karena sel target untuk ALL, sel progenitor limfoid, memiliki kecepatan proliferasi yang tinggi dan kecenderungan yang tinggi untuk pengaturan kembali gen selama masa kanakkanak awal, mereka lebih rentan untuk mengalami mutasi. Diperdebatkan bahwa satu, atau lebih mungkin dua, mutasi sel, yang mengalami tekanan proliferasi dapat terjadi pada frekuensi yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus ALL pada anakanak (Rudolph, 2006)

G. Pemeriksaan Laboratorium

Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu: (Sudoyo, 2007) 1. Hitung darah lengkap dan apus darah tepi Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3. 2. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya

3.

4.

5.

6.

7.

digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jarinngan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi. Sitokimia Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry. Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry) Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Pada sekitar 15-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk. Sitogenetik Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik. Biologi molekular Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk. Pemeriksaan lainnya Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminata jarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor burden yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa cairan serebrospinal. Perlu atau tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi keterlibatan susunan saraf pusat (SPP) adalah bila ditemukan lebih dari 5 leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel yang disentrifugasi.

H. Diagnosis Banding

Adapun diagnosis banding untuk penyakit LLA antara lain: (Sudoyo, 2007) 1. Limfositosis, limfadenopati, dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan infeksi virus dan limfoma 2. Anemia aplastik
I. Terapi

1. 2. 3. 4.

Strategi dasar untuk pengobatan ALL terdiri atas: (Rudolph, 2004) Kemoterapi intensif jangka pendek untuk menimbulkan remisi komplet Fase konsolidasi, biasanya diberikan lebih dari 2-4 minggu Pengobatan sistem saraf pusat presimtomatis Kesinambungan terapi selama 2 atau 3 tahun untuk meneruskan penghancuran sel leukemia

Sel leukemia dari anak dengan ALL biasanya cukup sensitif terhadap kemoterapi pada saat diagnosis. Pengobatan induksi secara tipikal meliputi glukokortikoid (deksametason atau prednison), alkaloid tumbuhan (vinkristin), dan enzim asparaginasse, semuanya diberikan selama 4 minggu. Obat-obat ini segera menghancurkan sel leukemia, dengan toksisitas organ yang minimal dan gangguan hematopoesis normal yang minnimal. Untuk leukemia resiko tinggi, sebagian besar penelitian klinis menggunakan agen tambahan untuk induksi remisi. Dengan kemoterapi modern dan perawatan suportif, 97-98% anak dapat mencapai remisi sempurna. Setelah tercapai remisi sempurna tujuan terapi selanjutnya adalah meneruskan perusakan sisa-sisa limfoblas sampai kadar yang sesuai dengan keadaan sembuh. Pengurangan populasi sel leukemik yang cepat ssebelum munculnya klon yang resisten, telah dicapai dengan fase konsolidasi atau intensif. Metode standar terapi selama remisi adalah penggunaan terapi preventif sistem saraf pusat-terapi langsung. Karena lamanya remisi komplet secara progresif menjadi lebih panjang, frekuensi keterlibatan sistem saraf pusat meningkat, biasanya selama remisi sumsum tulang. Alasan yang jelas untuk komplikasi ini adalah kegagalan obat antileukemik untuk melewati selaput otak dan cairan serebrospinal dalam konsentrasi efektif. Didasarkan pada teori bahwa sel leukemik berada pada selaput otak pada saat diagnosis, maka tujuan terapi preventif sistem saraf pusat adalah untuk menghilangkan sel-sel ini pada saat jumlahnya masih sedikit dan tidak terdeteksi melalui pemeriksaan klinis. Dahulu, pengobatan lanjutan yang biasa diberikan adalah merkaptopurin oral harian dan metotreksat mingguan. Dewasa ini, regimen intensif telah digunakan dalam upaya untuk meningkatkan kemungkinan sembuh, terutama pada pasien yang memiliki resiko relaps yang tinggi. Pada beberapa anak, metotreksat telah digunakan dalam dosis yang lebih tinggi daripada dosis konvensional tidak hanya pada awal remisi tetapi meliputi seluruh pengobatan untuk mempertahankan remisi. Beberapa regimen meliputi penggunaan periodik dari obat yang sama yang digunakan untuk induksi remisi, sedangkan yang lain menggunakan pemberian obat yang periodik dari jenis obat yang berbeda seperti siklofosfamid, sitarabin, dan epipodofilotoksin, terutama untuk penyakit sel-T atau sel pra-B, diberikan secara berkala (Rudolph, 2004).

You might also like