You are on page 1of 16

Penggunaan Istilah Hukum Istilah hukum berasal dari bahasa Arab, artinya aturan 1.

Hukum = Dalil Alam; Hukum Archemides, Pascal, dsb. Matahari terbit di timur; dsb. 2. Hukum = Gamatikal; Nun mati atau tanwin disambut huruf ta hukumnya echfa (tajwid) 3. Hukum ekonomi : kalau barang banyak harga turun; konsumen banyak harga naik 4. Hukum Rimba = Tidak ada Hukum 5. Hukum = ajaran tuhan(agama); bagi muslim shalat hukumnya wajib 6. Hukum Sebagai Kaedah hukum : Semua kesepakatan di antara dua manusia atau lebih tentang apa yang harus, boleh, atau dilarang dilakukan warga masyarakat yang mempunyai akibat hukum yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Norma = kaedah Bahasa Arab dan Norm bahasa Belanda adalah setiap pedoman bagi manusia dalam berprilaku Jadi kaedah tidak mencakup dalil alam. Matahari terbit di timur, burung bisa terbang, air bergerak ke hilir, dsb. bukan norma. 1. Norma religi adalah setiap aturan berkenaan dengan prilaku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan atau apa saja yang diyakini sebagai tuhan. Tujuan kaedah ini adalah untuk mencapai kesucian hidup pribadi sedangkan padahan atau sanksinya adalah dosa, pahala atau bala. Dosa masuk neraka dan pahala masuk sorga di akherat nanti. Bala berupa kutukan atau bencana yang di datangkan oleh Tuhan kepada orang melanggar norma religi.
2. Norma kesusilaan adalah setiap aturan berkenaan prilaku-prilaku

untuk diri sendiri yang bertujujan untuk memperoleh kesedapan hidup peribadi, padahannya adalah derita fisik atau batin sendiri. 3. Norma kesopanan adalah aturan berkenaan dengan prilaku sosial yang betujuan untu mencapai kesedapan hidup bersama, padahannya adalah celaan atau diasingkan oleh masyarakat. 4. Norma hukum adalah aturan yang berkenaan dengan prilaku sosial yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam hidup masyarakat, sehigga masyarakat menetapkan padahan yang akan dilaksanakan secara nyata melalui wadah dan prosedur yang ditetapkan (padahan hukum). Padahan hukum dapat berupa sanksi pidana (pasal 10 KUHP berupa:

hukuman pokok (hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda) dan hukuman tambahan (pengumuman keputusan hakim dan pencabutan dari hak-hak tertentu). Sanksi perdata dapat berupa kewajiban melakukan perbutan tertentu, larangan melakukan perbautgan terntu atau putusan hubungan hukum yang telah ada. Daapt pula berupa sanksi administrasi, seperti penurunan pangkat, penangguhan kenaikan pangkat, dsb. Dalam norma religi, kesusilaan, dan kesopanan telah mencakup juga norma hukum, namun padahan dari ketiga norma ini tidak dapat dilaksanakan secara nyata oleh masyarakat, pada hal perbuatan itu mengganggu kedamaian atau berbahaya bagi kehidupan manusia dan masyarakatnya, maka oleh masyarakat kaedah itu ditetapkan sebagai kaedah hukum dengan menetapkan padahan hukumnya, menetapkan prosedur dan wadah untuk menegakkannya.

Hukum Sebag ai Sistem Sosial : adalah sem ua proses dalam kehidupan m asy arakat untuk m encapai kedamaian dalam kehidupan bersam a (peaceful living together

Input

Proses

Hasil Khusus

Hasil Um um

Lagislasi

Aturan Hk Oby ektif

Suby ek Hukum Manusia Lem baga Oby ek Hukum (Benda)

Aplikasi

Rechtfeiten Damai Bersam a - Keadilan - Ketertiban - Manfaat

P elanggaran

Judikasi

Vonis (Hk. Suby ektif) Jurisprudensi

Istilah Adat 1. Idrus Hakimi Dt. Rajo Pangulu : Adat lebih tua dari adat. Adat bahasa Sangskerta a+ dato artinya yang tidak bersifat kebendaan. Adat pada tingkat pertama tak lain dari pada kesempurnaan rohani. Pada taraf berikutnya adat ikut mengatur masyarakat, yang meliputi seluruh dataran Asia. Setelah melalui berbagai pergolakan ekonomi dan politik, adat ikut mengatur alam kebendaan. Mulanya adat menjadi kepercayaan untuk dunia dan akhirat, tetapi setelah masuknya agama Hindu dan Budha adat lalu terpisah menjadi urusan dunia saja. Menurut Idrus, Adat Minangkabau adalah suatu pandangan hidup yang berpangkal pada budi yang berdasar pada ketentuan yang nyata pada alam yang bersifat memberi tidak mengharap balas. 2. Dalam bahasa Minang istilah datu, artinya dukun ilmu hitam, yang perangainya tidak senonoh. Sehingga bila digabung dengan istilah a yang artinya tidak maka adat artinya adalah perangai orang yang bukan datu, tetapi perangai orang yang baik-baik. Dengan demikian, perangai jahat, seperti orang yang suka maling, menipu, judi, dsb. tidak dapat diakatakan sebagai adat. 3. Bahasa Arab adat ; Drs. Asymuni A.Rahman, adat menurut bahasa berarti perulangan. Menurut ahli ushul fiqih, adat (kebiasaaan) ialah sesuatu yang berulang terjadi. Menurut Ibnu Abidien, adat itu diambil dari kata muwidah (bahasa Arab); yaitu mengulang-ulangi. Karena diulang-ulangi menjadi terkenal dan dipandang baik atau dapat diterima oleh akal sehat dan perasaan. adat dan urf searti walaupun berlainan mafhum. Adat dalam pengertian luasnya mencakup setiap keadaan yang berulang-ulang, baik sebab alami seperti umur baligh seseorang, masaknya buah-buahan atau hal-hal yang ditimbulkan karena keinginan syahwat manusia seperti makanminum, atau hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan akhlak. Jadi adat adalah kebiasaaan (positif atau negatif) 4. Kesimpulan : adat adalah dalam makna pertama, ke dalamnya hanya masuk prilaku yang baik-baik saja.

Hukum Adat 1. Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers hukum adat adalah semua hukum yang digunakan oleh masyarakat di wilayah yang kemudian menjadi Hindia Belanda pada waktu kedatangan mereka. 2. Prof. Mr. C. Van Vollenhoven (Bapak Ilmu Hukum Adat) Het Adatrecht van Nederlands Indie, Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumbar kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintahHindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaaan lainnya yang bersumber dari kekuasaan Belanda dahulu. 3. Mr. B. Ter Haar Bzn beslissingen leer (ajaran keputusan), Hukum adat itu, dengan mengabaikan bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja, adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa sera pengaruh yang dalam pelaksanaannya berlaku spontan dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Keputusan itu, bukan saja dari hakim, tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas di lapangan agama, dan petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga keputusan kerukunan (musyawarah) yang diambil sesuai denan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan. 4. Prof. Hazairin, SH. Dalam tuliannya yang berjudul Kesusilaan dan Hukum, hukum adat adalah endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat. Kaedah adat itu berupa kaedah kesusilaan yang mendapat pengakuan umum dalam masyarakat. Perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh, juga dicela atau dianjurkan menurut kesusialaan. Apa yang tidak dapat dipelihara lagi oleh kaedah kesusilaan diikhtiarkan pemeliharaannya melalui kaedah hukum dengan suatu gertakan, ancaman paksaan, ancaman hukum atau penguatan hukum. 5. Seminar Hukum Adat Nasioanal di Yogyakarta tahun 1975 menyimpulkan bahwa hukum adat ialah hukum Indonesia asli yang di sana sini dipengaruhi oleh unsur agama.

Adat adalah segala aturan yang menyangkut hidup manusia, mencakup semua kaedah, baik kaedah religi, kesusilaan, kesopanan maupun kaedah hukum. Hukum adat adalah adat yang diberi padahan hukum. Hukum adat adalah hukum yang lahir, tumbuh, berkembang dan dipertahankan dalam kehidupan nyata masyarakat sehari-hari sejak dulu sampai sekarang. Hukum adat itu pada umumnya tidak tertulis, namun ada bagiannya yang tertulis berupa peraturan Desa dan Surat Perintah Raja Landasan Berlakunya Hukum Adat di Indonesia A. Landasan Sosiologis : Kebutuhan hidup masyarakat Sebelum Kekuasaan Belanda B. Landasan Yuridis Formal (Peraturan Perundangan) 1. Pasal 11 AB : Selama Gubernur Jendereal tidak memberlakukan hukum civil dan dagang Eropa, bagi golongan Bumi Putra tetap berlaku Godsdientigeweten, Volks Instellingen en Gebruiken (Aturan Agama, Lembaga Rakyat dan Kebiasaan) 2. Pasal 75 RR (Regering Reglement) Lama (1854) dan RR Baru (1920) mengulangi kembali bunyi Pasal 10 AB 3. Pasal 131 IS (Indische Staatsregelling) 1926 : Bagi golongan Bumi Putra berlaku Het hunne godsdiensten en gewonten (Aturan agama dan kebiasaan). 4. Penjelasan Umum Angka 1 UUD 45: UUD adalah hukum dasas yang tertulis, di samingnya berlaku hukum dasar yang tidak tertulis (konvensi). Maka di samping hukum tertulis berlku pula hukum tidak tertulis. 5. Pasal 5 UUPA (Undang-undang Pokok Agararia) : hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

6. Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19/1964, UU. No. 14/1970 dan UU No. 4/2004), menetapkan bahwa peradilan hanya peradilan negara, tidak ada tempat bagi peradilan adat dan peradilan swapraja. Dalam Pasal 24. UU No.4/2004 : hakim dalam keputusannya wajib meneyebutkan dasar hukum keputusannya, pasal-pasal peraturan perundangundangan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar putusan. Pasal 28 UU No.4/2004 : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, memahami dan mengikuti nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Perbedaan Hukum Adat Minangkabau Dengan Yang Lainnya No. Bidang/sistem Wilayah Minangkabau Wilayah Lain 1. Kekerabatan Matrilineal Patrilineal (Batak) dan Bilateral (Jawa, dsb)

2.

Desa di Jawa, Kelurahan di Yogyakarta, Betang di Nagari (genelogis Kalimantan, Pemerintahan matrilineal teritorial) Keliangan di Lombok, Marga di Sumatera Selatan dan Jambi, dsb. Perkawinan Perkawinan Jujur, Sumando, eksogami eksogami, patrilokal dan matrilokal dan perkawinan bebas Kolektif atas Harato Pusako dan individual Individual, terhadap harato dan mayorat pancarian Ulayat dan Ganggam Individual Bauntuak Tujuan pengembalian Sama harmonisassi dalam kolektif

3.

4.

Kewarisan

5. 6.

Pertanahan Penyelesaian Sengketa

masyarakat 7. Perjanjian Tunai dan Terang Sama

Asas-asas Hukum Adat Minangkabau A. Adat Basandi Syarak Syarak Basanadi Kitabullah 1. Sejarah : Sebelum masuknya agama Islam ke Minangkabau, masyarakatnya sudah hidup teratur dengan menggunakan hukum satu-satunya, yaitu hukum adat, jika adat diibaratkan sebagai mamak rumah, maka syarak diibaratkan sebagai urang sumando ; Awalnya agama Islam disiarkan ke Minangkabau dengan cara damai, seperti yang dilakukan pada zaman nabi dengan prinsip ABSSBK; pada awal abad ke 19 masuk ajaran kaum Wahabi yang menyatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan syarak secara keseluruhan adalah kafir dan boleh diperangi, sehingga timbul konflik besarbesaran di Minangkabau, sehingga syarak dapat diibaratkan sebagai sumando kacang miang; Piagam Bukik Marapalam merupakan keputusan yang amat penting karena mampu menyelesaikan konflik besar yang terjadi sebelumnya, sehingga harus dilaksanakan di seluruh Minangkabau, dan menjadikan syarak sebagai sumando niniak mamak.

2. 3.

4.

Sandi = Batu Yang Diselilpkan di bawah tiang agar tiang tidak cepat lapuk Di Minangkabau, pada awal abad ke 19 orang membangun rumah dari kayu, belum ada rumah permanen. Beda dengan pembangunan rumah permanen sekarang yang dimulai dengan pembuatan fondasi, pada rumah kayu, tiang kayu didirikan lebih dahulu di atas tanah. Jika tiang kayu berdiri di atas tanah saja, tiang itu akan cepat lapuk karena kayu yang lembab akan diamakan rayap. Karena itu, setelah bentuk rumahnya harmonis, diadakanlah upacara manyandi. Masing-masing tiang diangkat dengan pengungkit dan diselipkan (disalek-an) batu. Batu itulah yang disebut dengan istilah sandi. Dari cara penempatan sandi itu terlihat bahwa tiang ditegakkan dahulu, baru kemudian diberi sandi. Sandi bukan unsur esensial dari

tiang, karena tanpa sandi tiang tetap bisa berdiri, cuma akan cepat lapuk. Dengan demikian fungsi sandi adalah untuk memperkokoh tiang. Berdasarkan makna sandi yang digunakan dalam pepatah ini seperti diuraikan di muka, maka pepatah ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh oleh kitabullah. Hal ini sesuai dengan sejarah, bahwa di Minangkabau hukum adat lebih dahulu adanya dari hukum Islam. Demikian pula dengan syariat Islam, karena urf atau adat Saudi Arabia yang kemudian menjadi sebagian hukum Islam itu telah ada sebelum turunnya kitabullah. B. Kekerabatan Matrilineal Orang Minang mempunyai alam fikiran riil, yang melahirkan adalah ibu, maka anak akan hidup berkelompok dengan ibunya. Maka dalam pembuatan ranji tidak sama dengan pembuatan silsilah. Dalam ranji paruik atau kaum garis keturunan ditarik dari perempuan, sedangkan ayah ditiadakan karena tidak masuk ke dalam kelompok paruik isterinya. C. Pemerintahan Nagari Rang Gari Mangarek Kuku; Dikarek dengan sirauik, parauik batuang tuo, tuonyao elok ka lantai Nagari baampek suku, suku babuah paruik, kampuang batuo, rumah batungganai Nagari adalah masyarakat hukum adat genelogis matrilineal teritorial. Nagari merupakan sekelompok orang yang terdiri dari minimal empat kelompok genealogis menurut garis ibu yang menyatukan diri menjadi kelompok teritorial karena orang suku yang satu bukan satu kelompok genealogis dengan suku lainnya. Anak nagari adalah setiap orang (laki-laki dan perempuan, tua dan muda, yang telah dan akan lahir, rang kampuang dan rang rantau) yang ibunya mempunyai dan diakui sebagai anggota salah satu suku dan paruik di dalam masyarakat itu. 1. Rang Kampuang adalah anak nagari yang berdomisili (mempunyai KTP) di nagari asalnya.

2. Rang Rantau adalah anak nagari, yang berdomisili (mempunyai KTP) bukan di nagari asalnya, baik rantau dakek, rantau jauh maupun rantau cino. Penduduk nagari: 1. Rang Kampuang 2. Pendatang adalah orang yang berasal dari nagari lain yang karena keperluan tertentu bermukim (mengurus KTP) yang besangkutan. Pendatgang dapat menjadi anak nagari dengan melakukan perbautan hukum yang disebut malakok (menempel) artinya mengaku bermamak dan diakui sebagai kanakan oleh salah satu suku yang ada di nagari itu. Paruik/saparuik (sekarang disebut kaum) adalah sekelompok orang yang betul-betul berasal dari seorang ibu asal dibuktikan dengan membuat sebuah ranji keturunan.. Kaum bahasa Arab (Qaumin), artinya sekelompok orang yang mempunyai kesamaan, kaum ibu, kaum muslimin, kaum muda, dsb. Sekarang istilah kaum merupakan istilah teknis yuridis ang digunakan untuk menyebut sekelompok orang yang mendalilkan melalui sebuah ranji bahwa mereka seketurunan melalui garis ibu. Apa yang merupakan kaum dapat berubah-ubah. Sebuah suku yang kecil, terdiri dari satu kelompok genealogis saja dan membuat sebuah ranji, mereka dipandang sebagai sebuah kaum. Sebuah nama suku yang terdiri dari beberapa pangulu, orang yang sapangulu itu seketurunan dan membuat ranji, maka orang sapangulu adalah sekaum. Orang yang senenek yang merupakan bagian dari orang yang sapangulu, membuat ranji mereka dikatakan sekaum. Suku, di nagari dengan sistem kalarasan Koto Piliang adalah sebuah persekutuan hukum adat genealogis yang dipimpin oleh pengulu pucuak. Di Nagari dengan sistem Bodi Caniago, adalah nama keturunan dari masing-masing paruik, bukan sebuah organisasi yang ada pimpinannya. Pemerintahan Nagari secara hukum adat dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (dahulu dengan berbagai nama sesuai adat salingka nagari, misal pangulu nan 80) yang anggotanya terdiri dari niniak mamak dalam nagari itu. Kampuang adalah tempat bermukimnya orang yang satu suku atau sebagian dari orang sesuku yang dipimpin oleh tuo kampuang, misalnya kampuang jambak, panyalai, dsb.

Rumah/sarumah = samande adalah sekelompok orang yang satu nenek, beberapa ibu-ibu beserta anak-anak mnereka yang biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang. D. Perkawinan Sumando Eksogami Matrilokal Perkawinan sumando adalah sistem perkawinan dengan mana seorang laki-laki diminta dan dijemput oleh kerabat matrilineal si perempuan kepada kerabat matrilineal si lelaki untuk menjadi suami anggota kerabatnya yang perempuan. Eksogami artinya seseorang harus kawin ke luar kelompok matrilinealnya, sehingga lelaki dan perempuan yang sesuku dilarang kawin. Matrilokal setelah perkawinan, suami bersamaa isterinya tinggal dalam kelompok matrilineal isterinya. Untuk kehidupan mereka dengan anak-anaknya, suami isteri menggarap harta pusaka kaum siistri yang ditetapkan sebagai hak ganggam bauntuak si isteri. Lelaki Minang multi fungsi : Kaluak paku kacang balimbiang, daun bakuang lengganglenggangkan, dibao anak saruaso Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, dipatenggangkan, jago nagari jan binaso. E. Kewarisan Kolektif dan Individual Sebelum Islam, sumando batandang, suami ke rumah isteri hanya pada malam hari. Siang hari suami kembali ke rumah orang tuanya untuk menggarap harta pusaka kaumnya bersama saudara perempuannya. Di kalangan isteri, suami hanya bersifat memberi bantuan jika mamak rumah turun ke sawah atau pekerjaan berat lainnya. Karena itu antara suami isteri belum ada harta bersama, semua harta dimiliki bersama oleh semua anggota kaum/paruik (hak kolektif/kamunal). Karena itu, sebetulnya tidak pernah terjadi pewarisan, yang ada hanya terjadi pergantian pimpinan kelompok dengan prinsip: Biriak-biriak tabang ka samak, tibo di samak turun ka halaman; Dari niniak turun ka mamak; dari mamak ka kamanakan. rang kampuang

Berhubung mamak, mempunyai kewenangan untuk mengurus harta komunal, seolah-olah kewenangan mamak yang meninggal terhadap harta diwariskan kepada kamanakannya, sehingga orang mengatakan di Minangkabau sistem kewarisan dari mamak kepada kamanakan. Setelah Islam : Islam mengajarkan kewajiban suami kepada istri dan kewajiban ayah terhadap anak untuk memberi nafkah. Semendo menetap, suami telah tinggal menetap bersama isterinya dengan menggarap harta pusaka kaum yang diganggam bauntuakkan kepadanya. Di samping itu ada pula suami yang telah mempunyai usaha sendiri untuk menghidupi istri dan anak-anaknya, seperti berdagang, tukang, pegawai, dsb. Sejak itu terajadilah harta bersama antara suami istri, yang disebut harta suarang. Menurut kesimpuan Seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau di Padang ahun 1968, harta pencaharian adalah setengah dari harta yang diperoleh selama perkawinan bealngsung ditambah denan hartga bawaan sendiri. Harta pusaka diwarisi menurut hukum adat, sedangkan harta pencaharian diwarisi menurut al faraidh dan dapat dihibahkan kepada kamanakan sepertiganya. Kesimpulan seminar, bukanlah keputusan musyawarah rakyat, atau perwakilan rakyat, sehingga tidak dapat menjadi sumber hukum. Dari pengamatan dalam masyrakat dewasa ini, jarang orang Minang yang menerpkan alfaraidh terhadap hartta pancarian sekali pun. Memang harta pancarian diwarisi oleh anak, tetapi tidak menurut al faraidh, anak lelaki dua kali anak perempuan. Bila suami meninggal, harta dikuasai ibu bersama anak secara bersama untuk digunakan sesuai dengan keperluannya, tidak pernah anak lelaki minta bagian dua kali anak perempuan, kecuali anak lelaki yang tidak beradat. F. Tanah Ulayat dan Ganggam Bauntuak wilayat bahasa Arab wilayatun, suatu areal yang cukup luas yang dikuasai oleh sekelompok orang yang merupakan persekutuan, baik genealogis maupun teritorial. tanah nan sabingkah, ilalang nan saalai, capo nan sabatang pangulu nan punyo

Isi Hak Ulayat : 1. kewenangan untuk menggunakan bidang tanah tertentu untuk kepentingan persekutuan, seperti untuk kantor KAN, Wali Nagari, jalan, mesjid, dsb. 2. kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peruntukan, persediaan dan pencadangan semua bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (kewenangan menetapkan masterplan); 3. kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan menentukan hubungan hukum antara warga persekutuan dengan bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan (kewenangan pemberian izin / hak atas tanah) 4. kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur hubungan hukum antar warga persekutuan atau antara warga persekutuan dengan orang luar persekutuan berkenaan dengan bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (izin-izin transaksi yang berhubungan dengan tanah) Tanah ulayat adalah suatu bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat. Persekutuan hukum adat adalah sekelompok orang ( lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda, termasuk yang akan lahir) yang merasa sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik karena faktor genealogis maupun tertitorial, mempunyai struktur organisasi yang jelas, mempunyai pimpinan, mempunyai harta kekekayaan yang disendirikan, baik berujud maupun yang tak berujud. Persekutuan Hukum Adat Di Minangkabau 1. kaum/paruik (genealogis) : Ulayat Kaum 2. Suku di Koto Piliang (genelogis) : Ulayat suku 3. Nagari (teritorial) : Ulayat nagari. Lingkup hak ulayat Tanah Ulayat Nagari, meliputi seluruh wialayah nagari, baik berupa tanah-tanah yang belum dibuka, tanah untuk kepentingan nagari seperti untuk kantor KAN, Sekolah, Mesjid, jalan nagari, sungai, danau, dsb., termasuk pula tanah-tanah yang dikuasai dengan hak-hak lain seperti tanah ulayat suku, paruik atau kaum, maupun tanah milik pribadi anak nagari, koperasi, dan tanah-tanah hak pengelolaan negara seperti tanah PLTA, Jalan Negara yang melintas di nagari itu, dsb.

Hal itu jelas dari uraian LC Westenenk dalam tulisannya yang berjudul De Menangkabausche Nagarij bahwa dari hak ulayat (beschikkingsrecht) terhadap tanah dan air tidak dapat dikeluarkan tanah, baik yang telah dikerjakan, maupun yang belum dikerjakan. Tanah Ulayat Suku, berupa tanah yang berada di bawah kekuasaan suku pada nagari dengan tipe Koto Piliang, yang pengurusan dilakukan di bawah kewenangan pangulu pucuak Tanah Ulayat Paruik/Kaum, meliputi seluruh tanah yang berada di bawah kekuasaan paruik/kaum, baik berupa tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan bersama, maupun tanah-tanah yang terbagai ke dalam tanah ganggam bauntuak
IV.

Jalur-jalur Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Adat Minangkabau

Sengketa adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa bahwa kepentingan atau haknya dirugikan atau diganggu oleh orang lain secara sepihak, baik karena suatu kesalahan atau karena tidak dilaksanakannya kewajiban. Adanya sengketga menyebabkan terjadinya gangguan dalam kehidupan sosial berupa terganggunya rasa keadilan dan harmonisasi dalam masyarakat. Untuk mengembalikan harmonasisi itu keadilan harus ditegakkan, maka oleh masyarakat ditetapkanlah wadah untuk membantu pelaksanaannya. Fungsi hukum ada tiga, yakni legislasi (pembentukan aturan hukum), apalikasi (pelaksanaan aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari) dan yudikasi (penegakan hukum jika aturan hukum dilanggar). Lembaganya oleh Montesqueiu disebut dengan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di dalam hukum adat, tidak dikenal pembagian atas tiga lembaga pelaksana fungsi hukum itu. Akibatnya petugas dan lembaga adat mempunyai kekuasaan dalam ketiga fungsi hukum itu. Penyelesaian sengkea dilaksanakan melaui empat jalur: A. Petugas Adat

Tugas utama: membantu masyarakat dalam melaksanakan perbuatan hukum. Jual beli ternak dibantu oleh kepala Pasar Ternak, hibah tanah dibantu oleh pangulu dan Ketua KAN, nikah dibantu oleh Kadhi, dsb. Pada tahap pertama, petugas adat juga membantu dalam penyelesaian sengketa adat. Bila ada orang bersengketa dalam jual beli ternak, Kepala Pasar Ternak diminta bantuan oleh pihak yang merasa dirugikan untuk menyelesaikannya. Keputusan kepala adat dahulu dihormati warga terkait karena jika mereka ingkar, urusannya yang lain akan mendapat halangan, petugas tidak mau membantu urusannya dengan segera. Wali Nagari tidak mau membantu mengurus KTP kalau yang bersangkutan belum membayar PBB. B. Kerapatan Paruik/Kaum Kerapatan Paruik/Kaum adalah musyawarah yang dilakukan oleh semua anggota kaum di bawah pimpinan pangulunya. Bila ada di antara dua atau lebih anggotanya yang bersengketa, diadakanlah rapat untuk menyelesaikannya. Dalam rapat itu dibicarakannlah secara kekeluargaan apa yang menjadi masalahnya, kemudian dicari jalan perdamaian di antara mereka yang bersengketa. Tentu jika ada yang berutang harus membayar, jika ada yang dipandang bersalah dianjurkan untuk minta maaf. Memang kekuasaan untuk memaksakan agar putusan musyawarah dilaksanakan, namun kalau keputusan tidak dilaksanakan, mereka akan dibuang sepanjang adat, karajo baiak indek baimbauan, karajo buruak indak baambauan. Jauh indak bajalan ampia indak baturuik. C. Kerapatan Suku Jika hasil musyawarah atau keputusan paruik tidak dapat menyelesaikan sengketa, maka pangulu paruik itu dapat membawa perkaranya kepada Kerapatan Suku. Kerapatan suku ini dihadiri oleh Pangulu Pucuak di Nagari Koto Piliang dan semua pangulu dalam suku itu di Bodi Caniago. Setelah mempelajari duduk perkaranya dan meminta bukti-bukti yang diperlukan, kerapatan akan menetapkan keputusannya D. Kerapatan Adat Nagari Bila kerapatan suku tidak dapat menhyelesaikan sengketa, pihak yang merasa dirugikan, melalui pangulunya akan membawa perkaranya kepada Kerapatan Adat Nagari. Setelah memenuhi syarat yang ditentukan sesuai dengan ketuan hukum adat salingka nagari, KAN akan mengadakan sidang untuk memeriksa perkara ini, dengan memeriksa

bukti-bukti yang diajukan, dapat berupa bukti tertulis, saksi, dsb. sidang akan menetapkan keputusannya. Dalam keptusan KAN selalu disebutkan bahwa pihak yang merasa keberatan atas keputusannya, dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri.
.Status Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Semenjak 1964, dengan diundangkannya UU No. 19/1964 yang kemudian dirubah dengan UU No. 14/1970, terakhir diganti pula dengan UU No. 4/2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mencabut keberadaan peradilan adat,

Di dalam UUD 1945 setelah amandemen, Pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25. : kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Di sini tidak ada disebut sama sekali tentang peradilan adat. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnyan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undangundang. Kerapatan Adat Nagari (KAN) dibentuk dan disusun melalui Perda No. 13 Tahun 1983, tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (baik di kebupaten maupun kota), Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari (nagari sebagai pengganti desa) dan Perda No. 2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari (baik di kabupaten termasuk Mentawai maupun kota), maka sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU No. 5/1986 Kerapatan Adat Nagari merupakan Badan dan Pengurus KAN merupakan Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan KAN akan merupakan Putusan Tata Usaha Negara, sehingga jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KAN itu, yang mempunyai kompetensi absolut untuk mengadilinya adalah Peradilan Tata Usaha Negara, bukan Peradilan Pidana.

You might also like