You are on page 1of 14

MOLA HIDATIDOSA Vindi Nazhifa 10.2009.250 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.

Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat

PENDAHULUAN

Mola Hidatidosa adalah suatu penyakit trofoblas gestasional sebagai akibat dari suatu kehamilan yang berkembang tidak sempurna. Walaupun penyakit ini sudah cukup lamadikenal, namun sampai sekarang penyakit ini masih tetap aktual, karena masih banyak hal-hal yang belum jelas. Penyakit ini dapat ditemukan diseluruh dunia dengan angka kejadiany a n g b e r b e d a - b e d a . P e n y a k i t i n i lebih b a n ya k ditemukan di negara-negara Asia d a n Amerika

Latin.Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada golongan sosio ekonomi rendah. Hampir semua wanita dengan penyakit trofoblastik gestasional dapat disembuhkan dengan tetap mempertahankan fungsi reproduksinya. Berhubung dengan kemungkinan bahwa mola hidatidosa dapat menjadi ganas, maka terapi yang terbaik pada wanita dengan usia yang sudah lanjut dan sudah mempunyai jumlah anak yang sesuai dengan yang diinginkan adalah histerektomi.

A.

MOLA HIDATIDOSA 1. Definisi 2

Mola hidatidosa adalah suatu keadaan patologik dari jonjot-jonjot korion (chorionic villi/villi korialis), dimana sebagian atau seluruhnya mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur. Karena itu secara umum lebih dikenal sebagai hamil anggur. Mola hidatidosa ditandai dengan : a. Degenerasi kistik dari villi, disertai pembengkakkan hidropik. b. Avaskularitas, atau tidak adanya pembuluh darah janin. c. Proliferasi jaringan trofoblastik.

2. Etiologi Walaupun MH sudah dikenal sejak abad keenam, sampai sekarang masih belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang faktor resiko menjadi penting agar dapat menghindarkan terjadinya MH, seperti tidak hamil pada usia yang ekstrem dan memperbaiki gizi.5 3. Patogenesis dan Patofisiologi Mola hidatidosa terdiri dari dua jenis mola hidatidosa komplet (MHK) dan mola hidatidosa parsial (MHP). Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain teori Hertig dan teori Park.5 Teori Hertig, menganggap bahwa pada mola hidatidosa terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin villi dan terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan villi yang oedematous tadi.5 Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal, dimana terjadi absorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio.5 Teori yang sekarang banyak dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik dapat diterangkan sebagai berikut. Mola komplet tidak mengandung jaringan fetal, terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sebuah sperma haploid 23,X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23,X.3,5 Kromosom ini kemudian mengadakan penggandaan sendiri (endoreduplikasi). Sembilan puluh persen diantaranya memiliki kromosom 46,XX dan 10% lainnya memiliki kromosom 46,XY. Jadi, kromosom MHK itu seperti wanita, tetapi kedua X-nya berasal dari jalur paternal (ayah). Tidak ada unsur ibu, sehingga disebut Diploid Androgenetik. Satu telur berinti dibuahi oleh satu sperma haploid (yang selanjutnya menduplikasikan kromosomnya), atau telur tersebut dibuahi oleh 2

sperma.3,5 Pada mola komplet, villi korionik membengkak dengan bentuk menyerupai anggur (hidatiforme), dan terjadi hiperplasia trofoblastik.3 Suatu bentuk yang jarang dari mola komplet rekuren berasal dari jalur biparental dan mengakibatkan kesalahan ekspresi gen-gen yang dicetak. Mola jenis ini terjadi jika cetakan gen maternal dalam ovum hilang. Meskipun hasil konsepsi memiliki gen dari kedua orang tua, hilangnya cetakan gen maternal mengakibatkan fungsi gen ekuivalen dengan 2 genom dari jalur paternal. Kehamilan molar rekuren jenis ini diturunkan secara familial dan tampaknya merupakan kecacatan resesif autosomal.3,5 Pada mola parsial, jaringan fetal seringkali ditemukan. Pembuluh darah dan eritrosit fetus pada umumnya ditemukan pada villi. Komplemen kromosom adalah 69XXX atau 69XXY. Hal ini merupakan akibat dari fertilisasi satu ovum haploid dan duplikasi kromosom haploid paternal atau dari dispermia. Tetraploidi juga mungkin terjadi. Seperti halnya pada mola komplet, jaringan trofoblastik mengalami hiperplasia dan terjadi pembengkakan villi korionik.3 4. Insidensi Di Amerika Serikat: Di negara-negara barat, mola hidatidosa terjadi pada 1 dari setiap 1000-1500 kehamilan. Mola hidatidosa merupakan temuan secara tidak sengaja pada sekitar 1 dari setiap 600 abortus terapeutik.3,5 Internasional: Di negara-negara Asia, rata-rata kejadian adalah 15 kali lebih tinggi dibandingkan di Amerika Serikat. Jepang melaporkan 2 kasus tiap 1000 kehamilan. Di negara-negara Timur Jauh, beberapa sumber memperkirakan rata-rata sekitar 1 kasus tiap 120 kehamilan.3,5 5. Mortalitas/Morbiditas Pada pasien-pasien dengan mola hidatidosa, 20% diantaranya berkembang menjadi keganasan trofoblastik. Setelah suatu mola komplet terbentuk, invasi uterus terjadi pada 15% pasien, dan metastasis terjadi pada 4% pasien. Tidak dilaporkan adanya kasus koriokarsinoma pada mola parsial, meskipun 4% pasien dengan mola parsial mengalami penyakit trofoblastik non metastasis persisten yang membutuhkan kemoterapi.3,4,5

6. Ras Kehamilan mola tidak memiliki predileksi untuk ras atau etnik tertentu, meskipun negara-negara Asia menunjukkan suatu rata-rata yang 15 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata di Amerika Serikat. Wanita Asia yang tinggal di Amerika Serikat tampaknya tidak memiliki rata-rata yang berbeda untuk mengalami kehamilan mola dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya.3,5

7. Usia Mola hidatidosa lebih sering ditemukan pada puncak usia reproduksi. Wanita di usia remaja awal atau pada tahun-tahun perimenopause merupakan kelompok yang memiliki resiko paling tinggi. Wanita yang lebih tua dari 35 tahun memiliki peningkatan resiko sebesar 2 kali lipat. Wanita berusia lebih dari 40 tahun mengalami peningkatan resiko sebesar 4-10 kali lipat dibandingkan yang berusia 20-40 tahun. Resiko tidak dipengaruhi oleh paritas.5 B. KLINIS 4,5

1. Riwayat Klinis Penyakit Mola komplet: Manifestasi klinis yang khas dari kehamilan mola komplet berubah sesuai dengan perkembangan ultrasonografi resolusi tinggi. Sebagian besar mola sekarang dapat didiagnosis pada trimester pertama sebelum timbulnya tanda dan gejala klinis klasik. Perdarahan pervaginam: Gejala klasik yang paling sering ditemukan pada mola komplet adalah perdarahan per vagina. Terlepasnya jaringan mola dari desidua mengakibatkan timbulnya perdarahan. Uterus dapat mengalami distensi karena darah yang terkumpul dalam jumlah besar, dan cairan gelap mungkin mengalir dari vagina. Gejala ini terjadi pada 97% kasus. Hiperemesis: Pasien juga dilaporkan mengalami nausea berat dan vomiting. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan tajam level human chorionic gonadotropin (HCG). Hipertiroidisme: Sekitar 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang menghangat.

Mola parsial: Pasien dengan mola parsial tidak mengalami gambaran klinis yang sama dengan mola komplet. Pasien-pasien tersebut pada umumnya mengalami tanda dan gejala yang sama dengan gejala pada abortus inkomplet dan missed abortion. Perdarahan pervaginam Tidak didapatkannya irama denyut jantung bayi

2. Pemeriksaan Fisik Mola komplet Besarnya kehamilan tidak sesuai dengan usia kehamilan: Suatu pembesaran uterus yang lebih besar dari yang seharusnya untuk usia kehamilan yang sama merupakan tanda klasik dari mola komplet. Pembesaran yang tidak seharusnya ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang berlebihan dan darah yang terkumpul dalam uterus. Bagaimanapun juga, pada pasien dengan pembesaran yang sesuai atau lebih kecil dari yang seharusnya juga memiliki frekuensi yang hampir sama untuk mengalami kehamilan mola. Preeklamsia: Sekitar 27% pasien dengan mola komplet berkembang menjadi toksik, ditandai dengan hipertensi (Tekanan darah >140/90 mmHg), proteinuria (>400 mg/dL), sedangkan edema dengan konvulsi hiperpireksia jarang terjadi. Kista teka lutein: Merupakan kista ovarium dengan diameter lebih besar dari 6 cm dan terjadi bersamaan dengan pembesaran ovarium. Kista ini pada umumnya tidak dapat dipalpasi dengan pemeriksaan bimanual tetapi dapat diidentifikasi dengan

ultrasonografi. Pasien mungkin mengalami nyeri atau rasa tertekan pada pelvis. Karena peningkatan ukuran ovarium, maka resiko yang harus diwaspadai adalah terjadinya torsio. Kista ini memiliki respon yang baik terhadap level beta-HCG yang tinggi dan secara spontan mengalami regresi setelah mola dievakuasi. Mola parsial Pembesaran uterus dan preeklamsia dilaporkan hanya pada 3% pasien. Kista teka lutein, hiperemesis, dan hipertiroidisme jarang ditemukan.

Kehamilan kembar

Kehamilan kembar dengan satu mola komplet dan satu fetus dengan plasenta normal pernah dilaporkan. Kasus-kasus dengan bayi yang sehat dalam keadaan ini juga pernah dilaporkan.

Wanita dengan kehamilan mola dan kehamilan normal memiliki resiko untuk mengalami penyekit persisten dan metastasis. Terminasi kehamilan merupakan pilihan yang direkomendasikan.

Kehamilan dapat dilanjutkan selama status maternal stabil tanpa adanya perdarahan, tirotoksikosis, atau hipertensi berat. Pasien harus diberitahukan mengenai resiko morbiditas maternal yang berat akibat komplikasi dari keadaan tersebut.

Gen prenatal yang didiagnosis dari sampling villi korionik atau amniosintesis direkomendasikan untuk evaluasi kariotipe fetus. DIAGNOSIS BANDING 1,4

C.

Hiperemesis gravidarum Kehamilan ektopik terganggu Abortus Gemelli Hidramnion PEMERIKSAAN PENUNJANG 2,3,4,5

D.

1. Pemeriksaan Laboratorium Beta-HCG kuantitatif: Level HCG yang lebih dari 100.000 mlU/mL menunjukkan pertumbuhan trofoblastik yang berlebihan dan meningkatkan kecurigaan sehingga kemungkinan kehamilan mola harus disingkirkan. Suatu kehamilan mola juga mungkin terjadi dengan level HCG yang normal. Hitung sel darah lengkap dan hitung platelet: Anemia merupakan komplikasi medis yang paling sering terjadi, akibat dari koagulopati. Fungsi pembekuan: Tes fungsi pembekuan untuk mengetahui adanya koagulopati atau untuk menentukan penatalaksanaan pada kasus-kasus yang berhasil ditemukan. Tes fungsi hati. Pemeriksaan urea nitrogen darah (blood urea nitrogen/BUN) dan kreatinin.

Tiroksin: Meskipun wanita dengan kehamilan mola pada umumnya secara klinis eutiroid, tiroksin plasma biasanya meningkat di atas kisaran nilai pada saat kehanilan. Dapat muncul gejala hipertiroidisme. Serum inhibin A dan aktivin A: Inhibin A dan aktivin A serum meningkat 7 hingga 10 kali lipat pada kehamilan mola dibandingkan dengan kehamilan normal pada usia kehamilan yang sama. Penurunan drastis inhibin A dan aktivin A serum setelah pengangkatan suatu mola dapat membantu memantau proses remisi. 2. Pemeriksaan Radiologis Ultrasonografi merupakan kriteria standar untuk identifikasi baik kehamilan mola komplet atau parsial. Pada pencitraan klasik, menggunakan teknologi ultrasonografi tua, gambaran badai salju (snowstorm) mengindikasikan adanya villi korionik hidropik. Ultrasonografi resolusi tinggi mampu memperlihatkan massa intrauterin yang kompleks, terdiri dari banyak kista-kista kecil. Sekali suatu kehamilan mola berhasil didiagnosis, maka suatu radiografi dada dasar harus dilakukan. Paru-paru merupakan daerah metastasis utama untuk tumor trofoblastik maligna. 3. Pemeriksaan Histologis Mola komplet: Jaringan fetus tidak ditemukan, didapatkan proliferasi tropoblastik berlebihan, villi yang hidropik, dan kromoson 46,XX atau 46,XY. Juga, mola komplet menunjukkan ekspresi berlebih beberapa faktor pertumbuhan, termasuk faktor pertumbuhan epidermal c-myc, dan c- dan cerb B-2, dibandingkan dengan plasenta normal. Mola parsial: Jaringan fetus seringkali ditemukan, misalnya amnion dan sel darah merah fetus. Juga didapatkan villi hidropik dan proliferasi trofoblastik. PENATALAKSANAAN 1,2,3,4,5

E.

1. Terapi Medis Stabilisasi pasien Tranfusi jika pasien mengalami anemia Koreksi koagulopati Terapi hipertensi

2. Terapi Pembedahan Evakuasi isi uterus melalui dilatasi dan kuretase penting untuk dilaksanakan. Induksi dengan prostaglandin dan oksitosin tidak dianjurkan karena peningkatan resiko akibat perdarahan dan kemungkinan malignansi sesuadahnya. Oksitosin intravena harus mulai diberikan bersamaan dengan dimulainya dilatasi servik dan dilanjutkan post operasi untuk mengurangi kemungkinan perdarahan. Pertimbangan menggunakan formulasi uterotonik (misalnya, Methergine, Hemabate) juga dianjurkan. Distres pernafasan sering terjadi selama pembedahan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh embolisasi trofoblastik, gagal jantung kongestif high-output akibat anemia, atau cairan iatrogenik yang berlebihan. Distres pernafasan ini harus secara agresif diterapi dengan bantuan ventilasi dan monitoring, jika diperlukan. 3. Konsultasi/Rujukan Seorang ahli ginekologi onkologi harus dikonsultasikan jika pasien dipercaya memiliki resiko untuk mengalami malignansi. 4. Diet Tidak diperlukan diet khusus. 5. Aktivitas Pasien diperbolehkan melakukan aktivitas sesuai kemampuannya. Pengistirahatan pelvis dianjurkan selama 4-6 minggu setelah pengosongan uterus, dan pasien diinstruksikan untuk tidak hamil dulu selama 12 bulan ke depan. Kontrasepsi yang adekuat dianjurkan selama periode ini. Monitoring nila beta-HCG serial untuk identifikasi sejumlah kecil pasien yang berkembang mengalami keganasan. Jika terjadi kehamilan, elevasi nilai beta-HCG dapat disalahartikan dengan perkembangan keganasan. F. MEDIKASI 5 Kemoterapi profilaksis pada mola hidatidosa masih kontroversial. besar wanita sembuh setelah evakuasi uterus. G. FOLLOW UP 1,3,5 Sebagian

1. Penatalaksanaan Lebih Lanjut Pasien Rawat Jalan Level beta-HCG kuantitatif serial harus diperiksa.

Pemeriksaan nilai beta-HCG dilakukan setelah 48 jam pertama dan selanjutnya setiap 2 minggu hingga nilai berada di dalam batas nilai rujukan. Nilai tersebut harus secara konsisten turun dan tidak pernah naik. Jika nilai tersebut telah mencapai nilai rujukan, maka pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan selama satu tahun. Setiap peningkatan nilai beta-HCG membutuhkan pemeriksaan radiografi dada dan pemeriksaan pelvis untuk menentukan diagnosis dini adanya metastasis.

Kontrasepsi direkomendasikan selama 6 bulan hingga 1 tahun setelah evakuasi uterus. Pasien dengan riwayat kehamilan mola komplet atau parsial sebelumnya memiliki resiko 10 kali lipat untuk mengalami kehamilan mola kedua pada kehamilan selanjutnya. ultrasonografi. 2. Komplikasi Perforasi uterus selama suction curettage kadang-kadang terjadi karena uterus yang membesar dan melunak. Jika terjadi perforasi, maka prosedur evakuasi harus Evaluasi semua kehamilan selanjutnya sedini mungkin dengan

dilanjutkan dengan bantuan laparaskopi. Perdarahan/hemoragi merupakan komplikasi yang seringkali terjadi selama evakuasi kehamilan mola. Karena alasan inilah, maka oksitosin intravena harus diberikan

sebelum memulai prosedur evakuasi. Methergine dan/atau hemabate juga harus selalu tersedia. Pasien harus telah diketahui golongan darahnya, dilakukan crossed check, dan darah untuk tranfusi telah tersedia. Penyakit trofoblastik maligna terjadi pada 20% kehamilan mola. Untuk alasan ini, HCG kuantitatif harus dimonitor secara serial selama 1 tahun post evakuasi hingga hasilnya didapatkan negatif. Faktor-faktor yang dilepaskan oleh jaringan mola memiliki aktivitas fibrinolitik. Semua pasien harus diperiksa untuk kemungkinan terjadi koagulopati intravaskuler diseminata (DIC). Emboli trofoblastik dipercaya dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor resiko terbesar didapatkan jika uterus lebih besar dari seharusnya pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat bersifat fatal. 3. Prognosis

Karena diagnosis dini dan terapi yang tepat, rata-rata mortalitas saat ini untuk mola hidatidosa adalah nol. Sekitar 20% wanita dengan mola komplet selanjutnya

menderita keganasan trofoblastik. Keganasan trofoblastik gestasional ini 100% dapat disembuhkan. Faktor klinis yang berhubungan dengan resiko keganasan adalah usia lanjut, nilai HCG tinggi (>100.000 mIU/mL), eklamsia, hipertiroidisme, dan kista teka lutein bilateral. Sebagian besar faktor-faktor tersebut tampaknya mampu merefleksikan jumlah proliferasi trofoblastik. Memperkirakan pasien mana yang akan menderita penyakit trofoblastik gestasional adalah sulit, dan penentuan terapi harus didasarkan pada adanya setiap atau semua faktor resiko tersebut. 4. Edukasi Pasien Karena potensi untuk berkembang menjadi penyakit keganasan yang kecil tetapi nyata, dan karena keganasan tersebut dapat disembuhkan secara absolut, maka pentingnya perawatan follow-up rutin harus ditekankan. Pasien harus menghindari kehamilan selama 1 tahun untuk menghindari kebingungan dalam menentukan perkembangan suatu keganasan. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan. Jika terjadi kehamilan, elevasi nilai beta-HCG tidak dapat digunakan untuk membedakan kehamilan dari perkembangan penyakit. Kehamilan selanjutnya harus diperiksa sedini mungkin dengan sonografi karena meningkatnya resiko untuk rekurensi kehamilan mola pada pasien tersebut. Resiko rekurensi adalah sebesar 1-2%. Setelah 2 atau lebih kehamilan mola, resiko rekurensi yang dilaporkan adalah 1 dalam 6,5 hingga 1 dalam 17,5 kehamilan. H. LAIN-LAIN 2,3,5

1. Perangkap Medis/Legal Kegagalan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan hiperemesis: Banyak pasien dengan kehamilan mola mengalami nausea dan vomiting berat karena level tinggi HCG yang bersirkulasi dalam darah. Kegagalan untuk menjelaskan pentingnya perawatan follow-up cermat setelah evakuasi mola: Sekitar 20% pasien dengna kehamilan mola mengalami keganasan trofoblastik.

Kegagalan mengenali arti penting level beta-HCG yang mendatar: Jika level betaHCG mendatar, harus dipertimbangkan secara serius kemungkinan keganasan persisten. Radiografi thorak harus dilakukan untuk mengetahui adanya metastasis. Jika penyakit metastasis ditemukan, staging menggunakan CT scan dilakukan pada abdomen, pelvis, dan otak, dan pasien harus mendapatkan terapi sesuai dengan hasil yang didapatkan. Kegagalan untuk menegakkan diagnosis pada pasien yang mengalami preeklamsia sebelum kehamilan 24 minggu: Duapuluh tujuh persen pasien dengan mola komplet mengalami preeklamsia. Kegagalan untuk mengenali kehamilan mola yang terjadi bersama dengan fetus normal: Kehamilan kembar dan multipel dengan kehamilan mola telah dijelaskan di atas. Resiko malignansi dengan metastasis tinggi, juga resiko morbiditas maternal akibat perdarahan, eklamsia, atau komplikasi lain dari kehamilan mola. BAB IV ANALISA KASUS

Pada kasus ini ditegakkan diagnosis mola hidatidosa berdasarkan : 1. Anamnesis Pada pasien ini ditemukan keluhan Pasien tidak haid selama 4 bulan (amenorrhea). Keadaan ini merupakan tanda tanda kehamilan subyektif. Pasien mual dan muntah berlebihan (hyperemesis). Keadaan ini terjadi karena peningkatan tajam level Human Chorionic Gonadotropin (HCG) Perdarahan lewat vagina. Keadaan ini terjadi karena terlepasnya jaringan mola dari desidua. 2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan abdomen pasien ini ditemukan Usia kehamilan pasien 17
+1

minggu, dengan TFU simfisis pusat (sesuai usia

kehamilan 24 minggu). Pada usia kehamilan pasien ini TFU seharusnya 2 jari di bawah pusat. Pembesaran uterus pasien tidak sesuai dengan umur kehamilannya (lebih besar

10

dari seharusnya). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang berlebihan dan darah yang terkumpul dalam uterus. Pada palpasi, teraba massa, tidak teraba bagian- bagian janin. Pada auskultasi, tidak ditemukan adanya denyut jantung janin. 3. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan USG : Tampak uterus dengan ukuran 18 x 16 x 15 cm. Tampak gambaran vesiculair menyerupai Honey Comb Appearance. Tak tampak gambaran janin intrauterin / ekstrauterin. Gambaran vesiculair yang menyerupai Honey Comb Appearance menunjukkan adanya villi korionik yang hidropik yang merupakan keadaan patologik dari mola hidatidosa.

Faktor risiko Pada pasien ini memiliki faktor risiko yaitu usia 39 tahun dimana termasuk dalam rentang usia <20 tahun dan >35 tahun, yang merupakan kelompok usia yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya mola. Terapi 1. Perbaikan keadaan umum Pada pasien ini dilakukan perbaikan KU dengan tranfusi darah untuk mengatasi anemia yang terjadi karena perdarahan. 2. Kuretase Pada pasien ini dilakukan kuretase untuk mengeluarkan jaringan mola. Kuretase dilakukan satu kali, kecuali jika terdapat indikasi maka dapat dilakukan kuretase ulang. 3. Histerektomi Pada pasien ini dilakukan TAH dengan pertimbangan usia tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai adalah 35 tahun dengan anak hidup tiga.

11

Dilakukan juga BSO karena pada mola terjadi peningkatan kadar Beta-HCG yang dapat menyebabkan terbentuknya kista teka lutein pada ovarium dengan resiko terjadinya torsio.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono Prawirohardjo, 1999. ILMU KANDUNGAN. Gangguan bersangkutan dengan konsepsi, Mola Hidatidosa. Ed.2, cet.3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka 2. Ben-Zion Taber, 1984. Manual of Gynecologic and obstetric Emergencies. Philadelphia: W.B. Sounders Company 3. Rayburn, William F., et.al, 2001. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika 4. Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri fisiologi, Obstetri patologi. Ed.2. Jakarta: EGC 5. Martaadisubrata, Jamhur, 2005. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional. Jakarta: EGC

13

You might also like