You are on page 1of 12

Pendidikan Transformatif*

Oleh: Ashari Cahyo Edi**

Abstraksi: Potret pendidikan di Indonesia makin hari makin buram. Menurut penulis, ini disebabkan karena pendidikan di Indonesia menganut paradigma liberal. Dalam koridor paradigma ini pendidikan diabdikan bagi kepentingan ekonomi semata. Pendidikan tidak bertujuan untuk pembebasan kemanusiaan. Penulis menguraikan tiga paradigma pendidikan yang lazim berlaku: konservatif, liberal, kritik. Ketiganya membentuk corak kesadaran yang berbeda pula bagi peserta didik. Pendidikan konservatif menghasilkan kesadaran magis; pendididkan liberal menghasilkan kesadaran naif; sebaliknya, berbeda dengan dua paradigma sebelumnya, pendidikan kritik membentuk kesadaran kritis. Model pendidikan banking-yang ignoramus critical karena sekadar

menumpuk pengetahuan nir diseminasi

sense-, tak pelak

menghadirkan sosok generasi yang buta akan penindasan. Kemacetan transformasi sosial dewasa ini, tak lain juga bermula dari pendidikan yang tidak transformatif tersebut.

MENGAPA peduli pada pendidikan? Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: pendidikan taranformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Sungguhkah? Biar lebih jelas, mari kita uraikan bersama.

Perubahan sosial tentu membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilainilai maupun ideologi, yang tentunya kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial. Paulo Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan Kritis, mempunyai pendapati cemerlang perihal pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial1. Dalam bentuknya yang paling ideal, menurut Freire, pendidikan

membangkitkan kesadaran (conscientizacao) diri manusia sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya kondusif bagi humanisme dan pembebasan. Beranjak dari signifikansi utama pendidikan diatas, tulisan ini disajikan dengan semangat untuk melakukan kritisasi terhadap dunia pendidikan, utamanya di Indonesia. Pengalaman sebagai peserta didik selama ini, baik secara sadar maupun tidak sengaja, telah memungkinkan saya 'memergoki' sejumlah persoalan yang meresahkan. Ya, siapa tahu dengan men-share deretan persoalan yang meresahkan tersebut, nantinya bisa menjadi pemantik diskusi yang tidak saja lebih komprehensif, namun juga kontributif bagi terwujudnya sistem pendidikan yang lebih baik atau bahkan ideal: membebaskan, kritis, serta transformatif.

Potret Buram Pendidikan Indonesia Alkisah, ada sekelompok siswa sebuah SMU di kota saya nongkrong di terminal bis, bolos sekolah. Tanpa beban mereka asyik bincang sembari menikmati riuh ramai kendaraan, penumpang, ataupun teriakan para kenek. Dari wajah mereka hampir tak tergurat raut penyesalan karena

meninggalkan pelajaran, melanggar titah orang tua. Sepintas, masyarakat termasuk juga kita, mungkin akan berkata, "Dasar pemalas, tidak tahu

menghargai jerih payah orangtua!". Suatu hal yang lumrah tapi belum tentu benar. Pernahkah Anda merasa betapa sekolah demikian membosankan atau bahkan menakutkan? Suatu ketika, di hari senin pada jam pertama, jantung Toni berdebar kencang. Ini disebabkan PR bahasa-nya yang belum juga selesai meski sudah tiga hari dikerjakan. Sejenak terbayang betapa akan malunya Ia terkena marah bapak guru di depan kelas. Sebenarnya, sejak minggu lalu Toni ingin bertanya tentang soal yang satu itu. Namun Ia takut, teman-teman sekelasnya akan menertawakan ketidaktahuannya. Akhirnya setiap ada pelajaran bahasa, ruangan kelas seolah menjadi tempat yang paling tidak aman baginya. Bahkan menjelma menjadi penjara. Ilustrasi diatas bukan sebatas rekaan belaka. Diantara kita banyak yang pernah mengalami masalah semacam itu. Sekolah yang kita bayangkan sebagai 'kabin' belajar, bermain, berteman, mengembangkan potensi dst., malah menjadi sumber kesusahan dan kegelisahan. Ditambah lagi guru yang otoriter, metode pengajaran yang monoton dan membelenggu, tidak up to date, begini dilarang, begitu dilarang, dsb., kian membuat peserta didik tidak bebas mengembangkan potensi, dan akhirnya hanya menjadi pengikut semua ujar guru yang kurang kreatif sekaligus miskin daya kritis. Kalau dilihat lebih cermat, pendidikan yang membelenggu itu merupakan tipikal sistem pendidikan negara jajahan. Sejak zaman kolonial Belanda, upaya-upaya yang mencegah tumbuhnya kecerdasan untuk berpikir bebas, daya kritis terhadap realitas, yang berujung pada kesadaran terhadap posisi diri di struktur sosial, memang di-setting secara sistematis. Tujuannya jelas yakni, menjaga agar masyarakat di Hindia Belanda tetap bodoh, tidak 'sadar diri' sehingga kekuasaan kolonial tidak terancam. Sistem pendidikan dengan sendirinya menjadi instrumen untuk

melanggengkan kekuasaan. Pendidikan hanya semata-mata memasukkan peserta didik kedalam sistem yang sudah ada: mencetak dokter, akuntan, teknisi, ahli hukum dst., yang loyal terhadap penguasa. Nilai-nilai, ide-ide, preferensi, yang ditransmisikan melalui institusi pendidikan dengan sendirinya ditujukan untuk membentuk kesadaran yang menafsirkan

penindasan terhadapnya sebagai hal yang wajar, serta benar baik secara ideologis maupun kultural.2 Sayangnya, model pendidikan seperti ini tetap berlangsung hingga sekarang. Dalam konteks kekinian dimana penjajahan tidak lagi menemui bentuknya yang paling primitif, pendidikan di Indonesia dan negara-negara dunia ketiga pada umumnya belum beranjak berubah. Dewasa ini, tatkala Barat kembali hadir dengan kekuatan ekonominya, sistem pendidikan dengan sendirinya mengabdi pada kepentingan modal. Meski dibalut modernitas zaman yang kemilau dengan sains mutakhir hingga teknologi canggih, karakter pendidikan tetap stagnan. Visi dan misi pendidikan yang tercermin dalam kurikulum orientasinya cuma satu: bagaimana mencetak lulusan yang akseptabel terhadap pasar, baik skill maupun kesamaaan kerangka berpikir. Pendek kata, di era Kapitalisme berkuasa ini, nasib pendidikan tak jauh-jauh amat dari sebelumnya: membangun komformitas kesadaran peserta didik terhadap struktur yang sedang berlaku.

Tiga Paradigma Pendidikan Secara konseptual, ada tiga paradigma3 pendidikan yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berdampak sangat serius terhadap perubahan sosial.4 Pertama, paradigma konservatif. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau

mempengarhui perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan

mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang yang bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang bersekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena akhirnya semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan kelak. Paham konservatif hanya melihat pentingnya harmoni serta menghindarkan konflik dan kontradiksi. Sebagian besar penyelenggaraan sekolah yang dikelola oleh kaum tradisionalis berangkat dari paradigma konservatif ini. Penyelenggaraan sekolah atau madrasah dalam perspektif dan paradigma konservatif memang terisolasi dari persoalan persoalan kelas maupun gender ataupun persoalan ketidak adilan di masyarakat. Kurikulum sekolah secara jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada kaitannya dengan sistem dan struktur sosial diluar sekolah, seperti sistem kapitalisme yang tidak adil Kedua paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural)5. Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem. Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha reformasi 'kosmetik' seperti perlunya: membangun gedung baru, memoderenkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam masyarakat.

Akar dari pendidikan semacam dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan

pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Yang terakhir adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal ditujukan untuk perubahan moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial. Perspektif ini tentu mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (banking system). Tiga paradigma diatas masing-masing membawa dampak berupa karakter kesadaran manusia yang oleh Freire digolongkan menjadi tiga6. Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka

proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan lebih merupakan proses menirukan, dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan pendangan guru. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Paradigma tradisional yang menggunakan paham pendidikan dan sekolah konservatif dapat dikatagorikan dalam kesadaran magis ini. Kesadaran kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena 'salah' masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya 'membangunan', dan seterusnya. Oleh karena itu 'man power development' adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor 'given'; dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas sekolah adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma umat modernis yang menggunakan paham pendidikan liberal dapat dikatagorikan kedalam kesadaran naif ini. Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari 'blaming the victims" dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta bagaimana

mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Paradigma umat Islam transformatif yang menggunakan model pendidikan kritis dapat dikatagorikan kedalam kesadaran kritis.

Hasil Pendidikan Nasional: Kemacetan Transformasi Sosial ? Dari pemetaan diatas, sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikategorikan sebagai pendidikan kritis. Dapat pula dikatakan, dalam taraf tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam paradigma konservatif, meskipun kalau dilihat secara umum pendidikan nasional termasuk dalam mainstream liberal. Ini ditandai mulai dari privatisasi pendidikan, model subjek-objek, serta orientasinya yang kental dengan ideologi kapitalisme. Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial7 pun sulit dielakkan berlaku. Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata). Peserta didik disibukkan oleh rutinitas studi-studi berdasarkan kurikulum yang juga terasing dari kehidupan sosial. Misalnya, ketika bicara sains dan teknologi, peserta didik digiring untuk memusatkan diri pada teknologi yang bias sektor urban. Misalnya, mesin-mesin industri berat dan bukan perihal teknologi tepat guna, yang murah, mudah dijalankan dan langsung memberi manfaat kepada masyarakat kecil. Lebih parah lagi, pendidikan kita sulit dibedakan dengan pelatihan atau trainning. Metode searah sulit dipungkiri memupus kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan corak berpikir bebas. Sekedar contoh, saat SD kita acapkali diberi pertanyaan dimaan kita hanya perlu memberi satu kata sebagai jawaban. Misalnya begini, "Pak Tani disawah sedang". Untuk

menjawab pertanyaan ini murid SD tidak punya banyak pilihan. Guru secara sepihak akan menyalahkan bila isinya bukan mencangkul, memupuk, atau memanen. Padahal, dalam sistem yang demokratis seorang murid bisa mengisinya dengan misalnya, membaca koran (karena sedang istirahat), melakukan rembug mengenai irigasi dsb. Sejalan dengan penjelasan Freire mengenai tiga kesadaran sebagai dampak pengadopsian tiga paradigma pendidikan, baik kesadaran magis maupun kesadaran naif begitu kuat mengakar dalam masyarakat kita. Budaya fatalis misalnya, adalah hal umum dan membudaya dikalangan masyarakat terutama jawa. Sifat nrimo ing pandum (menerima jatah atau nasib) selain sebagai hasil feodalisme, tak lepas pula dari model pendidikan selama ini yang justru makin membenamkan semangat inisiatif, inovatif dan kekritisan masyarakat. Atau yang lebih buruk lagi ketika kesadaran naif akibat hegemoni paradigma liberal menjangkiti sebagian besar masyarakat. Dihadapkan melambungnya biaya menuntut ilmu akibat komersialisasi pendidikan, sedikit banyak orientasi mahasiswa mengalami pergeseran. Atau bisa dikatakan idealisme angkatan muda terjangkit erosi yang

membahayakan. Ketika ada tuntutan untuk cepat lulus, baik karena soal biaya maupun standardisasi yang ditetapkan oleh pasar, perhatian mahasiswa sedikit banyak terserap untuk studi. Perhatian terhadap persoalan sosial, lingkungan, dsb., yang nyata dihadapi masyararakat cenderung terabaikan. Dan setelah lulus, orientasi utamanya bukanlah bekerja demi kepentingan umat. Melainkan terjebak dalam pragmatisme pasar, tertanam dalam filosofi liberal yang memerosotkan potensi-potensinya untuk melakukan atau setidaknya berjalan searah dengan kepentingan transformasi sosial. Para ilmuan misalnya, akibat proses pendidikan yang sangat liberal sulit untuk tidak menjadi-meminjam istilah Heru Nugroho-Intelektual 'asongan', yang menjajakan pengetahuannya untuk riset maupun pengembangan wacana yang seringkali adalah proyek pemilik modal. Terjebaknya para ilmuan ini memberi kontribusi besar terhadap macetnya ilmu-ilmu sosial dan ketidakmampuannya menjadi bagian dari problem solving dalam

masyarakat. Ilmuan tak jarang terjebak dalam studi-studi keilmuan yang sebenarnya disetting oleh ideologi mainstream yang kontra transformasi. Dalam Magnum Opus-nya Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (1962), ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang telah mapan. Mereka menjadi sangat sensitif dan kehilangan kearifan dengan mencap kritik terhadap ilmu adalah 'omong kosong'; serta menggambarkan para pengritik ilmu sebagai para 'pembual'8. Dengan kata lain, para ilmuan telah menjadi aparat status quo dari ideologi hegemonik.

Menuju Pendidikan Transformatif Rangkaian persoalan pelik diatas telah menggiring dunia pendidikan kita menuju kerusakan sistemik. Namun bukan berarti menjadi sah bagi kita untuk bersikap apatis. Dan, lagi-lagi kita harus kembali belajar bersama Freire perihal pendidikan yang membebaskan, kritis dan transformatif. Mengurai benang merah yang terlanjur jalin berkelindan tak tentu ujungpangkalnya, Freire menekankan pentimgmya pengharapan (hope) dan impian (dream). Dua hal ini jelas bukan sebagai ekstase yang penuh ilusi dan tipu daya. Karena mimpi dan harapan memberi kita energi untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Tak ada perubahan tanpa impian, begitu pula tak ada impian tanpa harapan. Hanya saja harapan dan impian harus ditindak lanjuti dengan aktualisasi, sehingga kekhawatiran akan efek ekstase tadi tidak terjadi dan berlanjut. Ke depan, terbentang pekerjaan rumah yang luar biasa berat. Perubahan baik mengenai kurikulum, perangkat aturan legal, maupun pergeseran paradigma yang sepertinya tidak bisa ditolak jika menginginkan perubahan yang substantif, tidak sekadar 'kosmetik' ingin diwujudkan.

Wallahu 'Alam Bisshoa

*Pernah dipresentasikan dalam workshop Learning Space, yang diadakan oleh Sciences (Small Circle for Islamic Studies and Community Empowerment), Masjid Kampus UGM, medio Juni 2002. **Editor Jurnal Youth Institute for Critical Studies (YICS), Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UGM yang sedang giat menulis skripsi.

End Note 1 Dikutip dari Agustinus Mintara, Sekolah atau Penjara, Basis edisi Paulo Freire, No.01-02 Tahun Ke-50, Januari-Febuari 2001 2 Seperti ujar Gramscie bahwa dominasi tidak melulu dalam bentuk eksploitasi ekonomi (determinasi ekonomi), melainkan juga dalam bentuk kemampuan negara untuk mendapatkan 'persetujuan' aktif (secara tidak sadar) dari kelas-kelas yang tertindas. Upaya ini dilakukan utamanya melalui pendidikan, media masa, parlemen, semua aktifitas dan inisiatif yang membentuk aparat hegemoni politik dan kultural kelas-kelas yang berkuasa. David Marsh and Gerry Stoker, Theories And Methods in Political Science, MacMillan Press Ltd., 1995 3 Paradigma oleh Thomas Kuhn secara implisit diartikan sebagai world view atau pandangan dunia. Yakni, sebagai suatu cara pandang atas segala sesuatu-sering berupa seperangkat asumsi, keyakinan, dogma, konvensi, dan "dominant theory" yang dipakai bersama (Sardar, 2002:69), yang menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001:33). 4 Aronowitz, S. & Giroux, H.A. Education Under Siege. Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers, Inc., 1985, disarikan dari Mansour Fakih, Mencari Model Sekolah Berkualitas: Dilema Paradigma Pendidikan, Sumber, Kompilasi Makalah Terpilih, Litbang Bulaksumur Pos 1999-2000 5 Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1994 6 Mansour Fakih op.cit., hal. 7

7 Secara sederhana Darwinisme Sosial dapat dipahami sebagai suatu keadaan diamana kehidupan sosial dianalogikan dengan konsep Darwin tentang iklim kompetisi antar penyusun ekosistem yang berpijak pada postulat survival of the fittest. Pendek kata, adalah sah bagi individu dan kelompok msyarakat yang punya sumber daya untuk 'memukul roboh' kelompok dan individu lain demi kepentingan dan kelangsungan kelompok tersebut, 8 Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu, Jendela, Yogyakrta, 2002

You might also like