You are on page 1of 25

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Mikrobiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang mikroba. Mikrobiologi adalah salah satu cabang dari ilmu biologi, dan membutuhkan ilmu pendukung kimia, fisika, dan biokimia. Mikrobiologi sering disebut dengan ilmu praktek dari biokimia. Mikrobiologi dasar didalamnya memiliki pengertian tentang sejarah penemuan mikroba, macam macam mikroba di alam, struktur sel mikroba dan fungsinya, metabolisme mikroba secara umum, pertumbuhan mikroba dan faktor lingkungan, mikrobiologi terapan di bidang pangan, lingkungan dan pertanian. Mikroorganisme sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita, beberapa diantaranya bermanfaat dan yang lain merugikan. Beberapa mikroorganisme menyebabkan penyakit dan yang lain terlibat dalam kegiatan manusia seperti dalam pembuatan anggur, keju, yogurt, produksi penisilin dan sebagainya. Bahan pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia tak terkecuali bagi mikroorganisme. Apabila bahan makanan telah tercemar oleh mikroorganisme, mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, yaitu terjadinya perubahan fisik dan kimi dari bahan tersebut. Hal ini menyebabkan mutu pangan menjadi turun. Selain itu mikroba juga dapat menimbulkan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsi bahan pangan yang telah tercemar oleh mikroba. Berbagai macam uji mikrobiologi dapat dilakukan terhadap bahan pangan meliputi uji kuantitatif mikroba untuk menentukan mutu dan daya tahan suatu makanan, uji kualtatif bakteri pathogen untuk menentukan tingkat keamanannya dan uji bakteri indicator untuk menentukan tingkat sanitasi makanan tersebut. pengujian yang dilakukan terhadap setiap bahan pangan tidak sama, tergantung dari berbagai faktor seperti jenis dan komposisi bahan pangan, cara pengepakan dan penyimpanan, cara penanganan dan konsumsinya, kelompok konsumen dan berbagai faktor lainnya.

Produk hasil peternakan atau perikanan seperti daging sapi dan ikan, produk hasil pertanian seperti bumbu (bawang dan cabai), sayur dan buah buahan memiliki nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhan. Infeksi mikroorganisme terhadap produk dapat terjadi pada selama proses pemanenan, penyimpanan serta pengolahan lebih lanjut, maka mengakibatkan mikroorganisme tersebut dapat tumbuh dan berkembang sehingga menyebabkan kerusakan atau pembusukan. Mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan atau kebusukan pada bahan pangan dapat diketahui dengan melakukan uji mikrobiologi. Metode yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah mikroba di dalam bahan panan terdiri dari metode Hitung Cawan (HC), Most Probable Number (MPN), dan metode hitung mikroskopis langsung. Oleh sebab itu, kami melakukan praktikum mikrobiologi pangan tentang uji mikrobiologi bahan pangan seperti daging sapi, ikan serai, sayur kol dan sawi, serta bumbu trasidisional seperti cabai merah, bawang merah, bawang putih, bumbu asli dan bumbu olahan untuk mengamati dan menghitung total mikroba pada sampel tersebut. 1.2. Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengamati dan menghitung jumlah koloni mikroba yang terdapat pada bahan pangan dengan sampel yang digunakan adalah daging sapi, ikan serai, sayur kol dan sawi, bumbu tradisional seperti cabai merah, bawang merah, bawang putih, bumbu asli dan bumbu olahan.

II.

DASAR TEORI

2.1. Mikrobiologi Pangan Mikrobiologi pangan adalah ilmu yang mempelajari pengaruh proses pengolahan terhadap sel mikroorganisme, termasuk mekanisme ketahanan mikroorganisme terhadap proses pengolahan. Disamping itu, ilmu mikrobiologi pangan merupakan ilmu yang juga mempelajari perubahan perubahan yang merugikan seperti kebusukan dan keracunan makanan, maupun perubahan perubahan yang menguntungkan seperti fermentasi makanan. Proses pengolahan dan pengawetan makanan tidak sepenuhnya dapat mencegah semua perubahan perubahan yang merugikan. Contohnya, pada makanan makanan yang telah diawetkan dengan pembekuan atau pengeringan, enzim enzim yang terdapat di dalam bahan pangan masih mungkin aktif dan menyebabkan perubahan warna, tekstur maupun citarasa dari suatu produk pangan. Hal ini menunjukkan sebelum produk pangan mengalami proses pembekuan atau pengeringan sebaiknya dilakukan proses pendahuluan dengan pemanasan, seperti blansir, yang berguna untuk menginaktifkan enzim enzim yang terdapat di dalam bahan pangan mentah. Ketahanan mikroorganisme maupun enzim enzim yang terdapat di dalam sel mikroorganisme berbeda terhadap berbagai proses pengawetan dan pengolahan. Contohnya, penyimpanan makanan pada suhu rendah pada umumnya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, tetapi suhu penyimpanan tersebut bahkan dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang tergolong psikrofilik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan. Begitu juga dengan penambahan garam pada umumnya dapat menghambat kebanyakan

mikroorganisme, tetapi dapat merangsang pertumbuhan bakteri halofilik yang sering mengakibatkan perubahan warna. Tidak saja ketahanan mikroorganisme dalam bahan pangan yang berbeda, karakteristik dalam masing masing produk pangan juga berbeda, dimana sifat tersebt akan mempengaruhi komposisi dari bahan pangan, cara pengolahan , dan

kondisi penyimpanannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa sifat mikrobiologi setiap produk bahan pangan berbeda dan sangat spesifik.

2.2. Faktor Penyebab Pertumbuhan Mikroba dalam Bahan Pangan 2.2.1. Faktor Intrinsik (Sifat Bahan Pangan) Faktor faktor intrinsik atau faktor dalam yang dapat mempengaruhi populasi mikroorganisme di dalam makanan meliputi sifat sifat kimia atau komposisi, sifat fisik dan struktur makanan. Faktor ini meliputi nilai aktivitas air (Aw), komposisi nutrien, pH, potensial redoks, adanya bahan pengawet alamiah atau tambahan dan sebagainya. Aktivitas Air (Aw = water activity) Nilai aktivitas air untuk beberapa bahan makanan dan jenis mikroorganisme khusus yang terdapat di dalamnya berbeda untuk setiap jenis bahan makanan. Bahan makanan dengan kadar air tinggi (nilai Aw = 0,95 0,99) umumnya dapat ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme dan biasanya kerusakan akan lebih banyak karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapang dan khamir. Nilai pH Umumnya nilai pH bahan makanan berkisar antara 3,0 8,0. Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,0 8,0 dan hanya jenis jenis tertentu saja mikroorganisme yang ditmukan pada bahan makanan dengan pH yang lebih rendah. Potensial Redoks Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu sistem indeks dari tingkat oksidasinya. Bahan makanan dengan potnsial redoks yang tinggi akan membantu pertumbuhan dari jenis jenis mikroorganisme yang bersifat aerobic seperti Pseudomonas.

Zat zat gizi Komposisi bahan makanan dapat menentukan jenis mikroorganisme yang dominan di dalamnya, karena hal ini akan menentukan jenis zat gizi yang penting tersedia untuk perkembangan mikroorganisme. Bahan makanan dengan gizi yang cukup akan membantu pertumbuhan mikroorganisme seperti Lactobacillus yang membutuhkan banyak zat gizi.

2.2.2. Faktor Pengolahan Faktor pengolahan akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang dominan dalam bahan makanan yang telah diolah atau diawetkan. Proses pengolahan seperti pemanasan atu irradiasi dapat membunuh sebagian atau seluruh mikroorganisme, terutama mikroorganisme yang tidak tahan terhadap panas dan irradiasi. Pengeringan dan pembekuan bahan makanan dapat mengakibatkan kerusakan pada mikroorganisme yang terdapat di dalamnya. Tetapi beberapa jenis mikroorganisme yang tahan terhadap perlakuan tersebut akan tetap hidup dan dapat menyebabkan kerusakan bila bahan makanan terebut dicairkan.

2.2.3. Faktor Ekstrinsik (Lingkungan) Bahan pangan segar atau makanan olahan yang tidak langsung dikonsumsi memerlukan tahap penyimpanan atau transport/distribusi. Faktor faktor yang mempengaruhi penyimpanan dan transport seperti suhu, kelembaban dan susunan gas, merupakan faktor lingkungan (ekstrinsik) yang mempengaruhi populasi mikroba yang terdapat pada makanan.

2.2.4. Faktor Implisit Berbegai mikroba yang terdapat pada bahan makanan kadang kadang mengakibatkan dua atau lebih jenis mikroorganisme hidup bersama saling menguntungkan (sinergisme) atau sebaliknya yang satu merugikan

pertumbuhan jenis mikroorganisme yang lain (antagonisme).

2.2.5. Faktor Makanan Makanan yang mudah rusak, yaitu yang mempunyai aktivitas air (aw), dan pH yang relative tinggi (pH > 5,3). Misalnya : daging, daging ayam, ikan, susu, dan sebagainya. Makanan yang agak awet, yaitu makanan yang mempunyai pH menengah (4,5 6,3) atau setelah mengalami proses pengawetan sehingga kadar airnya menjadi agak rendah, misalnya : jam, jeli, susu kental manis, acar, sosis fermentasi dan sebagainya. Bahan makanan yang awet (tahan disimpan lama) yaitu makanan yang telah diawetkan dengan pengeringan sehingga kadar airnya (aw) rendah, misalnya dendeng, abon, ikan asin dan sebagainya.

2.3. Bakteri Nama bakteri berasal dari bahasa Yunani yaitu bakterion yang berarti tongkat atau batang. Saat ini nama tersebut dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, tidak berklorofil (beberapa ada yang berklorofil), berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya hingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop (Dwidjoseputro, 2005). 2.4. Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan adalah penambahan secara teratur semua komponen sel suatu jasad. Pembelahan sel adalah hasil dari pertumbuhan sel. Pada jasad bersel tunggal (uniseluler), pembelahan atau perbanyakan sel merupakan pertambahan jumlah individu, misalnya pembelahan sel pada bakteri akan menghasilkan pertambahan jumlah sel bakteri itu sendiri. Pada jasad bersel banyak (multiseluler), pembelahan sel tidak menghasilkan pertambahan jumlah individunya, tetapi hanya merupakan pembentukan jaringan atau bertambah besar jasadnya (Suharjono, 2006). Kecepatan pertumbuhan merupakan perubahan jumlah atau massa sel per unit waktu. Pertumbuhan mikroba dalam suatu medium mengalami fase fase

yang berbeda, yaitu fase lag, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian (Sofa, 2008). Pertumbuhan bakteri pada umumnya akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh faktor ini akan memberikan gambaran yang

memperlihatkan peningkatan jumlah sel yang berbeda dan pada akhirnya memberikan gambaran pula terhadap kurva pertumbuhannya (Noviar, 2001). Kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kebutuhan fisik dan kebutuhan kimiawi atau kemis. Aspek aspek fisik dapat mencakup suhu, pH dan tekanan osmotik. Sedangkan kebutuhan kemis meliputi air, sumber karbon, nitrogen, oksigen, mineral mineral dan faktor penumbuh (Jeneng, 1988). Hal ini sesuai dengan pendapat Hastuti (2007) bahwa terdapat beberapa faktor abiotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain suhu, kelembapan, cahaya, pH, AW dan nutrisi. Apabila faktor faktor abiotik tersebut memenuhi syarat, sehingga optimum untuk pertumbuhan bakteri, maka bakteri dapat tumbuh dan berkembang biak.

2.5. Pengawetan dengan Perlakuan Suhu Rendah 2.5.1. Pendinginan Pendinginan merupakan cara paling umum yang digunakan oleh masyarakat untuk memperpanjang daya simpan daging atau ikan jika tidak segera diolah. Pendinginan dilakukan dengan cara menyimpan daging dan ikan di dalam freezer pada temperature -2 5 C. Cara penyimpanan ini bukan hanya digunakan untuk daging segar, tetapi juga untuk produk daging olahan sejak proses olahan sampai akan dikonsumsi. Prinsip kerja dari pendinginan adalah menghambat aktivitas mikroba. Pada temperature dingin, mikroorganisme pembusuk tidak aktif sehingga daging yang disimpan tidak rusak . lama penyimpanan daging dalam ruang pendingin ditentukan oleh penanganan sebelumnya. Di rumah tangga, daging segar sebaiknya segera diolah maksimum 4 hari setelah dibeli. Jika tidak segera diolah, sebaiknya dilakukan pembekuan. Perlu diperhatikan, menyimpan daging di dalam kulkas karena harus terpisah dari bahan makanan lainnya (Surajudin et al., 2008).

2.5.2. Pembekuan Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, sugu di dalamnya sekitar -18 C, meskipun pada umumnya, produk beku memiliki suhu yang lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini, bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. Bahan pangan seperti daging dapat disimpan antara 12 18 bulan sedangkan daging ikan dapat disimpan antara 8 12 bulan (Buckle et al., 1987). Perlakuan pembekuan (freezing) secara signifikan akan memperlambat laju reaksi kimiawi dan enzimatis serta menghambat aktivitas mikroorganisme. Proses pengawetan biasanya juga dapat dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa metode pengawetan.

2.6. Mikroorganisme Perusak Beserta Cirinya 2.6.1. Daging Daging merupakan yang paling tahan lama dari semua makanan karena mengandung gizi penting yang cukup diperlukan untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme (Magnus, 1981). Konstituen utama dari daging adalah air, protein dan lemak, fosfor, besi dan vitamin. Daging memiliki kandungan air yang tinggi sesuai dengan aktivitas air sekitar 0,99 yang cocok untuk pertumbuhan mikroba (Rao et al., 2009). Daging mengalami perubahan oleh enzim, dengan aksi mikroba dan lemak yang dapat dioksidasi secara kimia oleh mikroorganisme yang tumbuh di daging dan menyebabkan perubahan visual, tekstur dan organoleptik ketika mereka melepaskan metabolit (Jackson et al., 2001). Bahkan, jaringan dari hewan yang steril, telah menunjukkan bahwa selama pembantaian, berpakaian dan pemotongan, mikroorganisme datang terutama dari luar dari hewan dan saluran usus, tetapi yang lebih ditambahkan dari pisau, kain, udara dan peralatan pada umumnya. Kontaminasi eksternal daging kemungkinan konstan saat perdarahan unit konsumsi (Lawrie, 1984). Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah faktor intrinsik (sifat fisik dan kimia

daging) dan ekstrinsik (lingkungan), namun faktor-faktor yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan mikroorganisme dalam produk daging dan daging adalah suhu penyimpanan, kelembaban dan ketersediaan oksigen (Rombout dan Wout, 1994). Kerusakan lemak daging umumnya terjadi akibat proses oksidasi enzimatis dari aktivitas bakteri. Secara spesifik, tanda tanda kerusakan daging karena aktivitas mikroba berbeda satu dengan lainnya. Beberapa tanda kerusakan spesifik tersebut adalah : 1. Daging terlihat kusam dan berlendir, disebabkan oleh aktivitas bakteri Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus dan Micrococcus. 2. Daging berwarna kehijau hijauan, disebabkan oleh aktivitas bakteri Lactobacillus, Pseudomonas, dan Leuconostoc. 3. Daging berbau tengik, disebabkan terjadinya penguraian lemak oleh bakteri Pseudomonas dan Achromobacter. 4. Daging berwarna kebiru biruan, disebabkan oleh aktivitas bakteri Pseudomonas sincinea. Kerusakan daging oleh aktivitas mikroba juga dapat menyebabakan penurunan total protein daging. Kandungan protein daging akan dimanfaatkan oleh bakteri untuk tumbuh dan berkembangbiak. Semakin cepat pertumbuhan bakteri, maka semakin cepat pula protein terdenaturasi. Tidak hanya protein, beberapa bekteri mampu mendegradasi beberapa molekul organik lainnya, seperti polisakarida, dan lemak (kolesterol) menjadi unit unit yang lebih sederhana (Buckle et al., 1987). Selain kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri, kerusakan pada daging juga disebabkan oleh kapang dan khamir. Kerusakan akibat kapang, yaitu : 1. Bergetah dan lengket 2. Berambut (putih,dll) Thamnidium chaetocladioides, Mucor inucedo, Rhizopus 3. Bintik hitam Cladosporium herbarum 4. Bintik putih Sporotrichum carnis, Geotrichum 5. Noda noda hijau Penicillium expansum, P. asperulum

6. Dekomposisi lemak kapang penyebab hidrolisis dan oksidasi lemak 7. Bau dan rasa menyimpang Thamnidium Sedangkan kerusakan akibat khamir, yaitu : 1. Permukaan daging berlendir 2. Lipolisis 3. Bau busuk / masam 4. Rasa busuk / masam 5. Diskolorisasi putih, krem, pink, coklat (Buckle et al., 1987).

2.6.2. Ikan Ikan adalah salah satu bahan pangan yang mudah sekali mengalami kebusukan. Berikut adalah ciri ciri kerusakan pada iakn atau ikan yang mulai busuk (Afrianto dan Evy, 1989) : 1. Kulit berwarna suram, pucat, dan berlendir banyak 2. Kulit mulai terlihat mengendur di beberapa tempat tertentu 3. Kulit mudah robek dan warna warna khusus sudah hilang 4. Sisik mudah terlepas dari tubuh 5. Mata tampak suram, tenggelam dan berkerut 6. Insang berwrna coklat suram atau abu-abu dan lamella insang berdempetan 7. Lendir insang keruh dan berbau asam (menusuk hidung) 8. Daging lunak, menandakan rigor mortisnya selesai 9. Daging dan bagian tubuh lain mulai berbau busuk 10. Bila ditekan dengan jari, tampak bekas lekukan 11. Daging mudah terlepas dari tulang 12. Daging lembek dan isi perut sering keluar 13. Daging berwarna kuning kemerahan terutama di sekitar tulang punggung 14. Ikan yang sudah sangat busuk akan mengapung di permukaan air Berikut merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan pada ikan dan ciri-cirinya :

10

1. Ikan bau lumpur / rasa bau lumpur Streptomyces 2. Warna ikan kuning kehijauan Pseudomonas fluorescens 3. Warna ikan kuning Micrococcus 4. Warna ikan merah / pink Sarcina, Micrococcus, Bacilus, Kapang dan Khamir 5. Warna ikan coklat khamir Sporogenous

2.6.3. Sayuran Sayuran merupakan bahan pangan yang sering terkontaminasi oleh tanah dan kotoran. Kontaminsi dapat terjadi selama pemanenan, pengangkutan maupun pemasaran. Selama pemanenan, sayur sering ditempatkan begitu saja di atas tanah yang melekat pada sayuran tersebut. kontaminasi juga dapat berasal dari alas, karung atau keranjang yang digunakan selama pengangkutan dan pemasaran. Mutu sayuran yang digunakan dalam pengolahan pangan sangat menentukan mutu produk akhirnya. Penggunaan sayuran yang terkontaminasi mikroba dalam jumlah tinggi akan menghasilkan produk akhir dengan mutu yang rendah, dan dapat menyebabkan produk tersebut menjadi lebih mudah rusak atau busuk selam penyimpanan. Kerusakan sayuran yang sering terjadi akibat benturan fisik, kehilangan air sehingga layu, serangan serangga, dan serangan mikroba. Sayur sayuran yang mudah rusak misalnya adalah kubis, tomat, wortel, dan lain sebagainya. Tanda tanda kerusakan mikrobiologi pada sayuran antara lain adalah : 1. Busuk air yang disebabkan oleh pertumbuhan beberapa bakteri, ditandai dengan tekstur yang lunak (berair) 2. Perubahan warna yang disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang membentuk spora berwarna hitam, hijau, abu-abu, biru, hijau, pink dan lain-lain 3. Bau alkohol, rasa asam, disebabkan oleh pertumbuhan kamir atau bakteri asam laktat

11

2.7. Media Nutrien Agar Media adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-zat hara (nutrien) yang berguna untuk membiakkan mikroba. Dengan menggunakan bermacammacam media dapat dilakukan isolasi, perbanyakan, pengujian sifat fisiologis dan perhitungan sejumlah mikroba. Supaya mikroba dapat tumbuh baik dalam suatu media, maka medium tersebut harus memenuhi syarat-syarat, antara lain : harus mengandung semua zat hara yang mudah digunakan oleh mikroba, harus mempunyai tekanan osmosis, tegangan permukaan dan pH yang sesuai dengan kebutuhan mikroba yang akan tumbuh, tidak mengandung zat-zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, harus berada dalam keadaan steril sebelum digunakan, agar mikroba yang ditumbuhkan dapat tumbuh dengan baik (Sutedjo, 1991). Plate Count Agar (PCA) digunakan sebagai medium untuk mikroba aerobik dengan inokulasi di atas permukaan. PCA dibuat dengan melarutkan semua bahan (casein enzymic hydrolisate, yeast extract, dextrose, agar) hingga membentuk suspensi 22,5 g/L kemudian disterilisasi pada autoklaf (15 menit pada suhu 121C). Media PCA ini baik untuk pertumbuhan total mikroba (semua jenis mikroba) karena di dalamnya mengandung komposisi casein enzymic hydrolisate yang menyediakan asam amino dan substansi nitrogen komplek lainnya serta ekstrak yeast mensuplai vitamin B kompleks (Ruly, 2008).

2.8. Hitungan Cawan Petri Penghitungan jumlah sel dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya metode hitungan cawan (Total Plate Count), hitungan mikroskopis langsung (Direct Count) dan penghitung Coulter. Cara lain penentuan jumlah sel adalah dengan menyaring sampel dengan saringan membran kemudian daringan tersebut diinkubasi pada permukaan media yang sesuai. Koloni-koloni yang terbentuk berasal dari satu sel tunggal yang dapat hidup. Penentuan massa sel dapat dilakukan dengan beberapa metode. Cara yang paling umum adalah dengan menggunakan nilai kekeruhan suspensi sel. Cara lain dengan mengukur berat kering sel atau filamen sampel dalam suatu volume tertentu. Penentuan dengan

12

cara ini dilakukan dengan lebih dahulu mengendapkan sampel diikuti dengan pencucian, pengeringan dan penimbangan berat (Anonim, 2011). Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel mikroba yang masih hidup pada metode agar, sehingga sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1993). Metode hitungan cawan dapat dibedakan atas dua cara yaitu : 1. Metode tuang (pour plate) 2. Metode permukaan (surface atau spread plate) Pada prinsipnya dalam metode tuang, sejumlah sampel dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian ditambah agar cair steril yang sudah didinginkan (47-50C) dan digoyangkan supaya sampelnya menyebar secara merata. Sedangkan pada pemupukan dengan metode permukaan, terlebih dahulu dibuat agar cawan kemudian sampel yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Kemudian diratakan dengan batang gelas melengkung yang steril. Perhitungan jumlah koloni akan lebih mudah dan cepat jika pengenceran dilakukan secara decimal. Semakin tinggi jumlah mikroba yang terdapat di dalam sample, semakin tinggi pengenceran yang harus dilakukan (Fardiaz, 1992).

13

III.

METODE

3.1. Alat dan Bahan a. Uji Mikrobiologi Ikan dan Daging Sapi Alat yang digunakan adalah swab steril, petridish steril, pipet, tabung reaksi, bulp, pisau, lampu Bunsen, rak tabung reaksi. Bahan yang digunakan adalah ikan serai dan daging sapi yang disimpan di dalam refrigerator selama 2 hari dan freezer selama 7 hari, aquades steril. garam fisiologis (NaCl 0,85 %), medium PCA (Plate Count Agar). b. Uji Mikrobiologi Sayur Alat yang digunakan adalah petridish steril, pipet, Erlenmeyer, lampu Bunsen, Bahan yang digunakan adalah sayur kol dan sawi, alkohol, NaCl 0,85 %, medium PCA. c. Uji Mikrobiologi Bumbu Tradisional Alat yang digunakan timbangan analitik, tabung reaksi, rak tabung reaksi, petridish steril, pipet, bulp, lampu Bunsen, Bahan yang digunakan bumbu bumbu tradisional seperti cabe merah, bawang merah, bawang putih, bumbu asli dan bumbu olahan, NaCl 0,85 %, aquades steril, medium PCA,

3.2. Cara Kerja a. Uji Mikrobiologi Ikan dan Daging Sapi 1. Daging sapi dan ikan yang telah dipotong persegi dengan seluas 4 cm2 (2 cm x 2 cm) dioles menggunakan swab steril pada bagian permukaan dengan cara dioleskan ke kiri dan ke kanan masing masing sebanyak 3 kali. 2. Batang pengoles tersebut direndam dalam 5 ml aquades steril dan diputar putar serta diperas pada dinding tabung untuk melepaskan mikroba yang melekat pada kapas. 3. Dibuat pengenceran sampai 10-3 dalam tabung yang berisi 9 ml larutan NaCl 0,85 %. Diambil 1 ml dari pengenceran 10-2 dan 10-3 kemudian

14

dimasukkan ke dalam petridish steril dan dituangkan medium PCA (pour plate) secara aseptik. 4. Dilakukan 2 kali ulangan (2 petridish/duplo) untuk setiap pengenceran. 5. Setelah agar membeku kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam dan diamati jumlah koloni. 6. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh dengan rumus: Jumlah koloni per 4 cm2 permukaan = 5 x jumlah koloni per petri. Jumlah koloni per cm permukaan = x 5 x jumlah koloni per petri.

b. Uji Mikrobiologi Sayur 1. Daun sayuran dipotong secara aseptik seluas 2 cm x 2,5 cm menggunakan gunting/pinset/pisau yang terlebih dahulu dicelupkan ke dalam alkohol dan dipijarkan. 2. Dicelupkan semua potongan tersebut ke dalam Erlenmeyer berisi 25 NaCl 0,85 %, dikocok sebanyak 25 kali. 3. Dilakukan pemupukan suspensi tersebut sebanyak 1 ml dan 0,1 ml dalam 2 petridish berbeda dan dituangkan medium PCA 4. Setelah agar membeku kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam dan diamati jumlah koloni. 5. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh dengan rumus : Jumlah koloni mikroba per cm2 permukaan =

c. Uji Mikrobiologi Bumbu Tradisional 1. Ditimbang bumbu sebanyak 1 gram lalu masukkan ke dalam 9 ml aquades steril dan dibuat pengenceran sampai 10-4 dalam tabung yang berisi 9 ml larutan NaCl 0,85 %. 2. Diambil 1 ml dari pengenceran 10-3 dan 10-4 lalu dimasukkan ke dalam petridish steril dan dituangkan medium PCA (pour plate).
15

3. Dilakukan 2 kali ulangan (2 petridish/duplo) untuk setiap pengenceran. 4. Diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam dan diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh.

16

IV.

HASIL

Tabel 1. Hasil Pengamatan Uji Mikrobiologi Ikan (Serai) Jumlah Koloni (Per-) U1 Perlakuan 10-2 4 cm2 permu kaan Refrigerator 0,25 x 103 TBUD Permu kaan 0,63 x 102 TBUD 4 cm2 permu kaan 0,13 x 105 0,75 x 10
4

U2 10-3 Permu kaan 0,31 x 104 0,19 x 10


4

10-2 4 cm2 permu kaan 0,25 x 10


3

10-3 4 cm2 permu kaan 0,25 x 10


4

Permu kaan

Permu kaan

0,63 x 10
2

0,63 x 103

Freezer

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Mikrobiologi Daging (Sapi) Jumlah Koloni (Per-) U1 Perlakuan 10-2 4 cm2 permu kaan Refrigerator Freezer Permu kaan 4 cm2 permu kaan 10-3 Permu kaan 4 cm2 permu kaan 0,15 x 104 10-2 Permu kaan 0,38 x 103 4 cm2 permu kaan 0,05 x 105 U2 10-3 Permu kaan 0,13 x 104

17

Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Mikrobiologi Sayur Jumlah Koloni Jenis Sayur 1 ml Sawi Kol 0,05 x 103 0,25 x 101 U1 0,1 ml 0,05 x 103 0,25 x 102 1 ml 0,05 x 102 U2 0,1 ml 0,01 x 104 -

Tabel 4. Hasil Pengamatan Uji Mikrobiologi Bumbu Tradisional Jumlah Koloni Jenis Bumbu 10-3 Bawang Putih Bawang Merah Cabe Merah Bumbu Asli Bumbu Olahan 0,85 x 105 U1 10-4 10-3 U2 10-4 0,03 x 107

0,26 x 106 0,13 x 107 0,75 x 105

0,28 x 107 0,05 x 106 0,06 x 107

0,25 x 106 0,15 x 105 0,15 x 105

0,11 x 107 0,16 x 107 0,16 x 107

18

V.

PEMBAHASAN

Pada praktikum Mikrobiologi Pangan kali ini, dilakukan uji mikrobiologi beberapa sampel bahan makanan yaitu daging sapi, ikan serai, sayuran kol dan sawi, serta bumbu tradisional dengan beberapa perlakuan dan pengenceran dengan metode hitungan cawan. Data yang diperoleh tentang jumlah koloni yang tumbuh pada masing masing sampel kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel. Pada uji mikrobiologi dengan menggunakan sampel daging dan ikan yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 2 hari dan freezer selama 7 hari, digunakan media PCA (Plate Count Agar). Pada media PCA biasanya diguanakan untuk menumbuhkan bakteri, kapang dan khamir sehingga dapat dihitun pertumbuhan jumlah mikroba dalam sampel pada proses perhitungan cawan. Pada percobaan kali ini dilakukan pengenceran hingga 10-3. Pada tabel 1 hasil perhitungan jumlah mikoba pada ikan menunjukkan jumlah yang berbeda pada kedua perlakuan suhu penyimpanan yang diberikan dan tingkat pengenceran yang berbeda. Pada ikan yang disimpan pada refrigerator selama 2 hari pada ulangan satu (U1) memiliki jumlah mikroorganisme yang lebih sedikit pada pengenceran 10-2 dari pada jumlah mikroorganisme pada pengenceran 10-3. Sedangkan pada ulangan dua (U2) tidak tumbuh atau kontam. Begitu pula pada ikan yang disimpan pada freezer selama 7 hari pada ulangan satu (U1) memiliki jumlah mikroorganisme yang Terlalu Banyak Untuk Dihitung (TBUD) pada pengenceran 10-2 dari pada jumlah mikroorganisme pada pengenceran 10-3. Sedangkan pada ulangan dua (U2) jumlah mikoba yang tumbuh tidak terlalu banyak. Jumlah mikroba yang tumbuh pada kedua perlakuan suhu penyimpanan yang diberikan terdapat perbedaan, dimana jumlah mikroba yang tumbuh pada ikan yang disimpan di dalam refrigerator lebih banyak atau lebih besar dari pada ikan yang disimpan di dalam freezer. Jumlah mikroba yang terdapat pada ikan yang di dalam refrigerator adalah 0,31 x 104 cfu/cm2, sedangkan jumlah mikroba yang terdapat pada ikan yang di dalam freezer adalah 0,19 x 104 cfu/cm2. Pada tabel 2 hasil perhitungan jumlah mikoba pada daging sapi menunjukkan jumlah yang berbeda pada kedua perlakuan suhu penyimpanan yang diberikan dan tingkat pengenceran yang berbeda. Pada daging yang disimpan pada

19

refrigerator selama 2 hari pada ulangan satu (U1) dan ulangan dua (U2) mikroba tidak tumbuh dan kontam. Hal ini dapat terjadi dikarenakan cara penyimpanan yang tidak tepat dan terdapat kesalahan pada saat melakukan praktikum yang tidak bekerja secara aseptis sehingga menyebabkan kontaminasi pada sampel tersebut. Sedangkan pada sampel daging yang disimpan pada freezer selama 7 hari pada ulangan satu (U1) mikroba juga tidak tumbuh dan mengalami kontaminasi, pada ulangan dua (U2) jumlah mikroba pada pengenceran 10-2 sebanyak 0,38 x 103 cfu/cm2 dan pada pengenceran 10-3 sebanyak 0,13 x 104 cfu/cm2. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme baik pada ikan maupun daging sapi.Jumlah mikroba yang terdapat pada daging sapi lebih banyak atau lebih besar daripada jumlah mikroba yang terdapat pada ikan. Hal tersebut dapat terjadi karena jumlah kandungan nutrisi atau gizi seperti protein dan lemak pada daging lebih tinggi daripada ikan, sehingga mikroba lebih banyak mudah tumbuh dan

berkembangbiak terdapat pada daging sapi tersebut. Pada praktikum ini jumlah mikroba pada ikan dan daging yang disimpan pada freezer memiliki jumlah mikroba yang lebih banyak dibandingkan yang disimpan di dalam refrigerator. Akan teteapi, seharusnya ikan dan daging sapi yang disimpan pada freezer memiliki jumlah mikroba yang lebih sedikit dibandingkan yang disimpan di dalam refrigerator. Hal ini dikarenakan suhu pendinginan dan pembekuan dapat mempengaruhi metabolism suatu

mikroorganisme. Suhu rendah dapat menyebabkan denaturasi protein dan penurunan aktivitas enzim mikroorganisme (Dincer, 1997). Suhu pada refrigerator biasanya berkisar antara 2 sampai 5 C sedangkan suhu freezer biasanya berkisar antara 18 C. Hal inilah yang menyebabkan beberapa mikroba dalam kelompok psikrofilik masih dapat hidup dalam refrigerator. Lamanya waktu penyimpanan juga mempengaruhi jumlah mikroba yang tumbuh. Semakin lama waktu penyimpanan, maka jumlah mikroorganisme pada ikan dan daging akan bertambah. Hal ini disebabkan karena dengan waktu penyimpanan yang lama maka mikroorganisme akan menfaatkannya untuk

20

berkembang biak, terutama jika didukung oleh media yang kaya akan nutrient. Oleh sebab itu, daging dan ikan tidak boleh disimpan pada kulkas lebih dari tiga sampai lima hari. Selain karena kerusakan yang disebabkan mikroba, sampel dapat rusak karena mengalami hidrolisis, oksidasi, penurunan kadar air, dan lain sebagainya. Penyimpanan ikan atau daging sapi dalam waktu yang lebih lama, harus dilakukan pada kondisi yang benar benar beku agar kadar air dalam ikan atau daging dapat berkurang dan aktivitas enzim juga dapat dihentikan. Hal ini mengakibatkan waktu simpan lebih lama meskipun kandungan gizi dan tekstur pada daging atau ikan tetap rusak. Pada uji mikrobiologi sayur digunakan dua sampel sayur yang berbeda yaitu sawi dan kol. Uji mikroorganisme pada sayuran merupakan sauatu hal penting dalam suatu industry pangan karena merupakan usaha atau tindakan yang dilakukan untuk mencegah perpindahan mikroorganisme pada bahan pangan lain dan hal ini juga sebagai parameter kualitas terhadap produk akhir. Sumber sumber kontaminasi biasanya berasal dari lingkungan, peralatan pengolahan, pekerja, sampah, serangga maupun udara. Data yang diperoleh diolah dan dibuat dalam tabel 3. Pada hasil menunjukkan bahwa pada sampel sayur sawi dalam 1 ml sampel pada U1 diperoleh jumlah mikroba sebanyak 0,05 x 103 dan pada U2 sebanyak 0,05 x 102. Sedangkan dalam 0,1 ml sampel pada U1 diperoleh jumlah mikroba sebanyak 0,05 x 103 dan pada U2 sebanyak 0,01 x 104. Pada sampel sayur kol dalam 1 ml sampel pada U1 diperoleh jumlah mikroba sebanyak 0,25 x 101 dan dalam 0,1 ml sampel sebanyak 0,25 x 102. Sedangkan pada U2 mikroba tidak tumbuh dan mengalami kontaminasi. Jumlah mikroba yang terdapat pada sayur sawi lebih banyak daripada jumlah mikroba yang terdapat pada sayur kol. Oleh sebab itu, sayur sawi biasanya lebih mudah busuk daripada kol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua sayuran tersebut telah mengalami kontaminasi oleh mikroba. Jumlah mikroba yang cukup tinggi pada sayuran apabila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit. Mengkonsumsi sayuran dengan perlakuan yang tidak hygiene akan menyebabkan mikroba yang terdapat dalam sayur masuk ke dalam tubuh dan akan menyebabkan penyakit.

21

Pada uji mikrobiologi bumbu tradisional digunakan lima sampel bumbu, yaitu bawang merah, bawang putih, cabai merah, bumbu asli dan bumbu olahan. Pengenceran dilakukan hingga 10-4. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh jumlah mikroba yang terdapat pada masing masing sampel yaitu pada pengenceran 10-3 bawang putih sebanyak 0,85 x 105, cabe merah sebanyak 0,26 x 106, bumbu asli sebanyak 0,13 x 107, bumbu olahan 0,75 x 105 dan pada bawang merah tidak tumbuh atau kontam. Pada pengenceran 10-4, jumlah mikroba bawang putih sebanyak 0,03 x 107, cabe merah sebanyak 0,28 x 107, bumbu asli sebanyak 0,05 x 106, bumbu olahan 0,06 x 107 dan pada bawang merah juga tidak tumbuh atau kontam. Kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa bumbu bumbu tradisional yang digunakan sebagai sampel telah mengalami kontaminasi mikroorganisme dengan jumlah yang berbeda beda untuk setiap sampelnya. Keberadaan mikroba yang terdapat pada sampel bumbu tersebut dapat disebabkan karena cara pengolahan maupun penyimpanan yang salah dan tidak tepat, sehngga mudah terkontaminasi oleh mikroba. Bumbu tradisional yang terkontaminasi oleh mikroba dapat menyebabkan penyakit bagi konsumen. Terutama bumbu bumbu giling siap saji yang banyak terdapat di pasar tradisional. Oleh sebab itu hendaknya kita lebih berhati-hati dalam menggunakan atau mengkonsumsi produk bahan pangan tersebut.

22

VI.

KESIMPULAN

1. Pada uji mikrobiologi ikan dan daging sapi, perbedaan suhu penyimpanan mempengaruhi jumlah mikroorganisme dimana semakin rendah suhu penyimpanan maka jumlah mikroorganisme akan semakin sedikit. 2. Pada uji mikrobiologi ikan dan daging sapi, waktu penyimpanan juga mempengaruhi jumlah mikroorganisme pada daging dan ikan, dimana semakin lama waktu penyimpanan maka jumlah mikroorganisme akan semakin banyak. 3. Pada uji mikrobiologi ikan dan daging sapi, jumlah mikroba yang terdapat pada daging sapi lebih banyak daripada jumlah mikroba yang terdapat pada ikan. Hal ini dikarenakan jumlah kandungan protein dan nutrient pada daging sapi lebih tinggi daripada ikan, sehingga mikroba lebih mudah dan cepet tumbuh serta berkembang baik. 4. Pada uji mikrobiologi sayur, jumlah mikroba yang terdapat pada sawi lebih banyak daripada jumlah mikroa yang terdapat pada kol. Hal tersebut mengakibatkan sawi mudah busuk daripada kol. 5. Pada uji mikrobiologi bumbu tradisional diketahui bahwa bumbu bumbu tradisional yang banyak dijual di pasar tradisional telah terkontaminasi oleh mikroba. Hal tersebut dapat terjadi karena cara pengolahan yang kurang tepat dan tempat penyimpanan yang tidak tepat, sehingga mudah terkontaminasi oleh banyak mikroba. 6. Keberadaan mikroorganisme dapat diindikasikan sebagai kebusukan pangan yang merupakan salah satu standar bahwa suatu produk masih dapat dikonsumsi atau tidak.

23

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Eddy dan Evy Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta : Kanisisus. Dwijoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Fardiaz, S.1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia. Jakarta. Hastuti, Utami Sri. 2008. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Universitas Negeri Malang. Malang. Jeneng, Tarigan. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Universitas Indonesia. Jakarta. Noviar, Darkuni. 2001. Mikrobiologi. JICA. Malang. Ruly. 2008. Media Pertumbuhan Mikroorganisme. http://dunia-

mikro.blogspot.com/2008/08/media-pertumbuhan-mikroorganisme.html. [diakses tanggal 31 Mei 2013]. Sofa. 2008. Sejarah Mikrobiologi dan

Perkembangannya. http://massofa.wordpress.com [diakses tanggal 30 Mei 2013]. Suharjono, 2006. Komunitas Kapang Tanah di Lahan Kritis Berkapur DAS Brantas Pada Musim Kemarau. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Brawijaya. Malang. Sutedjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

24

25

You might also like