You are on page 1of 39

HAMKA : "Ketika Ulama Tidak Bisa Dibeli" Ditulis ulang : Muhammad Ilham (dikutip dari buku Mengenang 100

tahun HAMKA)

Surat itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April,Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI). Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri. Kenapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut upacara pokok Natal, isinya mengharapkan umat Islam mengikuti meskipun

tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar, katanya. Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa

tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya bocornya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya, kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI. Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh. Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut . Jadi

sayalah yang mesti berhenti, kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya kesalahpahaman antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orangorang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan? kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh. HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahliahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar. Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang kebakaran jenggot. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya Panji Masyarat pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi

disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama. Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran ulama yang tidak bisa dibeli. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.

Tak ada lagi Buya Hamka. orang tak akan menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada pengajian subuh lewat RRI untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat dikenal itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya. Ulama sangat penting itu berpulang di hari baik bulan baik, hari Jumat 21 Ramadhan (24 Juli), ketika bulan puasa masuk tahap ketiga atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun dari sembahyang Jumat. Entah apa yang menggertak mereka itu: dalam waktu hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul 10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul 14.30), ribuan para pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir. Hamka memang sudah hampir tidak berarti golongan agama. Juga tidak

hanya seorang kiai. Barangkali memang inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham hidup di luar masjid. Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah, HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. Nama ibuku Shafiyah, katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. Beliau meninggal pada usia masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang putra. Lima dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua. Ibuku cantik! . . . la sangat memuja ibunya sebagaimana juga istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia kagumi, hanya sebentarsebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya meski dengan pengaruh sangat kuat. Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat gelar yang sama di tahun 1958 dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib yang masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang, bagi siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa dan berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan, lari ke Mekah dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri mengakui sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan perajuk, juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis . . . Memang sangat manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan ayahnya: mengganti kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan ayah neneknya.

Tapi bahwa ia tak seperti mereka, terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka termasuk ulama yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam untuk menggugah jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal pokok roman-romannya yang memeras air mata: Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya,Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan. Hamka bukan sekedar ulama yang bersastra. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra itu makin mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun tugas-tugasnya yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir Qurannya yang 30 jilid, yang diberinya judul dengan nama masjid yang dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan itu tidak lahir dalam wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa caranya bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian . Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. mudah memaafkan dan menyesuaikan diri, terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga Bung Karno Nyonya Fatmawati terutama yang sangat baik sampai akhir hayat. Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . Dan panggilan itu pun datang kini.

Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar, komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia sekarang ini mengakui: Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.

Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.

Kepada Saudaraku M. Natsir Meskipun bersilang keris di leher Berkilat pedang di hadapan matamu Namun yang benar kau sebut juga benar Cita Muhammad biarlah lahir Bongkar apinya sampai bertemu Hidangkan di atas persada nusa Jibril berdiri sebelah kananmu Mikail berdiri sebelah kiri Lindungan Ilahi memberimu tenaga Suka dan duka kita hadapi Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama Untuk menuntut Ridha Ilahi Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu! (dikutip dari buku Mengenang 100 tahun HAMKA)

Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul Kepada saudaraku M Natsir.

DAFTAR Saudaraku Hamka, Lama, suaramu tak kudengar lagi Lama Kadang-kadang, Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur, Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut, Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu, Yang pernah kau hadiahkan kepadaku, Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam Daftar. Tiba-tiba, Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan, Rayuan umbuk dan umbai silih berganti, Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu, Yang biasa bersenandung itu, Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak, Darahku berdebar, Air mataku menyenak, Girang, diliputi syukur Pancangkan ! Pancangkan olehmu, wahai Bilal ! Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid, Walau karihal kafirun Berjuta kawan sefaham bersiap masuk Kedalam daftarmu * Saudaramu, Tempat, 23 Mei 1959

Melihat HAMKA dari Tiga Variabel Dalam tradisi ilmu antropologi dan sosiologi dikenal adanya

pendekatan approach model (model penghampiran), menghampiri seorang tokoh dalam konteks "kehadirannya". Bila hal ini dilakukan terhadap figur seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), maka pertanyaan yang mengemuka adalah : "Seandainya HAMKA bukan anak Dr.H. Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Rasul, apakah ia bisakita pahami seperti sekarang ini?". Mengutip David Learner yang memperkenalkan pendekatan ini, maka asumsi dasarnya tidak hanya terbatas pada terdapatnya hubungan genealogis antara anak dan ayah yang memiliki pengaruh tertentu terhadap perkembangan seseorang. Paling tidak, dari "garis keturunan" ayahnya, maka HAMKA berasal dari keturunan "menengah". Konsep "menengah" tidak dipahami sebagai suatu keluarga atau masyarakat yang berasal dari strata sosial ekonomi

(sebagaimana halnya yang dipahami dalam sosiologi sebagai sektor primer), tapi untuk kasus HAMKA lebih kepada sektor "jasa" (tertier). Dengan demikian, maka HAMKA agak berbeda dengan anak-anak yang lahir pada waktu itu. Lingkungan HAMKA kala ia lahir dan tumbuh berkembang memungkinkan ia untuk memaksimalkannya secara kreatif dan optimal. Perkembangan inilah yang kemudian menuntun perkembangan pribadinya hingga tua. "Faktor Anak" dari Inyiak Rasul merupakan variabel penting lainnya dalam kehidupan HAMKA. Sang ayah, Inyiak Rasul, merupakan sistem lingkungan dimana sang Ayah menjadi faktor pembentuk lingkungan tertentu yang sangat mempengaruhi kesadaran intelektual HAMKA dan masyarakat sekitarnya, sebagaimana yang ditulis HAMKA dalam bukunya yang "unik-fenomenal", Ayahku. Kehadiran Inyiak Rasul dalam masyarakat Minangkabau kala itu telah melahirkan dan menstimulus lahirnya dinamika-dinamika tertentu. Konflik-konflik pemikiran "kaum muda-kaum tua" - sebagaimana yang dikatakan oleh Taufik Abdullah dan Deliar Noer - hampir secara keseluruhan dimotori oleh ayah HAMKA. Dalam situasi dan peran sosial ayahnya seperti inilah, HAMKA dibesarkan. Dan sudah barang tentu, bila Inyiak Rasul menginginkan HAMKA, anaknya, menjadi orang besar pula. Inyiak Rasul menginginkan HAMKA "menghampiri" peran dan status sosialnya. Karena itulah, dalam buku-nya Kenang-Kenangan, HAMKA mendeskripsikan "kegirangan" ayahnya ketika HAMKA lahir. Segera setelah HAMKA lahir dan mendengar tangisan melengking, Inyiak Rasul terkejut dari pembaringan dan serentak berkata : ..... "Sepuluh Tahun!!". Ini kemudian membuat nenek HAMKA bertanya pada Inyiak Rasul, "Apa maksud 10 tahun itu guru mengaji ?" (nampaknya, mertua Inyiak Rasul, orang tua dari ibu HAMKA memanggil Inyiak Rasul dengan "guru-mengaji", bukan ananda atau Angku panggilan "guru mengaji" merupakan panggilan penghormatan yang beraurakan profesional). Inyiak Rasul menjawab bahwa HAMKA dalam umur

10 tahun diharapkan dapat belajar di Mekkah. Mekkah kala itu menjadi "kiblat" prestisius pencerahan intelektual, khususnya bagi orang Minangkabau. Harapan ini dikemukakan oleh Inyiak Rasul agar HAMKA dapat mengikuti jejak intelektual "leluhurnya" yang dikenal alim. Dan memang, meskipun HAMKA dalam usia 10 tahun tak belajar di Mekkah, tapi oleh ayahnya, HAMKA di "godok" di Madrasah Thawalib", suatu institusi dan sistem pendidikan yang tersohor kala itu di Nusantara (bahkan Asia Tenggara). Madrasah Thawalib merupakan eksperimen terbaik dari Inyiak Rasul. Apabila situasi sang ayah merupakan salah satu faktor dalam membentuk perkembangan intelektual HAMKA, maka faktor lainnya adalah lembaga asimilasi "adat-Islam". Lembaga ini mempercepat atau meletakkan dasar-dasar situasional bagi HAMKA untuk berkembang. Islam yang datang dari Aceh ke Minangkabau (via-Ulakan), tidaklah menghapus adat istiadat yang telah berkembang sebelumnya. Bahkan menurut HAMKA (termasuk Tan Malaka), adat Minangkabau yang disusun oleh Islam atau dipakai oleh Islam untuk melancarkan kehendaknya, mengatur masyarakat Minangkabau dengan alat yang telah tersedia padanya. Termasuk didalamnya mekanisme pengaturan harta pusaka suku yang turun temurun menurut jalur keibuan (matriarkal). Oleh karena itu, HAMKA menilai bahwa Islam di Minangkabau bukanlah tempelan dalam adat, melainkan suatu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan Minangkabau. Dalam situasi "adat-Islam" yang telah

terasimilasikan dalam bentuknya yang sedemikian rupa-lah yang menyebabkan proses sosialisasi nilai-nilai Islam berjalan lancar kedalam diri HAMKA. Sebab, disamping masyarakat telah bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, juga dalam masyarakat semacam itulah akan tumbuh berkembangnya dengan potensial lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam jumlah yang sangat besar menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil. Peran sosial

serta harapan ayah HAMKA terhadap dirinya diperkuat dengan situasi kemasyarakatan semacam itu. Namun, dalam konteks pendekatan "penghampiran", maka dua variabel tersebut diatas belum cukup melahirkan seorang HAMKA. Faktor-faktor lain juga harus diperhitungkan. Sebagaimana Rudolf Mrazek dan Harry Poetsze memperhatikan faktor determinisme geografis dan kampung halaman lahirnya Tan Malaka dalam membentuk kepribadian Tan Malaka, maka situasi kampung halaman tempat dimana HAMKA dilahirkan juga menjadi variabel yang cukup berpengaruh. Hal ini terefleksi dalam buku Kenang-Kenangan Jilid I. HAMKA, dalam buku ini, mengakui betapa kampung halamannya mempengaruhi pembentukan pribadinya. HAMKA yang anak ulama besarini dilahirkan di tepi danau Maninjau, di Tanah Sirah Sungai Batang. Alam yang indah, sejuk dan inspiratif ini memberikan dan merangsang daya imaginasi seorang HAMKA. HAMKA menulis : "Tidak mengapa ! anak itu pun duduk dengan sabarnya memandang danau, memandang biduk, memandang awan, memandang sawah yang baru dibajak di seberang lubuk dihadapan rumahnya, mendengar kicau murai, kokok ayam berderai". "Anak" dalam penceritaan diatas tak lain tak bukan adalah personifikasi HAMKA sendiri, ketika mengalami kesendirian ditinggal pengasuhnya, sementara neneknya (yang biasa dipanggilnya dengan "anduang") pergi ke sawah, sedangkan ayah HAMKA (Inyiak Rasul) dan ibunya ada di Padang Panjang, memenuhi permintaan masyarakat untuk mengajar disana. Ketiga variabel diataslah yang mempengaruhi perkembangan intelektual dan daya imaginasi serta kepribadian HAMKA. Untuk

"menghampiri" ketokohan HAMKA, variabel-variable ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling berinteraksi dan memperkuat satu sama lain. Dan HAMKA berada "ditengah-tengahnya". Peran sosial dan harapan Inyiak Rasul bertemu dengan lingkungan ke-Islaman yang telah melembaga dan terintegrasi dalam

masyarakat.

Sementara

lingkungan

alam

memberikan

kontribusi

menumbuhkembangkan daya imaginasinya serta memperkuat daya kreasi dan penerimaannya terhadap peran sosial ayahnya yang ulama besar itu.

Dinamika Pembiayaan Lembaga Pendidikan Surau Islam Minangkabau Oleh : Firdaus St. Mamad & Muhammad Ilham Pada awalnya surau merupakan tempat mengajar murid-murid untuk memperoleh pengetahuan dasar keagamaan. Surau sebagai lembaga pendidikan Islam pertama kali didirikan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Syekh Burhanuddin mendirikan surau bukan hanya untuk tempat shalat saja, tetapi juga untuk mengajarkan Al-Qur'an, Hadis, Tarikat Satariyah. Syekh Burhanuddin terkenal dengan ilmunya yang dalam dan bijaksana dalam menyampaikan agama kepada masyarakat. Syekh Burhanuddin memperioritaskan pendidikan agama terhadap anak-anak, karena generasi ini dianggap berpotensi untuk pengembangan jangka panjang (Azyumardi Azra, 1985 : 29). Syekh Burhanuddin memakai berbagai metode pembelajaran di suraunya. Ada metode yang menarik dilakukannya, sebagaimana yang tulis pada kitap Muballighul Islam sewaktu Syekh Burhanuddin mengajarkan Basmallah pada permainan tondih dengan damar keras, sebagai berikut: "Adapun beliau Syekh Burhanuddin turut pula dalam permainan itu, tetapi tatkala memulai menggandakan damar itu, beliau membaca doanya, oleh sebab itu selalu beliau beroleh kemenangan. Melihat kejadian itu maka bertanyalah anak-anak kepada beliau, ya Tuan Syekh, apakah doanya yang tuan baca tatkala menggandakan gundu damar itu, bolehkah kami menuntut doanya. Boleh saja kata Syekh

Burhanuddin. Sebentar itu beliau ajarkanlah doa itu Bismillah, dengan tolong Allah. Itulah yang mula beliau ajarkan kepada anak-anak itu. Yang membaca doa itu menang pula, kemudian beliau sambung pula sekerat lagi yaitu ar-Rahmanir Rahim. Begitulah caranya Syekh Burhanuddin memberikan pelajaran kepada anak-anak itu dengan mencampuri permainan mereka pada awalnya dan mengajarkan doa dengan lunak lembutnya perkataan beliau dan dengan jalan berangsur-angsur, begitu juga terhadap tingkah laku dan budi pekerti anak-anak itu beliau rubah sedikit demi sedikit, akhirnya dengan tidak disadarinya, mereka menjadi penganut agama Islam yang kuat dan menjadi ahli dakwah kepada ibu bapak mereka masing-masing (Duski Samad, 2003 : 12-15).

Dari informasi ini dapat kita ketahui bahwa Syekh Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam secara lemah lembut, persuasif, melalui pendekatan socio-cultural, tidak dengan kekerasan. Ia memberikan nilai-nilai Islam terhadap permaianan anak-anak dan remaja. Hal ini membuat orang tertarik untuk masuk Islam dan belajar kepadanya. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi penyiar agama Islam. Kemana saja mereka pergi, ke tempat perhelatan, tempat jual beli selalu mereka menyiarkan agama Islam. Termasuk di antara muridnya yang berperan besar dalam mengembangkan surau sebagai lembaga pendidikan adalah empat orang Tuanku yang terkenal dengan sebutan Urang Ampek Angkek Oleh karena itu bertambah ramailah anak-anak diserahkan orang tua mereka belajar ke surau Syekh Burhanuddin, tidak hanya anak-anak Tanjung Medan saja, bahkan berdatangan dari kampungkampung di luar dari Tanjung Medan. Lama- kelamaan surau Syekh Burhanuddin ini ramai dikunjungi oleh para pemuda berbagai nagari di Minangkabau ini. Syekh Burhanuddin di samping mengajarkan ilmu-

ilmu di atas, juga mengajarkan tarekat Satariyah. Melalui pendekatan tarekat Satariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan berbagai pendekatan dan kesederhanaan syekh menyampaikan ajaran Islam kepada muridnya. Pada tahap awal Syekh Burhanuddin langsung menyampaikan pelajaran kepada muridnya, tetapi setelah muridnya bertambah banyak syekh mengangkat muridnya yang senior sebagai guru tuo dan murid yang pintar membantunya (guru mudo). Tugas guru tuo ini untuk memberi pelajaran kepada murid-murid secara terperinci setelah syekh menyampaikan pelajaran secara umum dan guru tuo sekaligus mengawasi murid-murid dan memotivasiny untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hafalan mereka terhadap pelajaran. Sebelum guru tuo ini betul-betul bisa mandiri, dia dilatih untuk membimbing muridmurid pada sebuah surau di sekitar surau induk tersebut. Setelah dia berhasil mandiri baru dia diangkat sebagai Tuanku. Setelah itu baru dia dibolehkan kembali ke kampung halamannya. Tuanku ini nanti mendidikan surau pula di kampung halamannya, maka berkembang Islam dan ajaran tarekat Satariyah di Minangkabau ini (Duski Samad, 2003 : 19). Sampai sekarang kita masih melihat banyak pengikut ajaran tarekat Satariyah, mereka tersebar di berbagai wilayah Sumatera Barat. Di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang terkenal adalah Syekh Idris, Syekh Abdul Rahman, Syekh Chairuddin, Syekh Jalaluddin, Syekh Adul Muksin, Syekh Hasan, Syekh Chalidin, Syekh Habibullah, Syekh Sultan Khusa'I, Syekh Djakfar, Syekh Muhammad Sani, Syekh Bosai dan Tuanku Bermawi (Firdaus dkk., 2000 : 27-39).

Di sini dapat terlihat keinginan untuk melahirkan seorang guru pada era ini sudah ada, dimana murid-murid yang agak senior (telah menamatkan ilmu fiqh dan tafsir) diangkat sebagai guru bantu (kader)

pada surau tersebut dalam jangka waktu tertentu. Apabila guru bantu tersebut dianggap mampu mandiri, baik dalam penguasaan materi ataupun memecahkan masalah yang terdapat dalam sebuah kitab, maka ia kemudian diangkat menjadi guru muda (engku mudo), kemudian guru tuo dan kemudian tuanku. Di sini baru dia memiliki otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama pada murid-muridnya. Proses ini berlangsung cukup lama. Setelah dia mempunyai otoritas penuh untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama barulah dia dibolehkan pulang ke kampung metode halamannya pendidikan untuk mendirikan surau dan baru. Apabila kelemahan. dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya surau memiliki kelebihan Kelebihannya, pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan. Kelemahannya, kemampuan dalam memahami dan daya analisis kritis siswa terhadap teks kurang. Barang kali di sini letak kekeliruan dalam metode pendidika, sehingga mereka banyak yang membaca dan menghafal isi suatu kitab, tetapi dia tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya. Dalam mengajarkan ilmu keagamaan di surau, guru menggunakan metode sorogan dan pendidikan halaqah . Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih diseputar belajar huruf hijaiyah dan membaca al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ke-imanan, akhlak dan ibadat. Pelaksanaan pendidikan di surau pada umumnya dilaksanakan pada malam hari (Deliar Noer, 1983 : 95). Lama pendidikan pada masing-masing jenjang tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi apabila dia bisa menguasai materi-materi yang diajarkan pada tingkat pertama dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari al-Qur'an sebanyak dua atau tiga kali baru ia berhenti dari pengajian al-Qur'an.

Setelah menamatkan kedua jenis pendidikan di atas, kemudian siswa diperkenalkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, yaitu pengajian kitab. Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pengajaran pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode mengajarnya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan ini biasanya dilakukan pada siang dan malam hari. Referensi yang dipakai oleh para guru, pada mulanya mengacu pada kitab tertentu. Setelah para ulama Minangkabau kembali dari timur Tengah baru berbagai referensi digunakan. Hal ini disebabkan karena pada tahap awal, susah mendapatkan kitab-kitab Arab tersebut, baru setelah para ulama kembali dari Timur Tengah mereka membawa kitab-kitab baru dari Arab, Mesir dan sebagaiya. Surau setelah berubah menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam dan tarekat, maka surau terus berkembang dengan pesat. Setiap ulama di Minangkanbau memiliki surau tersendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan dan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebioh dari itu menunjukan bentuk tarekat yang diatur oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau. Pada era ini surau susah membedakan antara tempat praktek tarekat dengan surau sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman.

Di Minangkabau ajaran tarekat ini mempunyai daya tarik tersendiri, seperti kesederhanaan pengikutnya, pendekatannya persuasif (tidak dengan kekerasan), gurunya banyak yang "keramat", sehingga tarekat mendapat tempat di hati masyarakat. Walaupun demikian tarekat juga mempunyai kelemahan, seperti ada yang tidak melarang praktik-praktik singkretis yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Seperti pelaksanaan adat yang bercampur baur dengan khurafat dan bid'ah. Contohnya menyabung ayam, berjudi, memakar kemenyan waktu berdoa, percaya pada ajimat dan sebagainya. Akan tetapi ada juga guru tarekat yang melarang perbuatan yang bertentangan dengan agama, sering dilakukan oleh kebiasaan orang Minangkabau seperti berjudi, minum tuak dan sebagainya. Guru tarekat tersebut adalah Syekh Abdur Rahman dari surau Batu Hampar, Payakumbuh. Syekh Abdur Rahman berupaya menyadarkan masyarakat dengan memakai metode persuasif, yakni dengan bersama-sama para ulama, pemuka adat untuk mengajak masyarakat meninggalkan praktek adat yang bercampur dengan khurafat dan bid'ah. Dengan cara ini dia, berhasil menyadarkan masyarakat. Keberhasilan ini membuat surau yang didirikan oleh Syekh Abdur Rahman menjadi ramai dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai daerah, bahkan tidak hanya masyarakat Minangkabau saja yang belajar di sini, tetapi juga dari Jambi, Palembang, Bangka dan sebagainya. Meskipun Syekh Abdur Rahman berhasil menyadarkan masyarakat di daerah Payakumbuh, tetapi di daerah Agam, malah sebaliknya (Sanusi Lathif, 1988 : 58-61). Tuanku Nan Tuo dengan murid-muridnya yang punya otoritas keilmuan figh, lebih menekankan agar syariat harus diamalkan oleh masyarakat yang sudah beragama Islam. Masyarakat yang sudah mengkristal kebiasaan menyabung ayam, berjudi, merampok, mencuri dan sebagainya, sulit untuk disadarkan bahkan mereka melakukan protes dengan berbuat sewenang-wenang

terhadap yang dilarang agama tersebut. Hal inilah yang membuat Tuanku Nan Tuo melakukan gerakan pemurnian, membersihkan masyarakat dari khurafat, tahayul dan bid'ah tersebut dan mengajarkan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

Sikap antara kaum adat yang ingin mempertahankan tradisi lamanya yang khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis dengan sikap para ulama yang ingin membersihkan amalan masyarakat dari khurafat, bid'ah, tahayul dan singkretis ini menimbulkan polemik keagamaan yang lama kelamaan semakin meruncing, terutama sekembalinya para ulama Minangkabau dari Mekkah pada awal abad ke 19 M. yaitu Haji Sumaniak, Haji Miskin dan Haji Piobang.Polemik ini semakin mengkristal, sehingga para ulama yang ingin memurnikan ajaran Islam memakai atribut pakaian putih dan kaum adat dan termasuk ulama yang tetap mempertahankan adat yang bercampur dengan khurafat, tahayul, bid'ah dan singkritis memakai pakaian hitam-hitam. Sikap-sikap ini yang memicu munculnya gerakan Padri.

Gerakan Padri, merupakan pergerakan keagamaan yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi. Pada mulanya gerakan Padri ini -yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo - ingin menerapkan syari'at Islam secara murni, tetapi mendapat reaksi oleh kaum adat. Ini membuat Tuanku Nan Tuo beserta murid-muridnya menjalankan dakwahnya dengan keras bahkan mereka turun ke masyarakat untuk melarang orang melakukan judi, menyabung ayam, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan datangnya 3 orang haji dari Mekkah pada tahun 1803 yang melihat bagaimana kaum Wahabi dalam memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan perbuatan tahayul, khurafat dan bid'ah tersebut. Dengan membawa semangat

pembaharuan dan pemurnian yang dibawa oleh Wahabi ini, mereka berupaya untuk mengikis habis khurafat, bid'ah dan tahayul dari masyarakat Minangkabau. Upaya ini dilakukan baik melalui pelaksanaan pendidikan salaf di surau-surau, maupun langsung berdebat secara frontal dengan kaum adat. Upaya dakwah yang demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari kaum adat yang berfikiran ortodoks. Schrieke membantah bahwa gerakan Padri itu sama dengan gerakan Wahabi. Dia menjelakan bahwa gerakan Padri menentang lembaga-lembaga sosial yang sudah ada sejak dulu. Menurutnya kaum Padri ingin menerapkan hukum Islam dan warisan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menyebarluaskan ajaran-ajarannya dengan "kekerasan".

Pendapat penulis, memang gerakan Padri tidak sama dengan gerakan Wahabi, tetapi secara tidak langsung pengaruh dari paham Wahabi itu bisa terjadi melalui tiga orang haji (H. Miskin, Piobang dan Sumaniak). Pengaruh dari dalam juga sangat berarti dalam gerakan ini, seperti di surau Tunku Nan Tuo lebih menekankan pengajaran fiqh (hukum Islam). Jadi keinginan untuk menjalankan syariat secara benar itu berpengaruh kepada pikiran murid-murid Tunku Nan Tuo. Jadi pertermuan antara faktor dari dalam (otoritas keilmuan fiqh) dan faktor dari luar (paham Wahabi) membuat gerakan Padri menjadi aktif (B.O.J Schrieke, 1973 : 60-61). Terbentuknya gerakan Padri ini, setelah Tuanku Nan Renceh bergabung dengan Tuanku Nan Tuo dan H. Miskin serta para ulama yang sepaham dengan keinginan melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam dan ingin menerapkan hukum Islam di masyarakat. Akan tetapi gerakan ini setelah mendapat dukungan dari Harimau Nan Salapan, semakin berani. Bahkan mereka melakukan pembakaran terhadap kampung yang masyarakatnya tidak mau menerapkan hukum Islam dan

meninggalkan kebiasaan berjudi, mengadu ayam dan sebaginya. Hal ini membuat Tuanku Nan Tuo kurang simpati kepada gerakan Padri ini dan tidak mau menggunakan pengaruhnya dalam gerakan Padri ini. Pertikaian antara kaum adat dengan para ulama ini mengarah kepada peperangan dan saling merebut wilayah kekuasaan. Sewaktu kaum adat terdesak, mereka minta bantuan kepada pihak Belanda. Inilah yang menyebabkan kaum Padri menghadapi dua lawan. Kaum adat dan kolonial Belanda. Yang akhirnya kaum Padri mengalami kekalahan. Walaupun mereka mengalami kekalahan tetapi semangat nasionalisme akhirnya tumbuh bagi kaum Padri dan bahkan oleh kaum adat sendiri. Setelah berakhir Perang Padri dan Belanda menjajah Minangkabau, maka eksistensi lembaga pendidikan surau mengalami kemunduran. Akibatnya banyak surau yang terlantar dan kehilangan syekh karena banyak yang dibunuh oleh Belanda dalam peperangan. Berdasakan hal demikian agaknya mendorong orang tua mengirimkan anak-anaknya ke tanah suci yang tidak hanya untuk naik haji saja tetapi juga untuk belajar agama. Bahkan ada yang tinggal di sana sebagai guru dan imam di Mesjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Khatib. Melalui Syekh Ahmad Khatib inilah muncul gerakan pembaharuan tahap ke dua di Minangkabau . Ia menyebarkan ide-ide pembaharuannya langsung dari tempat tinggalnya di Mekkah. Ide-ide Ahmad Khatib di salurkan ke Minangkabau terutama melalui murid-muridnya yang kembali ke Minangkabau. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh Haji Thaib Umar, Syekh Haji Djamil Djembek, Syekh Haji Ibrahim, Musa dan Abdullah Abbas . Mereka ini kelak dikenal sebagai ulama Kaum Muda. Pembaharuan yang dihembuskan Ahmad Khatib pada intinya ingin menghapuskan segala macam taqlid yang membabi buta

terhadap

tradisi

yang

dianutnya

selama

ini.

Gerakan pembaharuan tahap ke dua ini dijiwai oleh semangat baru dan kebangkitan baru. Ide-ide nasionalisme dan pengungkapanpengungkapan buah pikiran dengan jalan langsung dan tegas. Syekh Haji Thaher Jalaluddin adalah tokoh dibalik pembaharuan dan semangat ini. Sumber dari pembaharuan dan semangat ini adalah dari Mesir . Gerakan Kaum Muda di Minangkabau mendapat inspirasi dari dua kota peradaban Islam, Mekkah dan Mesir. Masing-masing dipengaruhi oleh Ahmad Khatib dan Thaher Jalaluddin. Inti dari gerakan modernisasi Kaum Muda adalah menuntut suatu sikap beragama yang rasional dan tidak hannya mengekor pada fatwa-fatwa yang tidak jelas sumbernya. Sebagai basis pergerakan Kaum Muda mendirikan sekolah-sekolah agama. Pendirian sekolah ini ditujukan untuk memodernisir sistim pendidikan tradisional Islam (surau) yang selama ini dirasakan kaku dan statis juga ditujukan untuk membina kader-kader ulama . Bentuk sekolah agama yang didirikan berbeda gaya dan metodenya dengan sekolah agama yang ada sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pada sekolah yang didirikan Kaum Muda yang mempergunakan sistim klasikal hampir mirip dengan sekolah milik pemerintah Belanda. Kecuali metode belajar mengajar yang dipergunakan tidak lagi menuntut supaya murid menerima apa saja yang disampaikan guru sebagaimana yang berlaku pada pendidikan tradisional. Tetapi memberikan kesempatan pada murid untuk berperan dan bersikap kritis serta logis dalam mengikuti pelajaran. Dalam prose interaksi belajar mengajar buku juga dipergunakan sebagai bahan sumber. Kurikulumpun disesuaikan dengan kurikulum pendidikan Islam modern yang tidak terfokus pada pendidikan agama saja, melainkan juga menyangkut masalah umum seperti bahasa Belanda,

matematika,

ekonomi,

sejarah

dan

geografi

Dalam hal ini Syekh Abdullah Ahmad memprakasai berdirinya "Syarikat Oesaha" di Padang. Kemudian "Syarikat Oesaha" ini mengambil inisiatif untuk HIS Adabiah pada tanggal 23 Agustus 1915 di Padang . Madrasah ini merupakan pelopor perubahan dan pembaharuan yang pertama kali dilakukan tidak hannya di Minangkabau melainkan juga di Indonesia dalam bidang pendidikan Islam dari sistim halaqah ke sistim kelas. Di samping itu HIS Adabiah ini berbeda dengan HIS yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. HIS Hindia Belanda hanya untuk kalangan bangsawan dan pegawai Hindia Belanda, sedangkan HIS Adabiah terbuka untuk umum sejauh dapat membayar uang pendidikan yang tidak begitu mahal. Oleh karena itu, kalangan pedagang sangat suka dengan madrasah ini sehingga mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah ke HIS Adabiah. Mengiring pendirian HIS Adabiyah (Mahmud Yunus, 1985 : 71). Pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Abdulah Ahmad ini tidak hanya di bidang kurikulum, metode mengajar dan sistem halaqah, tetapi juga perubahan dari segi biaya pendidikan. Selama ini di surau murid-murid tidak membayar uang pendidikan kepada syekh dan murid-murid mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mendapatkan sedeqah, infaq dan zakat masyarakat sekitar surau, maka pada madrasah HIS Adabiah ini murid-murid harus membayar kepada lembaga pendidikan, walaupun tidak mahal. Ternyata ini mendapat dukungan dari masyarakat Padang, terutama para pedagang. Barangkali dari sinilah mulai dilakukan pungutan oleh sekolah (khusus di Minangkabau). Sampai sekarang masih dilakukan pungutan di sekolah-sekolah walaupun sudah dibantu oleh pemerintah. Perubahan ini terjadi menurut Azyumardi Azra, karena terjadinya perubahan sistem pendidikan agama dan ditambah dengan perubahan-perubahan

ekonomi yang dilancarkan pemerintah kolonial . Ini merubah watak dasar orang siak dan surau. Orang siak yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari satu surau ke surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat, kini terpaksa menjadi madrasah modern atas biaya keluarga. Perubahan yang mendasar ini membawa dampak yang besar terhadap eksistensi surau di tengah-tengah masyarakat. Sebelumnya orang siak mempunyai jalinan hubungan yang kuat dengan masyarakat, mereka saling membutuhkan keduanya. Orang siak membutuhkan bantuan biaya pendidikan dari masyarakat, sementara masyarakat memerlukan orang siak untuk mengajarkan agama, menjalankan upacara-upacara keagamaan di nagari dan kembali ke kampungnya untuk menjadi guru agama dengan mendirikan surau barusetelah menyelesaikan pelajarannya di surau gurunya. Kemudian Syekh Haji Thaib Umar mendirikan Madrasah agama di Sungayang, Batusangkar dengan nama Madrasah School (sekolah agama). Meskipun sekolah ini berjalan dengan baik dan lancar, namun hannya diadakan satu kelas saja sebagai tangga untuk mengkaji kitab-kitab besar seperti tingkat tinggi pada pengajian kitab pada lembaga pendidikan tradisional. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah buku-buku yang tebal yang belum pernah dipelajari pada tingkatan sebelumnya. Pada tahun 1931 diubah lagi namanya menjadi Aljami'ah. Sekarang sekolah ini masih berdiri dengan nama Hidayah Islamiah. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labai El Yunusiyah mantan murid Syekh Abdullah Abbas mendirikan sekolah Diniyah di Padang Panjang. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya sebagaimana yang dilakukan sekolah Belanda.

Selain yang telah disebutkan itu, masih ada lagi lembaga pendidikan Kaum Muda yang perlu diketengahkan, yakni Sumatera Thawalib. Bagindo Rasyad yang baru kembali dari Eropa pada tahun 1915 memprakarsai rapat umum di Padang Panjang. Pemikiran yang diberikan tokoh ini adalah pentingnya organisasi. Pemikiran ini mengilhami para pelajar Surau Jembatan Besi Padang Panjang berfikir tentang usaha mendirikan organisasi. Dari ide tersebut lahirlah organisasi yang disebut "Perkumpulan Sabun", karena organisasi ini memenuhi kebutuhan sehari-hari para pelajar dari menjual sabun. Aktivitas organisasi ini berkembang secara pesat hingga mampu menggaji para guru yang mengajar di surau. Tahun 1918 organisasi ini berubah menjadi Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib mempunyai corak tersendiri di samping sebagai pembawa aliran baru dalam rangka memodernisasi Islam di Minangkabau. Selain itu Sumatera Thawalib juga mempunyai hubungan langsung dengan puncak kesadaran nasional di Minangkabau (Samsul Nizar, 2005 : 71-73). Langkah-langkah Kaum Muda dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya mendapat reaksi dan tantangan yang cukup keras dari kalangan ulama-ulama tradisional yang ingin mempertahankan keadaan lama yang dipandang sudah mapan.kelompok penentang inilah yang disebut dengan Kaum Tua. Pangkal pertentangan itu adalah dalam soal tarekat yang kemudian berkembang hingga persoalan-persoalan khilafiyah, seperti melafazkan ushalli ketika akan memulai shalat, mentalqinkan mayat, wajib ru'yah dan haram hisab, membaca barzanji dengan berdiri dan lain-lain yang berhubungan dengan syari'at dan ibadah.

Polemik mengenai tarekat timbul sejak awal abad ke dua puluh. Yaitu ketika timbulnya kecaman-kecaman terhadap Tarekat Naqsabandiyah yang berkembang di Minangkabau keika itu. Ulama tradisional (Kaum

Tua) bangkit untuk menangkis kecaman-kecaman Kaum Muda akibatnya debat polemik yang berkepanjangan. Debat polemik yang terjadi melibatkan banyak tokoh dan mempergunakan bermacam dalil untuk itu pada gilirannya melahirkan kepustakaan yang menjadi "Mutiara" yang tinggi bagi generasi berikutnya. Hikmah penting yang dapat diambil dari polemik itu bagi kita adalah analisa keislaman tumbuh subur di antara dua kelompok yang berseteru. Dampaknya adalah untuk merangsang orang Minangkabau untuk menggali Islam secara mendalam.

Murid dalam menuntut ilmu di surau tidak dipungut bayaran apapun, termasuk uang sekolah, uang asrama, atau uang makan. Oleh karena itu murid yang disebut juga dengan orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh, walaupun ada diberikan pihak keluarga dengan ikhlas. Untuk biaya hidup bagi murid (orang siak) berasal dari masyarakat kampung yang berada di sekitar surau tersebut. Biasanya dijemput sendiri oleh murid atau diantar oleh masyarakat sekitarnya. Dalam menunjang pemenuhan kebutuhan orang siak, masyarakat kota yang berdekatan dengan surau juga ikut berpartisipasi. Misalnya jasa masyarakat Pariaman terhadap murid-murid syekh Burhanuddin di Ulakan, masyarakat kota Payakumbuh terhadap murid-murid yang belajar agama di Parabek dan sekitarnya. Setiap hari Minggu masyarakat mengantarkan beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya dengan pedati. Orang siak (murid) yang datang dari negeri jauh biasanya setiap hari Kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar surau dengan membawa buntil (kantong beras seperti karung terigu), dan sore harinya mereka kembali dengan buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu. Masyarakat memberikan zakat, sadaqah, infaq dan sebagainya kepada murid-murid (orang siak atau pakiah) dan bahkan kepada syekh yang mengajar dan

memberi ceramah di surau tersebut. Masyarakat senang memberikan sedeqah, infaq dan berzakat kepada syekh atau murid-murid surau, karena mereka butuh bimbingan dan syekh dan waktu-waktu tertentu mereka memanggil syekh atau orang siak untuk berdo'a di rumah mereka. Masyarakat mau berzakat kepada murid-murid surau (orang siak/pakiah), karena pakiah ini termasuk dalam golongan asnaf yang delapan. Yakni orang-orang yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir atau pakiah dalam istilah Minangkabau. Di samping itu mereka membutuhkan pakiah/ orang siak ini untuk mengajar anak-anak mereka mengaji dan berdo'a serta untuk upacara-upacara keagamaan di nagari mereka. Yang dinamakan golongan fakir ialah orang yang tidak berharta dan tidak dapat bekerja. Oleh sebab itu barang siapa yang dapat bekerja, maka yang demikian itulah yang mengeluarkannya dari sifat kefakiran yakni bukan disebut orang fakir lagi. Jikalau seseorang yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan terhalang untuk ia bekerja, maka ia dianggap sebagai seorang fakir, karena dia dianggap tidak mampu untuk bekerja. Dia tidak ada waktu untuk bekerja, karena waktu dan pikirannya terpusat untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Dengan demikian murid-murid yang belajar di surau ini berhak menerima zakat. Di samping itu murid-murid tersebut juga tergolong ke dalam fi sabilillah. Kata ' sabilillah" yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60, menurut ahli fiqh tradisional ialah para pejuang yang berperang di medan peperangan. Pemahaman terbatas "sabilillah " ini membuat masyarakat kurang berani menggunakan zakat untuk keperluan pendidikan. Menurut pendapat Muhammad Jamaluddin Alqasimi bahwa sabilillah yang berhak menerima zakat adalah semua amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang dapat

mengokohkan kelangsungan agama-Nya dan syariat-Nya. Umpamanya untuk pendirian surau, madrasah, pembelian buku-buku (kitab) ilmu pengetahuan yang membantu melaksanakan usaha-usaha kebaikan, rencana-rencana kebaktian yang sebenarnya amat banyak macamnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka zakat dapat juga diberikan kepada orang-orang yang sedang membangun sarana dan prasana pendidikan seperti surau, beli buku-buku referensi di lembaga pendidikan tersebut, alat media dan sebagainya. Pada prinsipnya untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran. Dari data yang kita kemukakan di atas, biaya pendidikan surau merupakan swadaya dari masyarakat setempat. Tidak ada mendapat subsidi dari pemerintah. Akan tetapi murid-murid yang dihasilkan dari surau ini dapat diandalkan dan mandiri. Setelah tamat mereka dari surau yang diajarkan oleh syekh, mereka dapat diangkat menjadi tuanku dan mampu mendirikan surau baru sekaligus menerima murid-murid pula di surau yang dibangunnya tersebut. Bahkan masyarakat beramai-ramai membantu membangun surau baru tersebut. Barangkali berbeda dengan alumni lembaga pendidikan madrasah sekarang yang belum mampu mandiri mengajarkan ajaran agama kepada murid-murid. Pada perkembangan selanjutnya setelah berdiri madrasah Adabiahbiaya pendidikan yang selama ini dibiayai oleh masyarakat, sekarang dibiayai keluarganya (orang tua, mamak dan sebagainya). Ini disebabkan karena terjadinya perubahan pada sistem pendidikan surau dan perubahan yang terjadi pada perekonomian rakyat oleh pemerinatah Hindia Belanda. Selanjutnya terjadi lagi perkembangan tentang biaya pendidikan ini. Pada surau Jembatan Besi Padang Panjang, para pelajar yang menuntut ilmu di surau ini mendirikan perkumpulan (prganisasi) semacam koperasi untuk

menggaji para gurunya di surau. Organisasi ini berkembang menjadi Sumatra Thawalib. Haji Abdul Malik Karim Amrullah @ HAMKA (1908-1981) Ayah hanya takut tidak bisa jawab pertanyaan Munkar Nakir!. Pertanyaan ini diajukan Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) kepada ayahnya mengenai soal keengganannya untuk melakukan seikere (membungkuk ke arah matahari) atas perintah tentara Jepang. Sang ayah, sebagai tokoh pergerakan dan ulama Minangkabau, Haji Karim Amrullah, yang juga kondang dengan sebutan Haji Rasul itu, tentu saja menolak mentah-mentah perintah yang berkonotasi menyembah matahari itu. Ia pun sadar sepenuhnya akan risikonya. Tapi, demi keyakinan terhadap nilai akidah, maka perintah memberi hormat kepada dewa matahari itu tidak dilakukannya. Keteguhan sikap Haji Karim Amrullah itulah yang kemudian oleh Hamka terus dibawa sepanjang usia. Berkali-kali dalam situasi genting ia berani menyatakan diri menolak hal apa pun yang melanggar nilai dasar agama, meskipun itu berarti membuka lebar pintu penjara.

Hamka yang lahir di sisi danau Maninjau, Sumatera Barat, tepatnya di Tanah Sirah Nagari Sungai Batang pada tanggal 13 Muharram 1326 H./16 Februari 1908 M., mampu menunjukkan sikap teguh terhadap perkembangan arus zaman hingga akhir masa hidupnya. Sebagai anak manusia yang lahir di bumi Minangkabau, Hamka memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal yang tinggi. Sekolahnya hanya dijalani selama tiga tahun. Namun, karena bakat intelektualnya yang berlebih, terutama dalam penguasaan bahasa Arab, ia kemudian tumbuh dan besar menjadi ulama yang disegani, bahkan seringkali disebut salah satu ulama besar Asia Tenggara. Darah dari pihak orang tua sebagai tokoh

pembaru ajaran Islam dan perjuangan nasional kemerdekaan, membuat telinga Hamka semenjak masa kanak sudah akrab dengan berbagai pembicaraan mengenai dunia keilmuan. Diskusi yang dilakukan sang ayah bersama rekan-rekannya yang memelopori gerakan Islam Kaum Muda Mingkabau itu ternyata tanpa sadar tertanam kuat di hatinya. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Hamka adalah seorang Indonesia (Masyumi). ilmu

otodidak dalam berbagai bidang

pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa alManfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga

menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang

merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Selain sibuk berceramah, Hamka kemudian menerbitkan berbagai karya roman seperti: Di Bawah Lindungan Kabah(1938), Tenggelamnnya Kapal van Der Wick (1939), Merantau ke Deli (1940), Di dalam Lembah Kehidupan (1940, kumpulan cerita pendek). Isi berbagai romannya itu tampak jelas terpengaruh dari pengalaman pribadinya ketika ia pergi ke Mekah dan tinggal beberapa lama menjadi guru agama di lingkungan buruh perkebunan yang ada di Sumatera bagian timur. Pada kurun waktu ini ada satu karya Hamka yang sangat penting. Buku yang diterbitkan pada tahun 1939 itu diberi judul Tasawuf Modern. Hamka dalam buku ini mengkritisi kecenderungan dari berbagai aliran tasawuf yang berpretensi negatif terhadap kehidupan dunia. Tasawuf banyak dijadikan sebagai cara untuk mengasingkan diri dari kehidupan dunia yang sering dipandang serba ruwet dan penuh kotoran dosa. Hamka dalam buku ini berusaha merubah persepsi itu. Ia menyerukan tasawuf positip yang tidak bersikap asketisme. Katanya, menjadi Muslim sejati bukannya menjauhkan diri dari dunia, tapi terjun secara langsung ke

dalamnya. Buku Hamka ini sampai sekarang tetap laris manis di pasaran. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas Wiroguno al-Azhar, 1958; Doktor Honoris pemerintah Causa, Universitas Indonesia. Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran daripada

Pada tahun 1942 bersamaan dengan jatuhnya koloni Hindia Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur. Posisi jabatan yang diterima pada masa sulit ekonomi ini dijalaninya selama tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1945 ia memutuskan untuk melepaskan jabatan tersebut karena pindah ke Sumatera Barat. Di sana Hamka terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat. Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949. Menjelang pengakuan kedaulatan, yakni setelah tercapainya Persetujuan Roem Royen pada tahun 1949, ia memutuskan pindah dari Sumatera Barat ke Jakarta. Kali ini Hamka merintis karir sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipegang oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Melihat kemampuan intelektualnya, menteri agama waktu itu menugaskan kepada Hamka untuk memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Beberapa perguruan tinggi yang sempat menjadi tempat mengajarnya itu antara lain; Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Uniknya lagi, di tengah kesibukannya sebagai pengajar di berbagai universitas itu, Hamka sempat menulis biografi ayahnya, Haji

Abdul Karim Amrullah. Katanya, buku yang ditulisnya ini adalah sebagai kenang-kenangan kepada ayahnya yang sangat teguh hati. Apalagi bagi sang ayah sendiri, Hamka adalah buah hatinya dimana ia pernah dijuluki sebagai Si Bujang Jauh karena begitu sering dan lamanya merantau pergi ke berbagai negeri dan daerah.

Di sela kegiatannya mengajar di berbagai universitas itu, Hamka mengulang kembali kepergiannya untuk beribadah haji ke tanah suci. Sama dengan kepergian hajinya yang dilakukan 24 tahun silam, kepergiannya ke Mekah kali ini juga disertai dengan perjalanannya ke beberapa negara yang berada di kawasan semenanjung Arabia. Hamka sendiri sangat menikmati lawatannya itu. Apalagi ketika berada di Mesir. Ia menyempatkan diri untuk menemui berbagai sastrawan kondang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui berbagai tulisannya, seperti Husein dan Fikri Abadah. Mereka saling bertemu, bertukar pikiran dan minat dalam bidang sastera dengan dan kehidupan haji umat secara keseluruhan. Sama halnya kepulangan pertamanya,

sekembalinya dari lawatannya ke berbagai negara di Timur Tengah itu, inspirasi untuk membuat karya sastera pun tumbuh kembali. Lahirlah kemudian beberapa karya roman seperti, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Bagi banyak kritikus sastera banyak diantara mereka menyebut bahwa, Hamka dalam penulisan karyanya itu banyak terpengaruh pujangga Mesir. Ini tampaknya dapat dipahami sebab ia seringkali menyatakan terkagumkagum pada beberapa penulis karya dari negeri piramid itu, salah satunya adalah Al Manfaluthi. Usai pulang dari kunjungan ke beberapa negara Arab, pada tahun 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat. Hamka datang ke negara itu atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika. Ia mengunjungi

berbagai tempat, seperti negara bagian California, untuk memberikan ceramah yang berkaitan dengan agama. Kunjungan ke Amerika kali ini ternyata hanya merupakan kunjungan pembuka saja. Setelah itu ia kemudian kerapkali diundang ke sana, baik atas undangan dari negara bersangkutan maupun datang sebagai anggota delegasi yang mewakili Indonesia. Pada kurun waktu itu, Hamka kemudian masuk ke dalam Badan Konstituate mewakili Partai Masyumi dari hasil Pemilu 1955. Ia dicalonkan Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di Jawa Tengah. Dalam badan ini Hamka bersuara nyaring menentang demokrasi terpimpin. Pada sebuah acara di Bandung, pada tahun 1958 ia secara terbuka menyampaikan pidato penolakan gagasan demokrasi terpimpin ala Soekarno itu. Namun, di tengah panas dan padatnya perdebatan, Hamka pada tahun itu juga sempat mendapat undangan menjadi anggota delegasi Indonesia untuk mengikuti Simposium Islam di Lahore. Setelah itu, kemudian dia berkunjung lagi ke Mesir. Dalam kesempatan kali ini dia mendapat kehormatan bidang intelektual sangat penting, yakni mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Di forum itu, ia menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa dengan topik bahasan mengenai Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Dalam kesempatan ini Hamka menguraikan kebangkitan pembaharuan ajaran Islam yang terjadi di Indonesia, mulai dari munculnya gerakan Sumatera Thawalib, Muhammadiyah. Al Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar doktor luar biasa seperti ini ternyata diterimanya lagi enam belas tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 dari University Kebangsaan, Malaysia. Gelar ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak. Seraya memberikan gelar, dalam pidatonya

sang perdana menteri itu berkata bahwa,Hamka bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia. Tetapi, juga telah menjadi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.

Masa Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadikan politik sebagai panglima. Waktu itu Soekarno menginginkan agar bangsa Indonesia betul-betul mandiri. Ia serukan gerakan untuk melawan imperialisme barat, yang disebut sebagai kekuatan neo-kolonialisme baru. Pada satu sisi ide ini berhasil cukup baik. Posisi Indonesia menjadi penting dan menjadi salah satu kekuatan sentral gerakan non blok. Namun, pada sisi yang lain perbaikan ekonomi ternyata tidak dapat berjalan baik. Pertentangan politik, terutama antara golongan nasionalis dan Islam menjadi-jadi, di mana kemudian mencapai puncaknya ketika pembicaraan mengenai konstitusi negara menjadi buntu. Baik pihak yang anti dan pendukung ide negara Islam terus saja tidak mampu berhasil mencapai kata sepakat. Dan Hamka hadir dalam percaturan perdebatan itu.

Sayangnya, Presiden Soekarno tidak sabar melihat perdebatan itu. Dengan alasan adanya ancaman perpecahan bangsa yang serius, Soekarno pada 5 Juli 1959 kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden, yang diantaranya adalah menyatakan pembubarkan Badan Konstituante dan kembali kepada konstitusi negara pada UUD 1945. Menyikapi keadaan tersebut, Hamka pada tahun yang sama, yakni Juli 1959, mengambil inisiatif menerbitkan majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Hamka duduk sebagai pemimpin redaksinya. Sedangkan mengenai isi majalahnya, Hamka memberi acuan untuk memuat tulisan yang menitikberatkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan ajaran Islam. Tetapi sayangnya, majalah ini berumur pendek, yakni

hanya

satu

tahun.

Majalah Panji

Masyarakatdibubarkan

oleh

pemerintahan rezim Soekarno, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1960. Alasan pembredeilan: karena majalah memuat tulisan Dr Mohamad Hatta yang berjudul Demokrasi Kita. Sebagai imbasnya, Hamka kemudian memutuskan diri untuk lebih memusatkan pada kegiatan dakwah Islamiyah dengan mengelola Masjid Agung Al-Azhar yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Dalam dunia politik pemuatan tulisan Hatta di majalah Panji Masyarakat itu memang membuat kehebohan besar. Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta dalam mengelola negara terbuka dengan nyata. Dalam tulisan itu Hatta mengkritik keras sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan karibnya, Soekarno. Menurutnya, demokrasi yang tengah dijalankannya itu bukan demokrasi. Mengapa demikian? Sebab, ada sebagian kecil orang menguasai sebagian besar orang. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri, di mana harus ada persamaan pada setiap manusia. Maka, demokrasi seperti itu, tulis Bung Hatta, a priori harus ditolak. Panasnya persaingan politik pada sisi lain juga kemudian meniupkan badai fitnah kepada Hamka. Jaringan kelompok politik kiri membuat tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah merupakan plagiat dari roman sastrawan Perancis, Alphonse Karr yang kemudian disadur ke dalam bahasa Arab oleh Al Manfaluthi. Reaksi pro kontra segera saja menyergapnya. Golongan yang tidak suka akan adanya pengaruh agama di Indonesia memanfaatkan betul polemik ini untuk menghancurkan nama baiknya. Saat itu hanya HB Jassin dan kelompok budayawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) saja yang gigih membelanya. Berbagai tulisan atas polemik ini kemudian pada tahun 1964 dikumpulkan dan diterbitkan oleh Junus

Amir Hamzah dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik. Usaha penjatuhan citra kepada Hamka ternyata tidak hanya melalui karya sastera saja. Tanpa dasar serta alasan tuduhan yang jelas, pada 27 Januari 1964 tiba-tiba saja ia ditangkap oleh alat keamanan negara. Hamka kemudian dimasukkan ke dalam tahanan tanpa ada sebuah keputusan. Ia berada di penjara bersama para tahanan politik lainnya, seperti Muchtar Lubis, sampai tumbangnya tampuk kekuasaan Soekarno. Bagi penguasa, Hamka saat itu dianggap sebagai orang berbahaya. Namun, bagi Hamka sendiri, masuknya dia ke dalam penjara malahan seringkali dikatakan sebagai rahmat Allah. Menurutnya, akibat banyaknya luang waktu dipenjara maka ia dapat menyelesaikan tafsir Alquran, yakni Tafsir Al-Azhar (30 juz).Saya tidak bisa membayangkan kapan saya bisa menyelesaikan tafsir ini kalau berada di luar. Yang pasti kalau tidak dipenjara maka saya selalu punya banyak kesibukan. Akhirnya, tafsir ini sampai akhir hayat saya mungkin tidak akan pernah dapat diselesaikan, kata Hamka ketika menceritakan masa-masa meringkuk di dalam penjara. Selain itu, beberapa tahun kemudian Hamka juga mengakui bahwa tafsir Alquran ini adalah merupakan karya terbaiknya. Hamka yang wafat di Jakarta, 24 Juli 1981, meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya. Tercatat paling tidak sekitar 118 buah yang sudah dibukukan. Ini belum termasuk berbagai cerita pendek dan karangan panjang yang tersebar di berbagai penerbitan, media massa, dan forum-forum ilmiah, serta ceramah. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Berbagai karya tulisnya yang meliputi banyak bidang kajian seperti

politik, sejarah, budaya, akhlak dan ilmu-ilmu keislaman hingga kini terus dikaji oleh publik, termasuk menjadi bahan kajian dan penelitian untuk penulisan risalah tesis dan disertasi. Buku-bukunya terus mengalami cetak ulang.

You might also like