You are on page 1of 44

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) DALAM PENGELOLAHAN SUMBER DAYA ALAM DI SEKITAR PEMUKIMAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Merosotnya kualitas lingkungan yang dibarengi dengan semakin menipisnya persediaan sumber daya alam serta timbulnya berbagai permasalahan lingkungan telah menyadarkan manusia betapa pentingnya dukungan lingkungan dan peran sumber daya alam terhadap kehidupan di alam semesta. Lingkungan tidak dapat mendukung jumlah kehidupan yang tanpa batas. Apabila bumi ini sudah tidak mampu lagi menyangga ledakan jumlah manusia beserta aktivitasnya, maka manusia akan mengalami berbagai kesulitan. Pertumbuhan jumlah penduduk bumi mutlak harus dikendalikan dari aktivitas manusianya pun harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Pertama Pelestarian lingkungan hidup mempunyai arti bahwa lingkungan hidup harus dipertahankan sebagaimana keadaannya. Sedangkan lingkungan hidup itu justru dimanfaatkan dalam kerangka pembangunan. Hal ini berarti bahwa lingkungan hidup mengalami proses perubahan. Dalam proses perubahan ini perlu dijaga agar lingkungan hidup itu tetap mampu menunjang kehidupan yang normal. Jika kondisi alam dan lingkungan sekarang dibandingkan dengan kondisi beberapa puluh tahun yang lalu, maka segera terasa perbedaan yang sangat jauh. Pembangunan telah membawa kemajuan yang besar bagi kesejahteraan rakyat, di balik itu telah terjadi pula perubahan lingkungan. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan di sini merupakan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya kedua peningkatan manfaat itu dapat dicapai dengan menggunakan lebih banyak sumberdaya. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertama kali dicetuskan berdasarkan atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai penjabaran Pasal 16 tersebut, diundangkan suatu Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada tanggal 5 Juni 1986 . Peraturan Pemerintah No. 29/1986 tersebut berlaku efektif pada tanggal 5 Juni 1987 yang mulai selang satu tahun setelah ditetapkan. Hal tersebut diperlukan karena masih perlu waktu untuk menyusun kriteria dampak terhadap lingkungan sosial mengingat definisi lingkungan yang menganut paham holistik yaitu tidak saja mengenai lingkungan fisik atau kimia saja namun meliputi pula lingkungan sosial. Berdasarkan pengalaman penerapan PP No. 29/1986 tersebut dilakukan deregulasi dan untuk mencapai efisiensi maka PP No. 29/1986 diganti dengan PP No. 51/1993 yang diundangkan pada

tanggal 23 Oktober 1993. Perubahan tersebut mengandung suatu cara untuk mempersingkat lamanya penyusunan AMDAL dengan mengintrodusir penetapan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL dengan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dengan demikian tidak diperlukan lagi pembuatan Penyajian Informasi Lingkungan (PIL). Perubahan tersebut mengandung pula keharusan pembuatan Analisis Dampak Lingkungan ( ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) di buat sekaligus yang berarti waktu pembuatan dokumen dapat diperpendek. Dalam perubahan tersebut diintrodusir pula pembuatan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bagi kegiatan yang tidak wajib AMDAL. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) ditetapkan oleh Menteri Sektoral yang berdasarkan format yang di tentukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Demikian pula wewenang menyusun AMDAL disederhanakan dan dihapuskannya dewan kualifikasi dan ujian negara. Dengan ditetapkannya Undang -undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH), maka PP No. 51/1993 perlu diganti dengan PP No. 27/1999 yang diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999, yang efektif berlaku 18 bulan kemudian. Perubahan besar yang terdapat dalam PP No. 27/1999 adalah dihapuskannya semua Komisi AMDAL Pusat dan diganti dengan satu Komisi Penilai Pusat yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup. Di daerah yaitu propinsi, mempunyai Komisi Penilai Daerah. Apabila penilaian tersebut tidak layak lingkungan maka instansi yang berwenang boleh menolak permohohan izin yang diajukan oleh pemrakarsa. Suatu hal y ang lebih ditekankan dalam PP No. 27/1999 adalah keterbukaan informasi dan peran masyarakat. Agar lebih menjamin kepastian hukum dan lebih memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan keseluruhan ekosistem, dilakukan pembaruan terhadap UU No. 23 tahun 1997 menjadi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada tanggal 23 Februari 2012, ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). PP ini diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 5285. PP 27/2012 disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. PP 27/2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan. Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam PP ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu kesatuan. PP ini pertanda bahwa implementasi UU 32/2009 akan semakin terlaksana dengan lebih baik. Walaupun baru satu PP turunan UU 32/2009 yang dapat diterbitkan, namun PP ini sangat berkekuatan (Powerful) untuk menjaga lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan lingkungan sebagai dasar izin lingkungan sehingga enforceable dengan sanksi yang jelas dan tegas. Dalam PP 27/2012 mengatur hubungan (interface) antara izin lingkungan dengan proses

pengawasan dan penegakan hukum. Pasal 71 dalam PP 27 Tahun 2012 memberikan ruang yang jelas mengenai pengenaan sanksi atas pemegang izin lingkungan yang melanggar kewajibannya sebagaimana yang di atur dalam Pasal 53. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa sasaran dari terbitnya PP 27 Tahun 2012 ini adalah terlindungi dan terkelolanya lingkungan hidup sedangkan sasaran mikro dari terbitnya peraturan ini adalah memberi dasar hukum yang jelas atas penerapan instrument izin lingkungan dan memberikan beberapa perbaikan atas penerapan instrumen amdal dan UKL-UPL (kajian lingkungan hidup) di Indonesia. Kewajiban pemegang izin lingkungan juga adalah menaati persyaratan dan kewajiban yang akan tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH). Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional sedangkan Izin Lingkungan adalah pada tahap perencanaan. IZIN PPLH antara lain adalah: izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) dan izin pembuangan air limbah ke laut (Penjelasan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012). PP 27/2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan. Ada dua prinsip dalam upaya penyusunan PP Izin Lingkungan ini, yaitu lebih sederhana yang tidak menciptakan proses birokrasi baru dan implementatif. PP 27/2012 ini juga mengamanatkan proses penilaian amdal yang lebih cepat, yaitu 125 hari dari 180 hari. Dengan begitu akan terjadi efisiensi sumber daya, baik waktu, biaya dan tenaga, yang tentunya tanpa mengurangi kualitasnya. Langkah maju ini adalah pengaturan bahwa total jangka waktu penilaian amdal sejak diterimanya dokumen amdal dalam status telah lengkap secara administrasi adalah sekitar 125 hari kerja, tidak termasuk lama waktu perbaikan dokumen. Jangka waktu 125 hari kerja tersebut adalah langkah maju karena di PP 27 Tahun 1999, total jangka waktu penilaian amdal adalah sekitar 180 hari kerja. Salah satu hal yang juga penting dalam PP ini adalah semakin besarnya ruang bagi keterlibatan masyarakat khususnya masyarakat terkena dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai layak tidaknya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Permohonan izin lingkungan dan penerbitan izin lingkungan harus diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan (sebelumnya dalam PP 27/1999 hanya mewajibkan satu kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum menyusun kerangka acuan (KA) Andal). Dengan begitu, masyarakat akan mampu berpartisipasi aktif dan memberikan saran atas setiap rencana usaha dan/atau kegiatan di daerahnya. Hal positif lainnya dalam PP 27 Tahun 2012 ini adalah dengan diberikannya pengaturan yang tegas, bahwa PNS di instansi lingkungan hidup, dilarang menyusun amdal maupun UKL-UPL. Ketentuan ini dirancang sebagai upaya untuk menjaga akuntabilitas amdal maupun UKL-UPL sebagai kajian ilmiah yang harus bersih dari segala bentuk intervensi kepentingan kelompok atau golongan. PP ini akan mengubah secara dramatis tatanan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akan terjadi perubahan mindset dari seluruh pemangku kepentingan. Implementasi AMDAL sangat perlu disosialisasikan tidak hanya kepada masyarakat namun perlu juga pada para calon investor agar dapat mengetahui perihal AMDAL di In donesia. Karena proses pembangunan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya. Dengan implementasi AMDAL yang sesuai dengan aturan yang

ada, maka di harapkan akan berdampak positip pada pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ( sustainable development.)

1.2. Rumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa keuntungan yang diberikan kepada masyarakat dalam pengelolahan sumber daya alam? 2. Bagaimana pertanggung jawaban perusahaan dalam pengelolahan sumber daya alam?
1.3. Tujuan Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui keuntungan apa yang diberikan oleh masyarakat dalam pengelolahan sumber daya alam tersebut. 2. Untuk mengetahui bagaimana perusahaan bertanggung jawab atas pengelolahan sumber daya alam tersebut.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada dasarnya setiap pembangunan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan. Dampak pembangunan ini ada yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu, setiap rencana pembangunan perlu disertai dengan wawasan jauh ke depan tentang perkiraan timbulnya dampak tersebut. Wawasan ini diterapkan dengan mengadakan analisis perkiraan dampak penting terhadap komponen lingkungan fisik, kimia, biologi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Analisis tersebut harus dilakukan secara terperinci tentang dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul, sehingga sejak dini dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulanginya (Supardi, 2003). Pembangunan kita perlukan untuk mengatasi banyak masalah, termasuk masalah lingkungan, namun pengalaman menunjukkan, pembangunan mempunyai dampak negatif. Dengan adanya dampak negatif tersebut, haruslah kita waspada. Pada satu pihak kita tidak boleh takut untuk melakukan pembangunan, karena tanpa pembangunan tingkat kesejahteraan kita akan terus merosot, pada lain pihak kita harus memperhitungkan dampak negatif dan berusaha untuk menekannya menjadi sekecil-kecilnya. Pembangunan itu harus berwawasan lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) merupakan salah satu alat dalam upaya dilakukannya pembangunan berwawasan lingkungan (Soemarwoto, 1999).
Universitas Sumatera Utara

Kegunaan AMDAL, khususnya dalam usaha menjaga kualitas lingkungan

adalah: a. Mencegah agar potensi sumberdaya alam yang dikelola tidak rusak, terutama sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui; b. Menghindari efek samping dari pengolahan sumber daya terhadap sumber daya alam lainnya, proyek-proyek lain dan masyarakat agar tidak timbul pertentangan-pertentangan; c. Mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pencemaran, misalnya timbulnya pencemaran air, udara, tanah, kebisingan dan sebagainya sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan dan keselamatan masyarakat; d. Agar dapat diketahui manfaat yang berdayaguna dan berhasilguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara (Supardi, 2003). 2.2. Penyusunan Dokumen AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Kegiatan studi AMDAL dalam pembangunan telah menjadi suatu instrumen perencanaan yang dipersyaratkan oleh Pemerintah. Dalam pelaksanaan studi AMDAL, karena sifatnya yang holistik dan komprehensif dari kegiatan ekosistem,
Universitas Sumatera Utara

maka pekerjaan studi dampak lingkungan menjadi sangat luas. Dalam pelaksanaannya, studi AMDAL harus menggunakan dasar-dasar penelitian ilmiah. Studi AMDAL adalah merupakan studi multi disiplin, oleh karenanya setiap pakar yang terkait dengan studi ini harus berpikir dan melaksanakan proses penelitian secara ilmiah dan terpadu. Secara keseluruhan studi AMDAL dapat dikemukakan merupakan studi terapan (applied study) atau bahkan action study (Fandeli, 2007). Sebagai acuan bagi penanggung jawab usaha dalam menyusun dokumen AMDAL, Pemerintah melalui kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Melalui pedoman ini diharapkan kajian dalam studi AMDAL dapat lebih terarah, mendalam dari aspek teknis, ekonomis-finansial dan lingkungan yang dapat memberi masukan yang diperlukan bagi perencana dan pengambil keputusan. 2.3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan titik sentral untuk mencapai keunggulan daya saing individu, organisasi, perusahaan dan bahkan bangsa di pentas global, dengan terus mengembangkan kompetensi dan profesionalisme, komitmen dan integritas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam berbagai karya yang kreatif dan inovatif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas adalah melalui sistem pendidikan yang dapat dihandalkan. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu
Universitas Sumatera Utara

diupayakan melalui pendidikan dan latihan yang diprogram dengan baik dan benar (Sedarmayanti, 2008). Menurut Plunkett dan Attner dalam Lako (2004), konsep sumber daya manusia menempatkan karyawan sebagai the most valuable resource yang berperan

untuk merencanakan, mengorganisir, mendayagunakan dan mengendalikan organisasi beserta seluruh sumber ekonominya untuk pencapaian suatu tujuan organisasi. Dalam proses tersebut, individu-individu atau kelompok sumber daya manusia dan organisasi belajar untuk saling berintegrasi. Individu atau kelompok sumber daya manusia belajar untuk meningkatkan kompetensinya dan memahami filosofi, visi, tujuan dan budaya organisasi. Sementara organisasi belajar untuk memahami karakteristik sumber daya manusia, mengembangkan dan mendayagunakan, memelihara dan melindungi, serta memberikan imbalan dan penghargaan yang pantas kepada individu atau kelompok sumber daya manusia sesuai dengan kinerjanya (Lako, 2004). Pengembangan sumber daya manusia, melalui berbagai jenjang pendidikan maupun latihan yang dilakukan merupakan salah satu upaya peningkatan kinerja sumber daya manusia tersebut. Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan dan dikembangkan sehingga berbanding proporsional dengan jumlah sumber daya manusia yang ada. Jumlah personil yang banyak tidak memberikan dampak yang berarti bagi kelancaran kegiatan dan pengembangan organisasi, jika tidak didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang tinggi (Sumarsono, 2004).
Universitas Sumatera Utara

Manajemen sumber daya manusia merupakan kegiatan yang mengatur tentang pemberian kompensasi, integrasi, pemeliharaan, pengadaan tenaga kerja dan melakukan pengembangan kerja melalui proses-proses manajemen dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Perencanaan sumber daya manusia dengan berorientasi pada hasil analisis pekerjaan, agar pekerja yang diperlukan dapat dipenuhi baik dari segi kuantitatif (jumlahnya) maupun kualitatif (kualitasnya). Dengan tersedianya sejumlah pekerja yang relevan dengan tuntutan deskripsi dan atau spesifikasi pekerjaan, diharapkan seluruh volume kerja dapat dilaksanakan secara produktif dan berkualitas, tidak saja dalam proses produksi dengan seluruh pekerjaan yang menunjangnya, tetapi juga dalam memasarkannya, yang memerlukan kemampuan memberikan pelayanan yang berkualitas (Nawawi, 1997). Dalam proses penyusunan dan penilaian dokumen AMDAL, kemampuan dan kehandalan sumber daya manusia sangat dibutuhkan sehingga dapat menghasilkan dokumen lingkungan yang berkualitas sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup (KLH, 2002). Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, Pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian Dokumen AMDAL yang merupakan alat atau sarana kerja bagi para anggota Komisi Penilai AMDAL Pusat, Komisi Penilai AMDAL Daerah dan Tim Teknis Komisi; namun sesuai dengan perkembangan keadaan, panduan ini telah digantikan dengan keluarnya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2009 tentang Panduan Penilaian
Universitas Sumatera Utara

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang disusun untuk menuntun para pemakainya dalam menilai dan mengevaluasi dokumen AMDAL sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2009, yaitu: a. Penilaian dokumen KA-ANDAL terdiri atas 3 (tiga) aspek penilaian meliputi uji administrasi, uji tahap proyek, uji kualitas dokumen (uji konsistensi, uji

keharusan dan uji kedalaman). b. Penilaian dokumen ANDAL terdiri atas 4 (empat) aspek penilaian meliputi uji administrasi, uji tahap proyek, uji kualitas dokumen (uji konsistensi, uji keharusan, uji kedalaman, uji relevansi) dan kelayakan lingkungan untuk ANDAL, RKL dan RPL. c. Penilaian dokumen RKL dan RPL terdiri atas 2(dua) aspek penilaian meliputi uji administrasi, uji kualitas dokumen (uji konsistensi, uji keharusan, uji kedalaman dan uji relevansi). Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa Penilai dokumen AMDAL dari instansi pemerintah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Berpendidikan sarjana; dan/atau b. Sudah memperoleh sertifikat pelatihan penyusunan AMDAL, pelatihan penilaian AMDAL atau pelatihan yang sejenis. Sampai saat ini, AMDAL belum menjadi instrumen yang efektif untuk pengendalian (terutama pencegahan) dampak lingkungan; bahkan akhirnya AMDAL
Universitas Sumatera Utara

banyak dipandang sebagai .cost center. ketimbang sebagai kontibutor untuk .cost saving.. Salah satu faktor yang turut andil dalam hal tersebut adalah rendahnya mutu penilaian dokumen AMDAL. Mutu penilaian dokumen AMDAL dapat dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu: 1. Kompetensi teknis anggota Komisi Penilai AMDAL Secara umum, kompetensi dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. 2. Integritas anggota Komisi Penilai AMDAL Integritas kerja adalah bertindak konsisten sesuai dengan kebijakan dan kode etik organisasi. Memiliki pemahaman dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan dan etika tersebut, dan bertindak secara konsisten walaupun sulit untuk melakukannya. 3. Tersedianya panduan penilaian dokumen AMDAL. 4. Akuntabilitas dalam proses penilaian AMDAL (KLH, 2002). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas Komisi Penilai, perlu dilakukan standarisasi Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota melalui pemberian lisensi sebagai persyaratan untuk dapat melakukan penilaian dokumen AMDAL, hal tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Negara Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
Universitas Sumatera Utara

Dari sisi kebijakan standarisasi AMDAL, sasaran peningkatan kompetensi ditujukan untuk 3 pihak dalam pelaksanaan sistem AMDAL, yaitu komisi penilai, penyusun dan diklat AMDAL. Untuk penyusun diberlakukan sistem standarisasi dan registrasi kompetensi. Untuk diklat AMDAL diberlakukan sistem registrasi kompetensi sedangkan untuk komisi penilai akan diberlakukan sistem lisensi untuk menilai dokumen AMDAL. Secara ringkas, substansi pengaturan dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: a. Standar kompetensi personil penyusun dokumen AMDAL.

b. Persyaratan kompetensi lembaga penyedia jasa/konsultan penyusun dokumen AMDAL. c. Sertifikasi kompetensi bagi personil penyusun dokumen AMDAL. d. Registrasi kompetensi bagi lembaga jasa penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL (konsultan AMDAL). e. Registrasi kompetensi bagi lembaga penyelenggara pelatihan penyusunan dokumen AMDAL (diklat penyusunan AMDAL). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008 tentang Kompetensi dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup mengandung arti bahwa Penyusun AMDAL harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tim penyusun dokumen AMDAL terdiri dari ketua tim dan anggota tim penyusun dokumen AMDAL dan paling sedikit 3 (tiga) orang penyusun
Universitas Sumatera Utara

dokumen AMDAL yang telah memiliki sertifikat kompetensi, termasuk 1 (satu) orang dengan kualifikasi sebagai ketua tim. b. Tim penyusun AMDAL wajib melibatkan tenaga ahli sesuai dengan dampak penting yang diakibatkan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan. c. Standar kompetensi untuk ketua tim dan anggota tim penyusun AMDAL mengacu pada Lampiran I dan II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2008. 2.4. Tata Kerja Komisi Penilai AMDAL Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka Pemerintah menjabarkan lebih lanjut ketentuan yang berkaitan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dengan menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan terhadap Komisi Penilai AMDAL daerah dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan terhadap Komisi Penilai AMDAL.
Universitas Sumatera Utara

Komisi Penilai Pusat dibentuk oleh Menteri, Komisi Penilai Provinsi dibentuk oleh Gubernur dan Komisi Penilai Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota. Susunan Keanggotaan Komisi Penilai Provinsi dari unsur-unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi, instansi lingkungan hidup provinsi, instansi di bidang penanaman modal daerah, instansi di bidang pertanahan di daerah, instansi di bidang pertahanan keamanan di daerah, instansi di bidang kesehatan daerah provinsi, wakil instansi pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di provinsi, wakil dari kabupaten/kota yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan

bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu. Susunan Keanggotaan Komisi Penilai Kabupaten/Kota dari unsur-unsur wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, wakil dari instansi di bidang lingkungan hidup daerah, wakil dari instansi penanaman modal daerah, wakil dari instansi di bidang pertanahan daerah, wakil dari instansi di bidang kesehatan daerah, wakil dari instansi terkait lainnya di daerah, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil dari organisasi lingkungan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil dari masyarakat yang terkena dampak dan anggota-anggota lain yang dipandang perlu.
Universitas Sumatera Utara

Dalam pelaksanaan tugasnya, Komisi Penilai dibantu oleh Tim Teknis yang mempunyai tugas menilai secara teknis dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL berdasarkan permintaan Komisi Penilai serta Sekretariat Komisi Penilai yang mempunyai tugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan, penyediaan informasi pendukung dan tugas lain yang diberikan oleh Komisi Penilai. Tata Kerja Komisi Penilai AMDAL saat ini berpedoman kepada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Secara umum mekanisme Tata Kerja Komisi Penilai AMDAL Provinsi maupun Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut: 1. Sebelum memulai penyusunan Dokumen AMDAL, Pemrakarsa wajib memberitahukan secara resmi rencana usaha dan/atau kegiatannya kepada Gubernur u.p Kepala Badan Lingkungan Hidup sebagai Ketua Komisi Penilai AMDAL dan Bupati/Walikota yang bersangkutan. 2. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan disusun AMDAL-nya wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat. Badan Lingkungan Hidup sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup melalui Sekretariat Penilai akan membuat pengumuman kepada masyarakat tentang rencana usaha dan/atau kegiatan guna menerima saran dan pendapat dari masyarakat dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
Universitas Sumatera Utara

3. Prosedur Penerimaan dan Penilaian Dokumen KA-ANDAL: a. Penerimaan Dokumen. 1) Dokumen KA yang akan dinilai, diajukan oleh Pemrakarsa kepada Gubernur atau Bupati/Walikota melalui Sekretariat Komisi Penilai. 2) Sekretariat Komisi Penilai memeriksa kelengkapan administrasi dokumen KA dan memberikan tanda bukti penerimaan dokumen kepada Pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal penerimaan dokumen. 3) Dokumen KA wajib dinilai oleh Komisi Penilai dan pengambilan keputusan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota atas hasil penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda bukti penerimaan dokumen KA. b. Penilaian oleh Tim Teknis 1) Ketua Komisi Penilai AMDAL meminta Tim Teknis untuk menilai dokumen KA.

2) Undangan dan dokumen sudah harus diterima oleh Anggota Tim Teknis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal rapat penilaian. 3) Penilaian oleh Tim Teknis dilakukan dalam bentuk rapat yang dipimpin oleh Ketua Tim Teknis. 4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota Tim Teknis dicatat oleh petugas dari Sekretariat Komisi Penilai.
Universitas Sumatera Utara

5) Masukan dan pertimbangan teknis disampaikan kepada Rapat Komisi Penilai. c. Penilaian oleh Komisi Penilai. 1) Ketua Komisi Penilai AMDAL mengundang anggota untuk menilai dokumen Kerangka Acuan. 2) Undangan dan dokumen diterima oleh Anggota Komisi Penilai selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal rapat penilaian. 3) Penilaian oleh Komisi Penilai dilakukan dalam bentuk rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi Penilai. 4) Rapat Penilaian dihadiri oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau wakil yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan. 5) Dalam rapat penilaian, semua anggota Komisi Penilai berhak menyampaikan pendapatnya sesuai dengan ketentuan. 6) Anggota Komisi Penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat memberikan masukan tertulis selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah tanggal rapat penilaian. 7) Pemrakarsa wajib segera menanggapi dan menyempurnakan dokumen KA berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai AMDAL. 8) Dokumen yang telah ditanggapi dan disempurnakan oleh Pemrakarsa diserahkan kepada Ketua Komisi Penilai AMDAL melalui Sekretariat
Universitas Sumatera Utara

Komisi Penilai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal rapat penilaian dilaksanakan. 9) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan belum memenuhi ketentuan perbaikan berdasarkan hasil penilaian, Ketua Komisi Penilai AMDAL berhak meminta Pemrakarsa untuk memperbaiki kembali dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. 10)Apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan, maka Komisi Penilai AMDAL wajib menolak Kerangka Acuan tersebut. 4. Penerbitan Keputusan Kesepakatan Kerangka Acuan a. Keputusan Kesepakatan Kerangka Acuan diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. b. Penerbitan Keputusan tersebut dilakukan berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai AMDAL. c. Keputusan Kesepakatan tersebut harus memuat kesepakatan tentang ruang

lingkup kajian analisis dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan. d. Gubernur atau Bupati/Walikota menjamin Keputusan Kesepakatan KA beserta dokumennya dapat diakses oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara

5. Prosedur Penerimaan dan Penilaian Dokumen ANDAL, RKL dan RPL: a. Penerimaan Dokumen 1) Dokumen ANDAL, RKL dan RPL diajukan oleh Pemrakarsa kepada Gubernur atau Bupati/Walikota melalui Sekretariat Komisi Penilai. 2) Sekretariat Komisi Penilai memeriksa kelengkapan administrasi dokumen dan memberikan tanda bukti penerimaan dokumen kepada Pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal penerimaan dokumen. 3) Dokumen ANDAL, RKL dan RPL dilakukan penilaian oleh Komisi Penilai dan pengambilan keputusan oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota atas hasil penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda bukti penerimaan dokumen. b. Penilaian oleh Tim Teknis 1) Ketua Komisi Penilai AMDAL meminta Tim Teknis untuk menilai dokumen ANDAL, RKL dan RPL. 2) Undangan dan dokumen sudah harus diterima oleh Anggota Tim Teknis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal rapat penilaian. 3) Penilaian oleh Tim Teknis dilakukan dalam bentuk rapat yang dipimpin oleh Ketua Tim Teknis. 4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota Tim Teknis dicatat oleh petugas dari Sekretariat Komisi Penilai.
Universitas Sumatera Utara

5) Masukan dan pertimbangan teknis disampaikan kepada Rapat Komisi Penilai. c. Penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL 1) Ketua Komisi Penilai AMDAL mengundang para anggota untuk menilai dokumen ANDAL, RKL dan RPL. 2) Undangan dan dokumen sudah harus diterima oleh Anggota Komisi Penilai selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal rapat penilaian. 3) Penilaian oleh Komisi Penilai dilakukan dalam bentuk rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi Penilai. 4) Rapat Penilaian wajib dihadiri oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau wakil yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan serta tim penyusun dokumen AMDAL. 5) Dalam rapat penilaian, semua anggota Komisi Penilai berhak menyampaikan pendapatnya sesuai dengan ketentuan. 6) Anggota Komisi Penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat memberikan masukan tertulis selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah tanggal rapat penilaian. 7) Pemrakarsa wajib segera menanggapi dan menyempurnakan dokumen ANDAL, RKL dan RPL berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai

AMDAL.
Universitas Sumatera Utara

8) Dokumen yang telah ditanggapi dan disempurnakan oleh Pemrakarsa diserahkan kepada Ketua Komisi Penilai AMDAL melalui Sekretariat Komisi Penilai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal rapat penilaian dilaksanakan. 9) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan belum memenuhi ketentuan perbaikan berdasarkan hasil penilaian, Ketua Komisi Penilai AMDAL berhak meminta Pemrakarsa untuk memperbaiki kembali dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. 10)Ketua Komisi Penilai AMDAL menyampaikan Berita Acara Penilaian dan dokumen yang telah disempurnakan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. 6. Penerbitan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup. a. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup suatu rencana usaha dan/atau kegiatan diterbitkan oleh Gubernur (untuk Provinsi) atau Bupati/ Walikota (untuk Kabupaten/Kota). b. Penerbitan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup tersebut wajib mencantumkan: 1) Dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan tersebut. 2) Pertimbangan terhadap saran, pendapat, dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat.
Universitas Sumatera Utara

c. Salinan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup suatu usaha dan/atau kegiatan beserta dokumen ANDAL, RKL dan RPL suatu usaha dan/atau kegiatan disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan serta instansi terkait (Per Men LH, 2008). 2.5. Evaluasi terhadap Kualitas Dokumen AMDAL Kualitas dokumen AMDAL dapat dinilai dari: a. Kesempurnaan dokumennya dengan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Kelengkapan dan kesempurnaan, konsistensi daftar isi dan isi, halaman bab dan sub babnya dengan Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL yang ditetapkan Pemerintah yaitu Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 9 Tahun 2000 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006. 2) Kelengkapan pemberian sumber atau asal dan tahun pada data yang diambil, terutama untuk seluruh tabel yang ada dalam AMDAL. Di samping itu judul tabel juga harus lengkap, jelas dan tidak terlalu panjang. 3) Kelengkapan pada setiap peta termasuk keterangan yang diperlukan seperti skala, simbol, legenda, keterangan pembuat peta dan judul peta. 4) Kelengkapan daftar pustaka yang terdiri atas, catatan nama pengarang, tahun, judul buku, penerbit dan kota di mana buku itu diterbitkan.
Universitas Sumatera Utara

5) Kelengkapan dan konsistensi laporan atau dokumen AMDAL dari halaman depan hingga akhir yaitu spasi, awal kalimat pada alinea, jarak tepi, huruf pada judul dan sub judul. 6) Ketepatan dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang benar. Penggunaan bahasa asing dapat dilakukan hanya apabila terpaksa saja atau hanya untuk istilah-istilah teknis. Sementara itu penggunaan nama-nama latin terhadap flora, fauna, mikrobia, plankton dan benthos sejauh mungkin dilengkapi dengan nama daerah. Tata cara menulis nama Latin harus benar sesuai dengan tata nama (nomenklatur) yang benar. b. Substansi Dokumen AMDAL memenuhi kriteria antara lain: 1) Penetapan Dampak Penting Hipotetik. 2) Mengacu kepada Pedoman atau Petunjuk Teknis yang tepat sesuai dengan jenis usaha/kegiatan yang direncanakan seperti: a) Untuk jenis usaha/kegiatan di bidang Pertambangan dan Energi mengacu pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1457.K/28/MEM/2000 tanggal 3 Nopember 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi. b) Untuk jenis usaha/kegiatan Pembangunan Pelabuhan mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.75 tahun 1994 tanggal 4 Nopember 1994 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Kepelabuhanan, dll.
Universitas Sumatera Utara

3) Ketepatan dalam memilih metoda AMDAL. Metoda AMDAL sangat banyak jumlahnya, metoda yang ada terus dikembangkan dengan tujuan untuk mencapai suatu strategi pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan (Cherp, et al, 2004). Apabila tidak memperhitungkan aspek biaya, tenaga dan waktu, maka metoda yang paling sesuai untuk berbagai proyek dalam berbagai lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Ekosistem Hutan (alam): Metoda Leopold, Leopold Dimodifikasi, Battelle, Overlay. 2. Tepi Sungai: Metoda Sorenson, Leopold Dimodifikasi. 3. Perkotaan: Metoda Fisher & Davies, Moore, Battelle. 4. Danau alam: Metoda Leopold, Leopold Dimodifikasi, Sorenson. 5. Waduk/Dam: Metoda Fisher & Davies, Moore, Sorenson, Battelle. 6. Pesisir (alam): Metoda Leopold, Leopold Dimodifikasi, Sorenson. 7. Daerah pedesaan: Metoda Moore, Battelle, Fisher & Davies. 8. Pantai: Fisher & Davies, Moore, Sorenson, Battelle, Overlay. 9. Persawahan: Fisher & Davies, Moore, Sorenson, Battelle 10. Perkebunan: Fisher & Davies, Overlay, Leopold, Leopold Dimodifikasi, Sorenson, Moore, Battelle 4) Kesesuaian pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. upaya pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dengan menggunakan cara-cara (rekayasa teknis, biotis dan sosial) yang paling
Universitas Sumatera Utara

efisien dari segi dana dan efektif dalam menurunkan zat-zat

pencemaran dalam air dan udara. b. kesesuaian instansi pelaksana, penanggung jawab dan instansi terkait. 5) Kesesuaian pemantauan lingkungan hidup meliputi: a. penentuan lokasi, waktu, periode pemantauan. b. kesesuaian dalam memilih cara, peralatan dan analisis dalam pemantauan. c. kesesuaian dalam menentukan instansi pelaksana, penanggung jawab dan instansi yang terkait untuk memanfaatkan hasil pemantauan (Fandeli, 2007). Kualitas dokumen AMDAL secara langsung dipengaruhi oleh mutu penilaian AMDAL yang dilakukan Komisi Penilai AMDAL. Sebagai pelengkap terhadap KepMenLH Nomor 2 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian Dokumen AMDAL, Asisten Deputi Urusan Kajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup telah menerbitkan buku Teknik Penilaian Dokumen AMDAL yang menjabarkan kriteria dan teknik uji mutu dari dokumen AMDAL yang bersifat praktis, logissistematis dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel), yaitu: 1. Uji Administratif. 2. Uji Fase Kegiatan Proyek. 3. Uji Mutu (Uji Mutu Aspek Konsistensi, Aspek Keharusan, Aspek Relevansi dan Aspek Kedalaman) (KLH, 2002).
Universitas Sumatera Utara

BATAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSSSSSSSSS

2.4. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Siswanto (2001), mengatakan bahwa secara empirik banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat lebih mampu, mengidentifikasi, menilai dan memformulasikan permasalahannya, baik fisik, sosial kultural maupun ekonomi dan kesehatan lingkungan, membangun visi dan aspirasi dan kemudian memprioritaskan, intervensi, merencanakan, mengelola, memonitor dan bahkan memilih tehnologi yang tepat. Masyarakat juga dapat memainkan peranan yang sesuai dengan kondisi fisik wilayah serta ketersediaan sumber daya yang ada dengan batasan-batasan yang lebih mereka kenal, sehingga pengelolaan sumberdaya alam yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat lokal tepi Danau Toba tetap dapat dipakai dalam waktu yang relatif lebih lama dengan meminimalisir dampak yang akan muncul kemudian hari. Pomeroy and William (1994 dalam Imbiri, 2004), menyebutkan bahwa kunci keberhasilan dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adalah: Universitas Sumatera Utara

(1) Batas wilayah yang jelas terdefinisi. Batas fisik dari suatu kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan diketahui secara pasti oleh masyarakat. Dalam hal ini peranan pemerintah daerah dalam menentukan zoning dan sekaligus melegalilsasinya menjadi sangat penting, batas-batas wilayah tersebut harus berdasarkan sebuah ekosistem, sehingga sumberdaya alam tersebut lebih mudah untuk diamati dan dipahami. (2) Kejelasan keanggotaan. Segenap pengguna yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam di suatu kawasan dan berpartisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan didefinisikan dengan jelas, jumlah pengguna tersebut seoptimal mungkin tidak boleh terlalu banyak, sehingga proses komunikasi daria mayarakat yang dilakukan lebih efektif. (3) Keterikatan dalam kelompok. Kelompok masyarakat yang terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan. Dalam konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan baik dalam hal etnik, agama, metode pemanfaatan, keabutuhan harapan dan sebagainya. (4) Manfaat harus lebih besar dari biaya. Setiap komponen masyarakat di sebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari partisipasi masyarakat dalam konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat akan lebih besaar dibanding Universitas Sumatera Utara

biaya yang dikeluarkan. Dalam hal ini, salah satu komponen indikatornya dapata berupa rasio pendapatan relatif dari masyarakat lokal dan stakehoders lain. (5) Pengelolaan yang sederhana. Dalam model pengelolaan sumberdaya alam, salah satu kunci kesuksesan adalah penerapan peraturan yang sederhana namun terintegrasi. Proses monitoring dan penegakan hukum dapat dilakukan secara terpadu dengan basis masyarakat sebagai pemeran utama. (6) Legalisasi Pengelolaan Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari pemerintah daerah sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara hukum terlindungi. Dalam hal ini jika hukum adat dalam suatu wilayah telah ada maka pemerintah seyogyanya memberikan legalisasi sehingga keberadaan hukum ini mempunyai kekuatan hukum yang lebih dalam penerapannya, baik setempat maupun stakeholders lain yang lerlibat, selain itu dengan adanya legalisasi semakin menumbuhkan kepercayaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumberdaya alam yang lebih lestari. (7) Kerjasama dalam kepemimpinan masyarakat. Kunci sukses lain adalah adanya individu maupun kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses pengelolaan sumber daya alam, upaya tersebut termasuk kepemimpinan yang diterima semua pihak khususnya dalam kalangan masyarakat, selain itu program kemitraan antar Universitas Sumatera Utara

segenap pengguna sumberdaya alam (pemerintah, masyarakat, swasta, LSM dan lain sebagainya) saling bermitra dalam setiap aktifitas ekonomi, sosial, keamanan dan lain-lain. (8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang. Pemerintah daerah sebagai bagian dari tripartit pengelolaan dengan model pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat ini perlu memberikan desentralisasi proses administrasi dan pendelegasian tanggunga jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat. (9) Koordinasi antara pemerintah dan masyarakat. Sebuah lembaga koordinasi atau semacam koordinasi pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat berada di luar masyarakat yang terlibat dan beranggotakan masyarakat lokal, stakeholders lainnya dan wakil pemerintah, merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka memonitor pengelolaan penyusunan lokal dan pemecahan konflik. (10) Pengetahuan, kemampuan dan kepedulian masyarakat. Dalam rangka memberikan kepastian bahwa masyarakat mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka diperlukan suatu upaya yang mampu memberikan peningkatan ketrampilan dan kepedulian masyarakat untuk turut serta secara aktif, responsif dan efektif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Universitas Sumatera Utara

2.5. Sumberdaya Alam Sumberdaya alam merupakan salah satu unsur dari lingkungan hidup yang terbentuk karena kekuatan alamiah sangat penting artinya dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan keperluan manusia, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 menyebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan. Berdasarkan penggunaannya sumberdaya alam dapat dikelompokkan: (1) sumberdaya alam penghasil energi seperti: air, matahari, arus laut; (2) sumberdaya alam penghasil bahan baku seperti: mineral, gas bumi, biotis dan lain-lain; (3) sumberdaya alam lingkungan hidup seperti udara dan ruangan, perairan, lansekap dan sebagainya. Sedangkan sumberdaya alam berdasarkan kemampuan untuk memperbaharui diri telah mengalami gangguan dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) unrenewablw resources yakni sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan seperti mineral, minyak bumi, tembaga, gas bumi dan lain-lain; (2) renewable resources, yakni sumberdaya alam yang dapat diperbaharui atau dipulihkan, seperti air, hutan dan sebagainya. Fauzi (2010) menyatakan bahwa dalam memahami sumberdaya alam, ada dua pandangan yang umumnya digunakan, Pertama adalah pandangan konservatif atau sering disebut juga pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering juga disebut sebagai perspektif Ricardian. Universitas Sumatera Utara

Aset adalah kekayaan alam yang disebut dengan istilah properti. Pengertian aset menurut pembangunan berkelanjutan adalah berdasarkan tiga aspek pokok, yaitu: sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastuktur. Tiga aspek pokok tersebut dapat diuraikan satu persatu sebagai berikut: 1. Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. 2. Sumberdaya manusia adalah semua potensi yang ada pada manusia seperti akal pikiran, seni, ketrampilan dan sebagainya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bagi dirinya maupun orang lain atau masyarakaat pada umumnya. 3. Infrastruktur adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan semaksimalnya, baik untuk saat ini maupun berkelanjutannya di masa yang akan datang.

Kepemilikan dari aset-aset tersebut dapat jatuh kembali selama krisis berlangsung akan berkurang atau tidak mencukupi dan mereka harus melakukan efisiensi dalam mengelola aset atau sumber daya yang dimiliki. Beberapa kelompok yang rentan mungkin tidak dapat mengeksploitasi aset secara efektif dan ada kemungkinan menjual sebagian dari milik mereka atau aset yang dimiliki dan pada akhirnya kembali menjadi rentan. Sebagai contoh kepemilikan tanah oleh wanita-wanita sebagai kepala rumah tangga tanpa kemampuan atau kecakapan menggunakan lahannya untuk kegiatan pertanian atau menggunakan tenaga kerja untuk kegiatan bercocok tanam. Kerentanan tidak hanya sekedar risiko untuk menjadi miskin karena Universitas Sumatera Utara

degradasi lilngkungan alam tetapi juga merupakan risiko dari eksploitasi dan manipulasi dari kelompok-kelompok penguasa atau powerful group. Kemampuan untuk mengeluarkan pendapat dan melawan exploitasi adalah sangat penting. Asset management juga menyangkut 3 hal penting agar komunitas atau rumah tangga maupun perorangan dapat tetap eksis atau berada dalam keadaan yang lebih baik yaitu (Mani dalam Imbiri, 2006): 1. Protecting the Asset Base (Proteksi Aset). Kelompok yang rentan mungkin saja memiliki aset sumberdaya alam, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk memproteksinya, sebagai contoh; petani dengan lahan yang luas dapat memonopoli pembagian irigasi dan nelayan dengan kapal besar dan pukat harimau dapat menekan atau mengurangi tangkapan nelayan kecil, atau perusahaan raksasa pemegang Hak Pengusahaan Hutan yang merugikan atau menyesengsarakan masyarakat lokal. Asset juga dapat terancam karena bencana alam seperti banjir dan longsor lahan dan kelompok rentan ini tidak memiliki kapasitas untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi seperti ini. Pendekatan untuk memproteksi asset lebih difokuskan pada perbaikan komunitas dan pengelolaan sumberdaya alam dan transfer atau pengalihan tehnik-tehnik atau cara-cara memproteksi dan mengelola dan mengukur mitigasi yang dipakai untuk memproteksi dari risiko yang mungkin timbul. Pengelolaan asset dalam rangka proteksi ini dapat berupa perbaikan kesehatan, perbaikan gizi, pendidikan, tersedianya waktu untuk membicarakan perlindungan Universitas Sumatera Utara

terhadap asset, kepemimpinan dari pemimpin informasi sangatlah memegang peranan yang penting. 2. Ekspanding the Asset Base (ekspansi aset). Ketidak seimbangan pemilikan asset karena perbedaan kelompok sosial ekonomi tertentu dapat menyebabkan kerentanan. Sebagai contoh; masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian di pedesaan dan penghuni kawasan kumuh di perkotaan, berada dalam kelompok yang rentan. Kebijakan untuk mengekspansi asset memang diperlukan, sebagai contoh; kebijakan land reform dimana dilakkukan distribusi kepemilikan tanah dan pemberian hak bagi mereka yang menempati lahan publik di daerah kumuh perkotaan, dengan cara kredit. Perbaikan infrastruktur seperti layanan air bersih dan sanitasi di daaerah miskin perkotaan dan akses irigasi bagi desa miskin. Dengan demikian Human Capital, dapat diperbaiki dengan pendidikan gratis atau bersubsidi, pelayanan kesehatan. Sosial capital, dapat diperluas dalam aktifitas komunitas dan ada asosiasi bagi wanita dan pemuda. Aset keuangan dapat berekspansi melalui kreasi dari peluang-peluang penghidupan dengan ketrampilanketrampilan dan pemberian kredit. 3. Improving the Asset Base (perbaikan aset) Kualitas dari perluasan asset dasar penting untuk memastikan daya pegas dari masyarakat dalam mengatasi kerentanannya. Sumber daya alam seperti tanah dapat lebih produktif melalui pengelolaan pertanian dan pelatihan ketrampilan. Pengelolaan asset sumber daya oleh masyarakat adat tepian danau yang ada saat ini masih berupa pemanfaatan sumber daya danau dan hutan dalam rangka pemenuhan Universitas Sumatera Utara

kebutuhan hidup sehari-hari dan berdasarkan pengamatan dan pengalaman, proteksi asset sebagai sumber daya adalah dengan melarang masyarakat dari luar komunitas untuk memanfaatkan asset berupa sumber daya danau dan juga ada usaha-usaha untuk meregistrasi asset berupa tanah pada kantor pertanahan setempat yang dilakukan oleh perorangan. Jika hal ini dilakukkan demi keberlangsungan asset atau perluasan darai asset management yang dikuasai atau dimiliki dengan cara menjaminkan ke lembaga pemberi kredit seperti bank, untuk kepentingan usaha yang produktif maka akan memenuhi unsur ketiga tersebut di atas. Dalam kenyataannya yang terjadi adalah dengan terregistrasinya asset atau terdaftarnya sebidang tanah pada kantor pertanahan, atau tanah tersebut sudah bersertifikat tidak jarang proses peralihan asset kepada pihak ketiga menjadi lebih mudah, biasanya yang dapat disertifikatkan adalah bagian tanah yang sudah menjadi pemilikan pribadi, sumber daya alam yang bersifat komunal seperti danau dan hutan. Hutan dan gunung terkadang menjadi bagian yang juga dengan mudah dapat beralih ke pihak lain, walaupun tidak melalui mekanisme jual beli seperti sertifikat hak atas tanah, sebagai asset yang ada pada mereka dengan melihat pola perilaku atau kebiasaan yang berlangsung terus menerus dalam komunitas atau kesatuan masyarakat dalam aktifitas keseharian baik itu secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam yang tergolong atau karena sifatnya dikelompokkan sebagai benda tidak bergerak atau benda tetap. Secara umum benda tetap dalam lapangan hukum perdata khususnya hukum benda adalah sebagai Universitas Sumatera Utara

berikut: tanah, rumah, kebun, sumber daya hutan, sumber daya danau, sungai dan lahan serta benda lain yang dipersamakan dengan itu, sedangkan menurut hukum adat setempat mungkin saja ada penggolongan yang lain. Dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya masyarakat Kabupaten Simalungun secara umum dan masyarakat lokal tepi Danau Toba secara khusus melaksanakan pengelolaan sumber daya alamnya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berjalan terus menerus dan menjadi warisan dari leluhur mereka, dari sinilah muncul hubungan mereka dengan sumber daya alam yang mereka kuasai sebagai bagian dari kehidupan masyarakat lokal tepi Danau Toba.

BATAAAAAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSSSSSSSSSSSSSS

Rahmatullah Catatan tentang Masyarakat, Humaniora dan Kesejahteraan Sosial


Beranda Profil Kesos CSR Humaniora Fotografi

Masalah Pengelolaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Sektor Pertambangan
Mei 2010 08 posted by rahmat rahmatullah on CSR 6 comments

I.1 Pendahuluan Dalam konteks pembangunan saat ini, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada aspek keuntungan secara ekonomis semata, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan usahanya, melainkan juga bertanggungjawab terhadap aspek sosial dan lingkungannya. Dasar pemikirannya adalah menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan aspek terkait lainnya, yaitu aspek sosial dan lingkungan (Rudito, Budimanta, Prasetijo: 2004). Terdapat beberapa contoh kasus, terkait permasalahan yang muncul dikarenakan perusahaan dalam melaksanakan operasinya kurang memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial di sekitarnya, hususnya perusahaan yang aktivitasnya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (ekstraktif). Sebagai contoh, PT. Freeport Indonesia salah satu perusahaan

tambang terbesar di Indonesia yang berlokasi di Papua, yang memulai operasinya sejak tahun 1969, sampai dengan saat ini tidak lepas dari konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal, baik terkait dengan tanah ulayat, pelanggaran adat, maupun kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi (Wibisono: 2007). Kasus Pencemaran Teluk Buyat, yaitu pembuangan tailing ke dasar laut laut yang mengakibatkan tercemarnya laut sehingga berkurangnya tangkapan ikan dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat lokal akibat operasional PT Newmon Minahasia Raya (NMR) tidak hanya menjadi masalah nasional melainkan internasional (Leimona, Fauzi :2008). Begitupula konflik hingga tindak kekerasan terjadi akibat pencemaran lingkungan dan masalah sosial terkait operasional PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) di wilayah Duri Provinsi Riau, dimana masyarakat menuntut kompensasi hingga tingkat DPR pusat terkait dampak negatif operasional perusahaan tersebut terhadap kondisi ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang semakin memburuk (Mulyadi: 2003). Jika dilihat dari beberapa kasus diatas, masalah sosial dan lingkungan yang tidak diatur dengan baik oleh perusahaan ternyata memberikan dampak yang sangat besar, bahkan tujuan meraih keuntungan dalam aspek bisnis malah berbalik menjadi kerugian yang berlipat. Oleh karena itu masalah pengelolaan sosial dan lingkungan untuk saat ini tidak bisa menjadi hal marginal, ditempatkan pada tahap kuratif atau aspek yang tidak dianggap penting dalam beroperasinya perusahaan. Tanggungjawab sosial perusahaan atau dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan aspek penting yang harus dilakukan perusahaan dalam operasionalnya. Hal tersebut bukan semata-mata memenuhi peraturan perundang-undangan sebagaimana untuk perusahaan tambang diatur dalam Undang-undang No 22 tahun 2001, maupun untuk Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Undang undang No. 40 pasal 74 tahun 2007, melainkan secara logis terdapat hukum sebab akibat, dimana ketika operasional perusahaan memberikan dampak negatif, maka akan muncul respon negatif yang jauh lebih besar dari masyarakat maupun lingkungan yang dirugikan. Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa perusahaan harus melaksanakan CSR, khususnya terkait dengan perusahaan ekstraktif (Wibisono: 2007). Pertama, perusahaan merupakan bagan dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang

kadang bersifat ekspansif dan eksploratif, disamping sebagai kompensasi sosial karena timbul ketidaknyamanan (discomfort) pada masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, setidaknya izin untuk melakukan operasi yang sifatnya kultural. Wajar bila perusahaan juga dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.

II. Kerangka Pemikiran II.1 Perkembangan CSR dan Pembangunan Berkelanjutan Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The World Commission On Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Solihin: 2009). The Brundtland Comission dibentuk untuk menanggapai keprihatinan yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini juga dibentuk untuk mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. Oleh karenanya, konsep sustainability development dibangun diatas tiga pilar yang berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya, Ketiga pilar tersebut adalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam The United Nation 2005 World Summit Outcome Document (Solihin: 2009). Pengenalan konsep Sustainability development memberikan dampak kepada

perkembangan devinisi dan konsep CSR selanjutnya. Sebagai contoh The Organization for economic cooperation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai Kontribusi bisnis

bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis juga harus meberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat. Lembaga lain yang memberikan rumusan CSR sejalan dengan konsep sustainability development adalah The World Business Council for Sustainability Development. Menurut organisasi ini CSR adalah komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para ekerja dan keluarganya demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas (Solihin : 2009). Menurut World Bank (Fox, Ward dan Howard 2002:1) CSR merupakan komitmen sektor swasta untuk mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development). Dukungan sektor swasta dalam hal ini perusahaan untuk melakukan tanggungjawab sosialnya adalah ketika pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk UN Global Compact sebagai salah satu lembaga yang merangkai konsep dan kegiatan CSR. Lembaga ini merupakan representasi kerangka kerja sektor swasta untuk mendukung pembanguan yang berkelanjutan dan terciptanya good corporate citizenship (UN Global Compact: 10). Tujuan utama yang ingin dicapainya adalah memberantas kemiskinan, menyelesaikan masalah buta huruf, memperbaiki pelayanan kesehatan, mengurangi angka kematian bayi, memberantas AIDS, menciptakan keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan, dan merangsang terciptanya kemitraan dalam proses pembangunan.

II.2 Pandangan Perusahaan Terhadap CSR Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat (Wibisono :2007). Setidaknya terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR, diantaranya: Pertama, Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan reputasi

(reputation driven), yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya mendongkrak citra dengan mamanfaatkan peristiwa bencana alam seperti memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi. Disatu sisi, hal tersebut memang menggembirakan terutama dikaitkan dengan kebutuhan riel atas bantuan bencana dan rasa solidaritas kemanusiaan. Namun disisi lain, fenomena ini menimbulkan tanda tanya terutama dikaitkan dengan komitmen solidaritas kemanusiaan itu sendiri. Artinya, niatan untuk menyumbang masih diliputi kemauan untuk meraih kesempatan untuk melakukan publikasi positif semisal untuk menjaga atau mendongkrak citra korporasi. Kedua, Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR

diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar (market driven). Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial. Seperti saat ini bank-bank di eropa mengatur regulasi dalam masalah pinjaman yang hanya diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. selain itu beberapa bursa sudah menerapkan indeks yang memasukan kategori saham-saham perusahaan yang telah mengimplemantasikan CSR, seperti New York Stock Exchange saat ini memiliki Dow Jones Sustainability Indeks (DJSI) bagi perusahaan-perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai CSR. Bagi perusahaan eksportir CPO saat ini diwajibkan memiliki sertifikat Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) yang mensyaratkan adanya program pengembangan masyarakat dan pelestarian alam. Selain market driven, driven lain yang yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper (Program Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Ketiga, Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekdar kewajiban (beyond compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggungjawabnya bukan

lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan. Perusahaan meyakini bahwa program CSR merupakan investasi demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) usaha. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre) melainkan sentra laba (profit center) di masa yang akan datang. Logikanya adalah bila CSR diabaikan, kemudian terjadi insiden, maka biaya untuk mengcover resikonya jauh lebih besar ketimbang nilai yang hendak dihemat dari alokasi anggaran CSR itu sendiri. Belum lagi resiko non-finansial yang berpengaruh buruk pada citra korporasi dan kepercayaan masyarakat pada perusahaan. Dengan demikian, CSR bukan lagi sekedar aktifitas tempelan yang kalau terpaksa bisa dikorbankan demi mencapai efisiensi, namun CSR merupakan nyawa korporasi. CSR telah masuk kedalam jantung strategi korporasi. CSR disikapi secara strategis dengan melakukan inisiatif CSR dengan strategi korporsi. Caranya, inisatif CSR dikonsep untuk memperbaiki konteks kompetitif korporasi yang berupa kualitas bisnis tempat korporasi beroperasi.

II.3 Penerapan CSR Terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan ketika perusahaan akan melakukan program CSR, menurut Wibisono (2008), setidaknya terdapat empat tahap, diantaranya: 1. Tahap perencanaan Perencanaan terdapat tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR Assessment, dan CSR manual building. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya CSR dan komitmen manajemen, Upaya ini dapat dilakukan antara lain melalui seminar, lokakarya, diskusi kelompok, dan lain-lain. CSR Assessment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif.

Langkash selanjutnya adalah membuat CSR manual. Hasil assessment merupakan dasar menyusun manual atau pedoman implementasi CSR. Upaya yang mesti dilakukan antara lain melalui benchmarking, menggali dari referensi atau menggunakan tenaga ahli. Manual merupakan inti dari perencanaan, karena menjadi panduan atau petunjuk pelaksanaan CSR bagi komponen perusahaan. Penyusunan manual CSR dibuat sebagai acuan, panduan dan pedoman dalam pengelolaan kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efesien. 2. Tahap Implementasi Perencanaan sebaik apapun tidak akan berarti dan tidak akan berdampak apapun bila tidak diimplementasikan dengan baik. Akibatnya tujuan CSR secara keseluruhan tidak akan tercapai, dan masyarakat tidak akan merasakan manfaat yang optimal. Padahal anggaran yang telah dikucurkan tidak bisa dibilang kecil. Oleh karena itu perlu disusun strategi untuk menjalankan rencana yang telah dirancang. Dalam memulai implementasi, pada dasarnya terdapat tiga aspek yang harus disiapkan, yaitu; siapa yang akan menjalankan, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara mealakukan impelementasi beserta alat apa yang diperlukan. Dalam istlah manajemen populer, aspek tersebut diterjemahkan kedalam: Pengorganisasi, atau sumber daya yang diperlukan Penyusunan (staffing) untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya. Pengarahan (directing) yang terkait dengan bagaimana cara melakukan tindakan Pengawasan atau kontrol terhadap pelaksanaan Pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana Penilaian (evaluating) untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan Tahap impelementasi ini terdidri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait degan implementasi CSR khsusnya mengenai pedoman penerapan CSR. Agar efektif, upaya ini perlu dilakukan dengan suatu tim atau divisi khusus yang dibentuk untuk mengelola program CSR, langsung berada dibawah pengawasan salah satu

direktur atau CEO. Tujuan utama sosialisasi adalah agar program CSR yang akan diimplementasikan mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen perusahaan, sehingga dalam perjalanannya tidak ada kendala serius yang dapat dialami oleh unit penyelenggara. Pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada dasarnya harus sejalan dengan pedoman CSR yang ada, berdasarkan roadmap yang telah disusun. Sedangkan internalisasi adalah tahap jangka panjang. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, misalnya melalui sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi, pemasaran dan proses bisnis lainnya. Dengan upaya ini dapat dinyatakan bahwa penerapan CSR bukan sekedar kosmetik namun telah menjadi strategi perusahaan, bukan lagi sebagai upaya untuk compliance tetapi sudah beyond compliance. 3. Tahap Evaluasi Setelah program diimplementasikan langkah berikutnya adalah evaluasi program. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektifitas penerapan CSR. Terkadang ada kesan, evaluasi baru dilakukan jika ada program yang gagal. Sedangkan jika program tersebut berhasil, justru tidak dilakukan evaluasi. Padahal evaluasi harus tetap dilakukan, baik saat kegiatan tersebut berhasil atau gagal. Bahkan kegagalan atau keberhasilan baru bisa diketahui setelah program tersebut dievaluasi. Evaluasi juga bukan tindakan untuk mencari-cari kesalahan. Evaluasi dilakukan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Misalnya keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, memperbaiki atau mengembangkan aspek-aspek tertentu dari program yang telah

diimplementasikan. 4. Pelaporan Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan proses pengembalian keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Jadi selain berfungsi untuk keperluan shareholder juga untuk stakeholder yang memerlukan.

II.4 Kebijakan Pemerintah Terdapat tiga peraturan yang mewajibkan perusahaan pengelola sumber daya alam untuk menjalankan program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR, diantarnya diatur dalam

Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT) No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 yang bunyinya adalah: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain Undang-undang PT, peraturan lain yang sifatnya umum namun terkait dengan kewajiban pelaksanaan Tanggungjawab Sosial Perusahaan adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa: "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan." Khusus bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola Sumber Daya Alam (SDA), terikat dalam Undang-undang No 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 13 ayat 3 (p), yang isinya: Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu : (p). pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.

III. Permasalahan Gambaran mengenai konsep ideal CSR diatas beserta aturan-aturan yang melingkupinya, tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam tataran realisasi, kontroversi terpusat pada masyarakat lokal yang berada di sekitar operasional perusahaan, khususnya perusahaan ekstraktif atau pengelola Sumber Daya Alam (SDA). Perusahaan-perusahaan ekstraktif yang beroperasi di Indonesia diwajibkan untuk melakukan program CSR bagi masyarakat lokal, sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang minyak dan gas bumi mengatur realisasi pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat (UU No. 22 tahun 2001).

Namun demikian masalahnya adalah selain implementasinya belum sepenuhnya memenuhi aturan-aturan tersebut, program-program pengembangan masyarakat atau community development (CD), belum menyentuh permasalahan mendasar yang dihadapi masyarakat. Secara umum program tersebut belum memberdayakan masyarakat sehingga mereka siap menghadapi masa pasca penambangan. Ini artinya bahwa perusahaan belum mampu merealisasi program community development dengan baik karena muara dari program community development merupakan pemberdayaan masyarakat (Ife: 2006) Proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan memberi peluang kerja bagi masyarakat lokal. Terlepas dari jumlahnya, sebagian dari masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan mendapatkan kesempatan bekerja pada perusahaan tersebut. Selain itu, proses produksi merangsang munculnya kegiatan-kagiatan ekonomi di wilayah operasinya. Kondisi seperti ini memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun demikian kondisi ini bisa berubah sebaliknya ketika proses ekstraksi berhenti karena sumber daya alamnya tidak bisa dieksplotasi lagi. Maka masyarakat yang sebelumnya mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan, tidak memiliki kesempatan itu lagi. Hal ini akan menjadi lebih buruk apabila pada waktu perusahaan-perusahaan sudah habis masa kontraknya dan harus meninggalkan daerah operasinya, masih menyisakan masalah kerusakan fisik lingkungan dan pencemaran yang diakibatkan proses produksi yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan masyarakat lokal karena kerusakan lingkungan bisa menimbulkan erosi, banjir, dan tanah longsor. Sementara pencemaran bisa mengganggu kesehatan dan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh kasus sebagaimana dikemukakan Mulyadi (2003), di Provinsi Riau, masyarakat Duri yang hidup di daerah dekat wilayah operasi PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) mengalami kerugian dalam aspek kesehatan dan ekonomis. Ekspansi daerah operasi perusahaan ini membuat jarak daerah pengeboran minyak dengan pemukiman penduduk hanya sekitar 200 meter. Dalam kondisi seperti ini pengeboran minyak menyebabkan sumur-sumur penduduk menjadi kering. Akibatnya konsumsi air bersih menjadi masalah serius. Air bersih menjadi barang yang langka. Untuk memperolehnya masyarakat harus membelinya. Selain sumur menjadi kering, hal yang sama juga terjadi pada kolam ikan yang dikelola penduduk. Usaha rumah tangga ini menjadi tidak bisa dilanjutkan oleh masyarakat. Pada wilayah lain, masyarakat Marangkayu yang tinggal di daerah sekitar lokasi pengolahan PT. Unocal mengeluh karena terjadi pencemaran minyak di sawah dan tambak mereka. Mereka mengklaim bahwa hasil

pertanian dan tambak mengalami penurunan karena pencemaran tersebut. Kondisi ini menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Dalam proses penyelesaianya, masyarakat Duri mencoba mengajukan tuntutan untuk mendapatkan kompensasi terhadap kerugian-kerugian yang dideritanya. Penyelesaian dari tuntutan ini tidak sedehana. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau tidak mampu menyelesaikan masalah ini, isu tersebut dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat dan. Sementara itu kasus Marangkayu bisa diselesaikan di DPRD Kutai Timur. Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif. Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan oleh masalah tanah. Persengketaan tersebut terjadi antara masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah Kalimantan Timur dengan PT Kelian Equatorial Mining (KEM); suku Dayak Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT Indomuro Kencana (Aurora Gold); masyarakat tradisional Amungme di Papua Barat dengan PT Freeport Indonesia; dan masyarakat adat di daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan PT Kideco (Mulyadi: 2003) Elaborasi di atas menunjukkan bahwa kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan belum mampu menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan dan lingkungan yang dihadapi masyarakat lokal. Padahal esensi program pengembangan masyarakat mestinya mampu menyelesaikan kedua masalah tersebut dan pada saat yang sama juga menyiapkan masyarakat lokal supaya mandiri pasca ektraksi. Kesulitan-kesulitan secara sosial-ekonomis pasca ekstraksi tidak hanya dihadapi pada tataran keluarga, tetapi juga pada tingkatan pemerintah daerah. Selain tutupnya perusahaan akan mengurangi kontribusi dalam menyelesaikan masalah tenaga kerja, pemerintah daerah juga akan kehilangan sumber pendapatan asli daerahnya (PAD). Kasus yang terjadi di Belitung menunjukkan hal tersebut. Ketika timah sudah tidak bisa ditambang lagi, daerah tersebut menghadapi masalah lingkungan karena cekungan-cekungan bekas penambangan yang tidak direklamasi. Pada sisi yang lain PAD yang diterima pemerintah daerah mengalami penurunan. Ditambah lagi munculnya gejolak-gejolak sosial-ekonomi dari masyarakat yang sebelumnya bekerja di perusahaan yang mengelola penambangan timah. Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan baik yang terjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap keberadaan perusahaan dan

terhadap kegiatan-kegiatan CSR. Penolakan-penolakan tersebut terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan CSR, atau memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat terciptanya program yang keberlanjutan.

III.1 Stakeholders dalam Program CSR: Peranan dan Kepentingannya Apabila diurai dengan lebih rinci, sebenarnya peta permasalahan yang terjadi tidak sesederhana seperti yang dijelaskan di atas. Jalinan simpul-simpul yang menjalin konflik relatif rumit. Hal ini karena stakeholders yang terlibat dalam pelayanan-pelayanan sosial yang dilakukan oleh perusahaan cukup kompleks. Stakeholder dalam pelayanan sosial adalah negara, sektor prifat, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Sementara mereka memiliki kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain. Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan beberapa kepentingan. Stidaknya bisa diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Sebagian besar perusahaan ektraktif berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam area yang sangat luas. Secara fisik, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinan-kemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konfik dengan masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi. Konflik yang muncul ke permukaan sampai dalam wujud demonstrasi merupakan situasi yang sangat dipertimbangkan oleh perusahaan. PT. Unocal misalnya, yang sudah beroperasi dari tahun 1970an di daerah Marangkayu, Kutai Timur baru menjalankan kegiatan CSR pada tahun 2002 setelah masyarakat Marangkayu melakukan protes dengan mengadakan demonstrasi masal. Demonstrasi itu berjalan di sekitar lokasi pengolahan minyak. Kegiatan ini pada akhirnya sulit dikendalikan dan terjadi konflik fisik yang menyebabkan terjadinya penembakan dengan peluru

karet pada salah seorang demonstran oleh aparat keamanan. Akibat dari demonstrasi tersebut dilakukan negosisasi yamg memaksa PT. Unocal untuk melakukan kegiatan-kegiatan filantropis dalam program CSR (Mulyadi: 2003). Beberapa perusahaan juga merealisasi kegiatan CSR dalam waktu yang tidak jauh berbeda dari waktu ketika PT. Unocal melakukan program CSR yang pertama kali. Sulit mengidentifikasi kapan perusahaan ekstraktif mulai melakukan kegiatan CSR. Namun demikian, sebagian besar persahaan merealisasi program CSR secara intensif setelah dilakukannya otonomi daerah. Dalam era desentralisasi kekuatan masyarakat lokal menjadi lebih besar. Kebebasan mereka untuk menyalurkan aspirasinya manjadi lebih kuat. Ruang mereka untuk menyuarakan tuntutan mereka pada masalah pencemaran, masalah tenaga kerja, dan masalah tanah pada perusahaan menjadi lebih luas. Kecenderungan ini sangat mungkin menyulut konflik. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah perusahaan tidak akan melakukan program CSR apabila masyarakat tidak memprotes masalah pencemaran dan kesenjangan sosial, kemudian menuntut direalisasinya program tersebut. Kemungkinan besar program tersebut akan dilakukan walaupun belum pasti waktu realisasinya karena terkait dengan kondisi perusahaan yang biasanya baru akan melakukan program tanggungjawab sosial jika sudah mendapatkan laba. Hal ini karena secara hukum setiap perusahaan ekstraktif diwajibkan untuk merealisasi program community development, dinyatakan bahwa dalam setiap kontrak kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan pelaksana kegiatan penambangan, perusahaan tersebut diharuskan melakukan program community development. dan Undang-Undang No 40 tahun 2007 bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk menunjukkan bahwa perusahaan sudah melakukan kegiatan-kegiatan CSR perusahaan biasanya mempublikasikan aktivitas tersebut pada publik dengan

mempropagandakannya lewat media massa. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa terlihat seolah-olah sebegitu besar biaya yang digunakan untuk merealisasi program CSR. Sedangkan masyarakat lokal merasa bahwa realisasi program tidak menggunakan biaya sebesar seperti yang tertulis pada propaganda. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes dan kewajiban kontrak, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Ide mengenai konsep CSR juga dilandasi pemikiran yang demikian (UN Global Compact: 20). Secara filantropi perusahaan seharusnya meredistribusi keuntungannya

setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi sebagian besar masyarakat lokal berada dalam keadaan miskin. Hal tersebut sebetulnya merupakan kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Sementara itu pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan sebagaimana dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan regional yang diimplementasinya. Pada sisi yang lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama LSM lokal melakukan dua peranan. Peranan yang pertama adalah mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi yang dilakukan perusahaan dan realisasi program CSR. Sedangkan peranan yang kedua adalah menjadi partner perusahaan untuk menjalankan programprogram CSR. Di Kalimantan Timur misalnya, terdapat dua aliansi LSM yaitu Aliansi Lingkar dan Alians Pemantau Pembangunan. Kedua aliansi LSM itu mewakili dua peranan tersebut. Aliansi Lingkar lebih memerankan fungsi yang pertama sedangkan Aliansi Pemantau Pembangunan melakukan peranan yang kedua (Mulyadi: 2003). Akibat pencemaran dan masalah sengketa tanah menimbulkan konflik yang cukup variatif. Sampai seberapa jauh pencemaran lingkungan menimbulkan masalah dan bagaimana respon yang dilakukan perusahaan terhadap masalah tersebut merupakan salah satu fokus kontrol LSM. Respon perusahaan terhadap keluhan-keluhan masyarakat lokal sering menimbulkan masalah baru karena kadang tidak proporsional. Dalam hal realisasi CSR, LSM mencermati masalah pendekatan yang digunakan. Bagaimana masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dianggap isu penting oleh LSM. Selain itu perhatian LSM juga dicurahkan pada akibat yang ditimbulkan program CSR dalam membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraanya. Hal ini terkait dengan kepentingan masyarakat terlibat dalam program CSR. Sebagian besar masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan adalah masyarakat miskin yang masih memerlukan pelayanan-pelayanan penguatan kapasitas untuk meningkatkan pendapatan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Mereka merasa berhak mendapatkan pelayanan-pelayanan itu karena perusahaan sudah

mandapatkan banyak keuntungan secara ekonomis sehingga sudah sewajarnya kalau perusahaan meredistribusikan sebagaian kepada mereka. Selain itu, masyarakat merupakan bagian yang rentan terhadap akibatakibat pencemaran yang mungkin muncul sehingga wajar kalau mereka mendapatkan kompensasi tersebut. Bertemunya kepentingan-kepentingan itu menimbulkan masalah yang cukup serius. Motif perusahaan merealisasi program turut menentukan model realisasi program. Realisasi program yang tidak didasarkan pada semangat untuk melayani masyarakat lokal mengakibatkan perusahaan tidak melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Realisasi program cenderung dilakukan secara tertutup dan didesain oleh perusahaan. Sementara itu pemerintah daerah mengharapkan program CSR bisa diintegralisasi dengan program-programnya dalam kerangka pembangunan regional. Dipihak lain masyarakat juga mengharapkan bahwa program tersebut mampu memberdayakan mereka

IV. Analisis IV.1 Pendekatan Program Rumitnya hubungan kepentingan di antara stakeholders dan motif perusahaan merealisasi program CSR sebagaiman deskripsi diatas, tidak terlepas dari substansi program serta pendekatan yang diadopsi perusahaan dalam merealisasi program. Beberapa program berusaha meningkatkan kapasitas masyarakat lokal namun secara umum realisasi program lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan. Pada konteks ini, kadang yang sulit dipilahkan adalah bahwa pembangunan fasilitas tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri. Pendirian fasilitas transportasi berupa jalan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk mempercepat jalannya proses produksi. Dengan demikian kalaupun bermanfaat bagi masyarakat lokal, hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal. Secara umum gambaran mengenai program yang seperti dipaparkan oleh tabel di bawah ini.

Tabel 1. Gambaran Umum Program CSR Sifat Tipe Bidang Karakteristik

Pilantropis (derma)

Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan Peningkatan Pendampingan dan pertanian dan kapasitas training industri rumah tangga -

Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan

Secara umum program tidak ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat pasca ekstraksi. Koordinasi antara perusahaan dengan pemerintah daerah kurang dilakukan dengan baik. Implemntasi program bersifat tertutup Secara umum program dirancang oleh perusahaan. Secara umum program kurang melibatkan masyarakat secara partisipatoris. Desain kurang tersusun secara holistik dansistematis

Tabel di atas mengindikasikan bahwa penekanan substansi program lebih pada usaha menyelesaikan masalah-masalah sosial-ekonomi. Pilihan-pilihan tersebut cukup kontekstual baik pada tingkatan teoritis maupun pada tingkatan fakta yang dihadapi masyarakat. Secara teoritis, salah satu tahap paling mendasar dari pengembangan masyarakat adalah penyelesaian masalah tersebut dengan cara peningkatan pendapatan keluarga. Secara faktual kondisi masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan menunjukkan bahwa mereka masih relatif miskin dan sarat dengan masalah-masalah tingkat pendidikan yang rendah, keterbatasan layanan kesehatan, dan menghadapi masalah pengangguran. Namun demikian jika diperhatikan secara lebih detail, program-program tersebut belum mencakup aspek lain yang juga penting, yaitu program penyelesaian masalah lingkungan yang melibatkan peran serta masyarakat. Padahal perusahaan merupakan entitas yang harus bertanggung jawab pada kerusakan lingkungan (Leimona, Fauzi : 2008). Perusahaan perlu memprioritaskan kegiatan-kegiatan untuk melakukan reklamasi dan penyelaesaian masalah pencemaran lingkungan. Terdapat kesan bahwa perusahaan sangat berhati-hati dalam merespon masalah lingkungan sehingga mereka cenderung tidak melibatkan masyarakat dalam program-program penanganan masalah lingkungan. Padahal isu ini merupakan isu yang cukup serius. Galian-galian bekas penambangan bisa meninggalkan cekungan besar. Apabila tidak dilakukan reklamasi maka akan mengganggu ekosistem. Sementara pencemaran udara, air, dan tanah menimbulkan resiko

besar kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Namun perusahaan terlihat kurang memperhatikan aspek ini. Konflik mengenai masalah lingkungan sebenarnya merupakan produk yang terlihat nyata tentang masalah lingkungan yang terjadi. Kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya terdapat simpul-simpul lain yang merajut munculnya konflik tersebut yaitu tertutupnya perusahaan terhadap isu lingkungan dan keterbatasan pengetahuan masyarakat mengenai masalah lingkungan. Dalam hal ini terlihat adanya informasi yang tidak simetris, di mana perusahaan menguasai pengetahuan yang cukup mengenai masalah lingkungan yang ditimbulkan dan respon kebijakan yang dilakukan tetapi masyarakat tidak punya akses yang untuk mengetahuinya. Beberapa kasus menunjukkan pernah terjadi masyarakat melakukan protes karena mengira telah terjadi pencemaran lingkungan namun sebenarnya yang terjadi bukan merupakan masalah pencemaran (Leimona, Fauzi : 2008). Dengan demikian masalahnya adalah keengganan perusahaan untuk melibatkan masyarakat dalam program-program penanggulangan masalah lingkungan. Adalah suatu keharusan perusahaan untuk membuat infrastruktur guna mengurangi efek buruk polutan dan melakukan analisa dampak lingkungan. Namun kegiatan ini bersifat elitis dilakukan oleh perusahaan dan melaporkannya pada lembaga pemerintah yang terkait dengan kebijakan lingkungan. Sifat ekslusif penanganan masalah lingkungan ini mengakitakan resistensi-resistensi masyarakat dalam isu tersebut. Akibatnya adalah ketika terjadi masalah lingkungan maka respon masyarakat cukup keras terhadap masalah tersebut. Rendahnya keterlibatan masyarakat tidak hanya terjadi pada kegiatan-kegiatan penanganan masalah lingkungan hidup saja tetapi juga terjadi pada realisasi program CSR secara keseluruhan. Program didesain oleh perusahaan dan kurang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Pada tahap realisasinya, program melibatkan kedua entitas tersebut dengan intensitas yang berbeda. Sedangkan pada tahapan evaluasi dan pelaporan terlihat bahwa tahapan itu tidak melibatkan mereka. Akibat yang terjadi adalah bahwa koordinasi dalam merealisasi program antara perusahaan dan pemerintah daerah baik pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten berjalan tidak baik. Idealnya program CSR dipraktekan secara integral dengan program pembangunan regional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun kenyataan yang terjadi adalah program CSR overlap dengan program pembangunan regional atau berjalan secara terpisah tanpa ada kerangka kerja yang jelas. Secara ekonomis ini menimbulkan ketidakefisienan. Pada sisi yang lain, secara sosial-politis hal ini akan menimbulkan

kebingungan-kebingungan dalam masyarakat dan mengakibatkan hubungan pemerintah daerah dengan perusahaan menjadi kurang baik (Mulyadi: 2003) Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan masyarakat. Posisi tawar masyarakat relatif rendah. Sebagian besar program direalisasi tanpa dilakukan need assessment yang melibatkan masyarakat. Selain mengakibatkan ketidaksesuaian antara program dengan kebutuhan masyarakat, hal ini juga menimbulkan partisipasi masyarakat pada program CSR rendah. Padahal, partisipasi merupakan esensi mendasar dalam realisasi programprogram community development (Ife; 2006). Beberapa kasus menunjukkan pelibatan masyarakat pada realisasi program tidak terjadi secara suka rela. Masyarakat ber-partisipasi karena perusahaan memberikan imbalan berupa uang. Petani menanami sawahnya bukan karena petani ingin menanami sawahnya tetapi karena petani ingin mendapatkan uang ketika selesai menanami sawahnya. Akibatnya adalah bahwa masyarakat tidak termotivasi untuk mengelola sawahnya sampai menghasilkan panen yang baik. Apabila dikaji pada tingkatan yang lebih makro, program yang dilakukan terlihat tidak dirancang secara sistematis dalam jangka waktu yang panjang dengan kejelasan capaian yang jelas. Beberapa program terlihat diimplementasikan secara parsial, terpisah satu sama lain. Program CSR yang dilakukan CPI di Riau misalnya, dilaksanakan secara insidental, menunggu pengajuan masyarakat tanpa ada kerangka berpikir yang tersusun secara terencana. Pada kasus yang lain, suatu program terlihat didesain cukup sistematis seperti integrated farming system yang direalisasi oleh PT.Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) misalnya, dalam prakteknya terlihat belum terintegralisasi antara sub-program yang satu dengan yang lain. Dalam tahapan peningkatan hasil produksi pertanian program tersebut mampu melakukannya dengan baik. Namun keberhasilan ini tidak diikuti dengan penyiapan pasar untuk menjual hasil produksi sehingga yang terjadi adalah ketika terjadi produksi yang besar, pasar lokal tidak mampu menampung hasil pertanian tersebut. Sementara RAPP belum menyiapakan alternatif tempat penjualan. Akibatnya merugikan petani (Mulyadi: 2003). Pendekatan seperti ini tentu saja tidak memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah tangga. Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai penerima program pasif. Masyarakat tidak memiliki ruangan yang cukup untuk berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolany, karena masyarakat belum

ditempatkan pada posisi sentral dalam realisasi program. Hal ini bukan mekanisme yang tepat untuk menyiapkan masyarakat pasca ekstraksi. Masa tersebut merupakan masa yang sulit bagi masyarakat karena resources yang selama ini menjadi bagian dalam kehidupannya setiap hari tidak bisa dikelola lagi. Masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa tersebut.

V. Kesimpulan Deskripsi permasalahan di atas bisa mengancam keberlanjutan program CSR. Keberlanjutan merupakan elemen penting dalam realisasi program CSR, karena aspek keberlanjutan merupakan konsep yang mengerangkai program community development (Ife: 2006). Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, terdapat prasyarat-prasyarat, diantaranya good governance, masyarakat sipil yang sehat, lingkungan yang tidak rusak karena kegiatankegiatan ekonomi. Selain itu suasana damai dan adil juga merupakan faktor terciptanya keberlanjutan suatu program. Kerangka kerja dan mekanisme pengelolaan program yang tidak berbasis pada kepentingan masyarakat menyebabkan program yang diciptakan juga tidak mewakili kebutuhan masyarakat. Program bersifat elitis dan ditujukan untuk kepentingan perusahaanan serta beberapa kelompok kepentingan. Hal ini menimbulkan kecemburuan dan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi. Lebih daripada itu, program CSR menimbulkan penolakanpenolakan terhadap program. Permasalahan utama yang menyebabkan hal ini adalah bahwa program CSR tidak berbasis pada masyarakat. Motif perusahaan merealisasi program yang tidak dilandasi pada keinginan melayani masyarakat dan manajemen yang tidak transaparan mengakibatkan realisasi program bersifat eksklusif. Hal ini tidak merangsang munculnya partisipasi.

You might also like