You are on page 1of 5

ANALSIS REGULASI HAK GUNA RUANG BAWAH TANAH

( STUDI KASUS REVITALISASI LAPANGAN


KAREBOSI DI KOTA MAKASSAR )

A. Latar Belakang Masalah


Meningakatnya kegiatan pembangunan di wilayah perkotaan, terutama di
wilayah kota-kota besar, yang disertai meningkatnya juga jumlah penduduk kota
secara alamian dan disertai dengan derasnya urbanisasi, yang memerlukan
bertambahnya penyediaan tempat bermukim dan fasilitas umum lainnya
menyebabkan makin terbatasnya ruang tanah yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat perkotaan yang beraneka ragam.

Hampir seluruh kota besar di Indonesia memiliki alun-alun atau lapangan luas
yang terletak di jantung kota sebagai tempat warga berkumpul dan berinteraksi
dengan sesamanya. Yogyakarta terkenal dengan alun-alun utara dan selatan yang
berada di sekitar keraton Yogyakarta, Jakarta terkenal dengan silang monasnya,
lapangan luas dengan tugu berlapis emas di puncaknya yang menjadi ikon kota
Jakarta.

Di Makassar, alun-alun kotanya bernama Karebosi. Terletak di jantung kota


Makassar dan menjadi titik nol kilometer untuk mengukur jarak dari pusat kota.
Lapangan seluas kurang lebih 11 Ha ini konon telah ada sejak jaman purba.
Keberadaannya juga dikaitkan dengan beberapa mitos tentang asal-usul kerajaan
Gowa dan kota Makassar pada khususnya. DUA kerajaan kembar yang di zaman
bahari menguasai beberapa daerah di wilayah timur Nusantara, yaitu Kerajaan Gowa
dan Kerajaan Tallo, menjadikan Karebosi – sebuah lapangan rumput di tengah-tengah
kota Makassar sebagai lokasi berbagai upacara kerajaan, perlombaan dan
pertandingan. Dari sudut hukum agraria, sejak berakhirnya era kerajaan dan lahirnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Karebosi, lapangan seluas 9 ha itu adalah
tanah negara. Tahun 1985, pihak agraria, sekarang Badan Pertanahan Nasional (BPN)
menetapkan suatu “fatwa” bahwa Karebosi bersatus “tanah pengelolaan” Pemerintah
Kota Makassar.

Di atas lapangan ini berbagai kegiatan dan interaksi antar warga digelar. Pagi
hari hingga matahari mulai menyengat, anak-anak sekolah hingga orang dewasa
menggunakan Karebosi sebagai tempat mencari keringat. Mulai dari bermain
sepakbola, sepak takraw, bola basket, tennis hingga yang hanya berjogging ria.
Selain itu Karebosi juga diisi para pedagang kaki lima yang menggelar berbagai
dagangan. Dalam beberapa kesempatan, Karebosi juga selalu menjadi tempat
menggelar upacara resmi seperti HUT Kemerdekaan RI atau HUT ABRI. Sore hari.
Karebosi kembali bergairah bersama para pecinta olahraga. Apalagi bila kesebelasan
PSM, kebanggan kota Makassar sedang menggelar latihan di sudut Selatan lapangan
Karebosi, karena itu sepakbola dan Karebosi adalah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan.

Saat malam menjelang, Karebosi mulai mengubah wajahnya. Olahragawan


yang mencari keringat mulai berganti dengan orang-orang yang mencari makan dari
aktifitas malam. Yang paling terkenal adalah kaum Waria yang mulai menjajakan diri
di beberapa sudut Karebosi. Yang berolahraga masih ada, namun jumlahnya tidak
sebanyak waktu matahari masih terang. Sayangnya, kaum preman dan tukang palak
juga ikut mencari makan di lapangan milik warga Makassar ini. Suasana Karebosi di
malam hari memang tidak terlalu nyaman. Penerangan tidak merata, sehingga bagian-
bagian yang gelap dan suram gampang disalahgunakan.

Di musim hujan, Karebosi berubah menjadi danau di tengah kota. Posisinya


yang lebih rendah dari jalan-jalan di keempat sisinya membuat Karebosi menjadi
kantong air. Karebosi memang tidak pernah ikut arus perubahan yang sudah lama
menyeret lingkungan di keempat sisinya. Berbagai gedung-gedung tinggi dan sebuah
Mall berlantai 9 yang tumbuh satu persatu di keempat sisi Karebosi seakan-akan
meninggalkan lapangan ini sendirian dalam keadaannya yang hampir tak pernah
berubah. Walhasil, Karebosi seakan menjadi produk jaman purba di tengah deru
pembangunan kota yang terus melaju kencang.

Berbagai sisi negatif Karebosi menjadi alasan utama bagi pemerintah kota
Makassar untuk mengubah wajah Karebosi. Tahun ini, pemerintah kota Makassar
berisiatif memperbaikinya. Usul ini sebenarnya sudah dilempar jauh-jauh hari
sebelumnya saat pemerintah kota menggelar sayembara revitalisasi Karebosi. Setelah
tertunda lama, akhirnya ada investor yang berminat mengelola ruang publik yang
nyaris menjadi satu-satunya yang tersisa di kota Makassar.

Niat baik pemerintah kota ini serentak mengundang pro dan kontra.
Penyebabnya tak lain karena investor yang mengelola revitalisasi Karebosi ini adalah
investor pemilik mall MTC yang berada di sebelah Utara Karebosi. Investor milik
pengusaha lokal ini sebelumnya juga sudah mengambil satu aset pemerintah kota di
seberang mall untuk dijadikan lahan parkir.

Protes keras muncul setelah melihat bahwa dalam rencana revitalisasi


lapangan Karebosi ini terdapat rencana pembangunan Mall di bawah tanah serta
terowongan yang menghubungkan Karebosi dengan MTC. Aroma bisnis tercium
sangat tajam dari rencana revitalisasi ini. Masyarakat mengkhawatirkan akan adanya
perubahan fungsi dari lapangan Karebosi, yaitu fungsi area publik yang berubah
menjadi area komersil. Kecurigaan yang wajar mengingat lapangan Karebosi adalah
milik orang banyak, apalagi melihat kenyataan area publik di kota Makassar yang
makin berkurang.

Dalam sosialisasi kepada masyarakat, Walikota Makassar Ilham Arief


Siradjuddin antara lain menjelaskan : Dari luas 9 ha Karebosi, hanya 3 ha ruang
bawah tanah. Dari 3 ha itu, hanya 1,1 ha untuk bangunan komersil, dan 1,9 ha untuk
fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti area parkir, area sirkulasi angkutan kota,
mushallah, dan terowongan (tunnel, under pass). Adapun terowongan ini luasnya
1.317 meter persegi yang menghubungkan bangunan bawah tanah Karebosi itu
dengan Makassar Trade Center (MTC), sebuah mall yang juga dimiliki/dikelola oleh
PT Tosan Permai Lestari yang berlokasi di seberang selatan Karebosi. Perusahaan
inilah selaku pemenang tender yang bekerja sama dengan Pemkot Makassar untuk
merevitalisasi Karebosi. Dalam terowongan antara Karebosi (under ground) dengan
MTC juga terdapat beberapa bangunan komersil. Total bangunan komersil bawah
tanah akan berjumlah lebih 800 kios yang ditawarkan seharga Rp 200 juta per kios.

Dalam Perjanjian Kerja Sama antara PT Tosan Permai Lestari dengan


Walikota Makassar yang dibuat tanggal 11 Oktober 2007, antara lain disebutkan
bahwa PT Tosan akan memperoleh Hak Guna Bangunan selama 30 tahun. Sementara
satuan rumah susun non-hunian atas ruang usaha yang berada di bawah tanah akan
berstatus Hak Milik.

Kesepakatan itulah yang membuat “berang” banyak warga kota yang merasa
memiliki lapangan Karebosi. Sebab, materi perjanjian kerja sama tersebut sudah
melenyapkan posisi Karebosi sebagai milik umum, sebagai sarana publik, walaupun
yang dikomersilkan itu adalah bangunan dan ruang di bawah tanah.

B. Perumusan Masalah

a. Sejauh mana Hukum Agraia Indonesia mengatur mengenai hak guna ruang di

bawah tanah?

b. Bagaimana kebijakan pemerintah kota makassar mengatur pembangunan

tersebut?

You might also like