You are on page 1of 9

A. Latar Belakang Mengapa saya belajar? Mengapa saya harus mengikuti kurikulum?

Akankah kurikulum dapat membantu dalam kehidupan sehari-hari secara pribadi?. Dari pertanyaan tersebut bisa menjadi filosofi. Kata filsafat berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu dari kata philos dan Sophia. Philos yang artinya cinta yang sangat mendalam, dan sophia artinya kearifan atau kebijaksanaan. Henderson (1959 : 16) dalam Burhanuddin Salam (2002) mengemukakan philosophy means the attempt to conceive and present inclusive and systematic view of universe and mans in it. Salah satu landasan pendidikan adalah filsafat pendidikan. Brubacher (1950) dalam Burhanuddin Salam (2002), mengemukakan tentang hubungan filsafat dengan pendidikan; bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan John Dewey berpandangan bahwa filsafat merupakan teori umum bagi pendidikan. Dalam mengkaji peranan filsafat pendidikan, dapat ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu metafisika, epistemologi dan aksiologi. Metafisika merupakan bagian dari filsafat spekulatif. Yang menjadi pusat persoalannya adalah hakikat realitas akhir. Dalam teori dan praktik pendidikan, metafisika menimbulkan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit mendapatkan jawaban secara ilmiah. Epistemologi adalah pertanyaan berikutnya yang berhubungan dengan para guru. Kegunaan memahami epistemologi bagi pendidikan seperti yang dikemukakan oleh Imam Barnadib (1976) bahwa epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar kurikulum. Kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan buruk, indah dan tidak (jelek), erat berkaitan dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu menjadi dasar pertimbangan secara langsung maupun tidak langsung dalam menentukan tujuan pendidikan. Burhanuddin Salam (2002) mengemukakan beberapa nilai manfaat yang diperoleh dari mempelajari filsafat pendidikan, antara lain: (1) membiasakan kita berpikir kritis dan reflektif terhadap problema kehidupan (2) memberikan pengertian yang mendalam akan problema-problema esensial dan dasar-dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam menyelesaikan problema pendidikan (3) memberikan kesempatan kepada kita membiasakan diri untuk mengadakan

perenungan mendalam, atau berteori, betapa pun kurang atau belum sempurnanya teori tersebut. Menurut Brubacher (1950) dalam Sadulloh (2003) terdapat salah satu mazhab landasan filsafat yaitu eksistensialisme. Filsafat ini memfokuskan pada pengalamanpengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektif pengalaman manusia, dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas untuk memaknai apa yang ada terletak pada individu seorang. Eksistensialisme memandang bahwa segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia di dunia. Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada di luar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakekatnya masih terikat dengan dunia sekitarnya, terlebih antara sesama manusia. Dalam hubungan eksistensialisme dengan dunia pendidikan, sikun pribadi (1971) dalam sadulloh (2003) mengemukakan bahwa keduanya berhubungan erat, karena bersinggungan satu dengan yang lainnya yaitu manusia, hubungan antar manusia, hakekat kepribadian, dan kebebasan. Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa kurikulum menjadi salah satu bagian dari suatu sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum diatur sedemikian rupa untuk meraih apa yang disebut dengan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku untuk umum.

B. Kondisi Ideal Pendidikan merupakan aktifitas yang sama tuanya dengan sejarah peradapan manusia. Hal ini disebabkan karena kegiatan pendidikan lahir dan berkembang sejalan dengan mainstream sejarah dan peradaban manusia itu sendiri. Lewat pendidikan, paradigm hidup terus berganti (paradigm shift) dalam perjalanan kehidupan manusia. Perubahan tatanan masyarakat dari non-modern menuju modern tidak terlepas dari peran pendidikan sebagai garda depan perubahan kualitas sebuah masyarakat Pendidikan yang ideal yaitu pendidikan memiliki balance antara intelektual, emosi, dan spiritual. Jika diperlebar, pendidikan bukan hanya terfokus kepada yang dididiksaja, melainkan contoh baik juga terlebih dahulu dipupuk kepada siapa yang mendidik. Apa artinya jika konsep yang telah ditata bagus dalam sebuah kurikulum pendidikan, tetapi orang yang menjalankan nya memberikan image jelek pada pendidikan tersebut, dengan kata lain para pendidik juga harus terdidik dan berusaha menjadi figur baik pada anak didiknya (http://salafiyah.org). Pendidikan ideal harus berpijak pada pengembangan keutuhan seorang peserta didik agar muncul self-realisation nya dengan baik. Menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (Sidi, 2001) bahwa IQ seseorang hanya menyumbang 20% dari kesuksesan seorang, sedangkan 80 % sisanya ditentukan oleh faktor lain (kecerdasan intelektual dan emosional). Pendidikan ideal adalah yang mampu menyeimbangkan domain-domain tersebut sehingga lahirlah masyarakat peradaban (civilize culture society) atau masyarakat modern lebih

populernya biasa kita kenal dengan civil society. Bentuk masayarakat seperti hal tersebut tidak mungkin adanya tanpa lahirnya generasi yang well educated. Pendidikan tidak hanya dititik beratkan pada satu sisi kecerdasan saja, melainkan ada beberapa faktor atau komponen yang harus diperhatikan dalam mewujudkan pendidikan yang ideal (Dreikurs dan cassel, 1974:49), diantaranya: 1. Kurikulum yang adaptable (berkesesuaian) Berkaitan dengan persoalan kurikulum, Hilda Taba (1962) berpendapat bahwa pengembangan kurikulum hendaknya bersifat rasional dan ilmiah yang

penentuannya harus beralaskan elemen-elemen valid berbasis realita yang diantaranya berasal dari tradisi dan budaya, tuntutan social, dan kebiasaan

masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum ilmiah harus merujuk pada analisi masyarakat dan budaya, telaah mengenai peserta didik dan proses belajar, serta ciri khusus bangunan epistemologis ilmu pengetahuan tertentu agar dapat ditentukan tujuan institusional dan ciri kurikulumnya. 2. Pendidik yang ability upgraded (memiliki kemampuan terbahaui) Secanggih apapun kurikulum disusun, namun ketrampilan pendidik (guru) dalam menyampaikan kurikulum tidak pernah dipantau dan di upgrade, maka akan siasia kurikulum tesebut. Guru memegang peranan yang sangat penting dalam mentransfer kandungan kurikulum. Malangnya kualifikasi guru yang tidak sesuai dengan bidang studi yang diajarkan masih menjadi kenyataan buram yang menimpa pendidikan kita. 3. Subjek didik/anak didik Anak adalah manusia yang belum dewasa dan membutuhkan bantuan, dorongan, dan semangat seperti tanaman membutuhkn matahari dan air supaya tetap hidup. Sayangnya hal yang dibutuhkan tersebut sedikit sekali yang bisa diperoleh anak disebabkan tindakan kita terhadap mereka sering bersifat menghambat sehingga memberi reaksi perlawanan. 4. Peranan masyarakat Salah satu upaya konkrit untukmendongkrak mutu pendidikan adalah dengan penguatan partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demikratisasi, tranparansi, dan akuntabilitas. 5. Lingkungan keluarga dan sekolah yang ideal Lingkungan terutama keluarga yang merupakan factor pendukung utama dalam pembentukan karakter anak. Tidak terlepas kebutuhan akan pendidikan melalui sekolah, sehingga diharapkan sarana dan prasarana sekolah tesebut harus

mendukung untuk tercapainya hasil/output yang sesuai dengan yang dharapkan.

Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan secara individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, melaksanakan penemuan sendiri dan menarik kesimpulan secara mandiri. Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu pelajaran tertentu yang lebih penting

daripada yang lainnya. Dengan mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para ilmuwan, pemikir termasyur yang memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaan, konflik, penderitaan dan kematian. Peserta didik secara perorangan harus menggunakan pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran, dan ketrampilan intelektual untuk mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berpikir reflektif. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori pengetahuan.oleh karena itu kurikulum, sekolah, dan guru harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya. Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang ditawarkan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri. Menurut power (1982) dalam Sadulloh (2003) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif, status siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan bertanggung jawab, respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial, memelihara kebebasan akademik mungkin hari ini sebagai guru, besok lusa mungkin menjadi murid. C. Kondisi yang Terjadi saat ini Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam hidup manusia. Hal itu karena fungsi utama pendidikan sebagai media transfer ilmu pengetahuan serta pemahaman manusia terhadap realitas dan dirinya. Di sepanjang sejarah peradaban manusia peran ilmu pengetahuan merupakan hal penting. Bahkan hingga kini pendidikan menjadi bagian yang diakui fungsi vitalnya dalam kehidupan negara-negara era modern ini. Berkaitan terwujudnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Hal tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945 yang termaktub dalam pembukaan alinea ketiga yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah menentukan arah kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.

Sebaliknya kondisi di Indonesia pada masa kini tidak mencerminkan falsafah dan peraturan yang telah dibuat. Pemerintah seakan-akan mencoreng muka sendiri dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang berorientasi pada proyek-proyek Jakarta bukan pada nasional atau rakyat. Dengan adanya reformasi tanpa agenda ini yang menjadikan khususny di bidang pendidikan kurikulum beserta perangkatnya berganti-ganti seiring bergantinya para pejabat pengambil kebijakan. Pentingnya pendidikan yang berkualitas makin disadari, terciptanya kualitas masyarakat yang semakin maju dan mandiri hanya dapat diwujudkan jika pendidikan masyarakat berhasil ditingkatkan. Dunia pendidikan ibarat industri yang perlu dikelola sumbernya secara efisien dan professional, namun yang terjadi sekarang ini adalah kesemerawutan yang secara sepintas yang ditonjolkan oleh peraturan yang belum serasi pelaksanaannya. Situasi manajemen pendidikan dasar yang kusut dan berlarut-larut ini akan merugikan dunia pendidikan dan bangsa kita. Perjalanan kurikulum untuk anak negeri di Indonesia mengalami masa yang panjang, mulai dari era pra-Indonesia, kolonial, pasca kemerdekaan hingga sekarang. Kurikulum di Indonesia dibuat dalam pergulatan kekuasaan (Hidayat, 2011). Menurut Apple

(1979) dalam bukunya berjudul ideology and curriculum bahwa ada keterkaitan atau relasi antara kekuasaan politik dengan isi kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan seperti diatas tidak mencerminkan kebebasan secara individual dalam memperoleh pembelajaran. Akhir-akhir ini pembaharuan kurikulum terkadang terikat oleh tokoh politik yang mencetuskan. Jika tokoh itu tidak menjabat maka lenyap pula pembaharuan. Dalam pembaharuan kurikulum, terntanya mencetuskan ide baru lebih mudah daripada menerapkan nya dalam praktik. Perubahan kurikulum seringkali membutukan biaya yang besar untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, dan pelatihan sumber daya yang tidak selalu dapat terpenuhi (nasution, 2003). Kurikulum 2004 (KBK) pada masa mendiknas Abdul Malik Fadjar, kurikulum 2006 (KTSP) pada masa Bambang Sudibyo, dan kurikulum 2013 pada masa Mohammad Nuh terkesan bahwa terjadi perubahan kurikulum dikarenakan hasil buah pemikiran para pejabat yang akan habis masa jabatan.

D. Permasalahan Melihat realita pendidikan di Indonesia yang terjadi, permasalahan yang timbul adalah inkonsistensi kurikulum sebagai hasil dari kebijakan yang mengakibatkan dampak pada pola pembinaan dan pengembangan pendidikan terutama berkaitan dengan siswa. Selain itu faktor kebingungan yang melanda sekolah dan guru terhadap kekaburan fokus kurikulum sehingga berdampak pada kekacauan sistem (social chaos) dalam proses pembelajaran.

E. Solusi Untuk menjawab permasalahan yang terjadi, penulis menitikberatkan pertama pada tujuan kurikulum pendidikan tidak serta merta berubah secara fundamental, apalagi pondasi pendidikan telah terbentuk saat kurikulum pertama tahun 1947 hingga kurikulum 2004. Pelaksanaan pembaharuan kurikulum kembali ke sistem setiap 10 tahun sekali menjadi pilihan yang eksistable mengingat perubahan-perubahan bisa dilakukan secara kondisional. Menurut Nasution (2003) menjelaskan bahwa perubahan kurikulum hendaknya tidak berdasar pada struktur kekuasaan politik melainkan pada inovasi atau perubahan karakter dan perkembangan peserta didik. Perubahan kurikulum bisa dianggap sebagai social change, karena peserta didik termasuk bagian dari masyarakat. Perubahan kurikulum menurut Smith dan Orlosky dalam Nasution (2003), terdapat empat faktor keberhasilan perubahan kurikulum yaitu (1) ide pembaharuan tidak dilaksanakan di sekolah dan sukar dicari realisasinya, (2) perubahan tidak diterima secara luas, namun mempunyai pengaruh terhadap pendidikan, (3) ada perubahan, (4) perubaan telah berhasil dan menjadi membudaya. Ternyata perubahan yang hanya bisa diterima oleh kebanyakan yaitu hanya menambah dan mengurangi jumlah pelajaran. Arah Kurikulum juga harus diperjelas sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, sehingga konten kurikulum bisa disesuaikan dengan perkembangan jaman. Konten kurikulum hendaknya bersifat pada fokus prioritas pembangunan sumber daya baik secara lokal maupun nasional. Menurut Sunaryo Kartadinata, perlunya kurikulum yang berdasarkan hasil riset yang kokoh bagi pembentukan sosok manusia Indonesia di masa mendatang, yang dapat memberikan kearahan kebijakan nasional (berita.upi.edu, 2012).

Kondisi di Indonesia seharusnya perubahan kurikulum harus diikuti oleh persiapan terlebih dahulu meliputi kompetensi guru, instrumen dan sarana. Sehingga ibarat seperti menjual produk, akan terjamin kualitasnya. Peningkatan kompetensi guru tidak hanya dibekali cara dan metode dalam penyampaian pengajaran tetapi juga cara aplikasi maupun penyusunan kurikulum. Instrumen seperti contoh tes evaluasi selayaknya harus diupayakan berdasarkan kondisi siswa dan daerah. Sedangkan sarana harus dipersiapkan dengan matang sehingga mendukung proses-proses didalamnya Misal suatu contoh kurikulum di jepang, pembaharuan kurikulum berlangsung setiap 10 tahun sekali, bersifat fleksibel dan memungkinkan sekolah untuk meramu kurikulum sendiri berdasarkan kondisi daerah, sekolah dan siswa yang mendaftar. Seperti halnya di Indonesia, di Jepang pun kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi ini bertugas mempelajari tujuan pendidikan Jepang yang terdapat dalam Fundamental Education Law (Kyouiku kihonhou), lalu menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri (murniramli.wordpress.com, 2008). Secara eksistensialisme, penggunaan kurikulum dalam waktu yang lama akan mewujudkan nilai-nilai pada proses. Seiring dengan berjalannya waktu, pengalaman akan situasi dan kondisi bisa dijadikan sebagai wujud evaluasi proses yang nantinya akan diadakan perubahan seperlunya.

F. Saran Karena begitu pentingnya landasan filosofis eksistensialisme dalam pendidikan terutama mengatasi permasalahan inkonsisten kurikulum pendidikan di Indonesia maka pengambil kebijakan pada tataran pusat dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan pertama tidak ada masalah jika selama menjabat tidak memberikan produk kurikulum baru. Kedua eksistable dalam penyusunan kurikulum sehingga tidak berdampak pada kekaburan atau kebingungan pada guru dan sekolah yang berefek pada pola pembinaan siswa. Ketiga memperhatikan arah dan fokus kurikulum sehingga mampu menghasilkan generasi yang lebih baik. Pada guru dan sekolah harus selalu mengutamakan keprofesionalisme diatas individualisme sehingga tercapai konsensus didalam dunia pendidikan.

Daftar Rujukan Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Edisi Revisi II. Yogyakarta. BPFE. Apple, Michael W. 1990. Ideology and Curriculum (second edition). New York: Routledge. Burhanuddin Salam. 2002. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hidayat, Rahmat. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nasution, S. 2003. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara ISBN 979-526-209-2 Saduloh, Uyok. 1984. Filsafat dan Ilmu. IKIP Bandung Taba, Hilda. 1962. Curriculum Developmen, Theory and Practice. Hartcourt, Brace and World New York. Berita.upi.edu. 2012. Kurikulum 2013 inkonsisten dengan undang-undang http://berita.upi.edu/2012/12/28/rektor-upi-kurikulum-2013-inkonsisten-denganundang-undang/ Murni Ramli. 2008. Penyusunan Kurikulum Sekolah di Jepang http://murniramli.wordpress.com/2008/02/15/penyusunan-kurikulum-sekolah-dijepang-1/. Februari 15, 2008 Susetyo, Benny. 2013. Perubahan Kurikulum Pendidikan. http://www.bincangedukasi.com/perubahan-kurikulum-pendidikan.html. Koran Tempo edisi Rabu, 6 Maret 2013

You might also like