You are on page 1of 14

PROSIDING

WORKSHOP IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara
BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN SAMBOJA

Swiss Bel-Hotel Banjarmasin, 21 Oktober 2009

Diterbitkan Oleh : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa


Jl. A. Wahab Syahrani No. 68, Sempaja Samarinda-Kaltim | Telp:0541-206364 | Fax: 0541-742298 admin@diptero.or.id | www.diptero.or.id

Penanggung Jawab : Ir. Herry Prijono, MM. Penyunting : Ir. Herry Prijono, MM. Ir. Didik Purwito, MM. Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. Ir, Nina Juliaty, MP. Tata Letak : Nurul Hermawati, S.Hut. Rahmat Setiyono, S.Hut. Dipublikasikasikan Oleh : Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Jl. A. Wahab Syahranie No. 68, Sempaja, Samarinda Telp. +62-541-206364 Fax. +62-541-742298 Email : diptero@ymail.com Website : http://www.diptero.or.id

ISBN : 978-979-17183-7-0
Dicetak Ulang Oleh : Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja DIPA BA 29 BPTP Samboja Tahun 2010

PROSIDING
WORKSHOP IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara
BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN BANJARBARU BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN SAMBOJA

Swiss Bel-Hotel Banjarmasin, 21 Oktober 2009

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

KATA PENGANTAR Luas lahan terdegradasi dan tempat terbuka pada kawasan hutan di wilayah Kalimantan dewasa ini semakin meningkat. Hal ini disebabkan disamping eksploitasi yang tak terkendali dan perambahan hutan juga kegiatan eksplorasi pertambangan sangat berpengaruh besar terhadap perubahan ekosistem baik itu didalam maupun di luar kawasan hutan. Kegiatan teknik penambangan batubara pada umumnya dilakukan dengan cara sistem pengupasan permukaan tanah (open pit mining system). Dari sistem ini langkah-langkah utama untuk mencapai deposit bahan tambang tersebut diperoleh melalui tahapan pembersihan lahan di areal yang akan ditambang (land clearing) serta pengupasan batuan dasar (bedrock) hingga mencapai permukaan deposit. Konsekwensi dari sistem pertambangan tersebut adalah luas areal yang terbuka (bare soil) akan semakin bertambah setiap tahunnya disebabkan karena bertambahnya luas areal pertambangan. Upaya pemulihan lahan bekas tambang batu bara saat ini mutlak segera ditangani secara serius melalui kegiatan reklamasi lahan bekas tambang yang merupakan bagian integrasi dari kegiatan pertambangan. Apabila hal tersebut tidak segera diatasi maka akan berdampak: hutan Kalimantan semakin terancam kelestariannya dan akan beralih fungsi menjadi areal non kehutanan (perkebunan, pertambangan, pemukiman), yang akan mengakibatkan terjadinya bencana apabila tidak dilakukan tindakan koreksi. Untuk penyediaan paket teknologi untuk mendukung kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara di wilayah Hutan Kalimantan, maka Balai Besar Penelitian Dipterocarpa bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Semboja, menyelenggaran kegiatan Workshop pada tanggal 20-21 Nopember 2009 di Banjarmasin-Kalimantan Selatan dengan tema IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai wujud kepedulian dan untuk memecahkan masalah revegetasi hutan pada areal lahan tambang batubara. Sesuai dengan tema Workshop tersebut, prosiding ini menyajikan 10 makalah utama dan makalah penunjang yang merupakan hasil sintesa penelitian dan uji coba serta kebijakan yang difokuskan pada penyelamatan hutan melalui rehabilitasi lahan bekas tambang batubara. Selain itu disajikan rumusan hasil seminar yang merupakan sintesa dari 10 makalah yang dibawakan dan hasil diskusi serta evaluasi dari peserta seminar. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya workshop tersebut, diucapkan terima kasih. Kritik dan saran untuk perbaikan dimasa datang sangat diharapkan. Semoga Prosiding ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kehutanan untuk mendukung penyelamatan hutan melalui rehabilitasi lahan bekas tambang batubara khususnya di wilayah Kalimantan. Samarinda, Desember 2009 Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa,

Ir. Herry Prijono, MM NIP. 19560425 198203 1 010

iii

DAFTAR ISI
Hal. iii iv vi ix xii

Kata Pengantar .. Rumusan Hasil Wokshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara . Daftar Isi ................................................................................................... Laporan Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa . Sambutan Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan .. Arahan Kepala Badan LITBANG Kehutanan Pada Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melaui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara ................................................................................................ MAKALAH UTAMA 1. Kesesuaian Jenis Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara di PT. Kitadin Embalut, Kabupaten Kutai Kartanegara Kaltim Maming Iriansyah dan Adi Susilo ............................................. 2. Peranan Satwaliar Dalam Reklamasi Lahan Bekas Tambang Chandradewana Boer .............................................................. 3. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur Agus Darmawan dan M. Aditya Irawan .................................... 4. Potensi Perdagangan Karbon Pada Lahan Bekas Tambang Kirsfianti Ginoga dan Nur Merispatin ....................................... 5. Kebijakan Pertambangan Dalam Pencegahan Penanggulangan Kerusakan Pencemaran Lingkungan Dinas Pertambangan dan Energi ............................................. 6. Upaya Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara di Kalimantan Selatan Dony Rachmanadi ....................................................................... 7. Pemanfaatan Mikroorganisme Dalam Memperbaiki Lahan Bekas Tambang; Prosfek, Kendala dan Alternatif

xv

17

27

41

46

vi

Gunawan .................................................................................. 8. Pemilihan Jenis-jenis Pohon Potensial Untuk Mendukung Kegiatan Restorasi Lahan Tambang Melalui Pendekatan Ekologis Ishak Yassir dan R. Mulyana Omon ............................................ 9. Pelaksanaan Reklamasi Batubara di PT. Adaro Kalimantan Selatan Agus Subandrio, Sukarman dan Ronny P. Tambunan ............ 10. Tata Ruang Reklamasi Tambang Batubara di PT. Kaltim Prima Coal Kalimantan Timur M. Bismark ............................................................................... MAKALAH PENUNJANG 1. Keragaman Jenis dan Sifat Kimia Tanah Pada Areal Tambang Emas di PT. KEM Kalimantan Timur Amiril Saridan ........................................................................... 2. Cara Memproduksi Bibit Jenis Nyatoh (Palaquium sp) dapat Dijadikan Salah Satu Alternatif Untuk Penanaman Areal Bekas Tambang Melalui Ujicoba Stek Pucuk Dengan Perlakukan Zat Perangsang Akar di Rumah Kaca Rayan ....................................................................................... 3. Pertumbuhan Shorea balangeran Burch Pada Umur 3 Tahun Sebagai Salah Satu Tanaman Alternatif Pada Lahan Bekas Tambang Ayi Suyana dan Abdurachman .................................................... 4. Model Hubungan Kelembagaan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara M. Fajri dan Lidya Suastati .......................................................... 5. Uji Jenis-jenis Dipterokarpa pada Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur Amiril Saridan ........................................................................... 6. Restorasi Lahan Bekas Tambang Batubara Wahyu Catur Adinugroho dan Kade Sidiyasa .......................... 7. Kandungan Mikroorganisme Pada Lahan Pasca Tambang Batubara

53

64

77

94

106

120

131

138

145

151

vii

Dina Naemah ... 8. Metoda Pengadaan Bibit Jenis Sungkai (Peronema canescens) dapat Dijadikan Salah Satu Alternatif Untuk Penanaman Areal Bekas Tambang Melalui Pembiakan Vegetatif Stek Batang Dengan Perlakuan Sungkup di Persemaian Rayan ....................................................................................... 9. Teknik Penyimpanan Benih Aquilaria microcarpa Terhadap Persen Kecambah Sebagai Alternatif Pemilihan Jenis untuk Penanaman pada Areal Eks Tambang Batubara Massofian Noor ........................................................................ 10. Uji Coba Reklamasi Tambang Batubara Dengan Jenis-jenis Dipterokarpa di PT. Kitadin, Kalimantan Timur Amiril Saridan ........................................................................... 11. Cara Memproduksi Semai Jenis Pohon Banggeris (Kempassia exelsa) di Persemaian dapat Dijadikan Salah Satu Alternatif untuk Penanaman Areal Bekas Tambang dengan Perlakuan Media Sapih yang Berbeda Rayan ....................................................................................... 12. Reklamasi Tambang Berbasis Kehutanan Sosial Hamdani Fauzi dan Normela Rachmawati .. 13. Prospek Tanaman Gaharu Pada Lahan Bekas Tambang Batubara Ayi Suyana dan Abdurachman ........................... 14. Kajian Kelembagaan Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara di PT. Berau Coal M. Fajri dan Lidya Suastati LAMPIRAN Jadwal Acara ............................................................................................ Susunan Panitia ....................................................................................... Daftar Peserta ..........................................................................................

158

164

171

180

187

197

219

223

238 244 254

viii

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

RESTORASI LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA


Oleh: Wahyu Catur Adinugroho dan Kade Sidiyasa Abstrak Penambangan batubara di kawasan hutan secara langsung telah memberikan input terhadap peningkatan laju kerusakan hutan di Indonesia. Upaya pemulihan kembali struktur hutan dan fungsi kawasan seperti tercantum dalam klausal pinjam pakai kawasan harus dilakukan secara bertanggungjawab oleh perusahaan pengelola. Kegiatan restorasi harus dilakukan pada kawasan bekas tambang atau kawasan terdegradasi lainnya yang tidak dapat lagi menjalankan kembali fungsinya seperti semula sehingga dengan restorasi diharapkan struktur tegakan pulih kembali seperti semula atau mendekati kondisi semula, baik sebagai fungsi produksi, fungsi konservasi ataupun fungsi lindung. Dalam pelaksanaan kegiatan restorasi, tidak hanya dibutuhkan komitmen, tetapi juga pengetahuan yang memadai tentang bagaimana melakukan revegatasi secara benar. Beberapa faktor kunci yang harus dipahami diantaranya adalah pemilihan jenis, analisis terhadap hambatan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi serta perbaikan kondisi tanah. Penerapan teknologi modern yang ramah lingkungan seperti penggunaan kompos aktif, bio-enzim, humic acid, terabric, terabuster dan teraglue perlu dilakukan dalam upaya memperbaiki kondisi tanah. Kata kunci: struktur fungsi hutan, lahan terdegradasi, pemilihan jenis tumbuhan, pertumbuhan tanaman, iklim, tanah, unsur hara. I. PENDAHULUAN Salah satu kekayaan alam Indonesia cukup melimpah, khususnya yang terdapat di Kalimantan adalah batubara. Sumber alam ini merupakan energi yang cukup tersedia dan merupakan salah satu komoditi ekspor penghasil devisa negara serta mulai dimanfaatkan sebagai sumber energi pengganti minyak dan gas bumi. Dengan demikian maka pemanfaatan dimasa yang akan datang, khususnya di dalam negeri, akan terus meningkat akibat semakin menyusutnya minyak dan gas bumi. Tingginya potensi batubara dengan sebarannya yang luas telah menimbulkan suatu persoalan baru dalam rencana pemanfaatannya. Khususnya bagi areal batubara yang terdapat di kawasan hutan telah memunculkan sikap pro dan kontra, karena apabila kegiatan eksploitasi batubara di areal tersebut dilakukan maka hutan yang ada di atasnya dapat dipastikan akan rusak atau bahkan musnah. Ibarat nasi suah menjadi bubur, dan fakta telah menunjukkan bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan untuk penambangan batubara telah dikeluarkan untuk meminimalisasi dampak buruk yang diakibatkan, lahan-lahan terdegradasi tanpa vegetasi yang menutupinya tampak terlihat dimana-mana pada lahan bekas tambang batubara. Untuk memperbaiki kondisi vegetasi yang rusak tersebut berbagai upaya harus dilakukan, yakni dengan cara menanami kembali (restorasi) lahan-lahan bekas tambang tersebut. Kewajiban untuk memulihkan kembali struktur hutan sehingga hutan dapat

Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja

151

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

menjalankan fungsinya kembali setelah penambangan sebenarnya telah tercantum dalam kesepakatan pinjam pakai kawasan hutan, tetapi untuk melaksanakannya tidak hanya dibutuhkan komitmen, namun pengetahuan yang memadai dalam melakukan revegasti lahan bekas tambang batubara sangat dibutuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam makalah ini diuraikan bagaimana seharusnya memulihkan kembali lahan bekas tambang batubara sehingga tercapai struktur dan fungsi hutan sebenarnya. II. STRUKTUR, FUNGSI HUTAN DAN RESTORASI Kegiatan restorasi yang dilaksanakan di berbagai tempat seringkali tidak tepat pada sasaran. Hal ini terjadi karena kurang atau tidak adanya pemahaman yang memadai, bahwa hutan memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi produksi (bagi hutan produksi), fungsi konservasi (bagi hutan konservasi) dan fungsi lindung (bagi hutan lindung). Kegiatan restorasi juga seringkali diidentikkan dengan kegiatan untuk tujuan konservasi, padahal keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Hanya saja banyak kalangan yang seringkali memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mencapai tujuan tertentu pula. Sebagai contoh, karena euphoria konservasi, maka kegiatan restorasi tersebut biasanya diarahkan untuk menunjang program konservasi walaupun areal yang direstorasi tersebut sebenarnya merupakan kawasan hutan produksi atau mungkin hutan lindung. Pemahaman mengenai struktur hutan dan fungsi hutan ini menjadi hal yang penting karena kerusakan hutan selalu berkaitan dengan struktur dan fungsi hutan. Hutan yang rusak akan mempunyai struktur tegakan yang berbeda dengan kondisi awalnya sehingga fungsi hutan akan terganggu. Struktur hutan senantiasa berkaitan erat dengan fungsi hutan, suatu struktur hutan akan membentuk hutan yang memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu konservasi, produksi dan lindung. Dalam kaitannya dengan dengan kegiatan restorasi maka tujuannya adalah untuk memulihkan kembali struktur dan fungsi hutan seperti (mendekati) kondisi semula. Adapun parameter suatu struktur tegakan hutan dipterokarpa, adalah kekayaan jenis, kerapatan pohon, distribusi, dominasi, asosiasi dan kerapatan tajuk. Restorasi biasanya meliputi tegakan reklamasi (yakni yang berhubungan dengan pemulihan tanah) dan revegetasi (mengembalikan vegetasi hutan, semak belukar dan vegetasi lainnya). Dalam hal ini, restorasi didefinisikan sebagai upaya memperbaiki atau memulihkan kondisi lahan yang rusak dengan membentuk struktur dan fungsinya sesuai (mendekati) dengan kondisi semula. III. TAHAPAN RESTORASI Kegiatan restorasi pada areal bekas tambang atau areal terdegradasi lainnya perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar tegakan hutan yang rusak atau musnah akibat pembukaan tambang tersebut kembali atau mendekati seperti keadaan semula, baik dari segi struktur maupun fungsinya. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk melakukan sutau kegiatan restorasi dimana tahapan-tahapan ini harus diketahui, dipahami dan dicermati oleh para pelaku restorasi sehingga kegiatannya dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu sesuai dengan klausul yang tercantum dalam draft perjanjian pinjam pakai kawasan yang pada intinya tidak memperbolehkan adanya upaya merubah fungsi kawasan. Selain itu, sedikitnya ada dua hal yang juga harus diketahui sebelum memulai tahapan kegiatan restorasi, yakni lokasi dan legalitas status kawasan, sebagai berikut :

152

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

1. Lokasi Restorasi Hal pertama atau mendasar yang perlu diketahui oleh pelaku restorasi adalah lokasi/kawasan yang akan direstorasi. Hal ini tercantum secara jelas dalam peta lokasi. Data ini diperlukan untuk kemudahan akses pelaku restorasi menuju lokasi, selain itu pelaku restorasi mempunyai gambaran tentang letak kawasan yang akan direstorasi. 2. Legalitas Status Kawasan dan Ijin-ijin Terkait Setelah diketahui lokasi yang akan direstorasi maka sebelum dilakukan survey ke lapangan, beberapa informasi tentang legal status kawasan (hutan produksi, hutan konservasi atau hutan lindung) dan ijin-ijin terkait, baik yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, seperti dokumen AMDAL, UKL, UPL, ijin yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan maupun informasi-informasi yang terkait dengan sejarah kawasan. Hal ini diperlukan untuk menentukan arah dan strategi tindakan restorasi yang akan dilakukan, dimana restorasi harus dilakukan secara spesifik sesuai dengan fungsi kawasan dan penentuan jenis tumbuhan yang akan ditanam. Selain itu juga restorasi harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ijin-ijin terkait yang telah ditetapkan, meski demikian tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam menyikapi ketentuan-ketentuan tersebut, misalnya tentang jenis tumbuhan yang ditanam, pengadaan bibit dan lain-lain. Masalah ini dapat diatasi dengan mengajukan argumentasi yang didasari oleh hasil-hasil percobaan ilmiah yang telah menunjukkan hasil yang baik. Setelah data sekunder dikumpulkan maka tahapan kegiatan dalam restorasi tersebut di atas dapat dilakukan sebagai berikut: a. Survey Lapangan Survey lapangan (ground check) dimaksudkan untuk melihat secara langsung kondisi kawasan yang akan direstorasi serta mengumpulkan data yang berkaitan dengan karakteristik lapangan. Untuk melakukan kegiatan ini diperlukan keahlian, ketelitian, kecermatan, kepekaan dan pengalaman yang memadai bagi seorang surveyor. Seorang surveyor yang baik akan mampu mengidentifikasi kawasan secara detail dan mengenali kondisi/sifat spesifik yang menonjol dari suatu lokasi sehingga mampu mendeliniasi atau memetakan kawasan dengan baik berdasarkan kondisi spesifiknya, selanjutnya mampu menentukan metode sampling atau jumlah sampel (cuplikan) yang tepat yang dapat mewakili kondisi seluruh kawasan. Adapun data karakteristik lapangan yang diperlukan adalah kondisi biofisik dan sosial ekonomi kawasan. Kondisi biofisik meliputi informasi tentang topografi, iklim, tanah, vegetasi dan satwa. Informasi tentang kondisi topografi diperlukan untuk menentukan tindakan penanganan lahan yang ada agar sasaran konservasi dapat dipertahankan. Dalam hal ini perlu pertimbangan-pertimbangan apakah diperlukan sistem terasering atau tidak. Informasi iklim diperlukan untuk menentukan jadwal kegiatan penanaman serta penentuan jenis tumbuhan yang sesuai dan mampu beradaptasi dengan kondisi iklim yang ada. Sedangkan informasi tentang kondisi vegetasi diperlukan untuk menentukan tingkat penutupan vegetasi serta mengidentifikasi jenis-jenis yang tumbuh di

153

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

lokasi atau di sekitar lokasi yang akan direstorasi yang nantinya diharapkan akan dapat menjadi sumber bibit dalam kegiatan restorasi. Hal-hal yang menjadi perhatian pokok dalam perencanaan kegiatan restorasi adalah sebagai berikut : Berkaitan dengan kondisi tanah, hal ini sangat penting mengingat tanah merupakan media tumbuh tanaman yang akan menentukan tanaman dapat hidup atau tidak. Dalam pengumpulan informasi tentang kondisi tanah ini diperlukan pemahaman tentang teknik sampling, dimana metode sampling dan jumlah contih (cuplikan) yang harus diambil harus ditentukan dengan tepat. Pada areal yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa blok, selanjutnya dilakukan pengambilan contoh tanah pada masing-masing blok. Pengambilan contoh tanah pada lapisan olah (top soil), yakni pada kedalaman 0-30 cm dan lapisan sub-soil (pada kedalaman 30-50 cm) dan tersebar merata sehingga dapat mewakili kondisi tanah pada masing-masing blok. Untuk mengetahui sifat-sifat fisik dan kimia tanah maka analisis contoh tanah harus dilakukan. Sifat fisik dan kimia tanah yang sangat perlu diketahui yang dapat menjadi faktor penentu dan pembatas dalam pertumbuhan tanaman antara lain adalah tekstur, pH, KTK, kerapatan pori, kemampuan menyerap air, kandungan unsur hara makro (bahan organik, N, P, K, Ca dan Mg) dan mineral racun (Al, Fe, Zn, S dan Mn). Berdasarkan uji contoh tanah pada masing-masing blok dan sejarah kawasan, kemudian dilakukan analisis berkaitan dengan kendalakendala yang dapat mengganggu pertumbuhan vegetasi. Hambatanhambatan ataupun keterbatasan-keterbatasan tersebut dapat berupa kurangnya nutrisi, tanah bersifat padat, pH yang rendah, KTK yang rendah (< 16), HC yang rendah, Mg > Ca, tingginya kandungan logam berat seperti Cu, Al, Zn dan Fe sehingga tanah bersifat racun (toxic), misalnya sebagai akibat dari kandungan Al > 3 me (60 %). b. Pemilihan Jenis Tanaman Setelah dilakukan survey lapangan maka tahapan selanjutnya adalah membuat daftar jenis tumbuhan yang potensial untuk ditanam. Jenis-jenis tumbuhan yang potensial tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan iklim dan kemampuannya dala beradaptasi dengan kondisi tanah di kawasan yang akan direstorasi. Cara yang baik yang dapat dilakukan dalam melihat kemampuan suatu jenis dalam beradaptasi tersebut adalah dengan cara mengobservasi jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di sekitar areal yang akan direstorasi. Dalam hal ini disimpulkan bahwa jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di sekitarnya tersebut akan mampu beradaptasi dengan baik. Selain itu, dalam hal pemilihan jenis, perlu juga mempertimbangkan ketersediaan sumber bibit, termasuk tingkat kesulitan dalam upaya perbanyakannya, dan kesesuaiannya dengan tujuan restorasi, yakni mengembalikan struktur dan fungsi hutan ke keadaan seperti semula (mendekati) semula. Dalam hal ini penggunaan jenis tanaman eksotik dapat dipertimbangkan, yang penting jenis yang akan ditanam tersebut adalah bersifat pioner dan ditanam tidak mengikuti pola pembuatan hutan tanaman, yakni yang cenderung bersifat homogen. c. Pengadaan Bibit Jenis-jenis tumbuhan yang telah ditentukan untuk digunakan dalam program restorasi, selanjutnya dilakukan upaya pengadaan bibitnya. Pengadaan bibit

154

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

tersebut dapat melalui sistem perbanyakan secara vegetatif maupun generatif. Namun demikian, dalam upaya perbanyakan bibit tersebut perlu diperhatikan agar bibit yang dihasilkan adalah bibit-bibit yang berkualitas baik. Untuk menilai baik tidaknya bibit-bibit tersebut antara lain dapat dilakukan dengan cara memeriksa bentuk atau sistem perakarannya karena akar merupakan organ yang penting bagi tumbuhan yang berperan dalam menyerap unsurunsur hara dan air untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. d. Penyiapan Lahan Bersamaan dengan kegiatan pengadaan dan penyiapan bibit, maka dapat dilakukan kegiatan penyiapan lahan untuk kegiatan penanaman. Hal ini diperlukan agak awal agar pada saat penanaman kondisi lahan dalam keadaan siap sehingga akar tanaman dapat berkembang dengan baik. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cara menggemburkan media tanam sehingga tanah menjadi remah, pembuatan drainase dan pembersihan gulam di sekitar lubang tanam (dapat juga dilakukan dengan cara pemberian mulsa). Untuk membantu dalam penggemburan tanah di sekitar lubang tanam dapat dilakukan dengan cara pemberian terabric dan humic acid. e. Perbaikan Kondisi Tanah Apabila diketahui adanya beberapa kekurangan berkaitan dengan kondisi tanah maka upaya perbaikannya perlu dilakukan. Kekurangan-kekurangan terhadap kondisi tanah tersebut dapat berupa kandungan hara yang rendah, keseimbangan serta ketersediaannya bagi tanaman. Dalam upaya memperbaiki kondisi tanah, hal-hal yang dapat dilakukan antara lain dengan cara pemberian pupuk, misalnya NPK untuk mengatasi kurangnya nutrisi tanah, pemberian kompos aktif berupa obat-obatan penyubur tanah, pemberian humic substance complex (HSC) atau pemberian polimer untuk mengatasi KTK yang rendah (< 16), pemberian bio-enzim untuk mengubah unsur hara menjadi tersedia sehingga dapat diserap tanaman. f. Penanaman Setelah dilakukan perbaikan kondisi tanah dan bibit dari jenis-jenis yang terpilih telah tersedia maka langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan penanaman. Untuk kegiatan ini, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membuat pola (design) penanaman yaitu dengan menentukan jarak tanam dan komposisi jenis tumbuhan yang akan ditanam. Dalam hal ini perlu mempertimbangan perkembangan lebar tajuk yang bervariasi. Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penanaman adalah penyiapan lubang tanam dimana ukuran lubang tanam harus disesuaikan dengan kesuburan tanah serta ukuran bibit tanaman. Penentuan waktu tanam yang tepat akan menentukan tingkat keberhasilan hidup tanaman. Untuk itu maka informasi yang berkaitan dengan iklim sangat diperlukan. Dalam kegiatan penanaman diperlukan input teknologi untuk meningkatkan keberhasilan hidup tanaman. Teknologi ini diantaranya dengan penggunaan bioremedy dan terabuster. Penggunaan terabuster dimaksudkan agar unsur hara yang tersedia dapat langsung diserap oleh tanaman, sedangan bioremedy (penambahan mikoriza) dimaksudkan untuk meningkatkan penyerapan unsur hara oleh tanaman. Pada lahan yang berbatu-batu, untuk

155

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

mempercepat revegetasi dapat juga dilakukan dengan penggunaan kompos aktif berupa terabuster, bioremedy dan teraglue serta biji-bijian atau dengan menggunakan tanaman penutup tanah seperti kacang buto. Teraglue merupakan sebuah perekat yang bersifat polimer yang mampu mengikat unsur hara sehingga tidak mudah tercuci saat hujan. g. Pemeliharaan, Monitoring dan Evaluasi Setelah penanaman harus dilakukan kegiatan pemeliharaan (yang meliputi penyulaman, penyiangan, manipulasi akar lateral dan lain-lain), monitoring dan evaluasi terhadap hasil kegiatan restorasi. Monitoring perlu dilakukan secara berkelanjutan selama kegiatan berlangsung tanpa melihat hasil. Sedangkan evaluasi dilakukan pada akhir kegiatan untuk melihat tingkat keberhasilannya sesuai Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan (Menteri Kehutanan, 2009). Adapun parameter-parameter yang digunakan dalam mengevaluasi kegiatan adalah sebagai berikut : Tingkat survival (jumlah tanaman yang hidup), jika yang hidup lebih dari 80% maka kegiatan dianggap berhasil Apakah pertumbuhan tanaman normal? tidak kekuningan? Tidak stagnan? Apakah akar sudah menembus bagian luar lubang tanaman? Apakah serasah sudah tercampur dengan tanah (terdekomposisi)? Adaptabilitas (tanaman dapat hidup) Kemampuan tanaman untuk dapat bertahan dan melanjutkan hidup. Terbentuknya struktur tegakan Kehadiran satwa di areal yang direstorasi Masuknya secara alami jenis-jenis tumbuhan yang ada di sekitar areal yang direstorasi IV. PENUTUP Restorasi merupakan konsep yang tergolong baru dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem hutan yang terdegradasi. Berbeda dengan konsep rehabilitasi hutan yang bertujuan hanya untuk memperbaiki fungsi dan produktivitas hutan tanpa harus membandingkannya dengan kondisi awal (asli) ketika hutan tersebut belum terdegradasi (Wali, 1992). Restorasi ekologi hutan bertujuan untuk memulihkan fungsi, produktivitas, struktur dan komposisi hutan seperti keadaan hutan sebelum hutan tersebut terdegradasi (ITTO, 2002; Lamb et al., 2003). Untuk menyelamatkan hutan pada lahan-lahan bekas penambangan batubara, restorasi harus dilaksanakan dengan penuh komitmen serta dengan input pengetahuan yang memadai sehingga restorasi dapat tepat sasaran dan mencapai hasil yang diharapkan.

156

Prosiding Workshop IPTEK Penyelamatan Hutan Melalui Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batu Bara

DAFTAR PUSTAKA [ITTO] International Timber Trade Organization. 2002. ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Tropical Forest. International Tropical Timber Organization. Lamb. D. and D. Gilmor. 2003. Rehabilitation and Restoration of Degraded Forest. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland and Cambridge, UK and The World Wide Fund for Nature. Gland Switzerland. Menteri Kehutanan. 2009. Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. No. P.60/Menhut-II/2009, tanggal 17 September 2009. Setiadi, Y. 2002. Revegetation Concept for Rehabilitated Degraded Land. Laboratory of Forest and Biotechnology and Environment. Bogor Agricultural University. Bogor. Wali, M. K. 1992. Ecosystem Rehabilitation (Volume 2: Ecosystem Analysis and Sinthesis). SPB Academic Publishing. Netherland.

157

You might also like