Professional Documents
Culture Documents
Tabel 1 : Persentase Resiko Infeksi yang Ditularkan melalui Transfusi dengan Unit Penyaring Darah di Amerika Serikat
Resiko 1. HIV 2. HTLV 3. Cytomegalovirus 4. HCV 5. HBV 6. Resiko infeksi agregat 1/493.000 1/641.000 <1.0% 1/103.000 1/63.000 1/34.000* Window Period (hari) 22 51 dengan cepat 82 59
HIV = human immunodeficiency virus tipe 1 HTLV = human T-cell lymphotropic virus HCV = virus hepatitis C HBV = virus hepatitis B * 88% HBV & HCV
dari JAMA 1995; 274: 1374 * HIV = human immunodeficiency virus ** HTLV = human T-cell lymphotropic virus
I. Indikasi untuk Transfusi Darah Indikasi untuk transfusi darah makin dipertanyakan. Transfusi darah biasanya diberikan untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Walaupun demikian, berdasarkan teori, peningkatan volume vaskular seharusnya bukan merupakan suatu indikasi untuk transfusi darah, karena volume intravaskular dapat diperbesar dengan pemberian cairan yang tidak menularkan infeksi (misalnya, kristaloid atau koloid). Sehingga, peningkatan kapasitas pengangkutan oksigen merupakan satu-satunya indikasi nyata untuk transfusi darah. Dari segi praktisnya, bila seorang pasien mengalami perdarahan, darah tepatnya diberikan untuk meningkatkan baik kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Secara kritis berapa nilai hematokrit/ hemoglobin yang diperlukan untuk kapasitas pengangkutan O 2. Dalam sejarah, hematokrit kurang dari 30% (atau hemoglobin kurang dari 10 g/dl) menunjukkan kebutuhan untuk transfusi darah perioperatif. Bagaimanapun juga ketakutan pada tahun-tahun terakhir akan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh transfusi, khususnya Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), menyebabkan peninjauan ulang terhadap indikasi ini. Jelaslah transpor oksigen dapat dipertahankan dengan hematokrit hingga 20%. Dengan anggapan volume intravaskular normal dan respon kompensasi kardiovaskular normal (contohnya, takikardi). Baru-baru ini, National Institutes of Health Consensus Conference berpendapat bahwa pasien-pasien sehat dengan hematokrit lebih besar daripada 30% jarang membutuhkan transfusi darah perioperatif sedang pasien-pasien tersebut dengan anemia akut (misalnya, kehilangan darah intraoperatif) dengan hematokrit kurang dari 21% seringkali membutuhkan transfusi darah. Defenisi akhir kadar hematokrit atau hemoglobin yang dibutuhkan untuk melakukan transfusi darah harus berdasarkan pada banyak faktor seperti status kardiovaskular, umur, kehilangan darah yang diantisipasi, oksigenasi arterial, cardiac output, dan volume darah. Yang lebih memperumit permasalahan ini, indikasi untuk transfusi darah mungkin juga tergantung pada sumber darah. Sebagai contoh, indikasi-indikasi untuk darah autolog mungkin lebih liberal karena tidak akan menyebarkan penyakit (misalnya, hepatitis dan AIDS) dibandingkan dengan darah homolog. Bagaimanapun juga, darah autolog sebaiknya tidak dipandang sepenuhnya aman karena adanya kemungkinan kesalahan klinis dan reaksi hemolitik sesudah transfusi. Pada bulan Juli 1989 FDA Drug Bulletin, memberikan panduan keras untuk pemberian sel darah merah. Bulletin tersebut menyatakan bahwa kapasitas pengangkutan oksigen adekuat dapat dipenuhi dengan hemoglobin 7 g/dl atau bahkan lebih kurang bila volume intravaskular adekuat
untuk melakukan perfusi. Ada kondisi medis yang dapat membenarkan pemberian darah untuk mencapai hemoglobin yang lebih tinggi (misalnya, penyakit arteri koroner). Meskipun demikian, kekhawatiran bahwa transfusi darah seringkali diberikan secara tidak tepat sehingga diperlukan penelitian yang lebih cermat terhadap praktek transfusi. Sebagai contoh, banyak komite transfusi rumah sakit mengadakan pemeriksaan ulang pada pasien-pasien didapatkan hematokrit postoperatif lebih tinggi dari normal (33-34 %) dan menerima darah sehingga perlu ditinjau kembali indikasi pemberian transfusi darah. Peninjauan ini dilakukan untuk menentukan apakah darah telah diberikan dengan tepat. Bila ditemukan transfusi yang tidak tepat, baik dokter dan komite transfusi akan mengevaluasi lebih lanjut ketepatan transfusi tersebut. Sehingga seorang dokter ahli anestesi harus menyatakan secara jelas dalam status rumah sakit alasan pemberian transfusi darah. Yang terbaru, biasanya pada pasien-pasien perawatan intensif, beberapa kelompok telah mencoba mendefenisikan keadaan dimana transfusi darah sebaiknya diberikan dengan mengukur oksigenasi jaringan dan hemodinamik (contohnya, peningkatan konsumsi oksigen sebagai respon terhadap kandungan oksigen). Tidak ada pengukuran spesifik yang dapat secara konsisten memperkirakan kapan seorang pasien diuntungkan oleh transfusi darah. Walaupun demikian terdapat bukti bahwa kualitas (contohnya, umur) dan peningkatan kapasitas oksigen (misalnya, hemoglobin lebih tinggi dari 10 g/dl) dapat menguntungkan pasien yang sangat tidak sehat. Kenyataannya satu penelitian menemukan bahwa bila darah yang disimpan lebih dari 15 hari diberikan, akan terjadi iskemia limpa. Lebih baru lagi, konsep yang ditegaskan oleh Purdy et al menyatakan bahwa pasien-pasien yang menerima darah yang berumur 17 hari dibandingkan dengan darah yang berumur 25 hari mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Pengaruh usia darah yang diberikan akan didiskusikan nanti pada presentasi ini. Mungkin indikator lebih sensitif terhadap oksigenasi jaringan (misalnya, pH intramukosal) dapat menjadi indikasi untuk transfusi darah. Menggunakan data pada sebuah populasi pembedahan orthopedik, variasi kadar hemoglobin tidak berhubungan dengan lamanya hospitalisasi. Namun, atlit yang terlatih dan pasien-pasien kardiak postoperatif mengalami perbaikan kemampuan fisik bila kadar hemoglobin ditingkatkan. Sebaliknya, Weiskopf et al menemukan, pada pasien-pasien yang sehat, penurunan konsentrasi hemoglobin hingga 5.0 g/dl tidak menyebabkan adanya bukti oksigenasi yang tidak adekuat. Bagaimanapun juga pasienpasien ini tidak dipermasalahkan dengan stress pemulihan dari pembedahan dan anesthesia. Bagaimanapun juga, Weiskopf et al menemukan bahwa pasien yang tidak dapat meningkatkan cardiac outputnya dengan cara meningkatkan denyut jantungnya sebaiknya menerima transfusi hingga kadar hemoglobin lebih dari 10 g/dl. Sayangnya, tidak dapat dihasilkan kesimpulan tepat dari data yang sangat berguna tapi bersifat usulan ini.
American Society of Anesthesiologists (ASA) telah mengembangkan Panduan Praktek untuk Terapi Komponen darah. Rekomendasi ASA untuk transfusi darah adalah:
I
up to 750 up to 15 >100 Normal Normal 14-20 30 Sedikit gelisah Kristaloid
II
750-1500 15-30 >100 Normal Positif 20-30 20-30 Cukup gelisah Kristaloid
III
1500-2000 30-40 >120 Menurun Menurun Positif 30-40 5-10 Gelisah bingung Kristaloid + darah 40
IV
2000 140 Menurun Menurun Positif >35 dpt diabaikan Bingung letargi Kristaloid +darah
Normal/meningkat Menurun
Panduan yang lebih sederhana akan sangat menolong. Sebagai contoh, dengan bantuan Habibi et al, panduan berikut disarankan bahwa pemberian satu unit PRC akan meningkatkan hematokrit 3-5 %. Indikasinya adalah: ! Kehilangan darah > 20% volume darah bila lebih dari 1000 ml. ! Hemoglobin < 8 g/dL ! Hemoglobin < 10 g/dL dengan penyakit berat (misalnya, emfisema, penyakit jantung iskemik) ! Hemoglobin < 10 g/dL dengan darah autolog ! Hemoglobin < 12 g/dL dan tergantung ventilator Pertimbangannya peningkatan kapasitas pengangkutan oksigen lebih penting daripada peningkatan volume intravaskular. Karena itu penulis menekankan pentingnya penetapan hemoglobin atau hematokrit. Anjuran banyak bank darah, darah autolog lebih baik dibanding darah alogenik.
III. Koagulasi
Dokter ahli anestesi mengetahui bahwa kecenderungan perdarahan sering terjadi pada pasienpasien yang ditransfusi secara masif. Koagulopati ini disebabkan oleh kombinasi banyaknya volume darah yang diberikan dan lamanya hipotensi atau hipoperfusi. Pasien-pasien dengan perfusi baik dan tidak hipotensi untuk jangka waktu yang lama (misalnya, > 1 jam) dapat mentolerir banyak unit darah tanpa menyebabkan koagulopati. Nyatanya, banyak pasien yang telah menerima lebih dari 100 unit darah bertahan dengan perubahan kecil pada koagulasi. Jelasnya, pasien yang hipotensif dan menerima banyak unit darah kemungkinan terjadi koagulopati baik karena DIC maupun karena berkurangnya faktor-faktor koagulasi karena penyimpanan darah di bank darah. Thrombositopenia dilusi merupakan penyebab diatesis hemoragik pada pasien yang menerima banyak unit darah. Walaupun penekanan utama pada hitung thrombosit, beberapa pengarang mempertanyakan peranan thrombositopenia pada koagulopati pada pasien-pasien yang ditransfusi secara masif. Mereka secara tepat menunjuk bahwa hitung thrombosit jarang menurun serendah yang diperkirakan dari pengenceran saja. Hal ini mungkin karena thrombosit dilepaskan ke dalam sirkulasi dari limpa, sumsum tulang dan karena adanya thrombosit non fungsional. Lebih lanjut, Reed et al menemukan tidak ada keuntungan pemberian thrombosit profilaksis selama transfusi masif. Thrombosit sebaiknya jangan diberikan untuk memperbaiki hasil pemeriksaan laboratorium pada keadaan thrombositopenia kecuali pada keadaan koagulopati klinis. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa, FFP tetap diberikan untuk pengobatan koagulopati yang disebabkan oleh transfusi. Keseluruhan peningkatan penggunaan FFP pada tahun 1970an menyebabkan National Institutes of Health (NIH) mengadakan konferensi untuk membahas masalah ini pada tahun 1985. Konferensi ini menyimpulkan bahwa pemberian FFP sebagai bagian dari terapi koagulopati yang disebabkan oleh transfusi darah masif hanya sedikit yang dapat dibuktikan kebenarannya. Bila dokter tetap ingin memberikan FFP kriteria berikut harus ditetapkan: 1. Perdarahan menyeluruh yang tidak dapat dikendalikan dengan jahitan bedah atau kauter 2. PTT paling kurang 1.5 kali dari normal. 3. Hitung thrombosit lebih besar daripada 70.000/mm (untuk menjamin bahwa thrombositopenia bukan merupakan penyebab perdarahan). Buletin Obat FDA baru (Juli 1989) menyimpulkan bahwa FFP sebaiknya jangan diberikan: 1. Untuk ekspansi volume, sebagai suplemen nutrisi 2. Profilaksis dengan transfusi darah masif 3. Profilaksis setelah operasi By Pass Yang lebih baru lagi, ASA menyarankan pemberian FFP dengan panduan berikut: 1. Untuk reversal mendesak terapi warfarin.
2. Untuk koreksi defisiensi faktor pembekuan yang tidak diketahui bila konsentrat spesifik tidak tersedia. 3. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskular bila ada peningkatan PT atau APTT (>1.5 kali normal). 4. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskular sekunder terhadap defisiensi faktor pembekuan pada pasien-pasien yang ditransfusi dengan lebih dari satu volume darah dan bila PT dan PTT tidak dapat diperiksa. 5. FFP harus diberikan dalam dosis yang dihitung untuk mencapai konsentrasi faktor plasma minimum 30% (biasanya dicapai dengan pemberian FFP 10-15 mL/kg ), kecuali untuk reversal mendesak antikoagulasi warfarin, dimana FFP 5-8 ml/kg biasanya mencukupi. Satu unit darah segar menyediakan faktor-faktor koagulasi yang sama dengan yang terkandung dalam satu unit FFP. 6. FFP dikontraindikasikan untuk tambahan volume plasma atau konsentrasi albumin. Kesimpulan diatas berdasarkan anggapan bahwa yang diberikan adalah darah lengkap. Kebanyakan penelitian memeriksa pengaruh transfusi masif darah lengkap pada koagulasi karena banyak pusat trauma menggunakan darah lengkap. Murray et al secara khusus mempertanyakan penggunaan PRC untuk kehilangan darah yang banyak. Pada penggunaan PRC, kadar fibrinogen menurun signifikan, kebalikan dari penggunaan darah lengkap dimana kadar fibrinogen tetap tidak berubah kecuali ada DIC (koagulasi inravaskular diseminata). Walaupun seluruh faktor-faktor koagulasi menurun, penurunan tidak sebanyak yang diperkirakan karena pengenceran. Mereka merasa bahwa faktor-faktor, seperti VIII, mungkin disimpan dalam sel-sel endotelial dan dilepaskan dari endotelium selama stress pembedahan. Bila PRC digunakan untuk mengganti kehilangan darah mayor, dokter dapat mencoba memberikan FFP secara profilaksis. Bagaimanapun juga, Murray et al secara khusus menyarankan untuk tidak mengikuti kebijaksanaan ini, tetapi menyatakan bahwa FFP hanya dibutuhkan bila PT dan PTT paling kurang 1,5 kali normal dan kadar fibrinogen kurang dari 75 mg/dL. Penelitian terbaru oleh Murray et al menunjukkan bahwa bila kehilangan volume intravaskuler digantikan dengan PRC dan kristaloid, PT dan PTT seringkali melebihi 1,5 kali normal. Baru-baru ini tiga pilihan dipertimbangkan oleh kebanyakan bank darah : A. Detergen Pelarut. Plasma dari donor multipel dikumpulkan dan diberikan campuran pelarut penghancur lemak (tri-n-butil fosfat) dan detergen (triton x-100) untuk menginaktivasi sampul lipid penyebab infeksi termasuk HIV, HTLV, HCV, HBV. Baru-baru ini (1998) tersedia di Palang Merah. Mempunyai beberapa kekurangan, termasuk pengumpulan yang dapat menyebabkan kontaminasi penyebab infeksi yang beramplop.
B. Plasma donor tunggal, yang diuji kembali untuk mempersiapkan FFP. Unit (donasi pertama) disimpan bila seluruh riwayat dan penyebab penyakit infeksi negatif. Unit tersebut tidak dilepaskan untuk digunakan hingga donor yang sama menyumbangkan unit kedua lebih dari 3 bulan setelah donasi pertama dan lolos pada pengujian serologik. Saat itu, unit pertama dilepaskan. Unit kedua tidak digunakan hingga orang tersebut kembali lebih dari 3 bulan kemudian untuk donasi ketiga dan lolos kembali seluruh pengujian. Saat itu, unit kedua dapat digunakan. Pendekatan ini mempunyai keuntungan yang jelas, tetapi pemberiannya rumit. C. Plasma yang sering didonorkan. Suatu hubungan terbalik terjadi antara jumlah donasi yang diberikan seseorang dengan kemungkinan menjadi sero positif. Hubungan ini tidak saling bergantung pada waktu dimana donasi diberikan. Yang tampaknya mencapai reduksi maksimum insidensi sero positif pada lebih dari 4 donasi. Perkiraannya adalah bahwa reduksi sero positif (dan karena itu transmisi) hingga 1/3-1/2 gambaran saat ini. Pilihan diatas diadakan pada pertemuan di University of California San Fransisco Transfusion Committee dan dokter akan mempunyai banyak pilihan plasma yang lebih aman untuk pasien.
IV. Imunosupresi
Transfusi darah homolog menimbulkan suatu reaksi imunosupresif nonspesifik pada resipien. Efek ini bersifat terapi untuk resipien transplantasi ginjal. Namun, banyak pengarang telah mengemukakan data untuk menunjukkan bahwa transfusi darah meningkatkan suseptibilitas terhadap infeksi dan peningkatan progresi tumor malignan. Walaupun banyak faktor dapat terlibat pada pasien yang sakit keras (misalnya, pasien-pasien yang menerima transfusi darah kemungkinan punya penyakit yang lebih luas dan invasif), bukti meyakinkan bahwa ada hubungan antara transfusi preoperatif dan rekurensi tumor atau bertahan hidup pada pasien-pasien dengan berbagai jenis kanker sebagaimana ditinjau oleh Schricmer et al. Mekanisme dan efek dari kanker ini tidak diketahui, tetapi berhubungan dengan peningkatan sintesis prostaglandin E, penurunan generasi interleukin 2, dan produk degradasi fibrinogen pada FFP. Penemuan lanjut ini menimbulkan kekhawatiran tentang pemberian FFP pada pasien-pasien yang imunitasnya ditekan. Blumbert et al, menemukan bahwa pasien-pasien yang ditransfusi dengan PRC bertahan hidup lebih baik daripada pasien-pasien yang menerima darah lengkap. Hasilnya, Schriemer et al, menyarankan untuk memberikan PRC dibanding darah lengkap bila transfusi diindikasikan pada pasien-pasien kanker. Terbaru, Landers et al telah meninjau mekanisme imunomodulasi yang disebabkan tranfusi (Tabel 3) dan penurunan fungsi imun setelah transfusi darah alogenik atau homolog. (Tabel 4).
V. Terapi Komponen
A. Thrombosit Sebagiamana diindikasikan sebelumnya, terdapat kekhawatiran bahwa produk-produk darah homolog telah diberikan secara tidak tepat. FDA Drug Bulletin Juli 1989 mencoba memberi panduan dan menyatakan bahwa thrombosit tidak boleh diberikan : 1. Kepada pasien-pasien dengan ITP (kecuali bila ada perdarahan yang mengancam jiwa) 2. Profilaksis transfusi darah massif. 3. Profilaksis pada cardiopulmonar bypass.
10
FDA tidak menyatakan bahwa pada pasien yang menjalankan pembedahan atau prosedur invasif lain tidak diuntungkan dari transfusi thrombosit profilaksis bila hitung thrombosit paling kurang 50.000/mm3 dan thrombositopenia merupakan satu-satunya kelainan. ASA task force baru-baru ini menyarankan bahwa : 1. Transfusi thrombosit profilaksis tidak efektif dan jarang kali diindikasikan bila thrombositopenia berhubungan dengan peningkatan destruksi thrombosit (misalnya, ITP). 2. Tranfusi thrombosit profilaksis jarang diindikasikan pada pasien-pasien bedah dengan thrombositopenia yang berhubungan dengan penurunan produksi thrombosit bila hitung thrombosit lebih besar daripada 100.000/mm 3 dan biasanya diindikasikan bila hitung thrombosit lebih rendah dari 50.000/mm 3. Penentuan apakah pasien-pasien dengan hitung thrombosit pada tingkat menengah (50.000-100.000/mm 3) membutuhkan terapi harus berdasarkan pada resiko perdarahan. 3. Pasien-pasien bedah dan obstetrik dengan perdarahan mikrovaskular biasanya membutuhkan transfusi thrombosit bila hitung thrombosit lebih kecil dari 50.000/mm 3 dan jarang membutuhkan transfusi bila lebih besar dari 100.000/mm 3. Jika hitung thrombosit antara 50.000-100.000/mm3), penentuan harus didasarkan pada resiko pasien untuk perdarahan yang lebih signifikan 4. Persalinan pervaginam atau operatif dengan kehilangan darah yang sedikit dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan hitung thrombosit kurang dari 50.000/mm 3. 5. Transfusi thrombosit dapat diindikasikan bila hitung thrombosit cukup tetapi terdapat disfungsi thrombosit dan perdarahan mikrovaskular. Transfusi thrombosit dibutuhkan untuk pasien-pasien dengan perdarahan sistemik dan untuk pasien-pasien dengan resiko tinggi perdarahan yang disebabkan oleh gangguan koagulasi, sepsis, atau disfungsi thrombosit yang berhubungan dengan pengobatan atau penyakit. Jelasnya, maksudnya adalah untuk membuat dokter lebih tepat dalam menetapkan indikasi transfusi thrombosit. Karena peningkatan kekhawatiran tentang kontaminasi bakterial, kini sangat disarankan tiap pasien yang menjadi demam setelah menerima konsentrat thrombosit harus dianggap septik hingga terbukti sebaliknya. B. Kriopresipitat Kriopresipitat mengandung faktor VIII:C (aktivitas prokoagulan), faktor VIII:vWF (faktor von Willebrand ), fibrinogen, faktor XIII, dan fibronektin, yang merupakan glikoprotein yang berperan pada peningkatan aktivitas sistem RES dalam membunuh partikel asing dan bakteri dari darah Terdapatnya fibrinogen yang rendah pada PRC, sehingga ASA task force menyarankan pemberian kriopresipitat untuk:
11
1. Profilaksis pada pasien-pasien non perdarahan perioperiatif atau peripartum dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau penyakit von Willebrand yang tidak berespon terhadap DDAVP (bila memungkinkan, keputusan ini harus dibuat dengan konsultasi dengan hematolog pasien tersebut). 2. Pasien-pasien perdarahan dengan penyakit von Willebrand. 3. Koreksi perdarahan mikrovaskular pada pasien-pasien dengan transfusi massif dengan konsentrasi fibrinogen kurang dari 80-100 mg/dL (atau bila konsentrasi fibrinogen tidak dapat diukur pada saat itu). Darah lengkap harus diberikan pada transfusi darah massif, karena PRC kurang mengandung faktor koagulasi. Konsentrat faktor VIII merupakan terapi standar untuk hemofilia. Teknik rekombinan DNA terbaru telah digunakan untuk mengembangkan faktor VIII yang bebas transmisi penyakit.
VI. Komplikasi
Dengan memperhitungkan pertimbangan di atas, insidensi dari reaksi yang merugikan adalah : Reaksi yang merugikan terhadap Transfusi* Tipe reaksi Reaksi febril Reaksi alergi (urtikaria) Rekasi transfusi hemolitik akut Rekasi transfusi lambat Penyakit graft vs host (GVHD) Udem paru akut yang berhubungan dengan transfusi (TRALI) Insidensi 1% dari transfusi PRC 20% dari transfusi platelet 1/1000 reaksi transfusi ~ 1/33,000 U PRC ~ 1/2,500 U PRC 1/10,000 U PRC
Darah yang telah bersih dari leukosit dapat menurunkan kejadian imunosupresi dan insidensi banyak reaksi transfusi.
12
3. Larutan hemoglobin liposome-encapsulated, mengandung hemoglobin dengan membran sintetik. 4. Perfluorokarbon, larutan organik dengan kelarutan oksigen tinggi. Untuk mencegah banyak komplikasi, seperti kerusakan ginjal, pelepasan endotoksin, dan lain-lain, berbagai pendekatan telah digunakan, seperti cross-link, polimerisasi, dan konjugator baik dengan kimiawi maupun tehnik genetik sebagaimana diringkaskan dibawah.
Awalnya, produk-produk ini dipandang sebagai pengganti darah. Meskipun aman, tapi sulit disediakan oleh bank darah. Kriteria FDA terhadap efisiensi sulit diterapkan. Sekarang lebih menekankan pada kemampuan transpor oksigennya yang akan didiskusikan. Berbagai penelitian fase II and III telah dan sedang dilaksanakan. Sejauh ini, kebanyakan produk menyebabkan hipertensi ringan dan peningkatan konsentrasi amilase dan lipase yang signifikansinya masih harus ditetapkan.