You are on page 1of 6

Hubungan Opini BPK dengan korupsi

Saat ini berkembang pendapat di masyarakat, bahwa laporan keuangan yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK merupakan laporan keuangan yang bebas dari unsur korupsi atau kecurangan (fraud). Terdapat pro dan kontra mengenai opini WTP ini, pihak yang pro opini WTP bebas korupsi mengatakan bahwa opini WTP mencerminkan laporan keuangan yang dibuat berdasarkan bukti-bukti transaksi yang nyata terjadi di lapangan, sehingga menggambarkan keadaan yang sesungguhnya atas kejadian keuangan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, tidak direkayasa. Sesuai dengan kerangka konseptual standar akuntansi pemerintah, suatu laporan keuangan mencerminkan informasi masa lalu yang reliable (andal). Karakteristik andal ini diwujudkan dengan adanya pencatatan-pencatatan berdasarkan bukti akuntansi yang ada (kontrak, perjanjian, jurnaljurnal). Apabila opini BPK menyatakan WTP, maka bagi pihak yang pro bukti transaksi haruslah benar sesuai dengan kenyataan yang ada dilapangan. Sedangkan pihak yang kontra mengatakan bahwa opini WTP tidaklah menjamin suatu entitas pemerintahan bebas korupsi atau kecurangan.Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pemeriksaan BPK hanya meliputi laporan keuangan tersebut dari sisi aspek legal formal dan sisi akuntansinya saja, dan makna WTP bukanlah bebas korupsi melainkan laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar, yang artinya ada batas toleransi kesalahan yang masih dianggap wajar dan diterima. Disisi lain tanggung jawab pemeriksa hanya terbatas pada opini yang diberikannya. Tanggung jawab untuk memastikan bila terjadi korupsi dalam pengelolaan keuangan negara sebuah entitas (auditee), terletak pada manajemennya sendiri. Biasanya dikenal dengan Management Representation Letter (MRL) yang ditandatangani oleh pimpinan entitas yang mengelola keuangan negara. Untuk lebih memahami pro kontra tersebut, berikut ini disajikan ulasan mengenai pendapat yang pro kontra terhadap pernyataan opini WTP bebas korupsi dengan terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip audit keuangan pemerintah . Tujuan dari pemeriksaan laporan keuangan adalah untuk memberikan opini atas laporan keuangan. Penjelasan pasal Pasal 16 ayat (1) UU 15 tahun 2004 menyatakan bahwa opini merupakan pernyataan profesional keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria: 1. kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, 2. kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), 3. kepatuhan terhapa peraturan perundang-undangan, dan 4. efektivitas sistem pengendalian internal. Pada dasarnya terdapat dua kondisi menentukan opini yaitu pembatasan lingkup audit atau kecukupan bukti (audit evidence), dan penyimpangan dari prinsip akuntansi atau salah saji serta materialitas.

Pemeriksa wajib mengumpulkan bukti yang kompeten melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. Auditor diharuskan untuk meyakinkan dirinya bahwa prosedur audit yang dilaksanakan pada akhirnya dapat menghasilkan bukti audit yang cukup memadai untuk menyatakan kesimpulan. Ketidakmampuan auditor dalam memeroleh bukti adalah merupakan pembatasan lingkup bagi auditor dalam memenuhi stadar pemeriksaan. Pembatasan lingkup yang mengakibatkan pemeriksa tidak dapat memperoleh cukup bukti dapat terjadi karena tiga yaitu Keadaan di luar kendali entitas, keadaan terkait sifat dan waktu penugasan mbatasan oleh manajemen, misalnya manajemen membatasi auditor melaksanakan prosedur peninjauan fisik, konfirmasi kepada kepada pihak ketiga, ataupun pembatasan lainnya dalam pemeriksa melaksanakan prosedur pemeriksaan. Ketidakmampuan auditor dalam menerapkan suatu prosedur tidak boleh dianggap sebagai pembatasan audit apabila auditor dapat melakukan prosedur alternatif untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan. Auditor baru boleh berhenti dalam mengumpulkan bukti dan menyimpulkan bahwa bukti yang cukup tidak dapat diperoleh apabila auditor tidak dapat menjalankan prosedur alternatif. Pemberian opini atas laporan keuangan harus didasarkan pada keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Penyajian laporan keuangan secara wajar artinya bahwa tidak terdapat salah saji yang material dalam pelaporan keuangan. Salah saji yang mempengaruhi opini adalah salah saji yang tidak dapat dikoreksi dengan alasan entitas tidak bersedia melakukan koreksi akuntansi, secara teknis koreksi tersebut memang tidak bisa dilakukan karena terikat pada peraturan atau kebijakan (sebagai contoh, dalam kebijakan audit BPK, salah saji yang terkait dengan pelampauan atau kesalahan pembebanan tidak dapat dikoreksi). Materialitas menjadi hal yang penting dalam pemberian opini BPK. Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut. Definisi tersebut mengakui pertimbangan materialitas dilakukan dengan memperhitungkan keadaan yang melingkupi dan perlu melibatkan baik pertimbangan kuantitatif maupun kualitatif. Sebuah salah saji dapat dikatakan material apabila kesalahan penyajian tersebut dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pengguna laporan. Dalam penerapan konsep materialitas ini, terdapat tiga tingkatan nilai yang digunakan untuk menentukan jenis opini yang akan diterbitkan. 1. Tidak Material Kesalahan penyajian dapat terjadi tetapi salah saji tersebut tidak mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh pengguna laporan keuangan. Klasifikasi tidak material ini biasanya menyangkut jumlah-jumlah salah saji yang kecil apabila dibandingkan dengan nilai batas tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi.

2. Material tetapi tidak mempengaruhi keseluruhan penyajian laporan keuangan Kesalahan penyajian dapat mempengaruhi keputusan seorang pengguna laporan keuangan, tetapi secara keseluruhan laporan keuangan tetap disajikan secara wajar dan tetap dapat digunakan. Sebagai contoh, bila diketahui terdapat kesalahan penyajian aktiva tetap yang bernilai cukup besar, hal ini kemungkinan dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan, misalnya DPRD, untuk membuat keputusan penganggaran. Namun,salah saji tersebut tidak memiliki pengaruh menyeluruh pada kewajaran laporan keuangan, karena dampaknya hanya terjadi pada akun tersebut. 3. Sangat material sehingga mempengaruhi kewajaran penyajian seluruh laporan keuangan Tingkat materialitas tertinggi terjadi apabila terdapat probabilitas yang sangat tinggi bahwa pengguna laporan keuangan akan membuat keputusan yang tidak benar jika dalam pembuatan keputusannya didasarkan pada informasi yang dihasilkan dari keseluruhan laporan keuangan. Pada tingkat ini, salah saji yang terjadi dikatakan sebagai pervasive. Contoh, apabila salah saji terjadi terkait dengan transaksi Kas di Kas Daerah yang jumlahnya sangat besar, maka salah saji tersebut memiliki pengaruh terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sehingga pengguna laporan keuangan dapat membuat keputusan yang salah. Dalam menentukan suatu opini, auditor mendasarkan pada bukti-bukti yang kompeten, menurut Arens (2008:5) bukti audit adalah setiap informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit dinyatakan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kompetensi (reliabilitas) bukti audit yang mendasari data akuntansi maupun informasi penguat tercantum dalam aspek standar ketiga pekerjaan lapangan. Reliabilitas catatan akuntansi berkaitan langsung dengan efektivitas struktur pengendalian intern. Pengendalian intern yang kuat akan meningkatkan keakuratan, reliabilitas dan keandalan catatan keuangan. Sementara pengendalian intern yang lemah sering kali tidak dapat mencegah atau mendeteksi kesalahan dan penyimpangan dalam proses akuntansi.

Menurut M.Guy (2002:28), bukti audit yang diperoleh bisa dianggap kompeten, maka ia harus memenuhi dua kriteria yaitu haruslah sah dan relevan. Validitas bukti audit ditentukan dengan: 1. Bukti audit tersebut diperoleh dari sumber independen yaitu dari luar perusahaan yang di audit. 2. Data akuntansi dan laporan keuangan dikembangkan menurut pengendalian internal yang kondisinya memuaskan. 3. Bukti audit tersebut diperoleh melalui pengalaman langsung oleh auditor. Suatu temuan dapat berpengaruh terhadap opini jika temuan tersebut secara material berkaitan dengan asersi manajemen dalam laporan keuangan, atau sifat yang membatasi lingkup pemeriksaan pemeriksa. Setiap pengecualian atau keberatan pemeriksa di dalam paragraf opini seyogyanya termuat

pula dalam laporan kepatuhan atau laporan pengendalian intern.vSebagaimana diuraikan di atas temuan akan berpengaruh terhadap opini apabila berkaitan dengan kedua faktor sebagai berikut. 1. faktor pembatasan ruang lingkup (pembatasan oleh auditee, dokumen tidak lengkap, dan ketidakpastian) yang bararti pemeriksa tidak dapat menerapkan standar audit (penyimpangan dari standar audit). Apabila terdapat pembatasan ruanglingkup maka kemungkinan besar opini yang diberikan adalah tidak memberikan pendapat atau wajar dengan pengecualian, tergantung tingkat materialitasnya. 2. faktor laporan keuangan tidak disajikan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tidak diterapkan secara konsisten (penyimpangan dari prinsip akuntansi). Opini yang akan diberikan adalah tidak wajar. Opini WTP menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Opini WTP merupakan penilaian tertinggi atas laporan keuangan, dimana ini bisa tercapai apabila memenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut. 1. Bukti pemeriksaan yang cukup memadai telah terkumpul, dan pemeriksa telah melaksanakan penugasan sedemikian rupa sehingga mampu menyimpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan lapangan telah dipatuhi; 2. Semua aspek dari standar umum SPKN telah dipatuhi dalam penugasan pemeriksaan; 3. Seluruh laporan keuangan (neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan) telah lengkap disajikan; 4. Laporan keuangan yang disajikan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hal ini juga berarti bahwa pengungkapan informatif yang cukup telah tercantum dalam catatan atas laporan keuangan serta bagian-bagian lainnya dari laporan keuangan tersebut; 5. Tidak terdapat situasi yang membuat pemeriksa merasa perlu untuk menambahkan sebuah paragraf penjelasan atau memodifikasi kalimat dalam laporan pemeriksaan. Berdasarkan penjelasan proses dan pinsip-prinsip audit diatas dan kondisi yang menyebabkan diberikannya kondisi wajar tanpa pengecualian, maka dapat diambil suatu ikhtisar sebagai berikut: 1. Pihak yang menganggap opini WTP BPK tidak bebas dari korupsi beragumen bahwa kosepsi Wajar bukan berarti benar Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Secara leksikal, ketentuan tersebut menyatakan

bahwa pemeriksaan keuangan negara menilai kebenaran bukan kewajaran sebagaimana biasa dikenal dalam ilmu pemeriksaan. Namun, di sisi lain dinyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. (Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 15 tahun 2004). Yang dimaksud opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan, sebagamaina dinyatakan dalam Pasal 1 angka 11. Sebagaimana hukum mengenai prinsip bahwa aturan khusus mengungguli aturan umum, maka dalam pemeriksaan organisasi, konsepsi kewajaran seharusnya akan lebih diunggulkan dibandingkan dengan konsepsi kebenaran. Hal ini dikarenakan adanya konsepsi materialitas dan sampling dalam pemeriksaan keuangan organisasi pemerintah. Aspek legal formal lebih diunggulkan daripada substansi transaksi. Konsepsi sampling mengungkapkan bahwa pemeriksa tidak mungkin melakukan pengujian atas semua transaksi yang dilakukan pemerintah daerah. Asumsi dasar ini memungkinkan bahwa semua kekeliruan tidak akan dapat diketahui oleh pemeriksa. Konsepsi ini sekaligus menuntut pemeriksa untuk memiliki kemampuan dalam menentukan sample yang representative. Konsepsi ini sangat memungkinkan tidak terungkapnya suatu kasus pada suatu entitas tetap untuk kasus yang sama terungkap pada entitas lain.Konsepsi materialitas mengungkapkan bahwa keputusan pemeriksa selalu berorientasi pada hal yang signifikan. Terhadap hal yang tidak signifikasn maka hal tersebut tidak menjadi pertimbangan pemeriksa dalam keputusannya. Karena konsep materialitas atau kewajaran inilah, suatu transaksi yang kemungkinan saja terindikasi korupsi tetap dianggap wajar asalkan dalam rentang materialitas yang ditentukan. Hal ini yang mendasari anggapan WTP tidak berarti bebas korupsi. 2. Pihak yang menganggap opini WTP BPK berarti bebas dari korupsi beragumen bahwa kosepsi kebenaran mengalahkan kewajaran Hal ini didasarkan pada pengertian Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara bahwa pemeriksaan proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Konsep kebenaran transaksi haruslah diunggulkan dari kewajaran bukti transaksi , apabila suatu transaksi benar maka laporan keuangan tersebut otomatis akan wajar. Pihak yang kontra berargumentasi bahwa substansi lebih penting daripada legal formal. Sehingga apabila suatu substansi transaksi dicemari oleh korupsi walaupun legal formal sah maka tetap saja transaksi keuangan tersebut curang dan tidak bisa diberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Dalam kerangka konspetual akuntansi pemerintah indonesia juga disebutkan bahwa suatu transaksi lebih

dinilai dari substansinya daripada bentuk legal formalnya (substance over form).

Kerangka

konseptual inilah yang harus dijadikan acuan untuk menilai suatu kebenaran transaksi keuangan. Penulis sendiri berpendapat bahwa kebenaran substansi lebih diunggulkan daripada legal formalnya. Undang-undang dan hukum di Indonesia juga didasarkan kepada suatu kebenaran yang substantif sedangkan suatu legal formal hanya alat atau sarana untuk mencari atau mewujudkan suatu kebenaran yang material. Daftar Pustaka 1. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara 2. Petunjuk Teknis Penetapan Batas Materialitas Pemeriksaan Keuangan, BPK RI, 2008 3. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, BPK RI, 2007. 4. WTP Bukan Berarti Bebas Korupsi, Warta BPK edisi 02 Vol I Februari 2011, hal 47-48 5. PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

You might also like