You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Prasangka dan Diskriminasi telah dapat kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari dan istilah ini sering kali digunakan secara bergantian. Namun, psikologi sosial membedakan secara jelas penggunaan kata prasangka dan diskriminasi ini.. Psikologi sosial telah lama mengenal pentingnya prasangka dalam tingkah laku sosial masyarakat. Kita mengetahui bahwa banyak sekali kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat yang berasal dari prasangka dan diskriminasi. Seperti contoh, kelompok orang cina yang sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan detik ini masih mengalami ketidakadilan di negeri ini. Oleh sebab itu, pelajaran mengenai prasangka dan diskriminasi sangat diperlukan. Salah satu penyebab kekerasan yang terjadi adalah kenyataan yang menunjukan bahwa dalam masyarakat terdapat banyak bermacam-macam kelompok, misalnya kelompok pendidik, kelompok sepak bola, kelompok pendaki gunung dan sebagainya. Kelompok satu dapat sejalan dengan kelompok yang lain, tetapi tidak jarang ditemui kelompok satu berselisih dengan kelompok yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat didapati adanya kelompok yang berselisih dan kelompok antagonistic. Berkaitan dengan antagonistic ini, ada beberapa elemen yang mendasarinya. Masing-masing elemen-elemen tersebut adalah stereotip, prasangka dan diskriminasi. Dalam makalah ini akan dibahas definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi, teori-teori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan diskriminasi, target prasangka dan diskriminasi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 Apakah pengertian stereotip, prasangka, dan dikriminasi? Apakah hubungan antara stereotip, prasangka, dan diskriminasi? Mengapa prasangka dan diskriminasi dapat bertahan? Apa saja yang menjadi target prasangka dan diskriminasi?

1.2.5 1.2.6

Apakah akibat yang ditimbulkan dari prasangka dan diskriminasi? Bagaimana cara untuk mengurangi dan menghilangkan prasangka dan diskriminasi?

1.3 Tujuan Penulisan Pembuatan makalah ini selain untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Kesehatan, juga untuk mengetahui : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pengertian stereotip, prasangka, dan diskriminasi Hubungan antara stereotip, prasangka, dan diskriminasi Penyebab-penyebab yang menjadikan prasangka dan diskriminasi dapat bertahan. Target Prasangka dan diskriminasi Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh adanya prasangka dan diskriminasi Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan prasangka dan diskriminasi. 1.4 Metode Penulisan Metode yang dilakukan dalam membuat karya tulis ini adalah metode deskriptif, yaitu dengan menganalisa data apa adanya. Penulisan dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari beberapa sumber kemudian dikumpulkan untuk dibahas dan ditarik kesimpulannya

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi Sebelum mengetahui hubungan antara stereotip, prasangka dan diskriminasi, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui dan memahami definisi dari ketiga konsep tersebut. a. Stereotip Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari angota kelompok tertentu, bisa positif atau bisa juga negatif. Ada juga yang mendefinisikan stereotip sebagai pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu (in group atau out group), yang bisa bersifat positif maupun negatif (Amanda, 2009). Biasanya stereotip berfungsi untuk membentuk imej kelompok lain dan umumnya bersifat negatif dan tidak akurat. Misalnya: 1. Wanita sunda yang dianggap berstrereotipkan matre,gemar bersolek,wanita nakal, membuat seorang ibu bersuku jawa melarang anak laki-lakinya mempersunting wanita sunda.Maka terciptalah jarak antar kedua etnis tersebut yang dikarenakan sebuah stereotype. 2. Stereotipe yang menganggap orang islam adalah teroris membuat pemerintahan Amerika melarang pemakaian cadar dan menolak masuknya orang asing ke Negara tersebut apabila mengandung nama islami seperti Abdullah, Muhammad,dll. Stereotipe teroris di Amerika Serikat adalah mereka yang memakai sorban, berjanggut panjang dengan wajah seperti keturunan Arab, serta memakai celana yang menggantung. Bisa jadi ada teroris yang justru berdasi dan memakai jas. Tentu saja pandangan seperti itu bisa menjebak kita dalam menciptakan kebenaran yang salah. 3. Banyak orang yang menganggap etnis padang pelit dan pandai berdagang.

Walaupun lebih cenderung negatif, stereotip kadangkala memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh orang/kelompok lain dan biasanya dapat menimbulkan pengkambinghitaman. Namun, apabila kita menjadi akrab dengan etnis yang bersangkutan, maka stereotip tehadap orang/kelompok itu biasanya akan menghilang. Hal tersebut dikarenakan stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat yang berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain. Misalnya: Dalam hal pemilihan teman. Ketika baru masuk SMA atau kuliah. Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak dikenal, kita cenderung mencari orang yang dirasakan cocok dengan kita. Mengapa saya memberikan tanda petik untuk kata dirasakan? Karena hal itu sifatnya subjektif. Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang nyambung, kesamaan gaya berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi oleh kakak kelas. Reaksi lain dari adanya informasi yang tidak konsisten adalah dengan melakukan apa yang dinamakan tacit inferences. Maksud tacit inferences adalah mengubah makna dari informasi yang masuk agar konsisten dengan stereotip yang kita miliki. Contohnya adalah jika kita menjumpai seorang supir metro mini yang berpakaian rapi saat bertugas dan mengendarai metro mininya di jalan dengan santun, maka kita akan berpikir bahwa mungkin ia adalah supir metro mini yang masih baru dan belum stress dengan tekanan pekerjaannya. Dengan demikian, kita melakukan pengubahan makna dari informasi yang masuk agar dapat fit dengan stereotip yang kita punyai tentang sopir metro mini. Kita segera melakukan tacit inferences yang memungkinkan kita dapat menghadapi informasi yang tak diharapkan tersebut. b. Prasangka Prasangka adalah suatu sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditujukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok yang didasarkan pada keanggotaan dalam kelompok. Sedangkan menurut Amanda G (2009), Prasangka merupakan 4

pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Prasangka muncul karena adanya. perbedaan dalam hal seksualitas,ras,etnik,dan kelompok Misalnya: Ketika kita bertemu dengan seorang kerabat yang kini telah menjadi kaya raya setelah sejak 10 tahun lalu tidak bertemu, lalu kita berpikiran kekayaannya itu didapat dari hasil korupsi,merampok,dll. Itu adalah contoh prasangka negatif yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Prasangka disebabkan oleh beberapa faktor, yang menurut johnson (1986) disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Gambaran perbedaan antarkelompok. 2. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas. 3. Kelompok yang merasa superior sehingga merasa kelompok lain inferior. c. Diksriminasi Diskriminasi muncul dari prasangka yang tampil dalam perilaku yang dapat dilihat. Dengan kata lain, diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif terhadap orang lain yang menjadi target prasangka. Sedangkan menurut sears, freedman & peplau (1999) diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok. Contoh: Di Afrika Selatan orang-orang kulit hitam di larang bersekolah disekolah untuk orang kulit putih. Hal ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang satu dengan yang lain. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda. Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda yang didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang mereka miliki, mereka dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai

karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel, sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan aktivitasnya. 2.2 Hubungan Antara Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi Sebenarnya stereotip, prasangka, dan diskriminasi memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain karena dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi adalah stereotip. Tapi ada kalanya ketiga sikap tersebut dapat berdiri sendiri secara terpisah. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip yang berlebihan akan memunculkan prasangka terhadap orang atau kelompok lain. Misalnya: Karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Muslim dengan janggut yang lebat, maka seluruh orang Muslim yang berjanggut lebat di stereotipkan sebagai teroris. Dan suatu ketika terjadi pemboman lagi disuatu tempat maka orang Muslim lah yang dicurigai dan timbulah prasangka yang buruk terhadap orang Muslim. Padahal belum tentu orang Muslim yang melakukannya dan biasanya bersifat tidak akurat. Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman, 1993) mengembangkan model prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang dapat dikontrol dari renspons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang sebuah kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka terdapat aktivasi dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung otomatis menjadi prasangka dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki control untuk meneruskan atau tidak meneruskan belief tadi untuk menjadi prasangka dan diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa untuk menghambat belief, maka akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan sesuatu untuk menghambat berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa belum tentu orang yang dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain kelompoknya, maka prasangka tidak terjadi.

Jadi, prasangka merupakan disposisi dari stereotip. Namun, muncul pula suatu kecenderungan bahwa prasangka bisa terjadi tanpa diawali oleh adanya stereotip, begitu pula stereotip belum tentu berujung pada munculnya sikap berprasangka.. Diskriminasi adalah disposisi dari prasangka. Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan yang kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminiasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut. Namun orang yang berprasangka juga belum tentu mendiskriminasi. Contoh: 1 Adanya diskriminasi terhadap wanita yang berstatus hamil. Dalam mencari sebuah pekerjaan seorang yang bergender wanita cenderung ditolak apabila berstatus hamil. Hal itu dikarenakan prasangka pemilik perusahaan yang berfikir bahwa wanita yang sedang hamil akan segera mengambil cuti yang cukup lama dan hal itu tentu saja merepotkan perusahaan kelak. 1. Kasus antara Suku Dayak dan Suku Madura. Suku Dayak menganggap Suku Madura kejam, maka diskriminasi yang kasarpun terjadi, seperti balita yang ikut di bunuh, akibat stereotip yg negatif. 2.3 Asal Muasal Prasangka a. Konflik Langsung Antarkelompok Baron dan Byrne (2003) menerangkan bahwa penjelasan yang paling tua dalam menjelaskan kenapa prasangka terjadi adalah yang menerangkan bahwa orang berprasangka karena adanya kompetisi atas sumber-sumber berharga yang terbatas. Teori ini disebut seorang berprasangka karena adanya kompetisi atas sumber sumber berharga yang terbatas. Teori ini disebut sebagai realistic conflict theory. Contoh: 1. Konflik antara para migrant dengan masyarakat setempat, masyarakat setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil di wilayah barunya sehingga menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para migrant.

2. Konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura karena adanya kecemburuan sosial-Ekonomi. Karena sumber nafkah yang terbatas di sebuah komunitas, maka di antara kelompok-kelompok yang ada di komunitas tersebut sangat mungkin terjadi prasangka satu sama lain karena saling berkompetisi atas sumber yang sama untuk mendapatkan nafkahnya.

Suku Dayak b. Teori Belajar Sosial

VS

Suku Madura

Teori ini menjelaskan bahwa prasangka berkembang karena individu mempelajari lingkungan). Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar orangtuanya melontarkan komentarkomentar negatif terhadap orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga akan ikut meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam pembentukkan prasangka. Prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan observasi/vicarious.. c. Kategorisasi Sosial Perspektif yang ketiga yang menjelaskan prasangka menekankan adanya kenyataan mendasar yang membuat seseorang dapat berprasangka. Kenyataan mendasar tersebut adalah demi membuat dunia terlihat mudah terkontrol dan dapat diprediksi, maka individu melakukan apa yang disebut dengan kategorisasi. Orang yang melakukan kategorisasi terhadap lingkungan sosialnya, disebut dan mendapat informasi dari orang dewasa (terpengaruh

dengan kategori sosial. Pada kategori sosial ini, orang melihat orang lain sebagai bagian dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup-nya) atau sebagai anggota kelompok lain (maka akan disebut sebagai outgroup-nya). Misalnya: Keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi, jangan heran jika muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut. Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor kenyamanan dalam berinteraksi sosial. Peristiwa tersebut dikarenakan adanya kecenderungan untuk memberi atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri daripada anggota kelompok lain. Hal ini terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama (ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias. Hanya saja hal ini terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori sosial ini dapat dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial tertentu. Namun, hal ini terjadi hanya bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior daripada kelompok lain yang menjadi pesaingnya. d. e. Stereotip Mekanisme kognitif lain: a) Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu, kecenderungan melebihlebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil. Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat. b) Ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity) yaitu, kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan tersebut adalah perbedaan untuk in-group (in-group anggota differentiation) kelompoknya yaitu dalam kecenderungan mempersepsikan

menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen) daripada kelompok-kelompok lain. 2.4 Target dari Prasangka dan Diskriminasi Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok tertentu yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok jenis kelamin tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum homoseksual dan kelompok individu dengan ketunaan fisik. a. Seksisme Prasangka terhadap gender di mana banyak budaya yang masih menempatkan wanita sebagai kaum minoritas disebut seksisme (sexism). Seksisme ada 2 jenis, yaitu: 1. Seksisme yang penuh kebencian: pandangan jika wanita tidak inferior terhadap pria, maka akan memiliki banyak trait negative. Contohnya, wanita banyak yang ingin diistimewakan, sangat sensitive, atau ingin merebut kekuasaan dari pria yang tidak seharusnya mereka miliki. 2. Seksisme bentuk halus: pandangan yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi, lebih superior daripada pria dalam banyak hal (contoh: mereka lebih murni dan lebih memiliki selera yang baik). Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh: tidak ada pria yang benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seorang wanita yang ia puja dalam hidupnya). Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal dengan istilah glass ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang (dalam hal ini wanita) untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti rekan prianya. Istilah glass ceiling ini pertama kali dikalamkan oleh Gay Bryant pada suatu artikel di Adweek pada tahun 1984. Glass ceiling ini disebabkan karena sikap stereotyping, prejudice, dan bias jender (memandang kedudukan wanita yang lebih rendah daripada pria secara sadar ataupun tidak sadar). Ada banyak contoh-contoh kasus glass ceiling ini. Di dunia kedokteran, beberapa spesialisasi medis tertentu seperti dokter bedah atau dokter obstetrik ginakologi tertutup untuk dokter wanita, karena dianggap 10

sebagai domain dokter laki-laki. Juga ada kecenderungan untuk memilah jenis pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (sex-typed). Laki-laki mendominasi pekerjaan dengan penghasilan (income) top seperti supervisor, manajer, eksekutif dan sebagainya, sementara wanita direpresentasikan dalam kelompok kerja paling bawah seperti sekretaris, guru, perawat, dan sebagainya. Ilustrasi yang paling menonjol adalah pada saat Hillary Clinton akan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden AS, di mana ternyata masih banyak kaum lelaki yang tidak merestuinya. Gagalnya Hillary Clinton maju sebagai calon presiden dari partai Demokrat juga sedikit banyak dipengaruhi oleh mentalitas glass ceiling yang masih dianut dalam masyarakat AS. b. Rasisme Diskriminasi terhadap ras dan etnis merupakan diskriminasi yang paling banyak menimbulkan perbuatan paling brutal dimuka bumi. Penelitian tentang sikap anti kulit hitam di Amerika Serikat (AS). Mereka cenderung melihat bahwa kulit hitam merefleksikan persepsi umum mengenai orang desa, budak, dan pekerja kasar. Hal ini merupakan contoh rasisme terhadap golongan minoritas. Sedangkan di Afrika terkenal adanya Rezim apartheid Afrika Selatan yang merupakan contoh rasisme minoritas terhadap mayoritas. Namun, kasus Rasisme di Amerika Serikat sudah semakin berkurang. Semakin lunturnya kasus rasisme ditandai dengan perikahan antar ras di Amerika yang semakin menguatkan tidak ada perbedaan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Angka yang muncul dari Survei Komunitas Amerika 2008-2010 menyebutkan, ada pernikahan antar ras hingga 3 juta pasang setiap tahun. Namun demikian, bukan berarti bahwa prasangka rasial ini hilang di muka bumi. Adanya penegasan formal dan legal tentang pelarangan untuk melakukan diskriminasi membuat diskriminasi tampil dalam bentuk yang berbeda, tidak lagi dalam bentuk eksplisit dan jelas, tetapi dalam bentuk tersamar dan halus seperti aversive, racism, modern racism symbolic racism, regressive racism, atau ambivalent racism. Contohnya adalah dalam bentuk menghindari untuk hidup di lingkungan kelompok yang menjadi target prasangka dan menampilkan perilaku 11

prososial (menolong) yang berbeda dengan yang ditampilkan untuk kelompok yang tidak menjadi target prasangkanya.

c. Ageism Diskriminasi usia atau ageisme adalah bentuk stereotip dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok karena faktor usia. Misalnya, di sebuah komunitas, lansia biasanya diperlakukan dengan penuh hormat. Masyarakat menilai bahwa kaum tua ini berpengalaman, bijak, dan memiliki intuisi tajam. Oleh kerana itu, penghargaan terhadap lansia cenderung tinggi. Namun di masyarakat lain, kaum tua diperlakukan sebagai pihak yang kurang berharga dan kurang memiliki kekuasaan sehingga mengabaikan hak dasar manusia dari para lansia. Hasil penelitian dari Noels, Giles, dan La Poire (2003) menunjukkan bahwa orang muda cenderung menilai individu diatas 65 tahun sebagai orang yang mudah tersinggung, tidak sehat, tidak menarik, tidak bahagia, pelit, tidak efektif, kurang terampil, terlalu mengontrol, egosentris, fan tidak kompeten. Misalnya, adanya perlakuan yang tidak adil dari seorang individu oleh seorang majikan atau rekan kerja atas dasar usia individu dan biasanya ditujukan terhadap individu yang usia 40 tahun atau lebih. d. Diskriminasi Terhadap Kelompok Homoseksual Ada pro-kontra masyarakat dalam memandang homoseksual. Ada yang melihatnya sebagai pilihan hidup. Namun ada juga yang melihatnya sebagai perilaku menyimpang dan tidak bermoral. Survei yang dilakukan oleh Levitt dan Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk memiliki keyakinan bahwa homoseksual adalah penyakit dan perlu dilarang secara legal. Apalagi setelah terbukti bahwa homoseksual merupakan epedemik virus HIV menimbulkan ketakutan terhadap kaum homoseksual, hingga berkembang menjadi homofobia. e. Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan Fisik Prasangka dan diskriminasi kerana keterbatasan fisik sudah berlangsung sejak lama, bahkan orang dengan keterbatasan fisik dipandang sebagai hal yang menjijikkan dan kurang bermartabat. Saat ini, diskriminasi terhadap orang yang 12

memiliki keterbatasan fisik dianggap ilegal dan ketidakterimaan sosial. Di negaranegara maju kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus disediakan fasilitas-fasilitas khusus untuk kenyamanannya. Diskriminasi berdasarkan keterbatasan fisik ini dapat kita lihat ketika kita membaca pengumuman penerimaan calon pegawai atau karyawan. Salah satu poin yang mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari segala penyakit. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua istilah sehat jasmani maupun rohani lebih merujuk pada kondisi penyandang cacat.Seseorang akan dengan langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyatanyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang. Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan. Fakta lain yang dapat dijadikan contoh adalah tentang keberadaan fasilitas umum di sekitar kita. Kebanyakan dari fasilitas umum di Indonesia dibangun dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang cacat. Penyandang cacat sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya. Mengesampingkan keberadaan mereka berarti juga telah memperlakukan kelompok para penyandang cacat secara diskriminatif. 2.5 Bentuk Diskriminasi Diskriminasi terwujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang tersamar, nyata hingga kasar. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi sebagai berikut : a. Menolak untuk menolong Menolak untuk menolong orang lain yang berasal dari kelompok tertentu sering kali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam posisinya yang kurang beruntung. Misalnya organisasi yang menolak memberikan cuti melahirkan pada karyawan wanitanya. Menolak menolong adalah ciri dari diskriminasi rasial yang nyata.

13

b. Tokenisme Tokenisme adalah minimnya perilaku positif kepada pihak minoritas. Perilaku ini nanti digunakan sebagai pembelaan dan pembenaran bahwa ia sudah melakukan hal baik yang tidak melanggar diskriminasi. c. Reverse discrimination Reverse discrimination adalah praktik melakukan diskriminasi yang menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka atau diskriminasi dengan maksud agar mendapat pembenaran dan terbebas dari tuduhan telah melakukan prasangka atau diskriminasi. Misalnya adanya tokenisme di Amerika Serikat, yaitu orang yang kulit hitam, perempuan, dan orang spanyol oleh organisasi kerja. Organisasi ini hanya mempekerjakan kelompok minoritas sebagai strategi untuk terhindar dari tuduhan melakukan diskriminasi. Tokeisme pada level ini dapat menghancurkan harga diri orang yang dikenai token ini. 2.6 Stigma dan Dampak Lain Dari Korban Prasangka Efek dari prasangka pada korban sangat bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan ringan hingga penderitaan yang dalam. Secara umum, prasangka sangat merusak kerana dapat memberikan stigma kepada semua anggota kelompok yang ada didalamnya. Allport menjelaskan adanya 15 kemungkinan sebagai konsekuensi negatif dari korban prasangka. Beberapa diantaranya adalah stigma sosial, rendahnya self-esteem, turunnya kesejahteraan psikologis, kegagalan dan kekurangberuntungan, atau attributional ambiguity. Pengalaman subjektif dalam menerima sigma bergantung pada dua faktor, yaitu: 1. Visibilitas. Visible stigma, seperti ras dan gender, membuat individu yang ada di dalamnya tidak bisa melarikan diri dari cap yang diberikan orang lain, karena cirinya nyata terlihat. 2. Kontrolabilitas. Stigma yang bersifat dapat dikontrol seperti perokok dan homoseks yang memungkinkan penerimanya untuk bisa memilih apakah ia masuk dalam kategori atau tidak. Sedangkan stigma yang tidak terkontrol, misalnya ras, seks, dan pasien dengan penyakit tertentu. Stigma yang terkontrol lebih mengundang reaksi yang

14

keras ketimbang stigma yang tidak terkontrol. Contohnya adalah obesitas. Obesitas biasanya mengundang reaksi negative bukan hanya karena dalam budaya barat obesitas diberi stigma negatif, tetapi juga karena obesitas sesungguhnya dapat dicegah. 2.7 Penjelasan Prasangka di Tingkat Individu Serta Kepribadian Dari Prasangka dan Diskriminasi Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan adanya enam teori dalam menjelaskan terbentuknya prasangka dan diskriminasi. a. Teori frustasi-agresi dari Dollard-Miller Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan Miller pada tahun 1939 bersamaan dengan merebaknya sikap anti-Semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an. Teori ini mengatakan bahwa jika seseorang mangalami frustasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebabnya, orang akan mencari kambing hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan diskriminasi. Kritik terhadap teori ini dikemukan oleh Berkowitz (1962) yang mencoba merivisinya dengan mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal. . b. Kepribadian otoritarian Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson, dan Sanford (1950) menjelaskan kaitan antara prasangka dengan kepribadian otoritarian. Diungkapkan bahwa hanya orang dengan kepribadian otoritarian saja yang cenderung berprasangka. Kepribadian otoritarian adalah konstelasi karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur otoritas, obsesi terhadap status meliputi ranking, kecenderungan untuk melakukan displacement kemarahan dan ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah, toleransi yang rendah terhadap ketidak pastian. c. Dogmatisme dan closed-mindednes Teori lain yang menjelaskan mengenai prasangka dikembangkan oleh Rokeach yang lebih menekankan gaya kognitif. Rokeach menjelaskan bahwa generelisasi dari sidrom ketidaktoleransian ini dapat dikatakan sebagai dogmatis atau ketertutupan sikap (closed-mindedness). d. Otoritatif sayap kanan

15

Teori kepribadian otoritatif kemudian direvisi tanpa penjelasan aspek kepribadian dan psikodinamik. Teori ini menjelaskan otoritatif sebagai sekumpulan sikap yang terdiri atas tiga komponen, yaitu : a. b. c. Conventionalism, adanya devosi terhadap konvensi sosial yang digerakkan oleh pihak otoritas. Authoritarian aggression, dukungan terhadap agresi pihak devian. Authoritarian submission, submisif terhadap otoritas sosial yang berlaku.

e. Teori dominasi sosial Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi sosial atau mitos sosial yang melegitimasi hierarki dan diskriminasi. Orang yang menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan superior terhadap kelompok lain berarti memiliki orientasi dominasi sosial yang tinggi untuk mendorong atau menolak egaliter. f. Belief congruence Rokeach menjelaskan sistem belif congruence menjelaskan rasa tidak suka terhadap kelompok luar bukan disebabkan oleh keanggotaannya dalam kelompok melainkan tidak sejalannya sistem keyakinan (belief) dengan sistem belief kelompok luar.

2.8

Mengendalikan Tingkat Prasangka dan Diskriminasi Teknik-teknik untuk mengendalikan prasangka dan diskriminasi adalah sebagai berikut: a. Belajar tidak membenci Psikologi sosial menilai bahwa anak-anak memiliki prasangka dengan mempelajarinya dari orang tua dan media massa. Dengan demikian, upaya logis yang dapat dilakukan adalah dengan melarang orang tua/dewasa untuk menurunkan sikap negatifnya tersebut kepada anak-anak. Namun kenyataannya orang dewasa sendiri tidak menyadari prasangka yang dimilikinya. Oleh kerana itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyadarkan orang tua atau orang dewasa untuk menyadari prasangka yang dimilikinya, baru memotivasi lebih jauh kepada anak-anak. Prasangka tidak hanya membawa ketidak nyamanan bagi korban prasangka, tetapi juga pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang

16

tidak tenang kerana selalu ada perasaan was-was dengan target yang menjadi prasangkanya. b. Direct intergroup contact Pettigrew (1981) menyatakan, bahwa prasangka yang terjadi antar kelompok dapat dikurangi dengan meningkatkan intensitas kontak antar kelompok yang berprasangka tersebut. Meningkatkan kontak memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih mendalam mengenai kesamaan yang mungkin mereka miliki sehingga seseorang mampu melihat bahwa anggota-anggota dari kelompok lain dapat bervariasi, tidak lagi homogen. c. Rekategorisasi Rekategorisasi adalah melakukan perubahan batas antara ingroup dan outgrupnya. Sebagai akibatnya, bisa saja seseorang yang sebelumnya dipandang sebagai outgroupnya, tetapi kemudian menjadi ingroupnya. d. Intervensi kognitif Perlunya intervensi kognitif untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi. Antara lain dengan memotivasi individu untuk tidak berprasangka dan pelatihan yang membantu orang untuk mengurangi aktivitas yang otomatis dari cara berpikir yang stereotip. e. Social influence sebagai cara mengurangi prasangka Kenyataan bahwa sikap terhadap kelompok ras atau etnis tertentu bisa dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika ia menyadari bahwa prasangka atau diskriminasi tidak disukai oleh kelompoknya, maka dengan perlahan ia akan mengubah cara pandangnya terhadap kelompok lain. f. Coping terhadap prasangka Sebagai target dari prasangka , sebaiknya melakukan perubahan sikap untuk merespon perilaku diskriminasi. Sehingga target prasangka tidak menjadi korban dari diskriminasi. Sebagai contoh, melawan dengan jalur hukum bila terjadi diskriminasi.

17

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan Prasangka adalah sikap negatif terhadap orang lain yang lebih didasari oleh keanggotaannya dalam kelompok tertentu dan bukan kerana karakteristik pribadi yang dimilikinya. Jika prasangka telah berkembang menjadi perilaku, maka bisa disebut sebagai diskriminasi. Berkembangnya prasangka dan diskriminasi dipicu oleh adanya stereotip. Prasangka dan diskriminasi yang paling luas adalah aspek gender, ras, etnis, agama, orientasi seksual, serta keterbatasan fisik. Baron dan Byrne (2003) dalam menjelaskan penyebab terjadinya prasangka mulai dari konflik langsung antar kelompok, teori belajar sosial, kategorisasi sosial, dan stereotip. Beberapa bentuk diskriminasi menurut Vaughan dan Hogg (2005) adalah menolak untuk menolong, tokenisme, dan reverse discrimination. Ada sejumlah penjelasan yang mencoba menerangkan mengapa prasangka dan diskriminasi dapat muncul dan berkembang. Penjelasan tersebut bervariasi mulai dari yang menjelaskannya sebagai sebuah karakteristik individual, sampai adanya pengaruh sosial. Penjelasan tersebut adalah teori frustasi-agresi, kepribadian ototarian, dogmatism, ototarian kelompok kanan, teori dominasi sosial dan belief congruence. Sejumlah teknik dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi. Beberapa penjelasan tersebut adalah belajar untuk tidak membenti, direct intergroup contact, rekategorisasi, intervensi kognitif, dan coping terhadap prasangka dan diskriminasi. 3.2 Saran Prasangka tidak hanya membawa ketidaknyamanan bagi korban prasangka, tetapi juga pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang tidak tenang kerana selalu ada perasaan was-was dengan target yang menjadi prasangkanya. Maka dari itu jauhilah prasangka terhadap apapun kerana hanya akan menimbulkan kewaspadaan yang berlebihan terhadap diri sendiri. Bagi korban prasangka dan diskriminasi sebaiknya

18

tidak melawan prasangka dan diskriminasi dengan bentuk kekerasan akan tetapi melalui jalur hukum agar tidak terjadi dilain waktu.

DAFTAR PUSTAKA
Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Salemba Humanika. Sarlito Wawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial . Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka. Internet : http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2011/12/07/glass-ceiling-diskriminasi-bagiwanita/ http://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka http://www.detiknews.com/read/2011/12/08/161029/1786343/10/diskriminasikan-difabellion-air-dan-pemerintah-dihukum?nd992203605

19

You might also like