You are on page 1of 32

BAB I

TEORI KEMISKINAN

PENGERTIAN KEMISKINAN

Berbagai Pengertian

Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu

umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam

bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini

mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-

kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh

negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan

Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada

era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di

Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang

mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya

tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi,

kriminalitas, pengangguran.

Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama

pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat

tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup

dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-

negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari

jumlah penduduknya tergolong miskin.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5

juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998).

Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di

1
perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996

(sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta

jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin

diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan

alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam

yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan"

terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota

masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia,

hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik

kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.

Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari

berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat

terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada

terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah

mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme,

malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses

terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses

pengambil keputusan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,

kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut

apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi

kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang

tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada

di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan

sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat

2
kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.

Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan

masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial

masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara

teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,

pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk

menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.

Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan

penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin

perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat

dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari,

ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan,

pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan

angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan

untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.

Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi

kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat

kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan

kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni

kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.

Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami

kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan

itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun

atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan

individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak

yatim, kelompok lanjut usia.

3
Penanggulangan Kemiskinan

Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori

ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat

dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi,

dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas

akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang

dapat dilakukan?

Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan

untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi

permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para

pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian

bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan

masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja,

dan lain sebagainya.

Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula

dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu

pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara

menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada

pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS

ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.

Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di

perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan

mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui

partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya

4
berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling

cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari

pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan

tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri. (Redaksi)

BAB II

JENIS-JENIS KEMISKINAN DAN INDIKATORNYA

5
Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara berkembang, bahkan

negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar negara Dunia Ketiga.

Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan

kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan absolut, di mana dengan pendekatan ini diidentifikasi

jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif,

yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan.

Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat dinamis dan tergantung di

mana seseorang tinggal.

Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu masyarakat maka

diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di Indonesia, garis kemiskinan BPS

menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs

approach) dan pendekatan Head Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya,

yaitu garis kemiskinan Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas

garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras.

Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi dan

porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat.

Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk menetapkan suatu garis kemiskinan

pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok

barang dan jasa esensial, seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas.

Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola

6
kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan disebabkan

oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse

sangat relevan dalam menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi di negara-negara

terbelakang. Menurutnya negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor

because it is poor).

Menurut Thorbecke, kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di perkotaan

dibandingkan dengan perdesaan karena, pertama, krisis cenderung memberi pengaruh

terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, seperti konstruksi,

perdagangan dan perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di

perkotaan; kedua, penduduk pedesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari produksi

mereka sendiri. Hasil studi atas 100 desa yang dilakukan oleh SMERU Research Institute

memperlihatkan bahwa pertumbuhan belum tentu dapat menanggulangi kemiskinan, namun

perlu pertumbuhan yang keberlanjutan dan distribusi yang lebih merata serta kemudahan

akses bagi rakyat miskin.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Strategi penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di

Jepang, solusi yang diterapkan adalah dengan menerapkan pajak langsung yang progresif atas

tanah dan terbatas pada rumah tangga petani pada lapisan pendapatan yang tinggi, sedangkan

Cina melakukannya melalui pembentukan kerangka kelembagaan perdesaan dengan kerja

sama kelompok dan brigades di tingkat daerah yang paling rendah (communes). Di sisi lain,

solusi pemberantasan kemiskinan di Taiwan melalui mobilisasi sumber daya dari sektor

pertanian dengan mengandalkan mekanisme pasar.

Selain strategi di atas, ada juga Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi atau

Rural-Led Development yang menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor

pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi

7
sektor yang memimpin. Di Indonesia, salah satu strategi penanggulangan kemiskinan

ditempuh melalui pemberdayaan partisipatif masyarakat melalui P2KP. Sasaran dari program

ini adalah kaum miskin perkotaan yang sangat rentan terhadap krisis dibandingkan dengan

masyarakat perdesaan.

Pertumbuhan versus Pemerataan

Pada beberapa kasus memang dijumpai adanya studi empiris yang mendukung

hipotesis kurva U terbalik (hipotesis Kuznets), namun hal ini perlu disikapi hati-hati

tergantung dari jenis data yang dipakai, apakah data silang atau runut waktu. Hal ini penting

karena keduanya memberikan kesimpulan yang berbeda.

Ketimpangan Distribusi Pendapatan: Indikator dan Trend

Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering

digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua,

kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu

sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar

ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva

Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk

koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata. Demikian

juga sebaliknya.

Studi empiris menunjukkan bahwa bentuk kurva Lorenz untuk kasus negara

berkembang pada umumnya semakin menjauhi dibandingkan dengan negara maju. Apabila

dilihat koefisien gini, negara maju mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan

negara berkembang.

8
Masalah Dualisme Pembangunan

Industrialisasi di dunia sangat erat kaitannya dengan revolusi industri yang terjadi

di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri yang terjadi di negara maju ternyata mendorong

negara-negara lain untuk bereaksi dengan 2 cara. Pertama, berusaha untuk meniru model

revolusi industri. Kedua dengan melakukan kontak dagang. Usaha untuk meniru tersebut

banyak dilakukan oleh negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Hal

tersebut menjadi titik tolak mulainya pembagian dunia menjadi negara industri dan

nonindustri. Revolusi industri menyebar dengan cepat di negara-negara yang melakukan

revolusi pertanian khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara, sedangkan di negara dengan

produktivitas pertanian yang rendah, seperti Eropa Tengah dan Eropa Selatan atau Amerika

Latin dan Cina kemajuan industrinya berjalan relatif lambat.

Teori dualisme Boeke amat populer pada pertengahan 1950-an karena

menerangkan mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial Economy) amat

berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-negara Barat yang berdasarkan

mekanisme pasar. Oleh karena itu, Boeke berpendapat bahwa teori ekonomi konvensional dari

Barat jelas tidak dapat diterapkan di negara-negara Timur. Ia mengusulkan perlunya disusun

teori dengan kerangka yang sama sekali baru. Teori “baru” ini jelas lebih kompleks karena

harus memperhitungkan kondisi dualistik dengan 2 sistem sosial yang berbeda, saling

mempengaruhi, dan saling berbenturan.

Meskipun banyak kritikus Belanda yang mengkaji seluruh ataupun sebagian teori

Boeke bertahun-tahun sejak Perang Dunia II, namun boleh dikatakan tidak ada pemikiran

yang muncul menentang Boeke (Mackie, 1980). Boeke tetap merupakan ilmuwan yang

berpengaruh dari tahun 1929 hingga kematiannya pada tahun 1956. Kritik yang paling gencar

9
terhadap teori Boeke datang dari Benjamin Higgins (1955). Kritik yang lain datang dari Sadli

(1957) dan Mackie (1980).

Dualisme vs Segmentasi Pasar

Studi yang dilakukan oleh Chris Manning, Hal Hill, Ross McLeod, dan Howard

Dick menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan

mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan kontribusi yang amat

berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi mikro Indonesia.

Studi Hal Hill (1980) agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme

teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill menunjukkan relevansi

konsep dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia. Kendati demikian, Hill

menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat diterapkan dalam kasus industri

tenun Indonesia. Ia melihat dualisme teknologi memiliki relevansi untuk industri Indonesia..

Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar

tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan dikotomi

prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar tenaga kerja bukan

dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi.

McLeod mendefinisikan dualisme sebagai koeksistensi yang berlanjut antara

sektor “modern” dan “tradisional” dalam ekonomi domestik NSB. Dalam sektor keuangan,

dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan pasar uang informal. McLeod

mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar keuangan sebagai perbedaan harga, perbedaan

dalam jenis peminjam, dan perbedaan dalam lokasi geografis.

Dick menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia

mencatat adanya 3 gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia dalam

teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.

10
Kependudukan dan Pengangguran

Strategi pembangunan berdimensi manusia menawarkan konsep yang lebih luas

dan menyeluruh yang meliputi semua pilihan-pilihan kebutuhan manusia pada semua

tingkatan masyarakat dan semua tahapan pembangunan. Konsep ini meletakkan

pembangunan di sekitar manusia, bukan manusia di sekitar pembangunan. Elemen penting

dari pembangunan manusia adalah tersedianya pilihan-pilihan bagi masyarakat untuk dapat

hidup sehat dan panjang umur, memperoleh pendidikan, dan memperoleh akses bagi sumber

daya yang diperlukan untuk standar hidup yang layak, dan memperoleh kebebasan politik

sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.

Besarnya investasi suatu negara dalam pembangunan manusia yang terlihat dalam

proporsi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam anggaran belanja

negaranya dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana sebuah negara memperhatikan

pembangunan manusianya.

Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berada pada tahap transisi antara penduduk

muda menjadi penduduk tua. Hasil pembangunan di bidang kependudukan di Indonesia

terlihat dari perubahan komposisi penduduk menurut umur yang tercermin dari semakin

rendahnya proporsi penduduk tidak produktif dan semakin rendahnya angka beban

tanggungan.

Proporsi penduduk usia kerja dalam angkatan kerja mengalami peningkatan pada

tahun 1999-2001. TPAK di Indonesia menunjukkan jumlah yang lebih tinggi di daerah

perdesaan dibandingkan di perkotaan karena tingkat partisipasi sekolah untuk SLTP dan SLTA

lebih tinggi di daerah perkotaan.

Wanita dalam Pembangunan

Kesenjangan gender yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh adanya

norma sosial yang mempengaruhi pilihan-pilihan dan perilaku rumah tangga dan faktor

lembaga legal formal yang mempengaruhi kegiatan ekonominya

11
Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan adalah akses terhadap

pendidikan dalam hal ini digunakan ukuran tingkat partisipasi sekolah yang menunjukkan

seberapa banyak penduduk usia sekolah yang telah memanfaatkan fasilitas pendidikan yang

ada. Perbandingan antara indeks pembangunan yang berhubungan dengan gender (GDI) dan

indeks pembangunan manusia (HDI) dapat digunakan untuk melihat seberapa besar

kesenjangan gender (gender disparity) di suatu daerah.

Migrasi

Urbanisasi secara luas didefinisikan dengan perpindahan penduduk desa yang

menuju kota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi penduduk yang tinggal di

perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu.

Perkembangan kota yang lebih cepat mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat

prematur. Artinya, urbanisasi desa kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri.

Migrasi dari desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama penyumbang pertumbuhan

kota. Alasan orang untuk melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antarsensus

(SUPAS) 1995 adalah (1) perubahan status perkawinan dan ikut saudara kandung/famili lain

sebesar, (2) karena pekerjaan sebesar, (3) karena pendidikan sebesar, (4) karena perumahan,

dan (5) lain-lain.

Pendatang baru di kota karena tidak memperoleh pekerjaan mencoba mengadu

nasibnya dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi kota sebagai self employment yang

akhir akhir ini dikenal sebagai sektor informal.

Posisi dan Kondisi Hutang Dunia

Utang menjadi fenomena umum bagi negara-negara berkembang. Namun

demikian, dalam kenyataannya negara-negara maju pun juga mempunyai utang luar negeri

yang tidak kalah banyaknya dengan negara dunia ketiga. Salah satu faktor yang membedakan

12
antara keduanya adalah sering kali negara berkembang tidak mampu mengelola utang secara

profesional. Hal ini menyebabkan utang yang semula digunakan untuk membiayai

pembangunan beralih menjadi beban pembangunan. Secara umum, alasan mengapa negara

berkembang harus berutang adalah tingkat tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus

mencari dana lain untuk membiayai investasi dan minimnya persediaan devisa untuk

mengimpor barang-barang, seperti mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut

berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang lokal maupun

asing untuk kebutuhan pembayaran impor ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul

konsep Guidotti Rule bahwa setidaknya negara dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai

persediaan devisa yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.

Timbulnya Krisis Utang

Beban utang yang berlebihan apalagi bila dikelola dengan buruk, dapat

menjerumuskan negara ke dalam krisis. Hal ini sudah ditunjukkan dengan fenomena krisis

baik yang terjadi di Amerika Latin maupun di Asia. Dilihat dari faktor penyebabnya, Faktor

penyebabnya bukan semata-mata negara peminjam tetapi juga disebabkan dari aspek

internasional. Misalnya, saja kekurang hati-hatian bank internasional dalam memberikan dana

pinjaman ke negara berkembang. Sering kali krisis utang disertai dengan pelarian modal ke

luar negeri (capital flight) sehingga makin memperburuk perekonomian negara tersebut.

Capital flight menyebabkan turunnya investasi dalam negeri, yang berakibat pada rendahnya

output nasional. Rendahnya output nasional berakibat meningkatnya tingkat DSR. Tingginya

tingkat DSR menimbulkan adanya spekulasi yang mendorong adanya modal yang mengalir ke

luar negeri. Demikian seterusnya sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.

Setidaknya terdapat lima dampak negatif dari beban utang luar negeri bagi negara

tersebut, yaitu pertama, menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam negeri

(domestic saving rate); kedua, mempertahankan overvalued currency sehingga mempermudah

13
impor untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif; ketiga, sebagian besar dana utang luar negeri

sektor pemerintah dibelanjakan di negara pemberi utang, bukan di negara penerima utang;

keempat, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri jelas mengalihkan dana yang dapat

digunakan sebagai investasi domestik; dan kelima, membuat pemerintah negara berkembang

pengutang besar untuk mengintensifkan penerimaan pajak sehingga dapat menyebabkan

kondisi investasi yang tidak kondusif dan pelarian modal ke luar negeri (capital flight).

Solusi Krisis Utang

Krisis utang di luar negeri tidak saja membuat negara berkembang menderita,

tetapi juga negara dan institusi donor yang selama ini memberi pinjaman. Mereka kuatir

bahwa negara kreditor tidak mampu membayar kembali utang-utangnya. Pada

perkembangannya timbul beberapa solusi krisis ini, di antaranya pendirian institusi

pengelolaan utang, HIPC Initiative, dan Debt for Nature Swap. Beberapa negara-negara yang

termasuk HIPC mendapat pengurangan utang melalui prakarsa yang disebut HIPC Initiative

yang dalam perkembangannya muncul HIPC Enhanced Initiative. Namun, Indonesia tidak

dapat bantuan pengurangan utang ini karena masih dianggap mampu untuk membayar cicilan

utang dan bunganya. Selanjutnya Indonesia mengajukan program debt for nature swap kepada

beberapa negara kreditor yang tergabung dalam CGI. Hasilnya beberapa negara menerima dan

sebagian menolak. Dalam perkembangannya, konversi utang ini tidak saja berlaku untuk

pembiayaan pelestarian lingkungan, namun juga melebar ke bidang pendidikan dan

kesehatan.

Investasi Luar Negeri

Peranan investasi asing langsung mempunyai peranan penting bagi perekonomian

negara khususnya negara berkembang yang memiliki stok tabungan yang minim. Namun

demikian, survei yang dilakukan oleh UNCTAD menunjukkan bahwa negara maju pun

sebenarnya memerlukan investasi asing. Hal tersebut dapat dilihat dari aliran FDI yang

14
berasal dari negara maju menuju ke negara maju lainnya.

Pada umumnya investasi asing dapat berupa FDI atau investasi portofolio.

Perbedaannya adalah FDI lebih bersifat jangka panjang dan biasanya terjadi transfer teknologi

dan manajerial yang dapat diadopsi oleh negara tuan rumah (host country). Sebaliknya,

investasi portofolio bersifat jangka pendek dan implikasinya adalah modal tersebut dapat

bergerak pindah dari suatu negara ke negara lain (mobilitas ini disebut juga “uang panas”).

Oleh karena itu, suatu negara sangat rentan terhadap keberadaan investasi portofolio ini.

Anggito Abimanyu (1994) dalam studinya mengenai TNC di Indonesia

menyimpulkan beberapa hal yang menarik berdasarkan analisis data industri tahun 1986-1991

dari Badan Pusat Statistik. Pertama, peningkatan masuknya TNC ke Indonesia, terutama PMA

penuh pada akhir tahun 1980-an, bukan merupakan industri unggulan, namun justru yang

sudah buangan. Kedua, kinerja TNC umumnya cenderung berorientasi pada pasar dalam

negeri meskipun produk yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor.

Ketiga, TNC cenderung memanfaatkan tenaga kerja yang relatif terlalu tinggi dan boros

karena upah yang rendah. Dengan kata lain, kondisi upah rendah adalah daya tarik utama

masuknya TNC ke Indonesia.

Perusahaan Transnasional (TNC )

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TNC di beberapa negara memiliki

peranan yang penting dalam meningkatkan produktivitas ekonomi negara tersebut. Dalam

skala global, besarnya peranan TNC dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang diserap,

jumlah penjualan di dunia serta aliran FDI yang meningkat dari tahun ke tahun (World

15
Investment Report 2002). Pada umumnya TNC terkemuka di dunia di dominasi oleh negara-

negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Namun, dalam perkembangannya,

terdapat 5 TNC yang berasal dari negara berkembang, seperti Venezuela (Petroleos de

Venezuela) dan Malaysia (Petronas).

Menurut Dicken (1992), peranan TNC dapat dijelaskan (1) TNC dapat

mengendalikan ekonomi di lebih satu negara; (2) kemampuan TNC untuk memanfaatkan

perbedaan geografis antarnegara dan daerah khususnya dalam segi faktor endowments

(termasuk kebijakan pemerintah); (3) kemampuan TNC untuk memindahkan sumber daya dan

operasi lintas lokasi dalam skala global. Kontribusi TNC bagi host country adalah

bertambahnya stok modal, transfer pengetahuan, dan praktik manajerial dan organisasi.

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa pihak yang menganggap bahwa TNC

membawa manfaat positif bagi negara berkembang. Namun, di lain pihak berargumen bahwa

TNC justru lebih membawa dampak negatif daripada dampak positif bagi suatu negara. Hal

inilah yang menyebabkan timbulnya pro-kontra bagi keberadaan TNC.

Strategi Pembangunan Industri

Strategi pembangunan industri yang umum digunakan di suatu negara adalah

substitusi impor (inward-looking) dan promosi ekspor (outward-looking). Strategi substitusi

impor identik dengan proteksionisme yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri

yang masih muda agar dapat bersaing, sedangkan strategi promosi ekspor identik dengan

usaha peningkatan ekspor untuk meningkatkan pendapatan nasional.

Strategi substitusi impor diminati oleh banyak negara berkembang setidaknya

karena 2 alasan berikut. Pertama, strategi substitusi impor yang pada dasarnya diterapkan

untuk memenuhi permintaan domestik akan barang-barang konsumsi tidak selalu memerlukan

teknologi maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian yang paling menarik dari strategi

substitusi impor adalah kemungkinan penghematan devisa melalui penurunan belanja negara

16
dalam bentuk valuta asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit perdagangan.

Keuntungan penerapan strategi promosi ekspor adalah meningkatnya nilai ekspor

sebuah negara yang dapat meningkatkan pemasukan negara berupa mata uang asing sehingga

meningkatkan cadangan devisa. Namun, penerapan strategi ini berpotensi menyebabkan

kenaikan pengeluaran untuk impor seiring dengan kenaikan pendapatan suatu negara yang

pada akhirnya menimbulkan pengaruh negatif pada neraca perdagangan negara yang

bersangkutan.

Kinerja dan Daya Saing Industri

Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya tingkat

konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun

terang-terangan pada pasar yang diproteksi, (2) dominasi kelompok bisnis pemburu rente

(rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan

kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri,

sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu

menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri

Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah, (5) masih

kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi, (6)

investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan sasaran

usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.

Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena (1) adanya proteksi

(tata niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk investasi, (3) tingginya teknologi yang

digunakan, (4) adanya preferensi terhadap produk.

Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan karena

setidaknya 2 alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan

industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing

17
perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan

dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional, (2)

mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Apabila

suatu perusahaan tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku

dari para pemasok, dan membagi dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa ke

luar dari bisnis yang digelutinya. Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak

memiliki bottom line alias tidak akan pernah “ke luar dari arena persaingan”.

Pengembangan Usaha Kecil

Ada 2 definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, menurut UU No 9

Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal

Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,

paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan

jumlah pekerjanya, yaitu (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri

kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4)

industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).

Usaha kecil pada umumnya memiliki karakteristik (1) tidak adanya pembagian

tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi, (2) rendahnya akses industri kecil

terhadap lembaga-lembaga kredit formal, (3) sebagian besar usaha kecil ditandai dengan

belum dipunyainya status badan hukum, (4) dilihat menurut golongan industri tampak bahwa

hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri

makanan, minuman dan tembakau, kelompok industri barang galian bukan logam, industri

tekstil, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah

tangga. Masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada.

Perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT)

setidaknya dilandasi oleh 3 alasan, yaitu (1) IKRT menyerap banyak tenaga kerja, (2) IKRT

18
memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas.

BAB III

LINGKARAN SETAN KEMISKINAN

Pada awal pembangunan di Indonesia, beredar suatu teori yang sangat terkenal

mula-mula dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi asal Swedia dan penerima hadiah nobel

untuk ekonomi, Ragnar Nurkse. Teori itu disebut teori “Lingkaran Setan Kemiskinan”,

terjemahan dari “Vicius Sircle of Poverty”. Teori itu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan

19
dinegara-negara sedang berkembang yang umunya baru merdeka dari penjajahan asing.

Bertolak dari teori inilah, kemudian dikembangkan teori-teori ekonomi pembangunan, yaitu

teori yang telah dikembangkan lebih dahulu di Eropa Barat yang menjadi cara pandang atau

paradigma untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi di negara-negara

sedang berkembang, misalnya India atau Indonesia.

Pada pkoknya teori itu mengatakan bahwa negara-negara sedang berkembang itu

miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Kerana rendah produktivitasnya,

maka penghasilan seseoarang juga remdah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan

konsumsinya yang minim. Karena itulah mereka tidak bisa menabung. Padahal tabungan

adalah sumber utama pembentukan modal masyarakat.

Untuk bisa membangun, maka lingkaran setan itu harus diputus, yaitu pada titik

lingkaran rendahnya produktivitas, sebagai sebab awal dan pokok. Caranya adalah dengan

memberi modal kepada pelaku ekonomi. Masalahnya tentu adalah, dari mana modal itu

diperoleh ? jawabnya pada waktu itu adalah, utang dari luar. Dari sinilah maka pemerintah

terjebak dari teori itu. Dengan alasan tidak memiliki modal rupiah atau devisa, maka

pemerintah melakukan utang luar negeri.

Dalam wacana selanjutnya berdasar pengalaman negara-negara sedang

berkembang muncul teori mengkoreksinya. Pertama muncul pendapat, bahwa modal finansial

bukan satu-satunya faktor penyebab kemiskinan dan kunci pembangunan. Ada dua faktor lain

yang penting peranannya, yaitu rendahnya mutu sumber daya manusai dan yang lain adalah

tiadanya lembaga-lembaga negara. Pemerintah dan administrasi yang kuat dan efektif yang

kemudian disebut juga negara rentan (soft-state). Kedua adalah, bahwa masyarakat tidak

mampu menabung bukan karena tiadanya uang, melainkan tidak adanya lembaga yang

menghimpun modal.

Belakangan memang lahir teori-teori mengenai sebab-sebab kemiskinan, misalnya

dari Gunar Myrdal dari Swedia dan John Kenneth Galbraith dari AS. Menurut ekonom AS

20
yang pernah menjadi Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Kennedy itu dalam bukunya

”Poverty Curtain” (1976) sekurang-kurangnya ada 17 faktor penyebab kemiskinan, misalnya

miskinnya sumber daya alam, kolonialisme atau korupsi, yang berbeda dari satu negara ke

negara lain. Faktor-faktor itu bukan hanya kelemahan, tatapi juga bisa menjadi potensi dan

keunggulan. Misalnya Indonesia kaya sumber daya alam, tetapi rendah mutu sumber daya

manusianya.

Sebenarnya teori lingkaran kemiskinan itu mengandung kebenaran yang diakui

hingga sekarang, misalnya mengenai pentingnya peranan modal untuk meningkatkan

produktivitas rakyat miskin. Jauh sebelum lahirnya teori barat itu, pentingnya peranan uang

atau modal sudah diketahui oleh Patih Purwokerto, R Wiria Atmaja. Tapi ia menangapi

masalah itu dengan cara khas Indonesia, yaitu melalui lembaga gotong royang guna

membangkitkan swadaya dari bawah. Maka dibentuklah bank tolong menolong simpan

pinjam (hulp en spaarbank), yang merupakan cikal bakal lembaga perkreditan mikro kemudia

itu. Cara ini disebut juga sebagai pendekatan ekonomi kelembagaan.

Maka iapun memulai pendirian bank itu degan merogoh kocek sendiri dan

kemudian mempergunakan kas masjid yang berasal dari zakat dan sadaqah sebagai modal

awal. Bank itu didirikan pada tahun 1890, ketika rakyat Hindia Belanda dilanda kemiskinan

yang istilah euphimismenya adalah ”kemerosotan tingkat kesejahteraan” yang diungkapkan

oleh kaum liberal dalam parlemen Belanda. Patih itu memberikan jawaban terhadap teori

ketidak mampuan rakyat dalam berswadaya, dengan sikap tidak meminta dan mengharap

bantuan kepada Pemerintah Penjajah. Caranya adalah dengan ”tolong menolong” atau

”menolong diri sendiri” yang kemudia menjadi sebuah teori pembedayaan masyarakat yang

populer di zaman kontemporer. Ia juga melakukan pendekatan kultural yang menjawab teori

yang dikemukakan oleh Ranis mengenai tidak adanya lembaga yang menghimpun tabungan

dan membentuk modal, yaitu dengan membentuk lembaga berbentuk koperasi simpan pinjam.

Gambar
“Lingkaran Setan Kemiskinan”, terjemahan dari “Vicius Sircle of Poverty”.

21
Tabungn Rendah
Investasi Pendapatan
Produktivitas
Ketidaksempurnaan Pasar Rendah
Rendah
Kekurangan Modal
Ketebelakangan,
Ketertinggalan

Memang, pada mulanya, bank tolong menolong itu di maksudkan untuk membantu

kelompok priyayi rendahan yang miskin dan mengalami kesulitan hidup sehari-hari. Tapi tak

lama kemudian, bank itu dimaksudkan untuk melong kaum tani, baik untuk kegiatan

konsumtif maupun produktif, Kredit konsumsi merupakan perantara yang menghantarkan

produsen untuk memaksimalkan dananya sendiri guna kegiatan produktif, khususnya di

kalangan petani, karena bagaimanapun kredit itu memperkuat ketersediaan modal uang

(financial capital).

Model Wira Atmadja itu, dalam aktualisasinya sekarang ini merupakan alternatif

terhadap kebijaksanaan Pemerintah sekarang yang mengharapkan dana dari luar itu.

Kebijaksanaan inilah yang mengubah paradigma pembangunan dari bawah menjadi

pembangunan dari atas, melalui model sinterklas yang menyebabkan ketergantungan modal

itu (capital dependence) di tingkat rakyat dan negara itu.

Namun masa Orde Baru, muncul pula reaksi kritis dan kreatif terhadap pendekatan

dan kebijaksanaan pembangunan itu dan membuktikan kebenaran teori swadaya (selp-help)

dan kemandirian (self-relience) itu. Orang itu adalah pejabat Bank Rakyat Indonesia (BRI)

bernama Sugianto. BRI sebenarnya mengakui bahwa cikal bakal bank negara ini adalah hulp

en sparbank. Hanya saja, ketika Pemeintah Hindia Belanda melihat potensi dan prospek bank

22
perkreditan rakyat, yang karena mangikuti nasihat residen Banyumas, Wolf van Westerode

mengikuti model koperasi kredit Jerman, Raifeissen itu, kemudian dihimpun menjadi sebuah

bank pusat atau sistem branc-banking yaitu bank yang didirikan di tingkat pusatdengan

cabang-cabang kebawah di daerah-daerah yang disebut Algemeene Vilkscreditbank (AVB).

Di zaman kemerdekaan AVB ini dinasionaliasi dan dijadikan bank negara yang

disebut BRI. Namun BRI ini berubah pendekatannya. Jika lembaga perkreditan rakyat (LPR)

yang sekarang lebih populer disebut sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) dengan

kelompok sasaran rakyat miskin itu. Maka sistem perbankan berubah dari bank of the people

(bank milik rakyat) menjadi bank for the people (bank untuk rakyat), model sinterklas.

Sugiyanto membuktikan melalui skemanya, bahwa rakyat di daerah miskin, seperti

di Gunungkidu, ternyata mampu menabung, bahkan dalam jumlah besar. Kuncinya adalah

lembaga yang mampu menghimpun tabungan itu secara sistematis, konsisten dan terus

menerus. Selain itu, pada awal abad 21, lembaga keuangan mikro sya’riah yang disebut BMT

(Bail al Maal wa al Tamwil), berhasil membuktikan bahwa LPM, dengan mendekatkan

sya’riah mampu pula menghimpun modal secara swadaya dan memberdayakan ekonomi

rakyat. Landasan teorinya adalah langsung mengkaitkan transaksi keuangan dengan kegiatan

produktif, sehingga terhindar dari riba yang berbentuk ekonomi buih (bublble economy) yang

disebut riba itu. Yaitu melalui model tabungan dan pembiayaan atas dasar prinsip bagi-hasil-

rugi, (profit and loss-sharing) sebagai salah satu bentuk gotong royong.

BAB IV

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI KEMISKINAN

Konsep Kemiskinan

Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional.

Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek

ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan

sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan

23
meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut

tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka

kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang

dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty

line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis

kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan

dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per

orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.

Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power).

Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan

kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga

pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu :

a. Bagaimana dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat,

b. Bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan

penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan

c. Bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan.

Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan

struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan

produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang

disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang

dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor

penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal

datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya

hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar

24
Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-

nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah

pada nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan

orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat

menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali

diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan

dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena

“ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menydiakan kesempatan-kesempatan

yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat

multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam

mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.

Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga

sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep

keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi

sosialnya.

Potret Kemiskinan Di Indonesia

Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di Tanah Air, terutama setelah

Indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999. Setelah

dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1

persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama

selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa

jumlah penduduk miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa

(11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS, 1999).

25
Sementara itu, International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin

di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh

jumlah penduduk (BPS, 1999).

Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998,

telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin secara hampir sama di wilayah pedesaan

dan perkotaan, yaitu menjadi sebesar 62,72% untuk wilayah pedesaan dan 61,1% untuk

wilayah perkotaan. Secara agregat, presentasi peningkatan penduduk miskin terhadap total

populasi memang lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan di perkotaan

(4,72%). Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin

meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan

sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).

Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan penduduk

perkotaan lebih parah ketimbang penduduk pedesan. Menurut Thorbecke (1999) setidaknya

ada dua penjelasan atas hal ini: Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh lebih buruk pada

beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti perdagangan, perbankan dan konstruksi.

Sektor-sektor ini membawa dampak negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan.

Kedua, pertambahan harga bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan,

karena mereka masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsisten

yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat perkotaan

dimana sistem produksi subsisten, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan

makanan, tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.

Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan

dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai

lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu,

jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan

namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih

26
memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan

papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial

dan politik.

Selain kelompok di atas, terdapat juga kecenderungan dimana krisis ekonomi telah

meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor informal. Merosotnya pertumbuhan

ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, dan dirampingkannya

struktur industri formal telah mendorong orang untuk memasuki sektor informal yang lebih

fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997

dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhadap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern

telah menurunkan jumlah pekerja formal dari 35 persen menjadi 30 persen. Menurut

Tambunan (2000), sedikitnya setengah dari para penganggur baru tersebut diserap oleh sektor

informal dan industri kecil dan rumah-tangga lainnya. Pada sektor informal perkotaan,

khususnya yang menyangkut kasus pedagang kaki lima, peningkatannya bahkan lebih

dramatis lagi. Di Jakarta dan Bandung, misalnya, pada periode akhir 1996-1999 pertumbuhan

pedagang kaki lima mencapai 300 persen (Kompas, 23 November 1998; Pikiran Rakyat, 11

October 1999). Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar.

Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial ekonomi

pekerja sektor informal masih berada dalam kondisi miskin dan rentan.

Departemen Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini,

termasuk melaksanakan program-program kesejahteraan sosial – yang dikenal PROKESOS –

yang dilaksanakan baik secara intra-departemen maupun antar-departemen bekerjasama

dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral. Dalam garis besar, pendekatan

Depsos dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh perspektif

pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan

sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan

kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of

27
value) dan keterampilan (body of skils) profesional yang umumnya diperoleh melalui

pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2 dan S3).

Strategi Penaggualangan Kemiskinan : Konsepsi Pekerjaan Sosial

Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang senantiasa

menuntut keterlibatan pekerjaan sosial dalam penanganannya adalah masalah kemiskinan.

Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya untuk

membantu orang agar dapat membantu dirinya sendiri. Dalam proses pertolongannya,

pekerjaan sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang

mengedepankan prinsip keberfungsian sosial (social functioning) (Siporin, 1975; Zastrow,

1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya

menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam

menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa

klien adalah subyek pembangunan; bahwa klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat

dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien memiliki dan/atau dapat menjangkau,

memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar dirinya.

Sebagamana halnya profesi kedokteran berkaitan dengan konsepsi “kesehatan”,

psikolog dengan konsepsi “perilaku adekwat”, guru dengan konsepsi “pendidikan”, dan

pengacara dengan konsepsi “keadilan”, keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang

penting bagi pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial

dengan profesi lainnya. Morales dan Sheafor (1989:18) menyatakan:

Social functioning is a helpful concept because it takes into consideration both the

environment characteristics of the person and the forces from the environment. It suggests

that a person brings to the situation a set of behaviors, needs, and beliefs that are the result of

his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the

situation must be related to the world as that person confronts it. It is in the transactions

28
between the person and the parts of that person’s world that the quality of life can be

enhanced or damaged. Herein lies the uniqueness of social work.

Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan

persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-

struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat

perhatian pekerjaan sosial, yaitu:

1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan

sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan

dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan

sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

2. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis

kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial

dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki

pendidikan dasar atau tidak buta hurup,).

3. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas

dari kemesikinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik

ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok

yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap

berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari

status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila terjadi krisis

ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.

Secara tegas, memang sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan pekerjaan

sosial adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok di atas. Pekerjaan sosial melihat

bahwa kelompok sasaran dalam menangani kemiskinan harus mencakup tiga kelompok

29
miskin secara simultan. Dalam kaitan ini, maka seringkali orang mengklasifikasikan

kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang melekat padanya yang kemudian disebut

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan,

suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll adalah beberapa

contoh PMKS yang sering diidentikan dengan sasaran pekerjaan sosial di Indonesia. Belum

ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok destitute,

poor atau vulnerable. Namun dapat diasumsikan bahwa proporsi jumlah PMKS diantara

ketiga kategori tersebut membentuk piramida kemiskinan.

Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan

kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam

menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan

dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan

sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan

situasi yang dihadapinya. Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan

person-in-situation”.

Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan

sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si

miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun

masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya

didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang

dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi :

1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-

panti sosial.

2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.

Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi

30
pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang

melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program

anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-

masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan

kedalam beberapa strategi:

1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban

bencana alam.

2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulan untuk usaha-

usaha ekonomis produktif.

3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga

muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan

remaja.

4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser

disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program

yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah

satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak

pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE atau

Kelompok Usaha Bersama.

PENUTUP

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang

memerlukan penanganan lintas sektoral, lintas profesional dan lintas lembaga. Departemen

Sosial merupakan salah satu lembaga pemerintah yang telah lama aktif dalam program

pengentasan kemsikinan. Dalam strateginya Depsos berpijak pada teori dan pendekatan

pekerjaan sosial. Strategi penanganan kemiskinan dalam persepektif pekerjaan sosial terfokus

pada peningkatan keberfungsian sosial si miskin (dalam arti individu dan kelompok) dalam

31
kaitannya dengan konteks lingkungan dan sistuasi sosial. Dianalogikan dengan strategi

pemberian ikan dan kail, maka strategi pengentasan kemiskinan tidak hanya bermatra

individual, yakni dengan: (a) Memberi ikan; dan (b) Memberi kail. Lebih jauh lagi, pekerjaan

sosial berupaya untuk mengubah struktur-struktur sosial yang tidak adil, dengan: (c) Memberi

keterampilan memancing; (d) Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan; dan (e)

Mengusahakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan hasil memancing tersebut

SARAN

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5

juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998).

Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di

perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996

(sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta

jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin

diperkirakan makin bertambah. Jadi, saran saya agar Pemerintah dan Seluruh Masyarakat di

Indonesia mau bekerja-sama untuk ikut berperan serata dalam meminimalkan jumlah

kemiskinan agar Negara kita bisa bangkit dari keterpurukan baik dari krisis ekonomi maupun

kemiskinan yang semakin meningkat setiap tahunnya, agar Negara kita bisa berkembang dan

maju serta mensejajarkan dengan Negara maju yang sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Internet : www.google.co.id

www.wordpers.com/masalah kemiskinan/makna/go.id

32

You might also like