You are on page 1of 6

Beras dan Ketan

Oleh : Abdul Aziz


Hari ini, ibu masak lagi. Tapi, baru kali pertama, ibu masak beras biasa dengan kombinasi ketan. Katanya, ibu akan membuat kue unik. Bagiku, ini resep baru yang pertama. Sebab, dalam sejarah per-masakan di Semarang, dua jenis ini sama sekali tidak pernah bertemu dalam satu adonan. Tetapi, kedua jenis ini, tidak jarang muncul berbarengan, sekalipun dengan kapasitas dan format yang berbeda. Dalam hukum jual beli-pun, kedua jenis ini memiliki perbedaan harga yang cukup jauh. Ketan, di kota manapun, harganya selalu lebih tinggi daripada beras; yang dikonsumsi untuk makanan pokok sehari-hari. Perbedaan harga ini, tentu saja bukan lantaran beras ketan lebih cepat mengenyangkan ketimbang beras. Maklumlah, soal kenyang dan tidak adalah relatifitas manusia. Masing-masing perut, kapasitasnya masing-masing juga. Cuma, kata ibu tenang, perbedaan harga keduanya karena ketan memiliki kelebihan. Salah satunya, ketan bisa dibuat beraneka ragam kue, yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara, beras dijual dimana-mana, sebatas jadi nasi atau bubur. "Tapi, bu, beras kan menjadi makanan pokok," aku protes. "Iya, tapi itu sudah jadi hukum pasar. Dua kilo beras bisa ditukar dengan hanya satu kilo ketan, sementara dua kilo ketan tidak bisa ditukar dengan dua kilo beras biasa." Ketan memang hanya diperlukan dalam waktu atau peristiwa tertentu. Dan biasanya peristiwa itu juga agak istimewa. Sebut saja pernikahan, khataman Al-quran, sunnatan massal, hari raya, atau kegiatan seminar di beberapa gedung mewah. Biasanya, ketan dalam bentuk kue yang bermacam-macam, selalu hadir dalam kemasan berdampingan dengan kue mahal lain. Sementara, beras selalu disuguhkan di akhir acara. Kata ibu lagi, ketan memang agak eksklusif dibanding beras. Ketan, tidak bisa dibeli oleh setiap orang, karena tidak semua orang mampu. Sementara, beras sudah menjadi kewajiban, selain karena bahan makanan pokok, harganya lebih murah daripada ketan. "Pokoknya, beras biasa yang sering kita tanak itu lebih populis dari pada ketan. Ketan itu sangat elitis," tutur Ibu mengutip jargon politik, yang sering dipakai orang di masa kampanye.

Hari masih pagi. Beberapa perempuan di rumah kami sudah berkumpul di halaman belakang -yang disulap menjadi sebuah ruang darurat untuk masak. Mereka duduk melingkar. Para perempaun itu sibuk mencampur ketan dan beras. Beberapa perempuan tampak saling berbisik. Sudah pasti membicarakan keanehan resep kue ibu pagi itu. "Mau jadi apa ketan dan beras dicampur. Saya belum pernah buat kue dengan adonan seperti ini," celutuk seorang perempuan, ketus. "Iya, ya. Adonan lemper bukan! Dodol bukan! Nogosari bukan juga!," sambut perempuan lainnya yang bersuara berat. "Kita lihat saja nanti. Siapa tahu kita dapat resep kue yang baru, kan bisa dijual," kata seorang perempuan, yang suaranya aku yakin pernah kudengar di pasar kue di Pasar Johar. "Tapi ini aneh! Selama saya membantu di beberapa rumah, saya baru sekali ini menemukan adonan kue ketan dengan beras," perempuan yang pertama menegaskan kebingungannya. "Saya juga begitu, lho. Jangan-jangan..."perempuan lain berbisik agak curiga. "Sssst, jangan berprasangka buruk dulu. Kita ikuti dulu permintaan ibu. Nanti kan juga ketahuan," perempuan pedagang kue di Pasar Johar menenangkan. "Tapi, saya akan larang suami saya datang kesini. Saya takut kalau suami saya nanti kena keracunan," komentar perempuan bersuara berat. "Bukan! Ini bukan soal keracunan. Tapi boleh jadi, ibu sedang merencanakan sesuatu terhadap warga di sini," seorang perempuan baru nimbrung, " sebentar lagi kan akan ada pilihan lurah secara langsung. Siapa tahu, ibu akan........" "Ssssst, ibu datang," desis si perempuan berbisik yang curiga tadi. Para perempuan itu pun menghentikan obrolan -sambil bersikut-sikutan karena ibuku, si penggagas format beras dan ketan, sudah di belakang mereka. "Bagaimana ibu-ibu semua?," ibuku membuka pembicaraan, sepertinya menangkap gelagat kekakuan kerumunan koleganya. Para perempuan itu masih tampak kikuk. Mereka senyum, tapi terpaksa, sebatas untuk membuang sangkaan buruk. "Kalau sudah selesai, beras ini nanti langsung dicuci, dan dicampur dengan gula merah, santan dan sedikit pandan untuk pewangi. Dan saya minta tolong ibu yang mengatur segala sesuatunya." "Beres bu," balas suara pedagang kue Pasar Johar, yang rupanya ditunjuk ibu jadi koordinator perlaksana. Tapi perempuan pedagang kue Pasar Johar malah jadi makin kikuk. Sebab dia sendiri juga masih bingung dengan resep kue ibu hari itu. "Nah, untung bukan saya yang disuruh. Kalau saya, waaah bisa berabe,"

tukas perempuan yang baru saja nimbrung. "Aduh, ibu, saya juga masih bingung kok!" ********** Menjelang siang, mereka yang membantu di rumah sudah mengumpulkan puluhan kelapa, katanya, untuk santan adonan ketan dan biasa. Ibu kemudian menyuruhku, yang tadinya cuma pendengar dari ruang tamu, untuk mengambil parang dan baskom untuk menampung air kelapa. "Bu, kenapa santannya tidak langsung beli saja di supermarket. Kan ada santan yang sudah dikemas. Tinggal beli, jadi tidak perlu repot-repot seperti ini," protesku karena tidak mau kehilangan kesempatan memonitor para perempuan yang membantu ibu. "Nak, kalau kita beli santan di supermarket, kita tidak bisa berbagi rejeki dengan penjual kelapa di kampung ini. Lagi pula, kalau kita beli di supermarket, sama saja kita sedang menimbun gunung. Sebab yang punya toko besar itu bukan orang yang sembarangan, tapi pasti orang yang duitnya sudah menggunung, bukan orang seperti penjual kelapa. Nah, kalau kita masih diberi kesempatan untuk membantu orang seperti penjual kelapa, kenapa harus kita sia-siakan?" jelas ibu sambil tersenyum. Aku tercenung sesaat dengan ucapan ibu yang filosofis. Benar juga kata ibu. Batinku membenarkan. Aku jadi ingat dengan nasib salah satu pedagang sikat sabut kelapa yang kini harus menjadi penarik becak, setelah orang-orang memilih membeli sikat produksi pabrik yang terbuat dari plastik. Padahal, kalau mau hitung-hitungan untung rugi, sikat sabut buatan tukang becak itu lebih awet dibanding dengan sikat plastik buatan pabrik. Tentu saja, karena prinsipnya dengan pabrik berbeda. Pabrik berprinsip, hari ini terjual, besok pagi kalau bisa sudah rusak dan orang beli lagi. Sementara pedagang sikat sabut kelapa, berprinsip hari ini terjual satu, besok atau lusa harus terjual lebih dari satu, kalau perlu orang bersedia membantu menjual melalui warungnya. Pembuat gasing di belakang rumahku juga tak jauh beda nasbinya. Sejak tahun 80-an dia membuat gasing kelas wahid, begitulah tinjauan kami, para pembelinya. Kepiawaian gasingnya bukan hanya di kalangan anak-anak kampung kami saja, tapi menyebar sampai ke para pedagang suvenir. Dalam satu hari, pembuat gasing yang handal itu bisa meraup untung 50-100 ribu. Tapi sejak televisi banyak menampilkan film-film tembak-tembakan, para orang tua lebih suka mengenalkan anak-anak dengan pistol-pistolan plastik buatan pabrik, dari pada gasing. Kini, mantan pembuat gasing itu banting tulang menjadi buruh bangunan, mengasarkan dan melambankan jari-jarinya

yang suatu saat pernah amat gesit dan dinamis untuk membuat gasing. Aku yakin jari-jarinya tak akan mampu lagi membuat gasing; hancur sudah jari jemarinya, gerakannya, dan sentuhannya disikat bata merah, semen kering, dan gagang sekop. Jadi segera aku ambil parang dan mulai bekerja mengupas kelapa sambil membayangkan senyum pedagang kelapa bisa bertahan lebih lama atau bahkan selama-lamannya. *********** Lepas dluhur, adonan sudah hampir rampung. Ibu mulai meramu bumbu dan racikan khusus untuk kue istimewa hari itu. Sementara, perempuan pedagang kue Palembang Indah yang diberi mandat untuk memimpin perempuan lainnya sudah ada di hadapan Ibu. Sekalipun koordinatornya adalah pedagang kue yang handal, namun kali ini ia hanya mengikuti saja petunjuk ibu. Karena, bagi perempuan pedagang kue Palembang Indah itu, ramuan dan adonan ketan dan beras masih asing. Sampai sore itu, bentuk dan jenis kue yang akan dibuat belum juga terjawab. Kontan saja masih ada yang iseng. "Ibu, boleh saya bertanya?" tanya seorang perempuan yang baru lagi, namun bukan perempuan baru yang tadi karena suara perempuan baru ini terdengar terpelajar.. Ibu hanya tersenyum, lalu mempersilakan. "Tapi maaf, lho, bu... Sebenarnya, adonan yang seperti ini akan dijadikan kue macam apa? Saya ini masih bingung?," lanjut perempuan terpelajar. ";Saya akan buat kejutan di kampung ini. Ini sajian istimewa, dan akan diperuntukkan kepada orang-orang yang istimewa pula," jawab ibu tegas. Para perempuan itu kembali saling pandang. Perempuan terpelajar tak berani lagi mendesak karena kuatir ibu tersinggung. Masing-masing mulai menebaknebak. "Apa ini resep dari Ana, anak ibu yang kuliah di jurusan tata boga?," gumam perempuan terpelajar tadi dengan nada yang kurang menekan. "Atau dari buku resep kiriman keponakan ibu yang jadi pelaut itu," tanya perempuan bersuara berat. "Hushh, di luar negeri mana ada ketan ," komentar perempuan berbisik. "Lho jangan salah, tempe saja sudah banyak dijual di luar negeri, jadi makanan mewah lagi," kata perempuan terpelajar. "Sudah jangan bertengkar, tunggu saja nanti jadinya seperti apa," celutuk perempuan ketus, yang sudah lama tak bersuara. Masih banyak pertanyaan yang muncul, tapi aku sudah kurang tertarik berhubung perempuan-perempuan itu, menurutku, sudah kurang kritis karena makin cenderung menerima eksistensi eksperimen ibu. Jadi aku pun mulai melaksanakan instruksi ibu selanjutnya; mengatur puluhan undangan yang

harus diantar untuk menyambut format beras dan ketan. Karena ibu dibantu beberapa perempuan, aku tak mau kalah pula dengan memanggil para laki-laki di kampungku. Bedanya para lelaki di kampungku memang tak se-kritis para perempuan yang membantu ibu di dapur. Apalagi setelah disodorkan kopi dan rokok, sama sekali tak ada tantangan atau pertanyaan halus sekalipun yang harus kuhadapi dari para laki-laki itu, walaupun aku sendiri sebenarnya tertanya-tanya karena daftar nama undangan adalah daftar nama pesohor di kampung dan calon lurah. Aku pun terburu-buru mencari ibu. "Bu, yang diundang itu semua pesohor, ya?!" "Ya." "Tapi yang ibu undang itu pesohor yang gagal terpilih jadi anggota lurah!" "Justru itu," jawab ibu memutus pertanyaanku. Aku makin penasaran. Ibu kemudian menyodorkan beberapa kliping koran. Ada sederet nama calon lurah yang tidak jadi lurah. Kubaca dari kulit ke kulit. Ada ragam berita dan kenyataan konyol yang menimpa para calobn lurah gagal itu. ************ Hari peluncuran beras dan ketanpun tiba. Para undangan mulai berdatangan. Para perempuan yang mengolah kue tak lagi bertanya-tanya tentang kue apa yang akan dibuat. Para laki-laki yang membantu persiapan undangan kembali menikmati kopi dan rokok gratis. Semua sudah digelar dihadapan undangan. Yang aneh, tak seorang pun warga non-caleg gagal maupun non-pembantu yang diundang. Tak ada agenda basa-basi selain datang, -makan, dan pulang. Dengan masingmasing karakter penampilannya, para tamu awal tiba. Ada yang pakai celana panjang hitam, dasi merah, tapi hanya dengan kaos oblong putih. Ada yang mengendarai sepeda motor, dengan poster nama serta partainya di bagian depan dan belakang motornya, layaknya orang berkampaye. Undangan berikut langsung menyebarkan potongan daun, katanya, kartu namanya. Dengan ulah dan gaya para undangan yang unik dan konyol itu, para perempuan di pintu dapur dan para penonton di luar pagar rumah tertawa terbahak-bahak. Hanya para lelaki di ruang tamu yang tetap tenang, menikmati kopi dan rokok gratisnya. "bu, kok rumah ini jadi seperti RSJ. Mengumpulkan orang-orang yang kurang waras," celetuk perempuan terpelajar. Ibu hanya tersenyum.

Di tengah riuhnya gelak tawa itu, salah seorang calon lurah gagal, yang pakai jas dan celana pendek, mengamati kue dengan serius, lalu berkata dengan serius pula, seserius anggota DPR yang sedang turba. "Ibu, kue ini bisa menjadi komoditi ekspor non migas. Ini bisa menambah pendapatan asli daerah kita. Nantilah, kalau saya sudah resmi dilantik jadi anggota Dewan, kue ini akan kita tawarkan ke pihak asing. Tapi kalau boleh tahu, kue ini terbuat dari apa, Bu?" Semua orang menunggu jawaban ibu, dan walau sadar kalau yang dihadapi adalah orang setengah waras, ibu tetap menjawab serius caleg berjas dan bercelana pendek itu. "Kue ini terbuat dari dua jenis adonan. Setengah beras, setengah lagi ketan." "Setengah beras, setengah ketan. Kok seperti parikan jawa yang artinya, setengah waras, setengah edan", kta calon lurah yang berjas dan bercelana pendek itu, tanpa beban. Lalu ia masukkan cuilan kue yang sedari tadi ditangannya. "Iya ya seperti puisi, setengah beras setengah edan," komentar calon lurah bersepeda motor kampanye. "Harus disosialisakian kepada masyrakat sipil lain," sambut calon lurah berdasi dan beroblong. "Kita perjuangkan menjadi peraturan daerah," sambung calon lurah berbaju safari dengan celana batik. Para perempuan tertawa gelak, para penonton di luar pagar terbahak, sedang kerumunan lelaki yang membantu undangan cuma berdesis tersenyum. Tapi puluhan calon lurah gagal itu tidak perduli pada komentar orang, sama seperti tidak perdulinya pada nasib orang ketika mereka berkampanye. Para calon lurah tak sadar kalau aksi serius mereka justru jadi bahan tertawaan. Celakanya mereka tetap serius makan kue beras dan ketan sambil membahas pro dan kontra untuk mengaturnya dalam peraturan daerah. Beberapa aku lihat malah mulai kasak-kusuk menyusun koalisi beras dan ketan; waras dan edan. Dan tawa kami semua semakin ramai, termasuk para lelaki yang mulai kehabisan kopi dan rokok. Esok paginya, Ibu menyuruhku membuang sisa kue berformat beras dan ketan itu ke kandang kambing. Sambil berjalan ke kandang kambing aku merenung; bagaimana kalau aku usul agar ibu mengundang para capres. Tapi kira-kira apa resep ibu? Beras murni, ketan murni, atau ada yang lain.

You might also like