You are on page 1of 10

Sejarah Pancasila Pancasila sebagai Dasar Negara di Indonesia terdiri dari lima sila, kelima sila tersebut adalah

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil Dan Beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjajahan Belanda telah berakhir pada tahun 1942, yaitu tanggal 8 Maret. Saat itu Indonesia berada dibawah pimpinan Jepang, namun Bangsa Jepang tidak berlangsung lama berada diIndonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah melawan tentara sekutu. Untuk menarilk simpati bangsa Indonesia, supaya bisa membantu tentara Jepang. Jepang memberikan janji kemerdekaan kelak kemudian hari. Hal ini terjadi sebelum tanggal 17 Agustus, tepatnya bangsa Indonesia belum merdeka. Banyak bangsa-bangsa yang menjajah Negara Indonesia.Misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, paling lama yang menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan para penjajah, banyak kerajaan-kerajaan besar yang merdeka. Perjuangan bangsa Indonesia dalam mengatur siasat untuk mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai tahun 1908 selalu mengalami kegagalan.Perdana Mentri Kaiso pada tanggal 7 September 1944, karena terus terdesak, kemudian padatanggal 29 April 1945 Jepang member janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam maklumat Gunseikan. Dalam maklumat tersebut kemudian dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugasnya yaitu untuk menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul selanjutnya untuk dikemukakan kepada pemerintahJepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia. Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno,yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Persatuan Indonesia 3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu: 1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia) 2. Internasionalisme (Perikemanusiaan) 3. Mufakat atau Demokrasi 4. 4.Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan yang Berkebudayaan Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu: 1. Sosio nasionalisme 2. Sosiodemokrasi 3. Ketuhanan Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong. Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muh. Yamin, M. Sutardjo Kartohadikusumo, Mr. A.A. Maramis, R. Otto Iskandar Dinata, Drs. Muh. Hatta. Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas Sembilan orang, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Muh. Yamin. Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan siding dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10 sampai 16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata ketuhanan yang berbunyi dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh.Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Implementasi Pancasila Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu. A. Masa Orde Lama. Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu: Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan

mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan. Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.

B. Masa Orde Baru Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Eka prasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa. Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakankebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang. C. Masa Orde Reformasi Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan pemerintahan

dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan. Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika. Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.

Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan subversi asing, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada masyarakat melemah. Implementasi Pancasila Setelah Reformasi Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya segala tindak tanduk dari orang-orang yang termaktub sebagai warga negara dari republik yang bernama Indonesia, haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia sebagai seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideology yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru. Disinilah terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila oleh rezim Orde Baru. Ideologi yang bertentangan akan berada dalam kategori yang harus dimusnahkan atau ditindak. Pengasastunggalan Pancasila merupakan cara rezim Orde Baru untuk menyatukan pandangan-pandangan, tetapi akhirnya menjadi

penindasan ideologis, sehingga orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut. Belum lagi penindasan secara fisik seperti pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli dan seterusnya. Perlakuan diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh masyarakat non pribumi (keturunan) dan masyarakat golongan minoritas. Mereka merasa diasingkan, bahkan acapkali mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam jika ada masalah, atau diperas secara ekonomi. Sedangkan orang-orang yang dijadikan tapol dan napol dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat bagaimana kalau mereka tidak tunduk kepada penguasa. Inilah salah satu contoh bentuk kekerasan politik. Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain. Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakanakan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini

dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pasca runtuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini. Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de lhomme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negarabangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negarabangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi sema. Sudah hitungan tahun Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat dari faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum berlansung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butirbutir Pancasila, tetapi belum memahami makna sesungguhnya.

Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujud perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia. Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi dasar, acuan atau paradigma baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi sekarang bangsa ini sering mengenyampingkan Pancasila. Padahal reformasi yang benar justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan jiwa Pancasila seharusnya gerakan reformasi harus mampu menggalang persatuan demi pembenahan krisis multidimensional dewasa ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa persatuan dengan golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan gerakan reformasi selama ini telah membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi setapak gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan: Persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan.. Dan agar persatuan bisa tercapai: Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan Demikianlah 2 kalimat kunci persatuan Bung Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang lalu. Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur pemerintahan yang baru.

You might also like